14 - Lana, Jangan Hilang!
Cie cie, yang nungguin Juno up dari tadi. Maaf ya agak sorean. Kakanda lumayan hectic Desember ini. Lagi nyiapin banyak materi, modul, video, dan podcast buat kelas menulis khusus. Hehe.
Bab ini akan terasa singkat. Nggak perlu diprotes, ya. Karena memang sudah sesuai porsinya. Kan menulis harus dirancang dengan keren biar bisa nonjok pembacanya bertubi-tubi. Muehehe.
Seperti biasa. Setel lagu:
Pengin deh bab ini diramein komentarnya. Anw, saya tuh seneng bacain komentar-komentar kalian tau. 😄
Nemu typo harap lapor.
___________________________
***
CHAPTER 14
[Estu Herjuno]
Pagi itu untuk pertama kalinya setelah tumbang gue kembali ke sekolah. Ketika mobil gue berhenti di depan gerbang, Sid dan Kikan sudah ada di sana nungguin. Sementara itu gue nggak tahu kenapa rasanya males turun dan menampakkan wajah dengan juntaian selang di hidung. It will never be the same anymore. Gue mulai nggak keren.
"Mas Juno mau turun sekarang?" tanya Pak Tomi, sopir yang diutus Papa untuk antar jemput gue ke mana pun gue mau. Sementara itu di sebelah gue ada suster Vina yang sedang mendikte kembali aturan pakai pil-pil yang harus gue konsumsi tengah hari nanti.
"Bentar lagi Pak, nunggu bel masuk dan sepi," jawab gue.
"Baik, Mas."
Lalu Kikan yang tak sabar akhirnya mendekat sambil ketuk-ketuk kaca jendela mobil. Kemudian gue menurunkan kaca itu.
"Kenapa lo nggak turun? Ayo," kata Kikan.
"Nunggu sepi deh," jawab gue.
"Kenapa? Nggak ada yang perlu lo khawatirin kok," kata Kikan lagi dengan wajah meyakinkan.
Sid mendekat ke kaca juga. "FYI, ya, Jun. Gue waktu kecil suka pura-pura pake perban biar kelihatan keren cowok punya luka. Dan sekarang lo malah kelihatan keren dengan selang-selang itu. Gue jadi pengin pake selang juga. Ganteng maksi, gils, literally."
Plakkkk!
Kikan menampol mulut Sid.
Sid yang masih menutup mulutnya dengan tangan berkata, "Lo kenapa sih? Gue ngomong bener aja perasaan." Wajahnya bingung-bingung nyeri.
Kikan mendengus. Lalu tubuhnya condong ke jendela. "Ya udah gue temenin."
"Gue juga mau nemenin," kata Sid.
"Lo itu ngomong aja bakterinya nyebar ke mana-mana," seloroh Kikan ke Sid.
Sid berdecap karena selalu kalah kalau mau ricuh sama Kikan. "Kikan dari tadi bawaannya resah tahu nggak, Jun. Sampai-sampai ada Asbi yang ngajak duluan nggak mau dia. Malah kukuh mau nungguin lo. Kesepian kali sejak lo nggak ada di rumah Kak Fe."
"Bukan kesepian, Kuman. Gue khawatir aja Juno belum bener-bener sehat udah ke sekolah lagi. Siapa sih yang bakal tega kalau lihat temennya sendiri sakit?"
"Dengerin," kata gue. "Gue minta satu hal. Gue memang sakit, tapi bisa nggak kalian bersikap biasa saja seolah gue nggak punya sakit apa-apa?"
Kikan sama Sid terdiam.
"Saya turun sekarang aja, Pak," kata gue ke Pak Tomi. Suster Vina sudah selesai memasukkan kotak obat kecil gue ke dalam tas. Sementara itu cairan oksigen dalam tas fanny pack gue juga sudah diperiksa aman. "Nanti saya telepon Pak Tomi kalau sudah jam pulang," kata gue menutup pintu.
"Baik, Mas."
Sid tiba-tiba meraih tas gue kayak copet.
"Lo mau ngapain?"
"Gue pengin bawain."
"Gue bilang apa tadi?"
"Oke, oke."
Belum juga mulai melangkah, semua orang yang ada di luar gerbang sudah pada memperhatikan penampilan gue. Demi apa saja, gue malu. Kecemasan membuat pikiran gue beranggapan bahwa mereka sedang kasak-kusuk membicarakan keanehan gue.
Sepanjang perjalanan di lorong kelas sepuluh, gue menunduk fokus ke jalan. Kali ini kasak-kusuk itu jelas terdengar.
"Ya Allah, Kak Juno kenapa?"
"Kak Juno kenapa ih. Aku sedih lihatnya."
"Apa lo lihat-lihat?!" Kikan menghardik setiap anak yang pada ngelihatin gue.
"Heh, hapus nggak?!" gue sama Sid lanjut jalan saat Kikan berhenti dan nggak ragu buat petentang-petenteng marah ke anak kelas sepuluh yang tadi ambil foto gue. Kali ini gue nggak melarang Kikan melakukan itu.
"Dia galak banget, ya, Jun," Sid berkomentar soal Kikan. "Sumpah, sampai mati gue nggak bakal naksir sama cewek yang potongannya kayak Kikan."
"Kikan didesain oleh Tuhan bukan buat cowok cemen seperti lo," kata gue lirih masih menunduk.
"Seperti kita maksud lo?" tampik Sid. "Lo kate cuma gue yang cemen di sini."
Gue berdecap. "Iya ralat, seperti kita."
"Tapi tergantung deng."
"Tergantung gimana?"
"Kikan tahu selama ini lo termasuk spesies cemen. Tapi lihat deh tadi ketika dia kerasukan Iko Uwais. Santai aja dia ngelindungin lo dari penggemar-penggemar sableng," ucap Sid belagak menganalisa.
"Apa lo lihat-lihat? Emangnya kita tulang?" Sid belagak ngegas ke cewek yang kami lewati.
"Ih, najis amat. Siapa yang ngelihatin lo," Sid disembur balik sama cewek itu.
"Lo diem aja, Kambing," gue kesal ke Sid. "Biarin Kikan aja yang libas. Lo nggak usah ikut-ikutan bentak cewek. Wibawa lo sebagai cowok hilang."
"Hehe."
"Arah jam sebelas," kata gue. Di sana ada Sahnaz.
Sid langsung pasang mode cool. Tapi tetep aja, cool versi Sidney mentah kayak apa.
"Hai, Kak," Sahnaz malah menyapa gue. Dan gue senyum sambil sedikit mengangguk ke Sahnaz. Dalam hati gue pengin ketawa puas-puas. Untuk pertama kalinya sejak beberapa hari ini tumbang, gue merasa sedikit terhibur.
"Sejak kapan, Jun?" tanya Sidney datar dan ketus.
"Kapan apanya?"
"Sejak kapan lo nikung gue?"
"Dih," jawab gue singkat. "Lo pikir gue sebangsat itu nikung temen sendiri."
Sidney melepas napas lega. "Gue curiga tadi sebenernya dia niat bilang hai ke gue. Cuman dibikin halus makanya ke lo."
"Iya."
"Gue tahu dia nyesel karena nolak gue."
"Iya."
"Dia pasti nggak bisa tidur waktu gue bilang gue bakal bisa bahagia dengan atau tanpa dia."
"Iya."
"Lihat aja nanti."
"Iya."
"Masa dia nolak gue alasannya karena gue terlalu bersemangat."
"Iya."
"Gue ikut ke kelas lo bentar, ya."
"Iya."
"Sip."
"Iya."
"Nanti istirahat lo jangan dulu keluar kelas sebelum gue yang datang ke kelas lo."
"Iya."
Gue menoleh ke Sid saat ocehannya berhenti. Nggak heran Sahnaz menolak. 'Terlalu Bersemangat'.
***
Kesepakatan lain yang Papa buat dengan sekolah adalah meminta agar guru-guru tidak membahas kabar gue di kelas. Gue benar-benar ingin segalanya berjalan seperti biasanya. Mendapat perhatian dan perlakuan khusus malah membuat gue merasa nggak ada gunanya. Meski nggak bisa dipungkiri rasanya susah mau ngapa-ngapain dengan disertai nasal kanula pada wajah.
Alih-alih Sid yang datang lebih awal ketika jam istirahat, justru malah Kikan yang masuk ke kelas gue duluan. Dia membawa air mineral buat gue katanya.
"Masih ada yang ngetag foto colongan di IG lo nggak?" tanya Kikan santai setelah meneguk minumannya sendiri.
"Kalau ada pun gue nggak bakal bilang ke lo."
"Bilang aja, biar gue ceramahin mereka."
"Nah itu. Kan gue tahu lo ceramahinnya bakal pake bogem mentah."
Kikan menggeleng tak setuju. "Bukan gimana-gimana, ya. Tapi cewek-cewek yang nggak tahu moral kayak gitu emang perlu banget dikasih peringatan keras. Selama ini gue males banget buat ladenin kelakuan mereka ke lo, Jun. Cuman sekarang keadaan lo kan beda." Kikan lalu mengeluarkan flashdisk dari saku. "Ini hasil casting minggu kemarin. Pada mlempem karena idolanya nggak ada."
Gue menerima benda itu.
"Lo baik-baik aja?" tanya gue jaga-jaga. "Perasaan lo ngegas mulu dari pagi."
Kikan nggak menjawab pertanyaan gue. Dia minum sekali lagi. "Gue lagi bete," katanya dengan wajah aneh. "Ditambah di rumah udah nggak ada temen buat diajak ngobrol."
Gue menghela napas. "Kirain. Bete kenapa?"
Lalu tiba-tiba wajah Kikan memerah. Diam sambil menatap ponsel.
"Kenapa?" tanya gue sekali lagi.
Setelah Kikan mau mendongak, dia berkata, "Nggak tahu. Berasa ada yang hilang."
Gue memutar bola mata. "Gara-gara gue udah nggak di rumah Kak Fe lagi?"
"Bukaaaaan. Kalau itu gue bisa ngerti. Serius. Ini tuh kayak sesuatu yang ... hilang. Aku kayak lagi mengingat-ingat sesuatu tapi nggak tahu apa."
Dahi gue mengernyit. "Nggak usah mengada-ada," kata gue. "Kalau butuh curhat atau ngobrolin sesuatu, kan lo bisa minta Lana buat nginep di rumah lagi."
Sekarang giliran Kikan yang berekspresi kebingungan. "Lana?"
Gue mengangguk.
"Lana siapa?"
"Ya, Lana. Nacita Kelana."
"Lo lagi ngomongin siapa sih?" Wajah Kikan benar-benar kebingungan. "Nacita Kelana?"
Untuk sesaat gue tertegun. Ada banyak hal yang seketika berkelabat di dalam kepala gue. Karena gue menolak untuk berpikir keras, yang gue ucapkan selanjutnya adalah "Nggak."
"Lo aneh sih," kata Kikan masih keheranan.
"Gue pengin ke taman belakang, Kan. Temenin boleh?"
"Lo serius? Ini kita cuma punya waktu kurang dari sepuluh menit sebelum mapel keempat. Mau ngapain emangnya?"
"Mau memastikan sesuatu," jawab gue.
Saat gue hendak keluar kelas. Ada dua orang yang masuk bersamaan. Alan dan Sidney. Dua manusia yang sama-sama gampang bikin gue naik tensi.
Namun kali ini berbeda. Wajah Alan yang awal masuk lagi sumringah, mendadak layu ketika melihat gue dengan semua penampilan barunya. Bahkan Alan mendadak gagu dan mengurungkan apa pun yang hendak dia katakan sebelumnya. Malahan Alan sampai menatap Kikan dan Sidney bergantian.
Ketika Alan hendak membuka mulut untuk bicara, gue langsung menyela. "Kalian berdua lihat Lana, nggak? Tahu dia di mana?"
Sidney dan Alan malah semakin bingung dengan apa yang gue tanyakan.
"Lana siapa?" ayolah, Sid, masa lo nggak tahu Lana?
"Lana?" Alan pun bingung. "Anak kelas mana?"
Gue terhenyak lebih dalam.
"Um," Alan ragu. "C-coba lo sebutin dia anak kelas berapa. B-biar gue panggilin."
Tanpa perlu menunggu lagi, lantas gue cepat-cepat melewati mereka dan keluar kelas. Kikan mengikuti gue buru-buru. Sementara gue yakin banget Sidney sedang diinterogasi Alan tentang keadaan gue yang pakai nasal kanula.
Gue nggak peduli lagi berapa banya anak yang sedang ngelihatin gue ketika berjalan cepat menuju taman.
"Juno!" panggil Kikan berkali-kali. "Lo lagi nyariin siapa sih? Ngomong coba. Lana siapa? Kelas apa?"
Di taman nggak ada Lana. Gue bahkan nyaris mengelilingi setiap penjuru taman untuk memastikan. Sampai akhirnya gue berhenti di bawah pohon tabebuya waktu itu, dan mendapati ada dua botol air mineral yang Lana kasih ke gue yang tergeletak di bawah kursi. Ada dua kemungkinan. Pertama, bisa jadi itu botol orang lain yang juga tertinggal di sana. Kedua, bisa jadi itu adalah botol gue sama Lana sebelas hari yang lalu dan belum ada yang memungutnya ke tong sampah.
Gue memejamkan mata dan duduk tenang pada kursi di bawah pohon itu.
"Apa yang sedang terjadi?" Tanya gue ke malaikat.
Beberapa saat gue nyaris takut tidak ada jawaban apa pun, yang artinya selama ini gue hanya berhalusinasi. Namun ketika akhirnya gue mendengar suara jawaban, "Angin menghapus ingatan. Sentuhan memundurkan waktu pada ruang-ruang. Jejak menghilang. Sembunyi. Dia pulang." Gue mengerti sekarang.
Gue lihat Kikan masih kebingungan dengan tingkah polah gue. Lalu gue teringat Kikan yang tadi bilang merasa kehilangan sesuatu yang sedang dia coba untuk diingat-ingat. Tapi kenapa kalau Lana hanya pergi ke lain masa, Kikan dan semua orang bisa lupa tentang Lana? Itu bukan kekuatan Lana, kan? Apa Lana melibatkan sinestesian lain?
Gue juga teringat satu hal lain. Dengan segera gue mengambil ponsel untuk mengecek daftar kontak. Dan nggak ada kontak Lana di sana. Tetapi, yang bikin gue terkejut adalah, kontak Bang Igor justru ada. Lalu gue berkesimpulan bahwa apa pun yang Lana lakukan, atau siapa pun yang telah berbuat, itu membuat jejak Lana menghilang sama sekali.
Lantas kenapa tentang Lana hanya gue yang tidak terhapus memorinya?
"Jun, ayo balik ke kelas," kata Kikan. "Serius gue mulai khawatir sama tingkah laku lo yang aneh banget."
Sekali lagi gue ingin bertanya ke Kikan.
"Kan, gue nanya serius ke lo," ujar gue. Kikan menatap bingung. "Jawab jujur. Lo pernah kenal seseorang bernama Nacita Kelana, nggak?"
Setelah menatap gue cukup lama dengan beribu keheranan, Kikan akhirnya menggeleng, lagi. "Nacita Kelana siapa sih? Gue nggak ngerti dari tadi lo ngomongin siapa."
***
MAMPOS!
IG: @sahlil.ge
WP: TheReal_SahlilGe
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro