Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15 - Sang Pengadil

Eh, Juno udah 100K reads. Effortless 💥

Jadi pengin giveaway iPong 11 Pero deh kalau punya duit banyak.

Dan makasih sudah pada ramein bab 14 kemarin. Mainkan lagi ah komentarnya 😄✌🏻

***

Nemu typo lapor lagi aja. Saya nggak marah kok. Biar nggak capek-capek sweeping sayanya. ❄️
__________________________

CHAPTER 15

[Estu Herjuno]

"Coba kalau tahu lo lagi sakit gini. Pasti gue nggak bakal ngontak lo terus," kata Alan dengan wajah bingung. Untuk pertama kalinya sejak kami kenal, baru kali ini gue melihat wajah Alan yang penuh empati. Dia menunjukkan sedikit rasa bersalah. Terlebih setelah tadi Kikan bentak Alan dan bilang kalau gue mulai parah sejak tercebur di kolam.

Alan menghampiri gue ke kelas ketika jam pulang. Naga sedang absen makanya Alan datang sendirian, dan akhirnya kami ngobrol cuma berdua.

"Jun, gue-," dia menjeda ragu. Catat, akhirnya Alan memanggil gue 'Jun' bukan 'Jon'. "Nggak tahu lo kayak gini asli."

"Memang nggak harus tahu juga," kata gue.

"Harus tahu lah. Kita kan satu tim."

"Sekarang lo baru bilang kalau kita ini tim? Lo tahu nggak apa yang membuat gue akhirnya kecewa?"

Alan terdiam.

"Kepercayaan dari gue yang disepelekan sama kalian," gue melanjutkan. "Kalian berdua itu egois. Padahal gue ngasih syarat buat gabung itu nggak bercanda." Gue mau terus terang aja.

"Tapi kalau sejak awal lo bilang punya sakit semacam itu mungkin gue sama Naga bakal bisa lebih terkendali."

"Nggak semua orang nyaman menceritakan kesakitannya, Lan," ujar gue tanpa basa-basi lagi, "Mungkin kalau cuma pilek atau demam nggak masalah. Tapi lo sekarang lihat sendiri. Gue napas dan pergi ke mana-mana aja harus ditopang alat ginian."

"Maaf, Jun," kata Alan serius. "Soal yang dikatakan Kikan tadi, gue juga minta maaf. Karena lo mulai kambuh sejak kecebur itu."

Gue tidak cepat-cepat merespons.

"Jujur pas pagi gue terkejut dengan penampilan lo. Di kelas gue kepikiran banget. Makanya langsung datangin lo sekarang."

Setelah gue diam cukup lama, akhirnya sikap sejati gue mengambil alih. Alan yang ada di depan gue saat ini berbeda. Gue melihat wajahnya sedang sangat bersalah dan kebingungan. Bahkan ada secercah sedih dan gurat beban di dahinya. Gue menduga kalau Alan sedang punya pikiran lain. Entah kenapa yang biasanya gue kesel banget setiap lihat Alan, sekarang beda.

"Gue tipikal orang yang bisa memaafkan seseorang tanpa harus orang itu meminta maaf," kata gue yang seketika membuat Alan mendongak. "Nggak sepenuhnya ini karena gue tercebur. Gue punya vaskulitis yang bisa melemahkan tubuh. Gue nggak boleh terlalu kecapekan. Sejak tercebur gue cuma mulai muncul gejala aja. Beda ketika gue tumbang, hari itu gue kelelahan banget."

"Terus lo memang harus pakai nasal kanula terus?"

"Paru-paru gue kesusahan untuk menyerap banyak oksigen. Ini memang belum parah banget. Tapi dari keadaan yang sekarang, paru-paru gue akan terus rusak entah sampai kapan. Nggak bisa disembuhin. Upaya gue cuma perawatan dengan obat-obatan mahal."

Alan terkesiap.

"Dan gue juga punya vaskulitis."

"Oke, gue nggak ngerti lo ngomongin apa. Otak gue nggak nyampe. Tapi yang jelas gue percaya itu penyakit yang serem. Sori, maksud gue, gue bisa paham," Alan sedikit terbata-bata.

Gue mengangguk. "Sebenarnya gue belum boleh berangkat sekolah untuk saat-saat sekarang. Tapi gue berasa nggak punya kehidupan kalau di rumah terus."

"Sekarang lo ngomong aja lirih banget."

"Lo lihat sendiri."

Kami diam sesaat. "Oke, Jun. Gue nggak bisa maksain lo untuk tetap ada di tim sekarang. Keadaannya udah kayak gini, kan."

Untuk sepersekian detik gue mengerti apa yang Alan pikirkan. "Sebenernya gue nggak perlu hengkang dari tim juga."

"Maksud lo?"

"Asalkan, kalau gue buat syarat lagi, kalian harus penuhi."

Alan menunggu gue meneruskan.

"Pertama, masih tetap tiga syarat yang awal. Kedua, konten ketiga gue pengin kita buat yang sederhana tapi luar biasa. Gue ada ide. Ketiga, ini gue udah cerita banyak ke lo, dan gue pengin lo jangan bilang-bilang ke Naga juga."

"Kok nggak boleh bilang ke Naga kalau lo sakit parah gini?"

"Naga orang yang pengin bikin channel, kan? Dia yang pertama kali ajak lo sebelum gue. Gue nggak mau dia jadi kendor juga. Kan lo tahu sendiri kalau dia orangnya gampang dipengaruhi."

"Dia emang songong."

"Gue nggak bilang gitu." Mata gue menyipit. "Lo cukup bilang ke dia kalau gue sakit. Jangan dikasih tahu detailnya. Gue nggak pengin banyak orang yang tahu betapa sekaratnya gue sekarang."

Alan lalu mengangguk dan mengembuskan napas panjang. Kemudian tiba-tiba dia mengulurkan tangan. "Gue pengin salaman sama lo," katanya.

"Ngapain salaman?"

"Gue ngerasa selama ini kita berseberangan. Anggap aja salaman ini jadi jembatan penyeberangannya."

Waw. Anak ini otaknya bisa bener juga.

"Lo nggak takut ketularan gue?" bohong. Penyakit gue nggak menular.

Seketika wajah Alan kikuk. Tangannya ragu mau mundur. Tapi langsung gue salami balik. Matanya melebar.

"Lo tadi baru menularkan penyakit ke gue?" tanya Alan bego.

Gue mengangguk. "Kalau besok lo butuh selang. Gue punya banyak di rumah. Ambil aja. Biar gue pas mati ada temennya."

Gue berdiri dari kursi mau keluar.

"Jono! Ini beneran?" Jono lagi. Tapi kali ini gue bisa terima dengan panggilan itu

Gue nggak jawab. Terus jalan sambil menahan tawa.

Alan masih tertegun di kursi dengan tangan terulur. Matanya melebar dan mulutnya melongo. Sebelum sampai pintu gue berhenti dan menoleh ke Alan. "Konten ketiga gue ambil alih. Ini nggak akan bikin capek."

"Aigoo, jinja," ucap Alan entah apa maksudnya. "Konten ketiga apaan?"

Gue tersenyum. "Call A Crush. Gue bakal nantangin anak-anak Nuski telepon gebetannya untuk diajak nge-date atau jadian kalau berani."

Muka bego Alan perlahan kembali bersemangat.

"ITU COOOOL MAN!" serunya sambil menggebrak meja. Dia lalu berlari mendekati gue sambil merentangkan tangannya.

Gue mundur. "Lo mau ngapain?"

"Mau peluk lo." Alan berhenti.

Gue memutar bola mata. "Nggak perlu. Nanti gue kabari gimana mekanismenya. Besok kita bisa langsung bikin konten. Gue nggak keberatan kalau besok yang jadi host gue. Naga bisa pegang kamera, dan lo tugasnya cari anak buat gue tantang. Ini sederhana, seru, dan lebih nggak mengada-ada."

"Keysip."

"Ingat, Naga jangan sampai tahu soal gue. Ini rahasia gue sama lo."

Alan mengangkat bahu. Gue nggak yakin dia bisa jaga rahasia.

***

"Mau langsung pulang, Mas?" tanya Pak Tomi saat gue sudah di dalam mobil. Suster Vina sedang membersihkan selang gue dan hendak menggantinya. Gue juga disuntik di sana. Di dalam mobil berhenti. Malam nanti gue harus ke rumah sakit lagi untuk check up. Kalau itu bakal sama Papa. Mau jam berapa pun ke rumah sakit nggak ada dokter yang bakal nolak kalau gue yang datang.

"Ke Remember Me, Pak." Gue lama nggak ke sana. Dan ingin memastikan sesuatu.

Sampai di Remember Me gue langsung masuk saja. Mas Bahri terkejut melihat penampilan gue. Dia yang sedang mencatat sesuatu di meja pelayanan langsung beranjak menghampiri gue.

"Lo kenapa, bro?" tanya Mas Bahri memegangi kedua pundak gue dari depan dan mengamati wajah gue sebentar.

"Ini starter pack orang keren zaman sekarang," jawab gue cengengesan.

Alis Mas Bahri menyudut. Lalu mengajak gue duduk di sofa. "Suara kamu juga kayak mau ilang."

"Serak-serak keren gimana gitu, ya?"

"Serius itu sakit apaan?"

"Dibilang ini cuma fashion."

"He!"

"Nggak kenapa-kenapa. Oh iya, gue ke sini mau nanya sesuatu. Akhir-akhir ini lihat Lana ke sini nggak?"

Mas Bahri menyandarkan punggung ke kursi. Lalu mendesah. "Dari kemarin-kemarin toko sepi pengunjung. Nggak lo, nggak Lana, sama-sama nggak nongol."

Gue langsung terhenyak. Ada apa ini? Kok Mas Bahri ingat Lana?

"Oh," jawab gue singkat. Langsung mengamati jari tangan Mas Bahri. Tapi nggak ada cincinnya. Tatapan gue juga menyisir beberapa bagian tubuh Mas Bahri. Nggak ada tato yang terlihat. Tapi tato gue juga di dalam, kan?

Gue mencurigai sesuatu. Apa mungkin Mas Bahri sinestesian juga? Kenapa dia bisa ingat Lana? Ada kemungkinan iya. Karena setahu gue dia mempunyai daya analisa yang luar biasa dengan barang-barang antik. Dia bahkan secara ajaib bisa tahu berapa umur benda-benda yang dipegangnya. Dan gue sering terheran-heran ketika Mas Bahri bisa menceritakan kisah apa saja di balik setiap barang antik yang dia pegang. Meski Mas Bahri selalu bilang kalau dia diceritakan oleh pemilik barang sebelumnya. Ini gue baru ngeh. Tapi masa iya?

Gue sedikit berdebar. "Mas," ucap gue.

"Iya?"

"Familiar nggak sama benda ini?" gue menunjukkan cincin yang melingkar di jari gue.

"Cincin itu?" tanya Mas Bahri. Gue lalu mengulurkan tangan agar dia bisa melihatnya lebih jelas. Tapi begitu dia menyentuh cincin itu, seketika Mas Bahri mundur. Dia menatap gue dengan tanda tanya di wajahnya. "Kamu dapat dari mana?"

Gue terkesiap.

"Jawab dulu, familiar nggak?" ujar gue sekali lagi.

Mas Bahri tertegun. Kemudian tanpa gue duga Mas Bahri berdiri dan memberitahu tiga pengunjung toko yang sedang melihat-lihat untuk segera pergi karena toko hendak ditutup mendadak. Setelah belasan menit menunggu, akhirnya toko steril dari pengunjung. Mas Bahri bahkan mengunci pintu Remember Me sebelum kemudian kembali menghampiri gue.

"Sejak kapan lo punya cincin itu?" tanya Mas Bahri pelan. Gue yakin dia mengerti sesuatu. Dan kalau iya, satu-satunya orang yang akan gue percayai sepenuhnya adalah Mas Bahri. I know him pretty well.

"Sekitar dua pekan yang lalu."

Mas Bahri menatap gue dengan bibir mengatup. Seperti ragu-ragu.

"Tato lo di mana?"

Oke, gue nggak perlu ragu lagi kalau dia tahu sesuatu.

Gue lantas membuka kancing seragam. Mas Bahri membelesak di kursi begitu melihat tato gue. Napasnya menjadi tak teratur.

"Gue nggak tahu harus bilang apa, Jun," ucapnya.

Gue malah jadi takut melihat ekspresi wajah Mas Bahri yang mendadak ketar-ketir.

"Bukan bermaksud menakut-nakuti, tapi kemunculan sinestesian dengan lambang tato seperti itu adalah pertanda buruk untuk masa depan. Seperti, masa-masa itu akan tiba."

"Pertanda apa?" tanya gue penasaran sekaligus takut.

Mas Bahri menatap gue lebih dalam. "Semacam konflik besar antar dimensi," jawabnya dengan suara rendah. Wajahnya cemas. "Dan seharusnya kamu nggak boleh sakit seperti ini. Karena kamu punya simbol sayap Pengadil itu," tambahnya. "Konon namanya The Wings of Justice."

Gue semakin terkesiap. Informasi itu menekan rongga dada gue.

"Tunggu sebentar." Mas Bahri pamit masuk ke dalam. Meninggalkan gue yang terhenyak di sofa dengan pikiran yang semakin kalut. Lalu dia kembali dengan sebuah buku besar yang dijilid kuat. Sampulnya kaku seperti terbuat dari kulit kayu dan berukir aneh.

"Gue bukan sinestesian. Tapi gue tahu banyak," kata Mas Bahri. "Kamu harus benar-benar siap kalau mau tahu kausal-kausal yang mestinya kamu pahami."

***

Maksud dari Bab ini:

1. Kemunculan Sinestesian seperti Juno adalah pertanda buruk untuk masa depan.

2. Bahri bukan Sinestesian. Tapi ada banyak hal yang dia tahu tentang itu.

3. Masih belum ada yang tahu Lana ngilang ke mana. Termasuk yang nulis cerita ini.

4. Buku besar itu adalah sumber informasi penting yang akan menjelaskan sesuatu yang epik. Imajinasi kalian harus siap lagi baca bab 16.

5. Mau giveaway buku Juno? Kalau mau silakan komentar 'mau'. Nanti rules akan saya kasih tahu di bab 16.  Dan pemenangnya akan saya kasih tahu di akhir cerita. GA ini dari saya sendiri, bukan dari Belia. Dari Belia mungkin bakal ada lagi. 🖋️

Dah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro