Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16 - Buku Kunci

Heran deh yang mau GA banyak banget. Guys, hanya ada dua pemenang. Pertama dapat buku Juno, kedua dapat buku The Critical Melody (novel teenlit setebal 550 halaman) karya saya. Jadi, siap-siap adu sikut aja.

Aturannya sederhana. Dan nggak ribet harus follow ini itu.

1. Komentar 'Aku Ikut' sebagai tanda keikutsertaan kamu dalam kontestasi Giveaway ini. Dan supaya saya mengenali akun peserta yang berkomentar. Komentar 'Aku Ikut' di sini.

Btw, saya selalu baca tiap komentar kalian tanpa terlewatkan loh. Dan saya cukup jeli.

2. Jadi pembaca yang aktif berkomentar di setiap unggahan Juno sejak bab 16 sampai tamat. Juga di akhir cerita akan diminta ulasan/review/testimoni tentang cerita Juno, jadi siapkan ulasan termantap ya.

3. Komentarnya yang bagaimana? Tidak harus selalu komentar positif. Koreksi typo saja bagi saya itu berarti banget. Yang jelas bakal ada faktor x dari komentar kamu yang bakal bikin saya tertarik untuk memenangkan kamu.

Jangan khawatir, biasanya yang menang nambah satu karena saya suka iba. Hehehe. Pengumuman di akhir part. 🙂

Dah gitu aja. GA dari saya nggak ribet. Selamat membaca.

PS: Saya memang udah niat mau ngadain GA setelah Juno udah chapter belasan. Karena kalau GA di awal saya masih belum pede dengan cerita Juno. Sekarang sudah pede. Hehe

___________________________

***
CHAPTER 16

[Estu Herjuno]

"Setiap kelahiran pasti diberi pendampingan yang disediakan oleh Tuhan. Saat lo lahir, lo nggak serta merta lahir sebagai makhluk tunggal yang cuma berkawan dengan manusia sedarah lo. Tapi, ada hal-hal yang bersifat tak kasat mata juga menyertainya. Malaikat dan sosok Jin Qorin," Mas Bahri menjelaskan. Gue bahkan nggak boleh menyentuh buku itu. Dan Mas Bahri nggak membuka buku itu sama sekali. Atau belum. "Malaikat mungkin akan mendorong lo untuk selalu melakukan hal-hal baik. Tapi yang satunya lagi, Qorin, dia akan menjadi tergantung siapa lo. Apakah dia akan berperan sebagai Sinonim atau Antonim."

"Sinonim dan Antonim?"

"Yep," Mas Bahri mengangguk. "Sosok itu akan menjadi baik apabila lo terus-terusan berbuat baik sampai membuatnya terbiasa. Sebaliknya kalau lo sering melakukan keburukan, dia juga akan menjadi cerminan buruk lo."

"Oke, gue paham. Terus?"

"Nah, Sinestesia yang berevolusi adalah sebuah energi yang terlahir dari kekuatan semesta dan diwariskan kepada beberapa manusia. Dan karena sinestesia terlahir, maka dia juga memiliki Sinonim dan Antonim. Yang mana wujudnya berupa dua energi yang sifatnya menyamai kekuatan sinestesia atau justru berlawanan. Namun, sinestesia hanya akan berevolusi bagi orang-orang yang berakal jenius dan berhati baik. Malaikat adalah sinonim dari kebaikan sinestesian. Makanya-."

"Ada Antonim yang sifatnya jahat?" gue menebak.

Mas Bahri mematut-matutkan telunjuknya. "Jadi di luar sana setiap energi jahat yang terlahir bersama sinestesia juga jatuh dan menyebar di bumi ini. Hanya saja mereka tak kasat mata. Sifatnya seperti iblis yang memberi pengaruh kepada manusia untuk berbuat kejahatan. Dan sayangnya, Antonim ini menempel pada sembarang manusia, terutama mereka yang punya tabiat buruk. Ada yang menempel kepada manusia sejenis ... koruptor? Pembunuh berantai? Pemimpin negara yang bengis, pencipta senjata mematikan, atau hal-hal tak manusiawi lainnya? Dan dari sebuah redaksi yang pernah gue baca, di masa depan manusia akan meniru cara Tuhan mengatur alam. Senjata perekayasa bencana. Dan siapa lagi yang meniupkan ide itu ke dalam kepala-kepala manusia kalau bukan Antonim?"

Entah kenapa informasi itu mirip seperti yang dikatakan oleh Lana dan gue mulai paham.

"Garis besarnya gue ngerti apa itu Sinonim dan Antonim. Pertanyaan lain, kenapa istilahnya harus Sinonim dan Antonim?"

"Buku ini yang menjelaskan tentang itu," Mas Bahri tertawa kemudian, "Aneh, huh? Tapi gue rasa itu cuma istilah penyederhanaan saja."

"Oke, pertanyaan gue berikutnya mungkin akan penuh dengan kenapa, Mas. Dan gue punya banyak pertanyaan kenapa."

"Just ask."

Gue menggigit bibir bawah sejenak, "Kenapa kemunculan Sinestesian seperti gue adalah pertanda buruk?"

Mas Bahri tersenyum. Lalu dia meminta gue untuk mengulurkan tangan ke arahnya.

"Tunggu sebentar."

Gue lumayan terkejut ketika Mas Bahri ternyata selama ini memakai lensa yang mirip dengan iris mata manusia normal pada umumnya. Dia sedang mengakali lensa itu, dan setelah terlepas Mas Bahri benar-benar berbeda. Matanya memiliki iris seperti warna pelangi.

Lalu dia menyentuh telapak tangan gue dan mulutnya komat-kamit merapalkan sesuatu.

"Tutup mata lo sebentar," pintanya. Gue menuruti ragu-ragu. "Udah," katanya kemudian.

Dan saat gue membuka mata, rasanya gue mau pingsan. Mas Bahri berubah menjadi ... aneh. Kulitnya terlihat lebih putih seperti bule dengan bulu-bulu tangan halus yang putih juga. Rambutnya tak luput. Dan yang paling aneh, dia bertanduk di dahi seperti seekor unicorn. Meski itu harusnya menyeramkan, tapi penampilan Mas Bahri justru ... aestetik dan gue merasakan hal-hal positif.

Lalu dia mulai berbicara dengan gerakan kepala seperti bukan manusia pada umumnya. Sedikit tremor dan gugup. Tapi gue rasa itu bukan gugup, hanya sikap aslinya.

"Gue masih orang yang sama, tapi dengan wujud yang sebenarnya."

Gue kehabisan kata-kata.

"Jangan takut, Jun."

Napas gue mendesak gugup dan perlahan gue merasa ini sudah tidak wajar. Gue berdiri dari sana dan langsung bergegas menuju pintu. Serius, gue ngeri.

"Juno!" Makhluk itu memanggil gue cemas. Segera dia berhasil menyusul gue. Badannya masih bertingkah seperti binatang yang ketakutan. Suara bicaranya juga aneh terdengar seperti percampuran antara suara manusia dengan aksen setengah kuda.

"Juno, Bahri spesies yang baik. Jangan hukum Bahri, Juno," dia memohon-mohon. "Seribu tahun lebih Bahri terjebak di dimensi Juno dan ... Juno, jangan hukum .... Juno, jangan hukum ... Bahri baik," kata dia gemetar dan mengangguk-angguk. Dia juga memainkan jari-jarinya.

Paru-paru gue terasa sesak untuk bernapas karena detak jantung gue memompa lebih cepat. Bahkan gue nyaris tidak bisa mengambil napas sama sekali. Gue mengambil satu langkah mundur. Sampai akhirnya sosok di depan gue ini merapalkan sesuatu seperti mantra lagi, dan meniupkannya ke wajah gue. Lalu secara magis napas gue seketika normal dan perlahan tenang. Bahkan, gue terasa seperti sembuh. Benar-benar seperti sembuh.

"Juno, Bahri baik," dia mengangguk cepat dan berkali-kali. "Bahri baik. Bahri baik. Tidak jahat, Juno. Bahri baik. Juno akan sembuh karena Bahri baik." Dia mengangguk-angguk aneh. Lalu mundur. Tingkahnya seperti autisme. "Bahri punya mantra-mantra." Dia tidak berhenti mengangguk. "Bahri baik."

Gue berusaha mengendalikan diri setelah itu. "O-keh, tenang," ucap gue tak yakin.

Lalu sosok yang menamai dirinya Bahri ini menggeleng-nggeleng seperti anak kecil yang bersalah. "Bahri baik," ucapnya lagi tanpa berani menatap gue. Telunjuk tangannya mematut-matut seperti ingat sesuatu. Dia pergi ke meja mengambil buku besar tadi untuk diberikan ke gue. Lalu jarinya mematut-matut lagi. Dia masuk ke dalam dengan gugup untuk mengambil sesuatu di meja pelayananan. Yang diambil olehnya adalah dua butir permen karet. "Bahri baik," ujarnya saat memberikan permen itu ke gue.

Setelah gue menerima pemberiannya, kemudian dia berubah kembali menjadi sosok Mas Bahri yang semula meski iris matanya tetap pelangi. Keringat bercucuran di wajahnya. Lalu, "Jangan bilang siapa-siapa," ujarnya dengan suara normal. Pintu lantas dibuka agar gue pulang.

***

"Dari sekian banyak senior cowok di Nuski kenapa sih seolah hanya gue yang jadi most wanted-nya junior kelas sepuluh?" kata Sidney setelah lapor Instagramnya baru di-follow tiga cewek kelas sepuluh. "Derita banget jadi cowok memesona."

Gue duduk termenung di sofa panjang dekat jendela. Pada akhirnya Sidney tetep nemplok ke gue meski gue sekarang tinggal di rumah sendiri. Gue nggak tahu selama ini Sid punya teman akrab selain gue atau tidak. Tapi yang jelas, satu-satunya manusia yang bisa tahan menghadapi Sid yang 'Terlalu Bersemangat' dan mau berteman dengannya adalah gue.

"Plis, God! Ada yang follow lagi. Hari ini nambah empat," ujarnya. Padahal follower Sid cuma dua ribu. Jauh kalau dibandingkan sama gue yang sudah bisa usap tautan ke atas di Instastory-nya.

Gue nggak tahu dosis percaya diri Sid sebanyak apa. Niatnya gue mau baca buku aneh itu kalau Sid nggak datang. Tapi kayaknya gue juga butuh energi pecicilannya Sid agar gue membaik, mungkin.

"Jun, gue perlu unggah foto yang candid nggak biar followers gue suka. Atau foto buka baju pas kita di pantai dan-."

"Nggak usah!" bentak gue. "Lo dikasih makan apa sih di rumah? Pelet ikan cupang? Gini-gini amat jadi manusia."

"Oke, oke! Tapi nanti gue pansos dikit ya di Instastory lo."

"Gimana?" Gue nggak ngerti.

"Iya, lo unggah foto gue, terus tag akun gue dengan kapsyen 'With my best friend'. Oh, bukan, bukan. Tapi with Nuskian most wanted guy."

"Sid, Instagram gue bukan tempat promosi kambing." Gue beranjak dari posisi duduk untuk mengambil remot. Lalu menyalakan tv, "Kadang gue curiga yang bikin gue penyakitan itu sebenarnya keberadaan lo di sekitar gue."

"Tuh kan, sial, ada yang follow lagi," ujarnya mengabaikan omongan gue.

Gue berbaring di tempat tidur sambil nonton tv. Ponsel gue sudah di tangan Sid dan dia beneran mau bikin Instastory.

"Omong-omong, kenapa lo nggak pake nasal kanula lagi? Katanya harus pakai lama," ujar Sidney masih berurusan dengan ponsel gue.

Gue tidak menjawab karena Sid nggak akan menghiraukan. Tapi gue jadi teringat pada Mas Bahri dan wujud lainnya. Dia makhluk apa sebenarnya?

"Nih, ada WhatsApp dari Naga. Gue udah bikin story di IG lo. Awas kalau dihapus, tunggu sampai 24 jam," Sid menyerahkan ponsel gue.

Naga:
- Jun, kata Alan lo bisulan sama sakit gigi? Sori gue nggak tahu. Get well soon!

Alan kurang ajar. Iya sih, itu masih jaga rahasia. Tapi nggak bisulan sama sakit gigi juga, dong!

Gue:
- Udah sembuh, Nag. All is well.

Naga:
- Okelah. Seneng dengernya.

Selagi Sid goleran sambil main Instagram, gue diam-diam pergi bersama buku itu ke perpustakaan pribadi orang tua gue. Di sana sepi dan tenang. Gue duduk di meja milik Papa dan buku itu gue letakkan di meja.

Saat gue membuka sampulnya, di sana hanya ada halaman kosong. Sampai kemudian ketika gue mengusap halaman kosong itu, perlahan muncul sebuah tulisan 'Cara membaca buku ini adalah dengan mengajukan pertanyaan.'

Gue membasahi bibir karena gugup. Ada banyak pertanyaan di dalam kepala gue yang berseliweran. Namun satu pertanyaan yang justru gue ucapkan adalah, "Siapa Nacita Kelana sebenarnya?"

Tulisan di halaman tadi lantas memudar. Tak lama kemudian secara dramatis susunan aksara timbul dengan jenis font yang sangat klasik. Tulisan itu tersurat, Nacita KelanaGadis Sepanjang Zaman.

Dan gue siap membalik halamannya.

Nacita Kelana adalah gadis yang hidup di zaman 23 tahun dari saat buku ini terbuka di tanganmu. Pengelana waktu yang celaka. Lahir dari pasangan ...

"Jun, lo di sini ternyata," Sid tiba-tiba muncul dari balik pintu. Gue cepat-cepat menutup buku itu.

"Kenapa lagi sih lo?" tanya gue kesal.

"Nggak, gue mau beli makanan di depan. Lo nitip nggak?"

Gue mendengkus. "Nggak."

"Serius?"

"Iya serius."

"Beneran."

"Lo aja sana. Gue kenyang."

"Ya udah. Tapi lo boleh minta makanan gue nanti. Komisi karena follower gue nambah."

"Terserah. Udah sana lo pergi."

"Dih," Sid menyipitkan mata.

"Baca buku yang bukan-bukan gue bilangin ke orang tua lo nanti."

"Udah sana!" gue membentak.

"Iya!" dia pergi.

Setelah Sid menutup pintu, gue lalu membuka buku itu kembali. Dan tulisan 'Cara membaca buku ini adalah dengan mengajukan pertanyaan.' muncul lagi. Namun ketika gue mengajukan pertanyaan yang sama, jawaban yang muncul adalah 'Tidak ada jawaban untuk pertanyaan yang sama'.

Gue sontak menggebrak meja.

Sid!

***
Duh, hampir saja.

Ada yang mau nitip tampil buat Sid?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro