Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13 - Breathe

⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️

***
Sleeping At Last - Chasing Cars
(!)

⚠️

****

Sekuel sudah ada. Silakan kunjungi ceritanya di TheReal_SahlilGe


***

Chapter 13

[Estu Herjuno]

Dari sekian banyak kemungkinan manusia meninggal di waktu tak terduga, gue semakin yakin, bahwa malam ini adalah saat di mana hitung mundur kematian gue dimulai. Sekitar pukul sembilan malam gue kolaps.

Dimulai dari mimisan yang nggak mau berhenti, demam menggila, bercak ruam semakin banyak, daya tubuh melemah, bahkan ada darah dalam urin gue. Ketika biasanya gue menyikapi situasi semacam itu dengan tenang, kali ini cemas melanda. Segalanya semakin memburuk. Napas gue menjadi sangat pendek seolah ruang di dalam paru-paru gue mengecil. Sekaligus batuk yang datang keroyokan. Gejalanya mirip influenza biasa, tapi lebih berat luar biasa. Gue cemas, benar-benar cemas. Dan gue terjatuh pingsan begitu saja ketika sedang berjalan ke kamar. Gue nggak bisa bayangin aja andai Sid nggak ada di sana. Bisa jadi malam itu gue hilang tanpa penanganan.

Meski tidak membuka mata, tapi gue masih bisa menyadari ketika tubuh gue diangkat ke mobil, suara-suara panik di sekitar gue, saat tubuh gue terbaring di brankar dan didorong oleh petugas rumah sakit, ketika jarum-jarum menembus tubuh gue, sampai akhirnya gue sadar seutuhnya ketika sudah mengenakan pakaian pasien dan alat-alat bantu yang tersambung dengan tubuh gue.

Gue rusak. Tubuh gue rusak secara harfiah. Seperti vas yang jatuh dan retak. Rusak.

Tiga hari selanjutnya gue masih 'dikarantina' dalam ruangan VIP. Batuk nggak berhenti. Terdapat darah dalam dahak. Napas sesak luar biasa. Lalu penjelasan dari dokter yang sampai ke telinga gue adalah gue juga terkena COPD; penyakit paru-paru tetangganya Fibrosis Kistik. Ada efek dari vaskulitis dan kondisi fisik belakangan ini yang akhirnya membuat paru-paru gue terimbas. Gue tahu sesuatu yang seperti ini akan terjadi karena vaskulitis juga.

Gue nggak bisa bicara. Karena sekalinya gue bicara, tenggorokan gue pasti terpicu sampai batuk terus-terusan. Dan ini jenis batuk yang punya potensi bisa sampai mematahkan tulang rusuk. Hingga seminggu sejak gue kolaps, segalanya semakin memburuk. Obat yang gue konsumsi bukan cuma jenis pil yang ditelan. Ada juga beberapa obat yang harus diubah menjadi uap untuk gue hisap ke dalam paru-paru. Nama alatnya yatu nebulizer. Gue harus menggunakan itu secara rutin sesuai aturan. Cara pakai untuk gue sendiri cukup dengan mencampurkan cairan saline dan obat sesuai resep ke dalam nebulizer. Lalu ketika alatnya sudah dinyalakan dan uap mulai keluar, gue akan menghirupnya. Bisa disambungkan dengan masker ke hidung untuk dihirup. Tapi gue memilih dengan cerobong langsung sehingga harus gue sumpal ke mulut.

Pada titik ini gue mulai merasa tidak layak memiliki penggemar. Lebih jauh dari itu, gue juga merasa nggak layak mencintai dan mengharapkan siapa pun kalau pada akhirnya kebahagiaan bersama seseorang harus digadaikan dengan kematian gue sendiri. Orang pesakitan seperti gue udah nggak pantas dikagumi karena parasnya. Toh memang dari dulu gue nggak pernah memproklamirkan bahwa gue tampan. Norak tahu, orang tampan ngaku tampan. Dan sekarang, gue lebih nggak pantas lagi untuk dikagumi siapa pun.

Orang-orang silih ganti menjenguk gue. Mungkin mereka yang keluar dari ruangan gue akan berkata, "Juno kayaknya nggak lama lagi." But, it's fine. Gue nggak tersinggung kalau beneran ada yang bilang gitu. Mereka obyektif.

Gue punya Sid dan Kikan. Hampir tiap hari mereka menjenguk gue buat ngasih dukungan atau sedikit hiburan. Sid dengan reportase galaunya. Kikan dengan petikan gitarnya yang selalu bikin gue nyaman dengerin nyanyiannya. Sementara itu kabar tumbangnya gue hanya disampaikan secara rahasia ke sekolah. Gue nggak mau kalau seluruh sekolah tahu dan jadi lebih banyak orang yang datang seolah mereka peduli. Papa setuju dengan permintaan gue, dan mengabulkannya.

Entah berapa kali gue dapat pesan dari Alan sama Naga. Mereka nanyain gue ada di mana, karena gue menghilang tanpa kabar sejak konten kedua. Apa pun yang udah gue korbankan untuk konten yang berhasil naik tren itu, mereka nggak perlu tahu. Termasuk semua gejala parah yang mengantar gue pada titik ini terpicu sejak gue nyemplung ke kolam kodok yang kotor, lembab, dan dingin itu. Seriously, bukannya lagi drama. Gue cuma bener-bener pengin lebih sedikit orang yang ada di sekeliling gue saat ini. Physically, I am broke. Mentally, I am weak. That's for now.

Gue juga makin pusing karena pengikut di media sosial gue malah jadi yang paling banyak di antara kami bertiga. Ditambah, banyak akun meme yang mengunggah ulang adegan gue yang lagi nyemplung itu. Tanpa mereka tahu bahwa sosok yang jadi ketawaan itu sedang sekarat. Beberapa akun ada yang menghapus unggahan mereka karena Kikan dan Sid merongrong mereka lewat DM. Tapi nggak sedikit yang masih ada. Jejak digital susah hilang.

Hari kesepuluh, gue resmi menjadi salah satu manusia yang memerlukan sokongan oksigen secara serius untuk beraktivitas. Di ruangan itu hanya ada gue, Mama, Papa, dan Kak Fe ketika gue mulai memakai selang oksigen atau nasal kanula ke hidung yang terkoneksi dengan wadah oksigen portabel. Kak Fe membelikan gue tas fanny pack keren agar gue bisa nyaman bawa persediaan oksigen ke mana-mana, kalau perlu.

"Yuno tetap keren," kata Papa yang selalu memanggil gue dengan 'Yuno' bukan 'Juno'.

Kak Fe memeluk dan mencium pipi gue, "Good boy. I love you!"

Dan nggak banyak yang Mama katakan. Kecuali cengengnya yang nggak bisa ditahan.

Gue pulang pada akhirnya. Tapi kali ini bukan ke rumah Kak Fe. Melainkan ke rumah orang tua gue. Meski gue tahu itu bakal sepi. Tapi nggak bisa ditawar lagi karena gue bakal punya perawatan intensif di rumah. Kesepakatan sudah dibuat. Gue kembali menjadi pangeran rahasia yang pulang ke istananya. Kembali pada pelayanan nomor satu yang nggak kebanyakan orang tahu. Rumah orang tua gue nggak bisa dibandingkan dengan rumah Kak Fe yang dua tahun ini gue tinggali lebih lama karena rumah ortu jauh lebih megah.

Dua tahun ini rumah memang cuma dihuni Mama sama Papa. Tapi, ART tetap banyak karena harus merawat ini dan itu. Papa punya koleksi barang antik. Kalau nggak salah ada empat deh ART di rumah. Dan bakal ketambahan satu perawat khusus yang nantinya bertugas mengawasi obat-obat gue dan hal-hal yang sifatnya urgen seperti penggantian selang juga nebulizer biar gue tinggal pakai.

Rumah sudah dipersiapkan sedemikian rupa untuk kenyamanan gue. Segalanya serba steril. Gue nggak boleh kecapekan lagi. Dugaan gue juga penyebab lainnya karena hari di mana gue tumbang, gue sedang sangat kelelahan. Seharian casting, lalu melompat ke masa lalu sampai malam, dan kembali ke masa gue lagi dalam keadaan waktu yang tak bergeser. Artinya badan gue saat itu benar-benar diforsir sampai jauh.

Gue jadi ingat Lana. Dia juga nggak ada kabar. Gue nggak berusaha nanyain tentang Lana ke Kikan. Pertimbangan terbesar setelah ini adalah apakah gue akan lanjut sekolah atau tidak.

Gue punya satu hari tenang sebelum besoknya, kalau memungkinkan, gue kembali ke sekolah. Di kamar gue memegang ponsel lagi setelah beberapa hari ini tidak. Instagram gue uninstall untuk mengabaikan semua hal yang bisa mengganggu ketenangan. Gue juga akhirnya baca pesan-pesan yang menumpuk di WhatsApp.

Di grup Gagragas Alan sama Naga masih heboh bahas trending dan beberapa kali mention gue. Lalu secara personal mereka juga nge-chat.

Naga:
- Jun, lo di mana?
- Thanks udah mau kompromi. Video kita trending! Kita harus bikin yang lebih heboh dari ini deh kayaknya!
- Jun?

Alan:
- Jono, lo di mana dah.
- Ngambek ya gara-gara konten kedua? Lo viral tahu! Gila! Keren! Yang pengin populer gue kok malah jadi lo yang naik. Tapi nggak apa-apa. Yang jelas gue bisa buktiin ke Anye kalau gue nggak sepayah itu. Goks!
- Woyy, lo masih idup kan?
- Bales anjay!
- Jon konten ketiga lo deh yang bikin ide. Gue sama Naga ngikut.
- Jon?

Gue meletakkan ponsel di kasur. Menghela napas sempit. Membetulkan posisi selang di hidung. Lalu berdiri menghampiri cermin besar di sudut kamar. Tampak di sana sosok diri yang mendekati mati. Sayu dengan wajah berornamen selang oksigen. Lama menatap diri di cermin gue malah sedih. Setidaknya ketika dua aliran bening itu lolos dari mata gue, mereka lolos dengan alasan.

***

Semoga bab singkat ini tidak merusak akhir pekanmu lebih awal.

___________________________

1. Ada yang mau diungkapkan setelah baca bab ini?

2. Mau nggak hari ini double update? Kalau mau hari ini double update saya perlu petisi dari 400 orang dengan cara komentar memakai kalimat penyemangat yang manis buat Mas Juno sebelum pukul 17.00. Kalau sampai lewat pukul 17.00 belum memenuhi kuota. Ya maaf, harus sabar nunggu Senin. (Komentar dukunganmu buat Juno di sini/in line)

Sok boleh tag temen kamu biar bantu petisinya cepet terpenuhi

____________________________

Maaf harus saya up pagi-pagi karena hari ini saya bakal sibuk seharian. Ada buku-buku yang harus saya tandatangani. 🖋️

Sampai jumpa malam nanti (kalau kuota terpenuhi) atau lusa Senin.

Oh iya, kalau mau bikin Instastory tentang Juno jangan lupa tag @sahlil.ge, @sandaranbahu, dan @beliabentang biar di-repost sama Minbel juga.

Boleh mampir ke sini kalau mau baca yang lain-lain dari saya TheReal_SahlilGe
_______________________

Selamat berakhirpekan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro