20 - Teman
Nungguin Kakanda update ya?
Maaf lama. Ada banyak hal yang harus saya selesaikan hari ini. Semoga kalian baik-baik saja di sana.
Tetap komentar ya. Bakal saya baca kok. Tapi besok setelah saya istirahat. Ngantuk banget. Tidur cuma 8 jam dalam kurun 48 jam terakhir. I need to sleep so bad.
Tadinya nggak akan update hari ini. Tapi ada ratusan DM yang-. Kurang pengertian. 😔
Nggak apa-apa. Yang penting kalian senang hari ini.
Saya harap bisa bikin kalian senang.
Play it while you read:
Billie Eilish - iloveyou
***
CHAPTER 20
[Estu Herjuno]
***
Ketika gue kolaps beberapa hari yang lalu. Lana memutuskan untuk pergi ke masa depan. Namun ancang-ancang yang dia buat untuk menghilangkan jejak di masa lalu adalah dengan menghapus ingatan orang satu Nuski tentang dirinya. Awalnya gue bingung. Apa mungkin Anugerah dibawa Lana ke zaman gue dan menyentuh setiap orang untuk menghapus ingatannya? Ternyata bukan. Ada satu taktik kombinasi yang dilakukan oleh Anugerah dan Dennias.
Lana berkata bahwa selain beririsan, kemampuan Sinestesian juga memungkinkan adanya penggabungan. Anugerah mungkin tidak bisa menyentuh semua orang, tapi dengan penggabungan energi antara dirinya dan Dennias itu sangat bisa terjadi. Mula-mula mereka berdua bergandengan tangan. Lalu Dennias menghadirkan angin yang sudah disentuh oleh Anugerah untuk diembuskan ke seluruh penjuru Nuski. Angin itu bersifat lokal dan membuat siapa saja yang terkena angin itu akan lupa.
Kenapa gue dan unicorn jadi-jadian itu bisa ingat? Ya karena pada saat itu gue ada di rumah sakit dan Bahri ada di Remember Me.
Bahkan di hari ketika akhirnya gue mendapati Lana kembali, satu Nuski pun masih belum ada yang ingat. Barulah di lusa harinya, entah dengan cara apa ingatan semua orang tentang Lana pulih. Lana pasti melakukan sesuatu di belakang gue untuk mengentaskan masalah ingatan ini.
Cuman, gue masih belum tahu bagaimana cara Lana bahkan benar-benar menghapus jejak tentang dirinya sendiri. Seperti hilangnya kontak dia di dalam ponsel dan tiba-tiba sudah ada lagi ketika dia kembali. Apakah mungkin ada Sinestesian lain yang ikut campur? Kalau pun ada, bisa jadi Sinestesian itu memiliki kemampuan untuk meretas data elektronik secara masif. Lana belum menceritakan semuanya. Atau bisa jadi dia masih punya rahasia besar yang nggak boleh gue tahu.
Gue termenung di kamar. Lalu apa yang terjadi kalau saat itu ingatan gue juga terlupakan? Atau, bagaimana jika Lana ingin pulang ke zamannya, lalu dia menghapus ingatan gue tentangnya, sehingga gue bahkan nggak bisa merasakan seolah kehilangan dia? Kenapa membayangkan itu saja gue sudah ngeri? Apakah Lana akan melakukan itu juga ke gue?
"Lo kenapa melamun?" malam ini Sid menginap di rumah gue lagi. Saudara Sid empat, cewek semua. Makanya dia nggak pernah betah di rumah.
"Hm? Tadi kamu bilang apa?" tanya gue sempat kurang jelas.
"Nggak, udah ketelen."
Gue lanjut termenung.
"Mikirn apa sih?" tanya Sid lagi.
"Sid. Pekan depan UAS, kan?"
Mata sid lirik ke kanan dan ke kiri. "Bisa nggak jangan bahas UAS? Itu lebih creepy dari pada apa pun."
"Serius gue nanya, pekan depan UAS, kan?"
"Iya."
"Anak pertukaran pelajar langsung pada pulang kan setelah itu?"
"Kayaknya. Kenapa?"
"Ya Lana bakal pulang juga, dong?"
"Kenapa?
"Kalau Lana pulang dia nggak di sini lagi."
"Kenapa?"
"Karena program pertukaran pelajarnya selesai."
"Kenapa?"
Susah ngobrol sama bintang laut.
Gue lalu mengabaikan Sid dan merangkak ke atas tempat tidur. Menarik selimut dan membuka ponsel. Mau telepon Lana, tapi takut ganggu atau semacamnya. Padahal tadi siang perasaan gue oke-oke saja. Malam ini nggak tahu kenapa gue kepikiran banget sama kemungkinan itu. Gue takut tiba-tiba Lana pergi dan menghapus ingatan gue sehingga segalanya seolah tak pernah terjadi sama sekali.
Mengantisipasi itu, gue lantas bangkit dari tempat tidur dan pergi ke meja belajar. Gue menurunkan satu rim kertas HVS di rak atas. Gue juga mengambil sekotak krayon. Entah kenapa gue kepikiran untuk menuliskan nama 'Nacita Kelana' dalam ukuran besar. Satu kertas satu nama. Seperti sedang diburu waktu, gue menuliskan nama itu pada kertas-kertas secara gugup.
"Jun?" Sid mendekati gue.
Setiap satu kertas yang tertulis gue jatuhkan ke lantai biar berserakan. Gue tulis dengan warna krayon yang berbeda-beda. Entah kenapa tangan gue gemetar dan perasaannya aneh. Firasat gue mengatakan bahwa cepat atau lambat itu tetap akan terjadi. Gue harus bisa membuat Lana bertahan di sini atau berjanji untuk tidak pernah bermain-main dengan ingatan gue. Gue bakal lakuin apa saja asalkan Lana bisa tinggal.
"Juno?"
Lebih dari lima puluh kertas tertulis kurang dari sepuluh menit. Dan gue masih belum mau berhenti meski mendadak dada gue berkeringat deras. Rasanya sesak sampai gue haris meraih in healer di meja untuk membantu pernapasan gue sesaat.
"Jun, lo masih waras kan?"
Tangan gue gemetar bukan main. Tremor sampai gue harus memeganginya sesaat.
"Sid, tempelin semua kertas ini di dinding kamar gue."
"Maksud lo?" Sid keheranan.
"Turutin aja!" gue berseru tanpa menatap Sid.
Sid terdiam sementara gue mau lanjut menuliskan nama Nacita Kelana lagi di kertas-kertas yang tersisa. Sampai akhirnya kertas yang berserakan sudah tidak terhitung, gue berhenti. Sid masih berdiri di sana selama beberapa menit tadi tanpa melakukan apa pun.
"Kenapa lo nggak tempelin, hah?" ucap gue dengan dada yang mendadak dipenuhi kesedihan yang mendalam.
"Gue nggak mau lakuin hal yang nggak masuk akal kayak gini. Jelasin dulu ke gue apa maksudnya? Apa faedahnya? Tiba-tiba lo seperti kerasukan dan menulis nama pacar lo di kertas sebanyak ini. Terus minta gue tempel semua kertas itu, tanpa penjelasan apa pun?"
"Gue jelasin nanti," ucap gue nyaris merintih. "Plis, turutin aja."
Karena Sidney nggak mau gerak juga, gue lantas masa bodoh padanya dan bergegas menempel satu per satu kertas itu sendirian.
Beberapa kertas terpasang di dinding. Gue tanpa bisa menahan diri mengalir begitu saja air matanya. Entah kenapa gue menangis di saat seharusnya gue nggak perlu. Juno dalam diri gue merasa seperti bukan Juno yang gue kenal. Gue merasa asing dengan diri gue sendiri sejak jadian sama Lana.
"Gue bantuin, tapi janji lo jelasin ke gue maksud dari semua kegilaan ini," kata Sid yang gue abaikan.
Setelah seratus lebih kertas tertempel di dinding. Gue dengan lunglai duduk menekuk lutut di atas lantai parket. Menatap semua kertas yang tertempel itu. Lalu termenung kembali.
Sid duduk di sebelah gue.
"Sid," gue berkata.
Dia tidak menjawab.
Setelah diam cukup lama gue lalu berkata, "Kalau gue meninggal, lo gimana?"
"Kok nanya gitu?"
"Sadar nggak selama ini temen deket yang gue punya cuma lo sama Kikan? Gue ngerasa ada yang berbeda dan rusak dengan diri gue sendiri. Gue semacam ponsel yang dimasuki chip yang salah."
Sid cuma terdiam sambil menatap gue aneh di samping.
"Lalu dia datang di kehidupan gue. Sejak saat itu kehidupan gue berubah total. Jungkir balik. Gue nggak pernah jatuh cinta, dan sekalinya jatuh cinta kehidupan gue, segalanya, seolah ikutan jatuh semua."
Air mata gue meleleh di depan Sid. "Sekarang lo lihat, gue bener-bener sekarat, Sid. Lo lihat sendiri seperti apa gue waktu lagi kolaps."
"Gue nggak ngerti sebab lo ngomongnya ke segala arah," kata Sid. "Tapi, Jun. Gue juga sama kayak lo. Nggak punya banyak temen. The one and only yang memperlakukan gue dengan rangkulan hangat cuma lo. Jadi pertanyaan yang lo ajukan ke gue tentang ... seandainya lo pergi, itu pertanyaan yang nggak akan pernah mudah untuk gue jawab." Sid jeda sesaat. "Tapi entah kenapa gue berfirasat lo bakal bisa hidup lebih lama dari apa yang bisa kamu bayangkan."
Gue menoleh ke Sidney.
"Tentang hati lo, gue nggak paham juga. Kan lo baru jadian sama Lana. Baru tiga hari yang lalu, kan? Kalian bertengkar?"
Gue menggeleng. "Gue malah merasa Lana udah yang paling tepat. Dan kita baik-baik aja."
"Terus untuk apa semua ini?" Sid menunjuk kertas-kertas di dinding.
"Anxiety gue terlalu dalam nyerangnya."
"Nggak cuma itu paling lah."
"Gue punya kecemasan yang mulai menyalak di dalam diri gue. Apa yang terjadi jika vaskulitis yang gue punya menyerang otak gue juga? Lalu gue lupa sama semuanya." Gue menjelaskan tentang kemungkinan terburuk dari tindakan Lana secara tidak langsung ke Sid.
"Lo kejauhan cemasnya. Pede aja kali, Jun," Sid berkata begitu dengan wajah cemas juga sebenarnya. "Inget nggak kalimat yang pernah lo bilang ke gue waktu gue down banget karena hamster gue nggak hamil-hamil padahal udah dibeliin pejantan?"
Kenapa yang dia ingat harus itu sih?
"Lo bilang. Biarkan waktu yang menjawab. Segalanya akan membaik di waktu yang tepat."
Kok aneh sih nggak sinkron.
"Gue kalau punya masalah itu pede aja tahu nggak. Be brave, fart as loud as your butt will allow."
Kebijaksanaan Sid sangat aneh.
Gue nggak jadi tengelam dalam sedih karena kebijaksanaan Sid yang nggak ada kaitannya sama sekali dengan permasalahan yang gue maksud.
"Lo gimana sama Sahnaz?" gue banting setir topik pembicaraan karena Sid nggak bakal bisa nyambung sama apa yang sedang gue hadapi. Dan seingat gue, sejak Sid ditolak sama Sahnaz, gue belum bener-bener ada buat dia.
Sid mendesah. Lalu dia berbaring di lantai. "Sahnaz sudah masuk ke recycle bin dalam kepala gue."
Ajib, bahasanya.
Gue lalu ikut berbaring. Sama-sama menatap langit-langit kamar. "Recycle bin masih bisa di restorasi."
"Sengaja," jawabnya. "Menurut lo gue layak punya cewek nggak, Jun? Atau, bakal ada nggak cewek yang suka sama gue?"
"Masa nggak layak?"
"Ya gue mikir aja."
Bisa mikir to.
"Gue seneng lo jadian sama Lana. Kalian cocok. Entah masalah apa yang sedang lo hadapi, gue cuma berharap lo bisa lebih bijak aja ngadepinnya. Jatuh cinta harus bener-bener tepat. Kalau bisa, jatuh cinta untuk satu kali dan selamanya. Biar nggak kayak bapak gue yang ninggalin Ibu pas masalah hidup lagi berat-beratnya."
Orang tua Sid bercerai dua tahun yang lalu.
"Bokap gue yang cerai, tapi malah gue yang punya ketakutan aneh. Gue takut semua cewek yang tahu pada beranggapan kalau Sid bakal sebangsat bokapnya."
"Lo bukan cowok bangsat, Sid. Lo lebih cool dari gue."
"Emang kan."
Nyebut.
"Hm."
"Gue nggak akan maksa Sahnaz untuk tetap tinggal. Kalau nyatanya dia mau pergi, dan bukan gue orang yang dia ajak pergi, ya udah. Gue pengin jatuh cinta dengan cara yang nyaman. Tapi kayaknya mustahil aja buat gue."
"Mungkin bukan sekarang."
Gue sama Sid terdiam cukup lama. Sesuatu sedang tak beres di dalam diri gue dan Sid.
"Mau lihat sesuatu yang keren nggak?" tanya gue.
"Apa?"
"Tapi jangan bilang siapa-siapa."
"Apaan?"
"Coba kamu fokus lihat ke langit-langit kamar."
Gue menarik napas dalam-dalam. Lalu mengangkat tangan ke atas. Gue membuka jendela dimensi paling tinggi yang bisa gue raih dan membiarkan Sid mengintipnya. Setelah penampakan galaksi terbentang jelas di kamar gue. Sid lalu menoleh terkejut ke arah gue. Sid berdiri dan melihat ke sekeliling.
"Jun?"
Gue hanya berbaring sambil menatap ke atas. Tidak peduli dengan Sid yang mulai terkagum-kagum heran.
Gue butuh teman untuk mengetahui semua beban yang gue punya. Dan kalau harus memilih dari semua orang yang gue kenal. Gue akan percaya pada Sidney.
"Is this okay?" tanya gue pada malaikat.
"Temanmu juga punya potensi. Hanya saja dia akan sulit untuk menyadari apa yang dia punya. Untuk membantunya berevolusi malaikat membutuhkan wadah berupa hati yang tulus dan akal yang cemerlang. Dia memiliki hati yang tulus, tapi akalnya tidak secemerlang itu."
Gue terkekeh dalam hati.
"Apa yang Sid punya?"
"Indera pendengarannya sangat peka. Dia tanpa sadar bisa mendengarkan sesuatu yang berkaitan dengan perasaan lawan bicaranya. Namun akalnya tidak sampai ke sana untuk memahami bahwa itu sesuatu yang spesial."
"Jadi dia tidak akan pernah berevolusi?"
"Aku belum melihat pertanda itu. Tapi hatinya luar biasa. Penuh cinta pada keluarganya. Dia sosok yang sangat setia padamu. Jangan lepaskan dia."
"Oke."
"Tak lama lagi dia akan mengalami kesedihan yang teramat besar. Kamu harus ada di sisinya."
"Apa?"
"Ingatkan dia untuk memperhatikan kesehatan adik keduanya."
***
thanks for dropping by.
***
Kalian punya temen baik yang selalu ada?
Sebutkan namanya, dan tuliskan rasa sayang serta terimakasihmu padanya. Meski dia tidak tahu, tapi akan jadi sangat spesial dan manis ketika kamu meceritakan tentangnya di sini, diam-diam, tanpa sepengetahuan dia.
Oke guys, saya mau tidur.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro