18 - Hak Untuk Merindukan
I'm back, I'am back, I'am back.
Yang baik nggak bakal lupa vote duluan sebelum baca. 💛
Peringatan. Bab ini akan membuat kamu merasakan emosi yang berubah-ubah. Dimulai dari terhibur, bahagia, mungkin baper, kalut, dan diakhiri dengan perasaan yang membingungkan apakah harus sedih atau bahagia.
***
Masih semangat untuk #GiveawayDay3? Karena pesertanya buanyaak kali, maka dari itu Kakanda memutuskan untuk menambahkan pemenang 1 lagi. Jadi ada tiga hadiah untuk tiga pemenang. Tapi ingat, cara GA-nya memang cukup sesederhana komentar. Jangan khawatir nggak dinilai karena saya baca semuanya. 😷
Kenapa persyaratannya nggak perlu follow ini itu? Ah, saya males ribet. Makanya disederhanakan saja biar kalian nggak ribet juga.
***
Selamat membaca.
_________________________
***
_________________________
CHAPTER 18
[Estu Herjuno]
Sid sudah terbangun dan perutnya dibebat perban sampai mengelilingi punggung. Beberapa menit yang lalu sambil berbaring dia selfie di bagian perut kemudian dia unggah foto itu ke Instagram dengan kapsyen, "GWS for me."
Nggak jadi kasihan gue.
"Lo serius gue tadi sempet kesurupan?" tanya Sid.
"Iya. Gue sampai kewalahan waktu lo aksi debus baret-baret perut pakai tusuk sate yang lo beli. Makanya gue buang," jawab gue yang sedang berdiri sambil nyender di meja. Tangan gue lipat di dada.
"Gila. Keren."
"Hm."
"Terus gue sadarnya gimana?"
"Tadinya mau gue kencingin, tapi sayang kencingnya. Gue panggilin Ustaz Tarjo di pangkalan ojek."
"Gue didoain?"
"Dikencingin Pak Tarjo."
"Ngarang!"
"Ya didoain lah."
Sid menggeleng-geleng. "Pantesan. Lo tahu nggak, sejak dari gue beli sate, pundak kayak berat banget gitu. Paham nggak?" Mengada-ada, sumpah.
"Hm. Mungkin dari sana." Gue memutar bola mata.
"Tapi ini keren banget loh perbannya. Ada noda merah bekas betadine sama darah. Aestetik cowok keren." Plis, Sid.
"Punggung lo sakit nggak? Karena tadi lo sempet ngambang sampai ke plafon dan jatuh keras-keras," ucap gue karena takut dia kenapa-kenapa.
"Asli?! Terus kenapa nggak lo rekam!"
"Ya mana sempet gue rekam lo! Gue aja panik. Yang bener aja deh. Gue tanya, lo punggungnya masih sakit nggak?" gue nahan diri untuk nggak meluap-luap.
"Hehe, nggak sih. Tapi perut gue perih. Tapi keren. Tapi perih."
"Nih," gue melempar satu permen karet ke Sid. "Makan. Nanti mendingan. Pak Tarjo nyembuhinnya nggak pake air doa. Tapi pake permen karet yang didoain."
"Pokoknya nanti gue kenalin ya sama Pak Tarjo." Terserah.
Gue nggak menyangka ternyata permen karet yang diberikan unicorn jadi-jadian itu bertuah. Pantas saja dia bilang kalau gue bisa sembuh kalau mau baik sama dia. Rupanya permen karet itulah penawarnya. Sid gue baringkan di atas tempat tidur pasca kejadian. Sementara itu Rosie gue minta pergi dan apa pun urusannya bisa dibicarakan lagi buat nanti. Intinya, gue pengin menjalani kehidupan yang jauh dari hal-hal yang berkenaan dengan kekacauan masa depan. Apa pun, gue belum ingin peduli.
Sayangnya, mantra yang ditiupkan Mas Bahri hanya bertahan selama 24 jam. Tadi ketika dia datang ke rumah menjemput Rosie bilang, kalau penyembuh yang abadi harus dibuatkan ramuannya. Akan tetapi ada satu bahan ramuan yang susah dicari, yaitu jamur truffle yang diambil langsung dari hutan. Tapi dia berjanji akan menemukan jamur itu kalau saja gue mau berurusan dengan para sinonim dan mengabulkan permintaan mereka.
***
Keesokan harinya gue harus pakai nasal kanula lagi karena mantra itu mulai melemah dan yang gue rasakan adalah sesak perlahan. Pada akhirnya kalau penyakit gue memang belum ada penawarnya, memang ide ramuan dari Mas Bahri bisa dipertimbangkan.
Gue sudah berkoordinasi sama Alan dan Naga soal konten ketiga yang akan dibuat dari ide gue. Call a crush. Kita sudah sempat diskusi di grup. Makanya pas istirahat pertama kita tinggal aksi. Naga sempat mempertanyakan kenapa gue harus pakai nasal kanula kalau cuma bisul sama sakit gigi. Tapi gue berusaha menghindari obrolan itu lebih lama. Tugas sudah dibagikan. Naga yang memegang kamera. Alan yang bertugas nyari target tapi dia juga bawa kamera. Sementara gue yang bakal jadi host-nya.
Yang kami incar adalah anak nuski dengan kriteria jomblo, punya gebetan, dan siap menerima tantangan dengan waktu bicara via telepon hanya dua menit.
Dan target pertama yang kami datangi adalah seorang cewek bernama Nura. Dia sedang duduk sendirian di taman belakang sekolah. Tangannya memegang ponsel ber-case merah jambu dan ditemani satu kap es kopi. Rambutnya keriting panjang dan tipikal cewek mandiri sepertinya.
"Hei," gue menyapa dia setelah mendekat.
"Hei. Juno, ya?"
"Iya. Um, boleh ganggu waktu lo bentar?"
"Sure. Sini duduk," dia welcome banget. "Kalian Gagragas, kan?"
"Iya, yang lagi viral," Alan yang jawab. Naga mula mengambil posisi.
"Um, jadi kita lagi random banget sih ini. Mau ngasih challenge seru aja ke anak Nuski," kata gue sebelum menjelaskan bagaimana aturan mainnya.
"Serius? Aduh, gue nggak yakin sih. Kok deg-degan gini sih." Nura tertawa menutupi mulutnya.
"Ayo, Nura. Kapan lagi coba kalau nggak sekarang?" Naga memprovokasi.
"Oke, oke. Um. Cuma dua menit kan?"
"Yep," gue lalu bergeser posisi dan berdiri di sebelah Naga. "Jangan lupa speaker-nya dinyalain."
Tak lama kemudian suara panggilan tersambung terdengar. Nura punya gebetan seorang mahasiswa UNJ bernama Dodi. Katanya udah deket sejak tiga bulan terakhir. Tantangannya adalah nembak atau ajak nge-date.
"Halo, Nura?" suara berat seorang cowok terdengar. "Tumben telepon jam segini. Nggak sekolah?"
"Hei, Kak. Um, ini lagi istirahat, sori ya kalau gue ganggu lo."
"Ini lagi siap-siap mau ke kampus kok."
"Oh. Jadi gini," Nura menjeda karena tertawa. "Ummmmmm. Duh gimana ya ngomongnya."
Di ujung panggilan terdengar suara kekeh sederhana. "Lo kenapa sih? Ngomong aja."
"Ummm. Jadi gini loh, Kak," pipi Nura memerah. "Gue tuh lagi mau quick question gitu ke lo. Dan waktu gue nggak banyak, cuma dua menitan."
"Iya, terus?"
"Tadi sempat kepikiran aja. Maksud gue ... kan ... gue sama lo udah deket gitu ya, Kak?"
Dodi hanya menjawab dengan hmm dan iya. Tapi dengan suara yang meyakinkan.
"Kita udah dua minggu lebih nggak sua. Lo ... malam ini ada acara nggak?"
"Malam ini?"
"Tapi kalau lo mau ngerjain tugas kuliah sih nggak apa-apa." Aih, cewek.
"Gue malam ini free."
"Oke. Good," Nura sekali lagi menahan tawa dan sipu. "Um, gue pengin ajak lo nge-date," cepet banget ngomongnya.
"Gimana?" jawab Dodi.
Nura menggigit bibir. "Nge-date."
"Kayak pacaran gitu?"
Mulut Nura terbuka lebar kaget. Gue, Alan, dan Naga juga nggak sadar ikutan senyum-senyum nonton Nura telepon. "Ummmmmmmm, ya. Kayak pacaran. Ih apaan sih, gue nggak jelas banget."
Sempat ada beberapa detik lengang tanpa jawaban. Namun kemudian. "Okay, I'm down. Pukul tujuh malam deh gue jemput lo. Kayak pacaran kan?"
"Serius?"
"Iya, serius."
"Ini kan kita baru kayak pacaran, ya?"
"U-hum."
"Kalau gue nanti ajak ... pacaran beneran ... menurut lo gimana?" Nura mengatakan itu sambil menutupi wajahnya dengan tangan.
Terdengar suara Dodi terkekeh. "Nggak masalah."
Nura mengatakan "What?" tanpa bersuara. Ekspresinya terkejut. "Ya udah deh. Um, ini gue makin ngaco aja. Nanti gue chat lagi, gimana? Waktu gue nggak banyak."
"Oke. Gue tunggu, ya?"
Saat panggilan selesai Alan heboh sorak-sorak. "Gilaaaaaa!! Lo keren!"
Nura terbahak-bahak. "Anjir, gue baru nembak cowok dong!"
Gue sama Naga saling menoleh dan tersenyum puas.
Lalu kami mencari target kedua dan kali ini seorang cowok bernama Farhan yang tadinya lagi jalan bawa bola terus dicegat sama Alan.
"Gebetan gue ada di situ tuh," Farhan menunjuk cewek yang lagi duduk sama temen-temennya di kursi dekat pohon.
"Lo berani nggak?" tantang gue.
Farhan terlihat sedang memikirkan. "Gimana ya."
"Tadi kita nantang cewek aja dia berani," kata Naga yang memprovokasi lagi.
"Oke deh."
Tak lama kemudian Farhan menelepon cewek itu. Kami juga merekam cewek itu dari jauh. Tapi setelah tiga kali telepon tetap tidak di angkat.
"Kenapa nggak diangkat ya. Padahal dia lagi pegang hp."
"Coba pake hp gue," Naga menawarkan. Coba tebak. Diangkat dong nomor baru!
"Halo?" jawab cewek itu.
Farhan menatap dari jauh dan belum mulai bersuara.
"Halo? Ini siapa sih?"
"Cepet ngomong!" bisik Alan. Tapi Farhan malah mematikan panggilannya. Lalu dia mengembuskan napas panjang.
"Mood dia lagi jelek. Lagian gue udah tahu kok apa jawabannya. Gue udah pernah nembak dia sebanyak empat kali. Jadi ... dari pada makin jauh, kita jadi temen aja cukup. Asal bisa deket aja. Thanks." Wajah Farhan sedikit lesu saat mengembalikan ponsel Naga.
"Tapi nanti ini boleh ditayangin? Atau perlu dipotong?" tanya gue.
"Tayangin aja."
Setelah Farhan pergi kami bertiga saling tatap dan nggak habis pikir.
Kami terjeda karena bel masuk berbunyi. Setidaknya setelah keliling kami berhasil dapat empat target. Nanti istirahat kedua bakal dilanjut. Tapi Naga menyarankan agar gue nggak perlu ikut karena dia agak khawatir sama keadaan gue. Dan Alan sudah mengajukan diri pengin ditantang buat telepon. Dia udah pesen supaya dia nongol di kamera dan seolah-olah lagi ditantang.
***
Tarik napas dulu, dan putar lagunya sambil baca. Dijamin mantul.
**
Kadang gue memang bisa lupa soal Lana. Berusaha nyari kesibukan apa saja biar bisa teralihkan. Tapi rasanya berbeda. Apalagi ketika belasan menit menjelang pelajaran berakhir menuju istirahat kedua. Angin lembut yang terasa aneh menghampiri Nuski secara menyeluruh. Seolah tidak ada satu sudut Nuski pun yang tidak terjamah. Dan pada saat itulah gue teralihkan fokusnya pada cincin gue yang menyala.
"Pengelana waktu kembali. Tabebuya menyaksikannya."
Langsung gue mengangkat tangan untuk izin meninggalkan kelas dengan alasan ke toilet. Lalu gue cepat-cepat melangkah pergi ke taman belakang di mana tabebuya itu berada.
Belum juga gue sampai di lokasi, langkah kami berpapasan di jalan setapak. Napas gue seolah hilang menyaksikan Lana hanya berjarak tiga langkah dari posisi gue berdiri. Ditambah mantra unicorn itu terasa semakin melemah karena fisik gue benar-benar kembali seperti semula sakitnya. Dia meniupkan mantra itu hanya untuk menenangkan gue yang panik. Sedangkan gue belum berani makan permen karet karena masih ragu. Meski pada akhirnya gue tahu permen itu beneran ada khasiatnya karena secara total luka di badan Sid berangsur sembuh dalam waktu kurang dari dua jam.
Yang bikin gue berasa remuk perasaannya ialah karena tampang Lana saat ini. Dia berpenampilan seperti cewek kabur-kaburan. Bajunya lusuh. Buku-buku jarinya berdarah seperti baru saja menghantam tembok atau semacamnya. Matanya memerah seperti baru menangis. Wajahnya pun pucat dan sedikit gemetar. Tanpa pikir panjang gue menggamit tangannya dan menuntun Lana menuju kursi dekat tabebuya. Sedikit mengendap-endap karena menghindari pantauan orang lain.
Tadinya kalau ketemu gue pengin marah dan protes. Tapi melihat dia yang seperti sedang ketakutan membuat gue nggak tega untuk meluap-luap. Sampai di kursi gue tanpa ragu mengelap air mata yang mengalir di pipi Lana. Tangan gue ikut gemetar.
"Kamu nggak harus jelasin apa pun karena aku udah tahu semuanya. Kenapa kamu nggak bilang-bilang kalau mau pergi?" tanya gue pelan. "Lan?"
Lana menggeleng masih terus menangis. "Dennias tertangkap." Lana terisak-isak. "Aku tadi dikejar sekitar sepuluh orang pakai helikopter. Aku diburu dari udara. Aku sembunyi terus nekat balik ke sini tanpa pikir panjang karena aku nggak ngerti harus gimana," Lana menangis hebat yang nggak pernah gue saksikan dari seorang cewek.
Gue memejamkan mata sebentar karena terkejut. Lalu mengelola napas untuk berbicara. "Kamu tenangin diri dulu, ya."
"Dennias tertahan di masa depan, Jun! 73 tahun dari sekarang. Aku udah bawa puluhan sinestesian dari berbagai zaman ke sana dan sekarang mereka semua tertahan nggak bisa balik karena aku dikejar lalu kabur ke zaman ini. Kecuali Anugerah karena dia nolak aku bawa ke masa depan."
Meski gue berusaha menolak untuk terlibat, tapi tetap perasaan gue hancur mendengar itu. "Jutaan manusia sudah dibantai. Sinestesian yang masih hidup tinggal yang kuat-kuat dan yang bisa berkamuflase."
Entah kenapa saat itu gue menarik Lana ke dalam pelukan secara perlahan. "Jangan kembali ke sana kecuali sama aku," ucap gue tiba-tiba tanpa kendali.
Dengan tenaga yang gue punya, gue lalu membentangkan sayap dan membawa Lana pergi dengan lesatan yang tak bisa diamati orang-orang. Lana memejamkan mata selagi gue membawanya pergi dalam dekapan. Lesatan perpindahan gue tak bisa dijangkau oleh titik fokus mata manusia biasa. Sayap yang gue miliki mampu berpindah melalui rambat udara tanpa perlu mengepak berkali-kali. Satu-satunya tempat yang secara acak gue singgahi adalah rooftop gedung Sahid Sudirman Centre. Pada ketinggian 225 meter gue menenangkan Lana. Hanya berdua. Angin di atas sini cukup kencang dan dingin.
Sekali lagi gue mengusap pipi Lana karena dia nggak berhenti menangis. Sisi bagusnya dia tidak menolak.
"Bang Igor gugur di sana juga," ungkap Lana dengan suara parau. "Dia nggak bisa kembali karena orangnya memang udah nggak ada. Kedatangan dia waktu itu sebenarnya sudah janjian sama aku. Bang Igor tinggal sendirian di Jakarta. Dia bohong sama kamu soal pekerjaannya, ayahnya meninggal di Kalimantan, dan Bang Igor sama sekali nggak berkeluarga. Bang Igor terpaksa berbohong karena dia nggak mau ngasih tahu kamu yang sebenarnya akan dia lakukan. Bang Igor ke sini cuma mau pamit sama Melati karena dia tahu ada risiko nggak bisa kembali." Lana mengakhiri kalimatnya dengan deraian air mata lagi.
Gue memejamkan mata merasakan sakit hati yang nggak bisa dibahasakan.
"Ini semua salah aku," kata Lana sedih. "Tapi aku nggak tahu harus bagaimana karena membawa sinestesian melintasi waktu sudah jadi kesepakatan. Ada pengelana waktu dari masa depan yang datang ke zamanku untuk meminta bantuan. Dan ini dibahas dalam konferensi rahasia kami. Keputusan akhirnya memang seperti itu. Jadi membawa sinestesian ke masa depan bukan kemauanku, tapi keputusan bersama untuk nolongin yang ada di masa depan. Sekarang kejadiannya semakin kacau. Beberapa yang masih di sana sedang kabur dan sembunyi dari kejaran orang-orang aneh. Dan satu-satunya pengelana waktu yang masih hidup cuma aku setelah itu."
Dan gue yakin mereka kehilangan strategi karena terpisah-pisah. Gue mencerna semua kalimat Lana dan menghubung-hubungkan dengan apa yang sudah gue ketahui. Butuh waktu nyaris setengah jam untuk menunggu Lana benar-benar tenang. Ketika dia tenang, gue menjelaskan semuanya yang gue tahu dari buku itu secara ringkas.
"Jadi kalau kalian sudah kekurangan tim, masih ada satu sumber kekuatan besar yang bisa menolong. Sinonim bisa bekerja sama dengan baik kalau kita meminta bantuan mereka. Dan aku yakin Mas Bahri dan Rosie bisa mempertemukan kita dengan Sinonim yang lebih banyak. Mereka mungkin pemalu. Tapi gue yakin mereka akan siap untuk bertarung juga," kata gue setelah panjang lebar menjelaskan. "Kamu nggak perlu heran kalau mereka tahu tentang sinestesian. Dan yang harus kamu tahu adalah, kekuatan kita jauh lebih kuat untuk menindas Antonim. Yang kita perlukan hanya strategi matang."
Bukan Lana namanya kalau dia tidak langsung mengerti.
"Sekarang waktu di masa depan sedang membeku karena kamu kembali ke sini. Kepergianmu sama saja dengan tombol pause untuk masa depan. Kamu adalah waktu yang sesungguhnya. Dalam perspektifmu kehidupan suatu zaman akan berjalan ketika kamu ada. Permintaanku sekarang, kamu jangan kembali ke zaman mana pun. Tetap di sini," kata gue.
"Tapi ini bukan zamanku."
"Lalu kamu pengin kembali ke zamanmu di mana semua orang akan menanyakan keberadaan Dennias?" pertanyaan gue membuat Lana terdiam. "Belum lagi sinestesian lain yang pasti sedang dicari-cari oleh keluarganya karena ternyata mereka sedang kalangkabut di masa depan sebagai buron?"
Kami berdiam diri cukup lama. "Kamu harapan besar, Jun," kata Lana.
Gue menggeleng, "Tapi aku tidak mau pergi ke sana karena detik ini peristiwa itu belum terjadi di zamanku."
"Jun, aku lihat kamu di masa depan! Dan itu mengerikan ketika semuanya sedang kacau lalu kamu masih tetap nggak melakukan apa pun."
"Kamu lihat aku di masa depan?"
Lana mengangguk.
"Aku nggak bisa," kata gue lagi.
"Kenapa?" tanya Lana putus asa.
"Karena kalau menuruti permintaanmu, aku yang akhirnya akan mati perlahan."
"Enggak! Kalau kamu nggak bisa mending aku yang pergi."
Gue tertegun. "Kamu bersikap seolah aku harus merasa bersalah ketika kehilangan kamu."
"Bukan gitu, Jun."
"Lan, dengar. Kalau kamu pergi, aku nggak punya hak untuk kehilangan. Kalau kamu lenyap, aku nggak punya hak untuk sekadar merasa kangen. Kamu mau bersedih seperti tadi, aku pun masih nggak punya hak untuk merasa perlu peduli."
"Lantas?"
Gue menatapnya lekat-lekat. "Maka beri aku hak itu," kata gue. "Aku tahu ini egois dan bukan pada konteksnya. Tapi, plis, beri aku hak itu."
"Maksud kamu apa?"
Gue bingung gimana bilangnya. "Aku pengin kita berdua menjadi dua manusia yang saling memiliki hak untuk kehilangan dan merindukan. Kamu bukan siapa-siapa aku. Aku bukan siapa-siapa kamu. Dan aku nggak bisa begitu saja mengorbankan sesuatu seharga nyawa untuk orang yang bukan siapa-siapa aku di saat nyawaku sendiri sedang terancam."
"Aku nggak ngerti kamu ngomong apa."
Gue mengerang dalam hati. "Aku pernah bilang ke kamu, suatu saat aku akan minta kamu untuk jadi milik aku. Dan sekarang aku sedang meminta."
Lana tertegun menatap gue.
"Aku tahu ini bukan waktu yang tepat. Aku tahu aku sedang terdengar bodoh dan aneh. Aku tahu mungkin di dalam pikiranmu aku nggak punya harapan karena untuk hidup saja aku masih harus disambung selang. Tapi, Lan, aku sudah jadi setengah mati waktu kamu mendadak pergi dan hilang dari ingatan semua orang kecuali ingatanku." Tanpa permisi satu aliran lolos dari mata gue. "Dan itu nggak adil ketika satu-satunya manusia yang harus merasa kehilangan kamu cuma aku di zaman ini. Lebih nggak adil lagi karena untuk sekadar merasa kehilangan, aku nggak punya hak."
"Jun, plis," Lana berkata dengan nada ingin menenangkan gue.
"Maaf, tapi aku bakal egois banget di sini."
"Kita nggak bisa."
"Kenapa?" gue sudah merasa hendak ditolak dan mulai gusar.
"Kita beda zaman," jawab Lana setelah diam cukup lama.
"Kurasa itu sebabnya Tuhan memberi kita kemampuan untuk bisa tetap bersua di zaman mana saja, Lan." Gue menatap Lana sedikit putus asa.
Gue lalu berdiri hendak membuat jarak. "Aku nggak bisa kalau harus kehilangan kamu lagi tanpa punya hak untuk merindukan."
Saat gue mulai melangkah, Lana mencegah dengan satu kalimat yang seketika membuat gue berhenti. "Aku mau jadi pacar kamu dengan syarat." Dia lalu menyusul berdiri.
Gue langsung menoleh ke belakang.
Lana ragu-ragu untuk bicara. "Syarat yang pertama, kamu harus sembuh." Suara Lana bergetar saat mengatakan itu. "Kedua, kamu harus berjuang untuk tetap hidup selama mungkin. Ketiga, kamu harus mau mempersiapkan diri untuk menyelamatkan masa depan. Keempat, jangan bikin diri kamu susah atau bersedih. Yang terakhir, jangan hilang."
Ketika Lana selesai mengatakan itu, gue merogoh satu butir permen karet bertuah terakhir dan efek mantra penyembuh membuat gue berani melepas selang di depan Lana. "Deal."
***
________________
***
Parah parah. Mereka jadian dong! 😷
Dan saya rasa ini salah satu momen jadian yang paling bikin saya merasa bingung harus seneng apa sedih.
Saya banyak tahan napas nulis bab ini.
***
Oke guys, saya ulas lagi biar paham.
Di bab ini Lana kembali dari masa depan yang kacau itu secara tak terencana sebab dia sedang dalam pengejaran. Itu sebabnya dia berpenampilan kacau. Sementara itu Dennias yang sempat dibawa ke sana tertangkap dan nggak tahu mau diapain sama pelakunya. Banyak Sinestesian yang gugur karena perlawanan itu.
Maksud dari Juno yang meminta hak adalah, ya karena dia sudah naksir sama Lana. Dia merasa nggak perlu berkorban nyawa untuk sesuatu yang belum jadi miliknya. Dia sedang sedikit posesif. Dia perlu Lana untuk jadi miliknya hanya agar dia merasa perlu berkorban lebih pada ketidakpastian selanjutnya. Pada titik ini Juno benar-benar merasa harus egois. Maklum lah ya dia kan masih baru dengan hal-hal magis makanya dia super protektif pada dirinya sendiri.
Lalu yang membuat Lana akhirnya mau jadian dengan syarat, karena dia sebenarnya sudah ada benih-benih suka juga. Bagaimana pun mereka bertemu dalam keadaan seumuran, kan? Dan ada banyak harapan yang bisa dia gantungkan kalau sampai bisa bikin Juno tenang. Karena kalau Juno tenang, yang diharapkan Lana Juno akan mau mempersiapkan diri untuk masa depan.
However, this is one of the saddest couple. 😷 Dan sengaja saya bikin momen jadian yang paling nggak mengenakkan. Hopefully there will a miracle for them to finish it.
***
FYI, di cerita Juno bakal fokus ke judulnya. Juno, Jangan Baper. So, kalau kalian berharap akan ada adegan agresi saya rasa itu agak kurang perlu di cerita Juno. Sebab itu bakal keluar jauh dari konteks judul dan outline saya.
Tapi jangan khawatir. Karena saya pastikan akan ada sekuelnya dan sinopsis kasarnya pun sudah saya buat. Semua agresi dan pertarungan yang bisa kalian bayangkan bakal ada di sekuelnya.
Fix You, Fix Me
Genrenya akan sama seperti Juno. Hanya saja akan diceritakan dari sudut pandang Dennias dan menjadi lebih kompleks dengan adegan-adegan petualangan fantasi dan bad romance. Akan ada banyak sosok Sinestesian, Sinonim, dan manivestasi Antonim.
Apakah Juno akan ada juga di sekuelnya? Umm, I'm not sure. Jawabannya cuma bisa kalian dapatkan kalau beli buku Juno. Sebab bakal ada ekstra part yang bisa meruntuhkan semua anggapan kita selama ini tentang tokoh-tokoh yang ada. Plis, nabung dari sekarang karena saya nggak mau disalahin kalau terpaksa harus membuat ending yang nggantung parah. 😂 Karena bikin cerita yang nggantung penuh kesakitan adalah keahlian jari-jari saya.
****
Oke, dah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro