Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12 - Melati, Antara Ada dan Tiada

Have a great day, y'all. :)

Bagaimana kabar badannya?

Bagaimana kabar mood-nya?

Mood saya lagi persis
kayak gini 👇🏻


Bantu saya temukan typo.

_______________________________

CHAPTER 12

[Estu Herjuno]

Siapa yang menduga kalau gue bakal bisa bersentuhan langsung dengan zamannya Mbak Melati? Hantu perempuan yang konon sering rese naksir cogan-cogan Nuski karena dia meninggal sebelum menikah. Tapi apa memang benar seperti itu? Lana meminta gue untuk nggak pernah membahas tentang mitos Mbak Melati di zaman gue ketika berbicara dengan Igor. Untuk beberapa alasan, apa yang kita tahu di masa depan tidak harus disampaikan seluruhnya.

Melati adalah siswi angkatan kedua Nuski. Jangan samakan Nuski zaman gue dengan Nuski zamannya Melati. Karena itu jelas akan timpang dari segi fasilitas, jumlah pelajar, dan yang pasti beda era. Gue nggak bisa mengulik informasi tentangnya dari Igor karena dia sedang dalam keadaan terguncang ditinggal pergi.

Ketika gue hendak ikutan Igor memburu jenazah Melati ke rumah sakit, Lana menahannya.

"Kita pulang sekarang. Kamu itu udah pucat banget," kata Lana.

"Ini pucat kelihatannya aja, Lan. Aku oke."

"Nggak ada kata oke. Itu ada bintik merah di lengan kamu," ucapnya sedikit panik.

Lalu gue teringat kalau sebelum ke sini vaskulitis gue memang ada tanda-tanda kambuh. Ini sejak gue tercebur ke kolam kodok waktu bikin konten kedua. Gue kesal karena Alan sama Naga melanggar persyaratan yang gue kasih ketika mau bikin channel. Bahkan video itu mereka edit sendiri karena kalau gue yang edit pasti bakal gue potong di beberapa bagian. Sudah diunggah dan viral. Hampir semua komentar yang masuk fokusnya malah ke gue. Dan itu yang jadi alasan kenapa belakangan gue lagi nggak nyaman banget menjalani hari. Gue malu aja gitu, pas casting ada yang nanyain soal video itu. Kenapa sih beberapa orang susah banget jaga kepercayaan yang diberi oleh orang lain?

"Tapi Igor sedang kalut, Lan. Masa kita main pulang aja. Lagian ini malem. Aku juga perlu tahu tentang Melati itu kayak gimana dan apa kisahnya," kata gue.

"Aku janji akan cerita. Nanti kalau kita pulang, kamu akan tahu sesuatu yang lebih. Yang penting kamu pulang dulu, yah?" ucapnya pelan dan seperti berusaha menenangkan agar gue mau.

"Pulang? Ini udah malem," gue menunjuk ke suasana sekitar.

"Aku bisa membuat ini jadi siang kalau kamu takut gelap."

"Aku nggak takut gelap, Lan!" gue agak berseru. "Terus kalau kamu bisa memundurkan waktu, kenapa kamu nggak memundurkan momen sampai ketika Melati masih hidup? Seenggaknya supaya Igor bisa bersiap dan nggak kalangkabut kaya tadi. Atau menyelamatkan Melati dari apa saja yang bikin dia meninggal. Aku tahu sebenarnya kamu punya potensi untuk mengubah takdir masa lalu," gue lumayan emosi.

"Aku memang punya potensi itu, tapi aku nggak akan pernah mau menyampuri apa yang seharusnya tetap jadi urusan Tuhan!" sahut Lana tak mau kalah. "Aku cuma lagi khawatir sama kamu yang tampangnya udah kaya orang yang mau kehabisan daya! Tapi kalau kamu maksa mau susul Igor, sana! Jangan salahin aku kalau aku pulang duluan dan kamu terjebak di tahun 1999!"

Setelah menyalak seperti itu bibir Lana kemudian bergetar. Air matanya menggenang. "Aku pernah melihat seseorang yang aku sayangi hilang. Dan aku masih trauma berada di sekitar momen kematian seseorang."

Gue menatap kedua mata itu tak ingin memaksanya lagi.

"Pulang aku bilang!" pintanya sekali lagi. Satu air mata meluncur saat dia berbalik hendak pergi ke arah tangga. Gue lalu mengejarnya cepat-cepat. Dan baru berhasil menahan tangannya saat di tangga lantai lima. Kami berhenti di sana. Gue nggak ngerti kenapa Lana harus sampai nangis pas ngomong tadi.

Gue masih memegangi tangan kirinya saat berhasil menahan. Tanpa gue tambahin omongan, lalu gue menuntun Lana menuruni tangga sampai kami tiba di dekat pohon belakang sekolah. Nuansanya gelap, banget. Untung ponsel gue masih bekerja meski nggak ada jaringannya sama sekali sehingga bisa jadi penerang. Kami harus mencongkel pagar bambu untuk bisa masuk karena gerbang dikunci.

Saat kita sudah sampai di dekat pohon tabebuya itu, Lana masih terisak-isak kecil.

"Kenapa masih nangis, sih?" tanya gue bingung. "Ini aku udah mau pulang loh."

Lana menggeleng. Gue mau mengelap air matanya tapi dia menangkis cepat-cepat. Lalu mengelap air matanya sendiri. Itu sedikit mencakar perasaan gue sebenarnya.

"Maaf kalau aku salah," kata gue.

Lana menggeleng untuk kesekian kalinya. Kemudian dia meminta kami berpegangan tangan untuk pulang. Tak perlu waktu lama karena cewek ini punya konsentrasi yang bagus, waktu memutar dalam kecepatan yang seperti bisa gue rasakan dalam nadi. Segalanya mengerut dalam lipatan waktu dan meninggalkan apa saja yang ada di masa lalu. Gue masih belum terbiasa dengan peralihan waktu seperti ini. Kami kembali di jam yang sama ketika kami pergi. Jadi meski kami berlama-lama di masa lalu, kami tetap bisa kembali ke tempat semula tanpa menggeser waktunya. Hanya saja tubuh gue berasa capek karena aktivitas ekstra. Lana pergi meninggalkan gue begitu saja. Dan gue nggak ingin mengejar.

Di zaman gue masih terang benderang. Masih di jam yang sama sebelum gue pergi ke masa lalu. Karena rasanya penat dan tubuh gue rasanya letih, gue memutuskan untuk pulang. Tapi ketika gue baru beberapa langkah beranjak, suara dalam kepala gue berkata, "Lewat jalan lain. Pohon beringin."

"Pohon beringin?" tanya gue dalam hati.

"Sesuatu ada di sana."

Gue kemudian menuruti suara itu dan mengambil jalan untuk sampai ke pohon beringin yang menampung banyak mitos Nuski. Di sana ada sosok pria yang sedang berdiri menghadap pohon itu. Dia memakai celana bahan berwarna abu-abu, sepatu mengkilap, kemeja mahal dengan lengan disingsingkan, dan ada mantel wol yang disampirkan pada lengannya. Saat gue tinggal beberapa langkah lagi sampai di dekatnya, orang itu menoleh ke gue. Gue berhenti, kami berhadapan. Ketika dia tersenyum, mata gue melebar karena langsung mengenalinya meski sedikit ragu.

"Hei, Jun," sapanya.

Gue terkesiap tidak tahu mau mengatakan apa.

"Masih ingat sama saya?" tanya beliau sekali lagi sebelum kemudian berjalan lebih dekat dan mengulurkan tangannya minta salaman. "Igor. Lama nggak ketemu."

Gue terkesiap dan sekali lagi nggak tahu mau ngomong apa.

...

Gue dan Bang Igor duduk di kantin berhadapan. Asli, gue bingung aja.

"Kenapa bisa pas lagi ada di sini, Bang?" tanya gue masih canggung.

Bang Igor cuma tersenyum, "Lagi lewat deket sini aja tadi. Kamu baru pulang dari sana, ya?"

"Kok tahu?"

"Kebetulan saya ngitung tahun. Tadi tebak-tebakan aja sih. Dan nggak yakin bakal sempat ketemu kamu atau nggak."

"Oh."

"Pas banget, kan. Ini tanggal yang sama ketika Melati pergi. Denger-denger dia suka rese gangguin cowok ganteng Nuski, ya?"

Gue lalu terkekeh sungkan, "Aku juga nggak yakin sih, Bang. Karena selama ini cuma desas-desus doang. Belum ada yang bener-bener ketemu sama sosoknya. Ya sempet sih ada video penampakan yang beredar, tapi aku nggak yakin itu dia. Masa iya satu-satunya sosok seperti itu di sekolah ini cuma dia."

"Kamu bener."

"Jujur waktu diajak Lana ke zaman Bang Igor, aku penasaran juga sama sosoknya gimana. Pengen ketemu aja. Tapi Lana buru-buru minta balik. Ini baru aja kami pisah jalan dan saya ke sini."

"Penasaran sama sosok Melati?"

"Ya. Semua orang penasaran."

"Um, nggak ada yang begitu spesial." Bang Igor menarik napas panjang. "Biar nggak salah paham aja. Melati orang baik dulunya. Dia charming. Rambutnya sering dibiarkan terurai. Fangirl-nya Duta sama Armand Maulana. Pas kamu datang itu, mau ada konser Sheila On Seven yang udah dia nanti-nantikan."

"Wah?"

"Saya kenal dia sejak kecil. Kita tetangga sebelum saya sama Bapak pindah ke rusun."

"Bapak Bang Igor masih di Kalimantan?"

"Nggak. Bapak udah balik. Dia ada di rumah saya sekarang."

Gue mengangguk-angguk. "Ada kaitan apa antara Bang Igor sama Melati?"

Bang Igor terkekeh, "Cuma temen yang jatuh cinta saja. Saya dulu miskin dan kamu tahu itu. Sayangnya cowok miskin nggak bisa mewujudkan impian cewek yang pengin nonton konser. Tapi dulu kita saling punya rasa."

"Masa sih? Dan alasan dia nggak bisa sama Bang Igor cuma karena itu?"

"Nggak dong. Kita sempet jadian. Waktu kamu datang itu sekitar tiga mingguan aku sama Melati putus. Kita pacarannya juga cuma sebulanan. Bokap Melati tahu saya macarin anaknya. Saya didatangi ke kios kaset itu, saya ditempeleng sampai merah dan habis dimaki-maki."

Alis gue terangkat sibuk menyimak.

"Setelah itu belum genap seminggu dia udah jadian sama cowok lain. Cowok yang bisa beliin dia tiket konser. Sayangnya itu jebakan kadal. Melati yang nggak begitu gaul anaknya, malah dimanfaatkan sama pacarnya itu untuk diajak mabok-mabokan. Mereka teler, dan pacarnya oleng bawa motor. Lalu pas mereka papasan sama truk."

"Kecelakaan?"

Bang Igor mengangguk.

"Meninggal dua-duanya?"

"Melati meninggal di TKP. Kalau pacarnya meninggal di tempat lain. Seseorang melempar pisau tanpa menyentuhnya dari jarak seratus meter, tepat memotong urat jantungnya," Bang Igor mengatakan itu dengan nada dingin dan tatapan mengenang.

"You did that?" tanya gue menerka-nerka.

Bang Igor mengangguk lagi. "Setelah itu saya benci punya telekinesis. Karena pada tingkatan tertentu kekuatan itu sukar untuk dikendalikan. Kalau boleh jujur, sebenarnya saya termasuk yang berbahaya."

Gue menelan ludah.

"Jangan khawatir. Saya sedang sangat aman," Bang Igor tersenyum sebelum menyesap minumannya.

"Sekarang sibuk ngapain, Bang?" gue juga minum untuk mengurangi grogi.

"Saya sudah menikah sekarang. Punya anak dua, cowok semua. Kerja di kontraktor bangunan."

"Oh, iya. Kekuatan itu masih ada?" gue penasaran.

Bang Igor tersenyum lalu menoleh ke wadah sendok di meja. Ada empat pasang sendok dan garpu di wadah itu. Dalam hitungan kurang dari lima detik semua sendok itu menyatu penyok-penyok seperti mendapat tekanan besar. Kekuatan itu masih ada.

"Boleh minta bantuanmu, nggak?" tanya Bang Igor.

"Bantuan apa?"

Bang Igor menoleh ke kanan dan kiri memastikan nggak ada orang yang mendengar percakapan kami. "Tolong bukain dimensi lima. Ada sesuatu yang pengin saya sampaikan ke Melati."

Gue menggeleng, "Sumpah, Bang, aku belum pernah ngelakuin itu."

"Makanya coba aja. Nanti saya yang jaga-jaga. Kalem, saya bisa jamin ini aman. Saya cuma mau ngobrol bentar. Penting banget."

Setelah gue berhasil diyakinkan, akhirnya gue mau mencoba. Kami kembali ke pohon beringin itu. Dengan beberapa instruksi sederhana dari suara yang ada di dalam kepala gue, untuk pertama kalinya gue tahu bahwa salah satu kekuatan gue adalah membuka tabir dimensi pada titik tertentu. Dan untuk pertama kalinya juga, gue melihat sosok Melati yang selama ini gue kira hanya mitos. Sayangnya, dia punya tampang yang tidak aman. Gue membuat batasan sinar agar dia tidak terlalu padat di dimensi keempat.

Percakapan Igor dan Melati cukup aneh di mata gue. Ya aneh aja. Percakapan tanpa suara dan hanya dua sosok yang saling diam dan berkomunikasi dari dalam hati. Kecuali yang terakhir ketika Bang Igor berkata, "Boleh ganggu yang lain, kecuali Juno. Dia orang baik."

Setelah gue tutup akses itu, akhirnya Bag Igor berkata.

"Dia cuma jin rese yang memanfaatkan masa lalu Melati, Jun. Dia ngaku sendiri tadi. Jadi selama ini kalian sedang dipermainkan oleh jin nakal itu. Yang selama ini rame ada di Nuski bukanlah ruh Melati yang sebenarnya. Hanya sosok jin yang membentuk anggapan orang-orang Nuski bahwa dirinya adalah Melati. Jin itu memanfaatkan kisah masa lalu seorang siswi bernama Melati agar siapa saja yang tahu tentang nama itu, akan berkompromi bahwa Melati adalah hantu yang suka menggoda cowok tampan. Padahal dia memang Miss. K yang pengin iseng sama anak cowok."

"Atau aku tadi salah memunculkan sosok?"

Bang Igor menggeleng. "Nggak. Ruh Melati yang sebenarnya memang pernah lama ada di sini. Tapi kamu tahu, kan, makhluk seperti itu juga punya kontroversi bahkan skandal di alamnya sendiri. Dan Melati yang versi ini, adalah Jin rese. Dan dia bahaya. Makanya kalau ada cowok yang diisukan lagi digoda sama Melati, nggak usah kepedean dirinya ganteng. Disukai hantu kok bangga."

"Bang Igor yakin?"

"Um," jawab Bang Igor sambil mengangguk.

Sebelum pulang gue sempet bertukar kontak agar bisa terus berkomunikasi. Mobil Bang Igor bagus. Setelah Bang Igor pergi suara dalam kepala gue berkata, "Jangan percaya dia. Itu tadi memang perempuan yang pernah dia kenal. Dia hanya merasa sedih karena bertemu orang yang pernah dia cintai dalam wujud yang tak elok. Sedang mengelak. Sekarang hantu itu semakin sedih. Kamu bicara lagi dengannya lain kali."

"Serius?"

"Mereka berdua masih sedih."

***

Sampai di rumah gue mimisan banyak banget. Udah gitu Sid kirim pesan katanya mau nginep lagi di rumah gue. Setelah Sid datang, dia langsung menjatuhkan diri telentang di tempat tidur gue. Wajahnya bengong seperti habis kerasukan.

"Lo kenapa sih?" tanya gue sambil memegangi gumpalan tisu di hidung.

Kemudian Sid berseru, "BATU BELAH BATU BERTANGKUUUP. MAKANLAH AKU, TELAAAAANLAH AKU."

Gue terkejut dong.

"GUE MAU CARI, GEBETAN BARUUUU."

Lalu gue memutar bola mata.

"Gue ditolak Sahnaz, Jun," ini manusia dramanya minta ampun.

"Selamat," ucap gue sungkan sambil berjalan keluar kamar.

***

Sekuel sudah ada. Silakan kunjungi ceritanya di TheReal_SahlilGe

__________________________

Nanti bakal ada lanjutannya tentang Melati. Tunggu saja.
_______________

Hm, menurut kalian ada yang masih dirahasiakan Igor nggak?

Satu persatu Juno bakal menyingkap kemampuannya sendiri. Salah satunya tadi, dia bisa membuka dan menutup dimensi waktu.

__________________

Sorry, guys. Lagi badmood banget nih jadi malas bikin author note panjang-panjang. Dah 👋🏻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro