Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11 - Dimensi

Hai, ini fase baru antara bab 11-20. Harus siap. Konflik akan mulai menuju puncak sejak bab 11. Kakanda nggak akan baik hati lagi. Pembantaian emosi akan dimulai.

***
Play it along👇🏻

CHAPTER 11

[Estu Herjuno]

Hari sudah pulas diselimuti malam. Gue duduk di tubir gedung sehingga kakinya menjuntai ke bawah. Sedikit saja lengah gue pasti akan jatuh ke aspal dari jarak gedung setinggi 10 lantai. Tapi mungkin sebelum tubuh gue menyentuh aspal, sayap gue sudah lebih dulu mengembang dan mendarat dengan selamat.

Gue dipinjami jaket jins milik Igor. Meski gue nggak suka jaket jins karena nggak bisa menangkis dingin. Tapi mau bagaimana lagi?

Sedari tadi gue hanya termenung menatap hamparan kota yang sebenarnya sudah sangat tua ini. Masih menjadi enigma untuk gue pecahkan kenapa Tuhan menitipkan sebuah kuasa untuk manusia pilihannya? Yang jelas pasti ada alasannya. Hal sekecil kuku saja diberikan untuk manusia dengan banyak maksud. Apalagi sesuatu yang ukurannya sebesar kemampuan super.

Lana menyusul gue tak lama kemudian. Dia baru saja mengobrol dengan Igor di dalam. Gue nggak mau ikut dengan apa pun pembicaraan mereka.

"Igor lagi turun cari makan," kata Lana.

Gue nggak merespons.

"Setelah makan kita pulang."

Gue menoleh setelah Lana bilang begitu. Tadinya mau ngomong sesuatu, tapi gue urungkan.

Untuk beberapa saat gue hanya mendiamkan Lana. Sampai kemudian ketika segalanya terasa hening, gue nggak tega melihat dia yang salah gerak di sebelah gue.

"Lana dari zaman mana?" tanya gue kemudian.

"Dari zaman yang sama seperti kamu," jawabnya menoleh ke gue.

"Dan Dennias? Kamu pernah pacaran sama manusia dari masa depan?"

Lana mengangguk, "We met. Lebih tepatnya aku ketemu sama dia ketika pergi ke masa depan."

"Kamu nggak lagi bohong, kan?"

"Menurutmu?"

Gue nggak suka pertanyaan yang dioper balik.

"Kepercayaan dariku mahal. Jangan bikin aku kecewa kalau sampai aku tahu kamu bohong. Aku sudah terlanjur percaya sama kamu."

"Aku tahu kok."

"Lalu seperti apa aku di masa depan? Kamu pernah lihat aku di masa depan?"

Lana menggigit bibir sedang berpikir.

"Aku nggak begitu yakin. Jujur pertanyaan seperti itu nggak bisa aku jawab."

"Kenapa?"

"Beberapa manusia dibekali kemampuan untuk melihat masa depan. Tapi Tuhan nggak meminta itu untuk dibicarakan di depan sembarang manusia. Kamu tahu, kan, itu jadi seperti meramal. Ya meski aku emang tahu sih beberapa hal yang akan terjadi di masa depan, tapi aku lebih memilih untuk diam kalau itu kaitannya dengan personal seseorang."

"Aku termasuk sembarang manusia itu?"

Lana cuma tersenyum menanggapi pertanyaan gue.

"Tahu nggak? Ada satu hal yang aku pahami setelah sekian kali bolak-balik menjelajah waktu. Malaikatku sih yang ngasih pemahaman. Yaitu aku tidak berhak mengubah takdir. Ada batas yang nggak bisa aku campuri. Maksudnya beberapa urusan kehidupan biar tetap jadi urusan Tuhan. Misal saja di masa depan aku tahu seseorang akan mati, lalu aku melakukan beberapa hal untuk mencegah. Itu nggak akan berhasil. Karena kematian setiap makhluk sudah dalam genggaman Tuhan yang nggak bisa siapa pun ambil alih. Kadang upaya menghindari permasalahan malah akan semakin memperdekat saja."

"Oke. Jadi kamu hanya dikasih kuasa untuk berkunjung dan memaju mundurkan waktu? Tapi kan pasti kamu melakukan sesuatu ketika berkunjung itu. Masa sih nggak berpengaruh sedikit pun sama apa yang seharusnya terjadi atau tidak terjadi?"

"Um, sedikit berpengaruh. Aku selalu menghindar dari melakukan sesuatu yang bisa fatal akibatnya. Kamu tahu, kan, itu bisa jadi kecelakaan paradoks. Mengubah sesuatu di masa depan."

"Maksud aku gitu."

Lana mengangguk, "Sedikit. Dan aku nggak berani mengubah apa pun. Sebagai manusia aku harus tahu sejauh mana batasan antara kemampuanku sebagai makhluk, dengan apa yang seharusnya tetap jadi urusan Tuhan."

"Cool," gue tersenyum memandang Lana.

Kedua alis Lana terangkat. "Gimana rasanya terbang? Hehe." That 'hehe' fixed my day.

Gue terkekeh pada akhirnya, "I don't know. That was weird. Untungnya aku nggak pobia dengan ketinggian."

"Dan sekarang udah tahu sejauh mana kemampuan kamu?"

"Mm, I think so."

"Tahu nggak, aku sama kamu ada di garis kemampuan yang sama."

Alis gue menyudut. "Masa?"

"Yep, tapi kamu lebih hebat dan jauh perbandingannya sama apa yang aku bisa."

"Ha?"

"Iya, kata malaikatku gitu?"

"Tunggu. Kenapa sih kamu selalu bilang kata malaikatku terus? Maksud kamu suara-suara yang terdengar di dalam kepala? Aku juga denger itu pas tadi mau melesat. Dia bilang, kepak!"

"Iya, itu!"

"Asli?"

Lana mengangguk. "Coba deh kamu ajak bicara sekarang."

"How?"

"Panggil aja dari dalam hati."

Lalu gue mendengar jawaban suara dari dalam kepala, "Salam."

"Waw," reaksi gue lantas terkekeh. "Terus apa yang membedakan antara aku dan kamu?"

"Aku jelasin, ya. Tapi janji setelah itu mood kamu harus membaik."

"Kalau aku masih bad mood, asalkan kamu bakal memperbaikinya, nggak apa-apa."

Lana memutar bola mata.

"Oke, oke," ucap gue kemudian sambil terkekeh. "Jadi gimana?"

Lana lalu menjadikan kedua tangannya penopang badannya ke belakang. "Aku pernah nyari validasi tentang pemahaman khusus untuk kekuatan yang kita miliki. Baca buku-buku. Terutama yang tentang dimensi."

"Oke."

Dia terdiam untuk sesaat seperti sedang mengingat-ingat. "Bayangkan kamu adalah ikan yang hidup di dalam laut. Kamu punya dua mata di sisi kanan kiri. Dan yang kamu tahu cuma dunia bawah laut aja, termasuk tumbuhan-tumbuhan lautnya, karang, sedimen pasirnya, makhluk laut lain yang berseliweran renang di sekitar kamu. Kamu bisa ngerasain ada cahaya matahari yang bias-bias masuk ke dalam air. Kamu menjalani hidup sebagai ikan yang meyakini bahwa dunia bawah laut adalah semua yang ada dan satu-satunya, karena cuma itu yang bisa kamu alami sejak kamu menetas dari telur. Tanpa kamu sadari bahwa di luar air, ada lingkungan dan kehidupan yang benar-benar baru. Di luar air ada makhluk yang nggak perlu air untuk bisa bernapas. Ada binatang yang terbang, berlarian di sabana, bahkan ada yang bisa hidup di tempat yang paling gersang sekalipun, tumbuhan, manusia, dan bermacam habitat lainnya. Nah, sekali lagi bayangkan bahwa kamu adalah ikan itu dan daratan yang lebih tinggi tapi kamu tidak menyadarinya adalah dimensi atau semacam lingkungan baru yang nggak bisa kamu lihat atau alami."

"Oke, aku paham. Lalu?"

Lana mengangguk. "Good. Konsep dasar dimensi seperti itu. Tapi kamu tahu nggak ada berapa dimensi di alam semesta ini?"

"Tiga? Empat?" gue menebak. "I mean, gue pernah denger ada bioskop empat dimensi."

Lana menggeleng, "Sepuluh, Sebelas, atau lebih."

"Masa?"

Senyum cerdas Lana terbit. "Oke, kita mulai dari dimensi nol. Dimensi nol adalah titik.

"Cool."

"Tahan, ini belum cool."

"Oke."

"Dimensi kesatu adalah garis. Alias ukuran panjang.

Dimensi kedua adalah susunan dari garis yang membentuk bangun datar atau sesuatu yang bisa kita lihat hanya dari satu arah sudut pandang saja. Misalnya gambar. Panjang kali lebar.

Dimensi ketiga adalah dimensi yang menjadi bagian dari keberadaan kita di dunia. Sebuah volume. Panjang kali lebar kali tinggi. Bangun ruang. Kamu bisa menganggap itu sebagai sebuah ruang tanpa waktu.

Hanya keberadaan bentuk seperti manusia, binatang, benda-benda, gedung, dan tumbuhan adalah perwujudan dari dimensi ketiga. Kita semua tinggal di dimensi ini. Namun untuk benar-benar menjadi hidup dan bergerak, kita perlu tambahan yang namanya waktu. Dimensi tiga plus satu, maka jadilah dimensi keempat.

Dan plus satu itu adalah waktu. Waktu akan membuat objek di alam semesta ini memiliki plot, bergerak, dan menjadi tambahan cara agar dimensi ketiga berubah menjadi dimenasi keempat. Kita bergerak. Air mengalir. Angin berembus. Tanpa waktu kita akan diam. Itu dimensi keempat. Dan kita juga hidup dalam dimensi ini."

"Waw, aku paham sekarang. Terus dimensi kelima?" tanya gue yang sedari tadi fokus ke Lana. Dia cantik luar biasa ketika sedang tampak cerdas.

"Sebelum aku jelasin dimensi kelima, ada yang perlu kamu pahami lagi. Di awal aku bilang, ketika kamu sebagai ikan, maka kamu nggak bisa merasakan atau mengalami lingkungan selain perairan, kan? Nah anggap saja seperti itu. Setiap dimensi tidak bisa merasakan dimensi yang lebih tinggi atau di luar dari dimensinya sendiri. Kecuali memiliki kekhususan tersendiri."

"O-ke."

"Sebagai dimensi ke-nol, titik hanya titik, dia tidak bisa merasakan garis. Tapi sebagai dimensi kesatu, garis bisa merasakan bahwa dia adalah kumpulan dari titik, namun dia hanya garis. Oke, sekarang permisalan yang lebih jelas. Lukisan adalah seni dua dimensi. Karena kita hanya bisa melihat dan menikmatinya hanya dari satu arah, depan. Nggak bisa dari samping, dari belakang, atau dari atas. Kemudian patung adalah seni tiga dimensi, karena dia memiliki volume. Kita bisa melihatnya dari macam-macam sisi. Tapi sebagai benda tiga dimensi, patung masih tidak bisa menoleh atau pun bergerak. Hanya diam. Manusia juga makhluk yang berbentuk tiga dimensi. Hanya saja manusia juga bisa merasakan waktu makanya mereka bisa bergerak. Manusia bisa menikmati patung atau benda yang diam dari berbagai sisi, karena mereka bergerak. Manusia memiliki plus satu, yaitu waktu. Itu sebabnya kita adalah makhluk yang hidup di dimensi ke empat."

"Dan patung nggak bisa bergerak karena dia hanya benda tiga dimensi yang tidak memiliki plus waktu?" tanya gue yang mulai paham.

"Persis."

"Lalu kita manusia bergerak karena memiliki plus waktu sebagai tambahan yang mengubahnya menjadi sesuatu yang hidup di dimensi keempat? Aku lagi mencoba nalar, berarti dimensi kelima adalah dimensi yang keberadaannya tidak bisa dilihat atau dialami manusia? Tapi apa pun itu yang ada di dimensi kelima, mereka bisa merasakan dan melihat kita yang ada di dimensi keempat?"

"Yep, betul! Kamu udah mulai paham."

"Apa dong dimensi kelima?"

"Dunia lain. Sebuah alam yang letaknya masih sama di bumi tapi tidak bisa kita lihat secara kasat mata. Dimensi lima letaknya berdampingan dengan kita. Hanya saja Tuhan membatasi kemampuan manusia untuk tidak bisa merasakan atau melihat dimensi itu. Menurutmu siapa yang ada di dimensi kelima?"

Gue berpikir sebentar. Sesuatu yang bisa melihat manusia, dengan leluasa tapi manusia sebaliknya tidak bisa melihatnya. "Kenapa aku mikirnya yang tinggal di dimensi kelima itu bangsa jin?"

"Karena memang bangsa Jin," jawab Lana.

Mata gue melebar.

"Jin tinggal di bumi. Kehidupan dan peradaban mereka ada di sekitar kita. Kita hidup berdampingan dengan mereka. Tapi alam mereka tidak bisa kita lihat. Sementara mereka bisa leluasa mengawasi kita. Itulah dimensi kelima.

Jin dan manusia memiliki rambat waktu yang sama. Siang dan malam kita sama. Matahari kita pun sama. Hanya saja, ada satu sekat tak kasat mata yang Tuhan ciptakan agar manusia tidak bisa melihat dunia Jin. Sekat dimensi. Makanya aku bilang antar dimensi tidak bisa melihat atau merasakan dimensi yang lebih tinggi. Yang lebih rendah mungkin saja."

"Oh, ya! Kamu bener. Tapi orang indigo bisa melihat dunia mereka. Itu bagaimana?"

"Seperti yang aku bilang di awal. Kecuali yang memiliki kekhususan tersendiri. Dan sinestesian yang berevolusi, secara keistimewaan masih di atasnya orang indigo. Populasi kita lebih sedikit dari pada kaum indigo."

"Aku paham sekarang."

Lana menarik napas panjang. "Aku satu-satunya manusia yang bisa merasakan dimensi keenam," ujarnya sambil menatap kedepan. Gue menatapnya dari samping.

"Dimensi keenam adalah seluruh bidang dunia yang memungkinkan kita bisa melihat masa depan dan masa lalu yang meliputi bumi ini. Bumi dari masa lalu sampai sekarang.

Aku punya sudut pandang itu. Itu jangkauan kekuatanku." Dia menoleh ke gue di akhir kalimatnya.

Gue tersesat di dalam matanya yang indah.

"Dimensi keenam adalah masa lalu dan masa depan yang meliputi bumi. Termasuk alam manusia dan jin. Aku bisa berkunjung ke masa "kapan" saja semau aku. Aku bisa datang ke awal kelahiran bumi, dan melesat jauh ke masa depan yang paling mutakhir. Sayangnya, meskipun bisa, aku nggak pernah berusaha mengintip ke dimensi bangsa Jin. Aku takut."

"Cool." Everything about you is cool. Being scared is totally normal, honey.

"Kalau gitu, apa menurutmu bumi ini terlahir karena sebuah ledakan besar? Big Bang?"

Lana hanya tersenyum ketika gue nanya gitu. "Aku nggak mau jawab. Bahaya."

Gue tertawa dengan sipu.

"Intinya, bagiku kehidupan ini seperti film. Ada detik ke-nol dan ada detik paling akhir. Aku bisa memilih mau melompat ke menit atau detik keberapa yang aku mau."

"Berarti kamu juga tahu kapan dunia ini akan berakhir?"

"Sayangnya, aku nggak tahu. Karena seperti yang aku bilang, ada beberapa batasan yang nggak bisa aku lampaui karena itu urusan Tuhan."

"Oke. Lalu dimensi ketujuh?"

"Dimensi ketujuh adalah sudut pandang yang lebih luas lagi. Bukan hanya tentang waktu kelahiran sebuah planet lagi. Tapi kemungkinan kelahiran sebuah galaksi dan lingkupnya.

Untuk bisa melihat sudut pandang ini, fisik manusia nggak akan kuat. Material tubuhnya harus jadi selembut cahaya untuk bisa berada di sudut pandang itu. Dan itu letak kemampuan kamu."

Gue tertegun meski dalam hati mengiyakan.

"Aku yakin banget pada saat itu materi tubuh kamu ketika melayang sampai ke angkasa tinggi, yang kata kamu melihat susunan galaksi, itu bukanlah kamu secara fisik. Tapi kamu sudah diubah menjadi materi cahaya. Karena manusia akan hancur kalau melesat ke atas sana jika memakai fisik aslinya. Kemungkinan malaikat kamu yang mengubah materi fisikmu. Guardian of The Galaxy yang ada di komik dan film itu belum ada apa-apanya dibanding kamu,"Lana terkagum-kagum. "Bisa jadi pelindung galaksi yang sebenarnya adalah kamu. Karena kamu memegang waktu sampai sejauh batas itu."

Gue menahan napas sesaat. "Waktu itu aku memang rasanya aneh. Seperti tak benar-benar ada. Seperti bukan fisik."

"Kamu bisa merasakan dimensi waktu sampai sejauh itu, Juno," ketika Lana menyebut nama gue lagi rasanya gue langsung percaya saja. Tapi memang demikian pemahaman yang gue dapatkan tadi petang. Hanya saja pemahaman tentang dimensi yang lebih dalam aku baru tahu dari Lana. She is genius.

Gue mengangguk.

"Lalu dimensi kedelapan lebih luas lagi, yaitu bidang dari semua masa lalu dan masa depan yang mungkin dimiliki masing-masing alam galaksi, membentang luas tanpa batas.

Dan yang kesembilan adalah kumpulan dari semesta-semesta yang sudah tidak akan pernah bisa dijangkau oleh nalar manusia siapa pun.

Tapi di masa lalu, ada manusia suci yang diantarkan oleh kuasa Yang Maha Dahsyat ke atas sana untuk bernegosiasi tentang bagaimana manusia harus menentukan jalan pertanggungjawabannya sebagai makhluk. Aku kurang tahu beliau sampai ke dimensi keberapa. Tapi aku yakin itu sangat tinggi. Aku curiga itu dimensi kesembilan."

"Gue tahu siapa beliau." Keselamatan dan Rahmat Tuhan semoga selalu tercurah untuknya.

"We knew him." Lana tersenyum kagum.

"Bagaimana dengan dimensi kesepuluh?" tanya gue.

Lana menoleh ke arah gue lagi. Wajahnya tenang dan menerawang jauh.

"Dimensi kesepuluh atau kesebelas atau entah ke-n. Itu adalah letak dari segala-gala-galanya. Semua dimensi terlihat di sana.

Sudut pandang itu hanya milik Dzat Yang Maha Melihat. Di mana segalanya ada dalam satu sudut pandang penglihatan Yang Paling Berkuasa. Masa depan, masa lalu, awal, akhir, membentang tanpa batas. Dimensi dari apa pun yang bisa kamu bayangkan. Sudut pandang Sang Pencipta."

Oke, ini gue merinding!

Mendengar itu gue langsung lemas dan berbaring di tubir beton menatap langit-langit. "Memang nggak ada yang bisa disombongkan ya sebagai manusia. Kita sangat kecil. Sehebat apa pun kemampuan yang kita punya, Tuhan masih menjadi Raja atas segala-gala-galanya. Sepertinya hanya makhluk dengan materi cahaya seperti malaikat saja yang diutus oleh-Nya dan diberi kemampuan untuk melintasi bermacam dimensi untuk menjalankan tugas-tugasnya. Kecuali dimensi yang paling tinggi, Tuhan sepertinya tidak ingin sama dengan ciptaan-Nya sekali pun itu malaikat. Dalam Singgasana-Nya pasti luar biasa. Aku yakin, Sudut Pandang Tuhan sangat indah. Penuh dengan Sinaran dan segala Pengetahuan berkumpul di sana."

Lana ikutan berbaring. "Iya, Dia begitu Indah dan Megah."

"Kamu jenius, Lan," ucap gue menoleh ke Lana. Dia juga menoleh. "Tipikal cewek yang dari dulu kalau aku bisa temuin, pengin banget aku pacarin. Atau buat teman hidup aku selamanya."

Kami bertatapan sambil berbaring. Napas Lana kembang kempis memburu begitu gue dengan spontan mengatakan itu.

"Aku suka sama kamu," kata gue. Kami masih bertatapan. Pada saat yang sama ketika jantung gue berdebur indah. Langit Jakarta tiba-tiba didatangi semacam aurora, atau entah apa berwarna seperti pantulan cahaya galaksi yang menyorot dari angkasa tinggi. "Bukan sekarang. Tapi nanti, aku pasti bakal minta kamu untuk jadi pacar aku. Atau milik aku."

Gue lemah kalau sudah berhadapan dengan cewek jenius, apalagi plus cantik seperti Lana.

Gue lalu kembali menghadap ke langit mengabaikan Lana yang masih tertegun dengan apa yang gue katakan. Lana nggak merespons apa-apa. Tapi dari cara Lana menatap, dia sepertinya punya perasaan yang sama. Gue yakin. Dan lihatlah pendaran cahaya di atas sana. Apakah langit akan berubah menjadi indah seperti itu setiap kali gue jatuh cinta?

"Kalian!" suara Igor berseru dari rumahnya. Gue sama Lana yang kaget lalu duduk sebelum kemudian menghampiri Igor. Cahaya di atas sana menghilang.

Cowok itu membawa tiga nasi bungkus di dalam keresek. Tapi wajahnya panik. Keringat merembas di keningnya.

"Kalian makan dulu, yah. Gue mau pergi lagi."

"Lo kenapa?" tanya gue.

Namun sendu sudah menghiasi wajah Igor.

"Gue harus ke rumah sakit sekarang," Igor menjeda karena sepertinya dia kesusahan bicara, "Melati meninggal."

Seketika gue dan Lana bertatapan terkejut.

***

Sekuel sudah ada. Silakan kunjungi ceritanya di TheReal_SahlilGe


***
Atur napas dulu.

Bagaimana bab ini?

Paham nggak paham harus paham. Lana udah gamblang banget tuh jelasinnya.

Daftar pustaka menyusul di akhir cerita ya. Segala macam koreksi, tambahan, dan perubahan akan ada dibuku. 🙂 Sok nabung dari sekarang. Wajib punya bukunya!!! Muehehehe

***
Penjelasan panjang-panjang yang teoritis cuma sampai di bab ini deh kayaknya. Bab-bab setelah ini bacanya bakal ringan namun mendebarkan. Jangan khawatir, scene epik masih banyak. Jangan salahin saya aja kalau bikin kalian susah tenang.

So, guys, let me know your perspective:

1. Menurut kalian Lana bisa jadi naksir Juno nggak?

2. Menurut kalian apa kaitannya Igor dengan Melati?

***

Boleh mampir ke akun saya TheReal_SahlilGe buat baca-baca tulisan saya yang lain.

Keep in touch:
IG @sahlil.ge

Dah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro