21 - Upgraded
Hai 🌹
Kangen Kakanda atau kangen Juno?
Oh iya. Ini buat yang kemarin nanya Bian itu siapa. Barangkali lupa. Ada di bab 8.
Terus buat yang penasaran seperti apa pohon tabebuya. Nih, Kakanda tunjukkin pohonnya. Daunnya hijau, bunganya kuning. Ada juga yang pink. Tapi yang di Nuski warnanya kuning. Macam ini.
Oke, di bab ini WAJIB banget sambil dengerin musik pake earphone. Biar efek cool-nya makin cool.
Ini lagunya.
𝐒𝐨𝐦𝐞𝐛𝐨𝐝𝐲 𝐄𝐥𝐬𝐞 𝐛𝐲 𝐓𝐡𝐞 1975
***
Jangan lupa ramaikan lagi komentarnya. 🌹
Nggak mau banyak cakap. Langsung baca aja. nih 𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫 21.
***
________________
***
CHAPTER 21
[Estu Herjuno]
Ekspektasi gue begitu Sid melihat penampakan itu, dia akan pingsan atau apa. Atau mungkin saja dia langsung menuduh gue penyihir, dukun, atau semacamnya. Tapi memang dasar Sid. Nggak sampai satu menit gue menutup penampakan dimensi itu, dan komentar Sid adalah, "Jun, rumah lo keren banget. Parah! Instalasi galaksi kayak tadi pesen di mana?"
Seriously?
Sid bahkan keliling kamar gue nyari tombol karena dia mikirnya tadi hanyalah efek dari mesin proyektor. "Remotnya di mana? Atau itu otomatis mendeteksi perintah dari suara lo? Gue pengin dong yang display-nya kutub Selatan."
Hm, memang tidak secemerlang itu.
Gue lalu mendekatinya dan berlutut di depan Sid. Mengetuk lututnya sambil berkata, "Halo, otak Sid? ... oh, nggak ada, ya. Oke."
Gue berdiri kesal karena untuk memahami satu penampakan begitu saja dia nggak bisa ngeh sama sekali. "Udah waktunya lo dikasih asupan sate amandel biar waras dikit." Gue mendengus kemudian.
Lalu berdiri memandang sekeliling kamar. Mengabaikan Sid sejenak yang masih berusaha mencari semacam tombol di balik lemari.
Gue berpikir dalam diam. Semoga entah apa yang terjadi nanti, gue harus tetap bisa mengingat tentang Lana. Pada akhirnya gue harus berlogika dan menyetujui bahwa kisah cinta kami akan lesap dalam lipatan waktu cepat atau lambat.
Terlintas di kepala gue pengin telepon Lana. Gue dihampiri jenis rindu yang penawarnya cuma dengan mendengar suaranya. Meski gue takut kalau ternyata dia sedang pulang ke zamannya, atau masih berusaha melompat ke zaman lain untuk mencari pertolongan dari Sinestesian lainnya. Tapi begitu panggilan gue terhubung dan suara jernih itu terdengar, gue menghela napas lega.
"Lagi apa, Yang?" tanya gue spontan.
"Hm?"
"Lagi apa," gue mengulangi dengan nada datar. Beringsut ke tempat tidur dengan hati-hati karena gue pakai selang juga. Lalu gue menutupi sekujur badan dengan selimut.
"Lagi nyiapin buat tes khusus anak pertukaran pelajar."
"Udah makan?"
"Harus nanya itu banget, ya?"
Gue nggak menjawab. Terdengar suara napasnya. "Udah, aku udah makan. Udah mandi. Udah kemas-kemas."
"Kemas-kemas?"
"Kemas-kemas kamar."
Gue menelan ludah.
"Aku pengin ke bulan sama kamu." Literally ke bulan. Bulan yang di angkasa.
"Mau ngapain?" Lana terkekeh dengan sedikit keheranan.
"Nonton bumi dari atas.
"Kamu enak bisa napas kalau di sana. Aku nggak."
"Kalau gitu nggak usah ke mana-mana. Nggak usah ke luar angkasa, nggak usah ke lintas dimensi, atau ke zaman lain. Di sini aja, sama aku."
Terdengar napasnya lagi. "Kenapa tiba-tiba ngomong gitu?"
"Lagi nyari alasan yang cukup aneh biar nggak terlalu terus terang kalau aku-." Mau bilang kangen takut kurang sopan.
Lana terhenyak.
"Aku tadi kacau banget," ralat gue kemudian.
"Kenapa?"
Gue membuka selimut di bagian kepala. Dan rupanya ada Sid yang lagi berdiri di sebelah gue. Nguping. "Bentar," kata gue ke Lana. Lalu gue mengangkat alis ke arah Sidney.
"Beruntung ketika tiba masanya lo ngebucin kayak gini, gue masih hidup," kata Sid. "Teruskan, teruskan. Gue mau nonton."
Gue berusaha mengabaikan Sidney. "Nggak usah ngikutin," kata gue mengerjap sebelum berjalan menuju balkon dengan selimut masih melilit. Gue menutup pintu agar Sid tertahan di kamar. Tapi yang gue lihat dia malah keluar kamar sambil tertawa. Palingan mau ambil makanan di bawah.
Gue duduk di kursi gantung yang terbuat dari rotan. Lanjut teleponan. "Masih di sana?" gue memastikan Lana masih dalam sambungan.
"Mm."
Ketika gue mau lanjutin apa yang pengin gue keluhkan, tiba-tiba sosok filantropis dalam diri gue menahan. Ini adalah pacaran pertama gue. Selama menjomblo gue nggak pernah merasa yang namanya kesepian atau perasaan lain semacam pengin punya teman untuk curhat. Sama sekali gue nggak punya urgensi untuk urusan itu. Gue cukup mandiri untuk menangani konflik dalam diri sendiri.
Gue tahu terkadang seseorang sudah cukup berat dengan masalahnya sendiri tanpa perlu ditambahi curhatan masalah orang lain. Itu sebabnya, meski sekarang gue sudah punya Lana yang ... secara bisa gue jadikan sandaran bahu buat berkeluh kesah, menceritakan kekusutan dalam kepala gue untuk diurai bareng-bareng, atau untuk sekadar cerita betapa melelahkannya hari yang gue lalui, apalagi karena sekarang gue sama Lana sedang berada di satu kanal yang sama dengan keajaiban semesta. Tetap, filantropis dalam diri gue nggak bisa membiarkan Lana menanggung apa yang sedang berkecamuk dalam diri gue. Gue tahu gue kacau luar dalam, tapi gue nggak mau pacar gue menanggung hal yang sama. I need to make sure she safe inside. Tentunya tanpa perlu memalsukan senyum di depan gue.
Datang dari bagian diri gue yang paling dalam, gue selalu ingin membuat orang yang gue sayangi tetap aman dan nyaman selama berada di dekat gue. Gue nggak suka kalau orang lain nggak enakan sama gue. Mungkin karena gue juga pengin dipahami makanya gue selalu berusaha memahami orang lain. Gue ingin mendapat ruang yang nyaman makanya gue nggak pernah membelenggu perasaan orang lain. Gue ingin melindungi. Gue ingin selalu memastikan bahwa semua orang yang ada di bumi ini, siapa pun, bahagia.
It was wrong when people judge me as a good guy. I just ... I, I don't know.
Untuk beberapa alasan yang penting, gue memilih untuk menunda bahas ketakutan gue tadi. Lana baru saja melewati masa peperangan beberapa hari yang lalu. Dan gue nggak pengin dia semakin terbebani kalau gue malah menyandarkan kegundahan gue di kanal bicara kami saat ini.
"Aku cuma mau cerita tentang kemampuanku yang lain. Kayaknya kalau, kamu tahu, melompat ke masa depan dan ikut bertarung. Aku harus punya sesuatu yang bisa diandalkan untuk melawan. Bukan hanya membuka dimensi lalu menghisap semua energi jahat yang menyerang di sana ke dimensi asalnya." Lana senyap mendengar gue bicara setelah tadi terjeda cukup lama. "Aku mikir, mungkin nggak masalah kalau aku mempersiapkan diri. Tapi bukan untuk sekarang."
"Well, good to know. Tapi aku pengin kamu pelan-pelan memahaminya."
"Iya."
"Apa kemampuan kamu yang lain itu?"
"Sayapku bisa membelah dengan kibasan, seperti pedang. Mungkin ini semacam pertahanan diri. Mau cerita dari kemarin-kemarin tapi aku merasa belum tepat. Sekarang baru bilang, karena ... biar ada bahan obrolan aja."
"Waw."
Gue terdiam sejenak ragu mau bicara soal kegundahan gue. "Aku mau ngomong," ujar gue.
"Apa?"
"Aku-." Belum sampai pada kata kedua, gue menjeda karena mendadak terjadi semacam getaran aneh mirip gempa. Itu berlangsung selama belasan detik. Tak lama kemudian Sidney berlari mendekati pintu balkon dan memanggil-manggil nama gue.
Gue melihat sebuah fenomena aneh yang terjadi di langit. Sebuah lingkaran gelap muncul membentuk pusaran. Kemudian angin berembus kencang. Cincin gue menghangat dan menyala. Lantas gue sembunyikan tangan ke saku.
Gue membuka pintu balkon. "Tadi ada gempa bukan?" tanya Sid dengan wajah panik. Alih-alih menjawab pertanyaannya gue malah berbalik ke balkoni dan menatap ke atas. Angin berembus kencang dan lingkaran hitam itu membentuk seperti pusaran awan yang besar di atas sana. Akan tetapi Sid sama sekali nggak melihat anomali di atas sana. "Lo ngelihatin apaan?"
"Lan?" gue bertanya memastikan Lana masih terhubung dalam panggilan. "Lagi ada apa?"
Hening. Tak ada jawaban. Padahal panggilan masih terhubung namun tidak ada suara sama sekali. "Lana?" ... "Lan?" jantung gue berdebur hebat. Napas gue menjadi sengal. Sebuah firasat janggal mulai menyergap perasaan gue. Angin berembus lagi. Namun kali ini ada embusan yang melewati telinga gue seolah ingin menyampaikan sesuatu. Derunya terasa lain. Lengan gue merinding kuat sekali.
Please, Lan, please. Jangan sekarang!
Tak lama kemudian gue mendapat panggilan telepon dari Bahri. Gue mengangkat cepat-cepat. "Di mana?" ucapnya begitu saja.
"Di rumah."
"Gue ke sana sama Rosie."
Saat mereka tiba, gue meminta mereka untuk langsung naik ke kamar gue. Rosie menatap Sid karena mungkin dia teringat sesuatu. Sid malah kikuk dilihatin Rosie yang cantik. "Mbak Raline Shah?" tanya Sid ke Rosie. Lalu menatap gue seolah meminta penjelasan tentang siapa cewek itu.
Bahri memberi kode ke gue tentang kenapa ada Sid di sini? Lalu tanpa meminta izin dia langsung merapalkan mantra tipis dan meniupkannya ke wajah Sidney dengan halus. Dalam hitungan sepersekian detik Sidney mematung seolah tak ada kehidupan dalam tubuhnya.
"Gue bakal balikin dia seperti semula kalau urusan ini selesai," janji Bahri.
Lalu gue membawanya naik ke atas dek. Rumah orang tua gue punya dek yang lebih besar dari milik Kak Fe. Sesampainya di sana Bahri meniupkan mantra agar gue bisa terbebas dari selang dan seolah tak ada sakit sama sekali.
"Minum ini," Rosie memberikan gue sebuah tabung serum yang ternyata berisi cairan aneh.
"Apa?" gue bertanya.
"Itu nektar dari bunga-bunga gue. Selain harus sehat, lo juga perlu fisik yang kuat. Kalau nektar ini bergabung dengan DNA lo, maka fisik lo yang sekarang akan menjadi kuat dan punya daya tahan lima kali lipat dibanding cowok seumuran lo."
"Gue punya vaskulitis."
"Nektar ini akan membuat lo lebih baik. Ini bukan penyembuh, hanya akan membuat lo lebih kuat fisiknya."
Gue menelan ludah karena ragu. "Kenapa gue harus menuruti kalian padahal gue belum tahu maksud dari kedatangan kalian ke sini?"
"Kalau gue bilang Lana dalam celaka lo masih pikir panjang?" mendengar penuturan Bahri, tanpa berpikir lagi gue menerima nektar dari Rosie dan meneguknya saat itu juga.
Di luar dari dugaan, efeknya terasa secepat itu. Gue merasakan mual yang luar biasa padahal nektar tadi rasanya manis layaknya madu. Bedanya di mulut meninggalkan aroma harum khas mawar. Gue bahkan sampai tersungkur karena ingin muntah. Gue merangkak sambil mengerang. Tubuh berkeringat hebat. Sekali lagi gue mau muntah tapi tidak ada yang keluar dari mulut. Otot-otot di seluruh tubuh gue menegang. Urat-urat terasa sedang ditarik. Leher gue mengencang. Tulang punggung menegak. Rahang gue gemeretak.
Setelah beberapa menit seperti orang kerasukan, akhirnya gue bisa mengambil kendali tubuh gue lagi. Saat gue berdiri, entah kenapa gue merasa sedikit lebih tinggi dari sebelumnya. Tinggi badan gue bahkan nyaris menyamai Bahri yang dewasa. Lengan gue juga terasa kencang berotot. Gue menyentuh leher yang urat-uratnya ikut menegang.
"Gue penasaran sama perut lo," ucap Rosie. Gue lantas memasukkan tangan ke dalam baju untuk menyentuh perut gue. Anehnya, perut gue terasa seperti sering diajak gym. Kencang. "Buka," pinta Rosie.
"Hah?"
"Buka! Pengin lihat." Bahri memutar bola mata saat Rosie berkata begitu.
Gue lalu mengangkat baju di bagian perut. Hanya sebentar. Seketika Rosie bersiul. "Seperti diedit pake Photoshop. Well, Juno 2.0. Hot guy."
"Please," kata gue. Gue merasa berbeda.
"Itu longlast kok. Bakal awet sampai lo bertemu ajal. Dan akan membuat tubuh lo mengalami proses penuaan yang lambat. Dengan kata lain, awet muda. Ketika temen-temen sebaya lo mulai keriput, lo akan jadi manusia yang seolah terjebak di usia tiga puluhan," tutur Rosie.
"Kenapa lo nggak pernah ngasih nektar itu ke gue?" Bahri protes.
"Nektar gue nggak berefek untuk kuda kayak lo."
Bahri mendengus.
"Lagian nektar gue cuma muncul dalam kurun seratus tahun sekali. Sia-sia kalau gue kasih ke kuda."
"Lo pasti punya stok kan setelah hidup selama ratusan tahun ini? Lalu lo kemanakan itu?"
"Gue jual dengan harga setara seratus ginjal ke orang-orang Hollywood," jawab Rosie tegas.
"Sekarang gue tahu kehidupan mewah lo bersumber dari mana. Oke. Seenggaknya Juno lebih layak mendapat nektar dengan harga setara seratus ginjal itu. Gratis."
"Can you guys stop arguing? Ini gue gimana? Gue harus ngapain?" gue kesal. Karena gerah sebab gue merasakan metabolisme yang aneh di badan gue, lantas gue membuka baju.
Rosie bersiul lagi. Matanya melebar. "Yum, roti sobex."
Diakui atau tidak, gue seolah memiliki badan yang benar-benar baru.
"Juno masih abege, Ros. Nggak usah ijo mata lo," Bahri senewen.
Rosie mengerjap. Lalu menatap kagum ke gue lagi. "Gimana anak itu nggak makin naksir sama bapaknya kalau tampangnya kayak gini," ujar Rosie yang seketika langsung dikoreksi, "Um, sori. Maksud gue, gue pernah ngasih nektar gue ke orang lain. Bukan lo."
"Maksud lo?" tanya gue.
Bahri memijit alisnya seperti kesal ke Rosie. "Oke, gue mau jelasin satu hal. Semoga lo nggak makin bingung," kata Bahri.
Namun sebelum dia menjelaskan, terdengar dari langit suara geraman dari sesuatu yang sepertinya SANGAT BESAR. Menggelegar. Mungkin kalau kehidupan ini adalah komik, maka suara itu akan tertulis "GRRAAAAAA!!"
Kami bertiga saling tatap. Lalu secara perlahan bahri berubah menjadi wujud aslinya yang aneh, begitu pun Rosie. Di saat yang sama sayap gue mengembang. Dan suara geraman yang lantang itu terdengar kembali.
"Sesuatu mengejar Lana sampai ke dimensi ini," kata Bahri yang sudah berwujud setengah unicorn itu. "Kalau lo masih mempertimbangkan untuk bergabung dengan pertempuran di masa depan, maka gue rasa lo nggak boleh menghindar dari pertempuran di zaman lo sendiri. Hanya ada dua opsi. Pertama, lo mau memberi perlawanan di zaman ini dan menyelematkan peradaban. Kedua, lo menghindar, dengan konsekuensi segalanya punah lebih cepat . Teman-teman lo, keluarga lo, dan ... bahkan Lana, menghilang."
Angin berembus kencang. Perlahan namun pasti angin yang menghampiri gue itu berubah menjadi sebentuk tornado kecil. Kalau tidak salah, itu tampak seperti tornado milik Dennias yang pernah gue lihat waktu itu. Dia berputar-putar di sekitar Rosie sampai kelopak-kelopak yang tersenggol akhirnya terbawa dalam pusaran itu. Di satu sisi tornado kelopak mawar itu tampak menggemaskan, di sisi lain gue juga takut karena tornado kecil itu memiliki muatan listrik. Dia meliuk-liuk di sekitar gue.
Gue tertegun. Suara geraman itu terdengar kembali. Angin lembut lain datang dan bermain-main di sekitar gue seolah menggoda tubuh baru Sang Pengadil. Sementara itu pertarungan ego yang sengit sedang terjadi di dalam diri gue. Gabung atau tidak?
***
_____________________
***
Aih, Juno makin kwereen wae. 🙌🏻
Terus itu yang menggeram ngeri banget apaan yak? 😵
***
Gimana nih, Juno gabung jangan?
Kalau gabung terus dia mati lebih cepet gimana dong? :(
***
Yang sambil dengerin musik pasti bisa melihat sensasi keren yang berubah pada Juno. 😌
Di akhir cerita saya akan ungkapkan kenapa saya selalu merekomendasikan musik dalam setiap babnya. Ini ada kaitannya sama Sinestesia yang saya punya.
***
Jadi sejak saat itu secara fisik Juno mendapat asupan nektar magis dari Rosie. Mungkin yang Lana lihat di masa depan sosok dengan sayap cahaya adalah Juno. Bisa jadi. Sekarang sayap Juno adalah cahaya putih. Tapi, aurora juga cahaya, kan? Who knows? Mari kita lihat kedepannya gimana.
***
Grup WA Juno 03 sudah ada. Link ada di bio Instagramnya Juno, ya guys.
Bye!
Sayang kalian banyak!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro