Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09 - 1999

Hi!

Bagaimana bab 8 kemarin? Ada yang kejedot? Hehe. Pura-pura saja nggak tahu siapa Lana.


This chapter will be lovely, but ...

*****
Imajinasi siap? Earphone siap?

*****

Okay, listen up.

Ada dua musik di bab ini. Dan dua-duanya sangat delusive untuk didengarkan.

Pertama, musik instrumen berjudul Autumn Colors dari De Maynes. Ini didengarkan sejak awal bab. Oke? Di Spotify sama YouTube ada. Lagu kedua ada di pertengahan bab. Seperti biasa, tiap lagu diputar dengan mode mengulang 1. 🌌 Selamat menikmati. Saya sayang kalian.

*******
Chapter 09

[Nacita Kelana]

Sekarang pukul 15.15. Casting tahap pertama selesai. Peserta yang datang ada 95 dari 125 orang yang diundang untuk tahap pertama. Peserta nggak ada yang langsung pulang. Tapi pada nungguin sampai acara kelar dan antre di depan auditorium buat minta booksigning dan foto-foto sama author idolanya.

Semua anak yang ikut ngurusin acara casting ini dapat kaos official keren warna cokelat bertuliskan "Kru Sandaran Bahu" dan "Time and The Stories Left Behind" gaya handwriting. Aku juga dapat. Suka!

Aku berdiri di dekat pintu melihat itu semua. Aneh. Di masa depan senyum Papa seolah hilang dilipat sendu. Tapi di masa ini aku yakin semua orang pasti mengakui senyum yang manis itu. Meski terlihat enggan, tapi dia bisa berkompromi untuk meladeni mereka yang ingin lebih dekat dengannya.

Ini momen yang langka banget buatku. Melihat Papa bisa seberwarna itu, dikelilingi orang-orang yang sayang, dan berinterkasi dengan cara yang hangat meski jelas sekali dia nggak nyaman dengan kerumunan yang semakin menggila.

"Wey!" aku terkejut saat Mama ... I mean Kikan, tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku. "Senyum-senyum sendiri ngelihatin Juno," tatapannya meledek.

Ah, sosok yang satu ini. Aku akhirnya tahu kalau di masa lalu Mama bukan sosok yang girly. She's cool. Tipikal cewek yang bakal berani damprat geng cewek yang bossy kalau ada. Dia nggak suka orang yang sok dalam segala hal.

"Seru aja ngelihatin orang yang lagi dikerubutin sama fans-nya," jawabku senyum juga.

"Biarin aja." Mama berkacak pinggang menghadap ke kerumunan itu. "Biar dia tahu kalau di luar sana ada banyak orang yang menganggapnya berharga."

"Gitu ya."

"Mm."

Aku tahu sebenarnya dia sangat peduli.

"Ke kantin yuk. Sumpek banget di sini. Gue lapeeeerr."

"Ayo deh."

Di kantin sepi. Gerai yang buka juga cuma satu. Maklum hari Minggu. Mama pesan capuccino cincau dan salad buah. Aku nyamain. Kami duduk berseberangan di meja kecil dekat kaca. Di masa depan aku juga suka momen kayak gini tahu, Ma. Makan bareng di gerai ramen setiap sore.

"Udah nemu kandidat yang oke belum?" tanyaku yang berusaha bersikap biasa saja sebagaimana teman bicara.

Mama bersandar di kursi setelah meminum capcin-nya sampai sisa setengah. Kalau masih kurang ambil punyaku, Ma.

"Menurut gue sih ada, ya. Tapi Juno yang nggak setuju. Dia perfeksionisnya nauzubillah," jawabnya sambil bersedakap.

"Terus?"

"Paling ngumpulin yang potensial dulu. Nanti disortir lagi."

"Oh."

"Kamu udah pulang ya pas syuting dimulai nanti."

"Emang kenapa?"

"Ya seru aja kalau kamu ikutan."

"Kan ada orang lain juga."

Mama lalu mencondongkan badan ke meja. "Nggak tahu, ya. Gue kok rasanya kayak klop banget sama kamu. Ngerasa bakal jadi cs yang seru aja, Lan."

Aku tersenyum sebelum menyesap minuman karena deg-degan denger dia bilang gitu. "Aku bakal ngabarin terus kok. Bisa ketemu lagi kalau janjian."

"Iya, harus ketemu lagi dan buat janji. Kasihan Juno kalau kamu pergi."

"Kasihan kenapa?"

"Dia naksir sama kamu."

Deg.

"Ah, nggak."

"Serius, ya elah. Masa kamu nggak nyadar sama polah dia selama ini?" dan wajahnya pun serius pas ngomong gitu. "Dia itu nggak pernah seantusias itu sama cewek sampai akhirnya tahu Nacita Kelana. Aduh, nggak tahu lagi deh, dia kalau di rumah seneng banget misal gue ngobrolin sesuatu yang ada kaitannya sama kamu. Dan gue setuju banget. Kalian tuh kalau gue taksir kedepannya bakal jadi pasangan yang serasi banget."

Aku pura-pura tertawa. "Adanya kamu kali yang naksir."

"Helouuw? Juno bukan tipe gue."

"Bukan tipe kamu nggak bisa jadi alasan tepat. Perasaan bisa bersemi karena terbiasa. Kan kalian udah terbiasa. Tinggal serumah, ke sekolah bareng, ke mana-mana udah kayak BFF. Goals banget kalau sampai jadi pasangan."

Mama memutar bola mata. "Nggak. BFF udah yang paling pas buat gue sama Juno."

"Kalian itu serasi. Yakin deh."

Tapi herannya di wajah dia nggak ada blushing atau ekspresi orang yang lagi berbunga-bunga karena ada yang dukung. Dia malah kayak yang serius banget nggak bisa kalau dipasang-pasangin sama seorang Juno.

"No, dia bukan tipe gue."

"Emang tipe kamu yang kayak gimana?"

Mama memainkan sedotan di gelas sambil mikir. "Serius mau bahas itu?"

"Mau nggak mau arah obrolan kita larinya ke situ dong."

"Hehehe. Um, aku suka cowok yang maco. Seenggaknya harus mirip vokalis Imagine Dragon."

Aku pengin ketawa.

"Kenapa?"

"Ya keren aja. Apalagi kalau dia itu cowok engineer yang kerjanya nggak melulu di dalam ruangan. Gue nggak sreg sama cowok yang kurang terpapar matahari. Juno jauh dari kriteria itu."

"Menurutku itu lebih kayak cowok idaman. Tapi urusan pasangan sejati bisa aja melenceng dari kriteria."

"Makanya aku mau masuk fakultas teknik. Berburu jodoh di sana."

Aku pengin ketawa lagi.

"Juno buat kamu aja," katanya kemudian.

"Nggak bisa."

"Kenapa nggak bisa? Seenggaknya meskipun dia bukan kriteria mataku, Juno itu tetap idaman banyak cewek. Dan tipikal cewek seperti kamu gue yakin banget juga suka sama cowok seperti dia."

"Termasuk idaman kamu juga?" tanyaku spontan. "Seseorang mungkin bukan kriteria matamu, tapi bisa jadi dia kriteria hatimu yang sebenarnya. Sudut pandang mata itu soal selera. Tapi soal kenyamanan hati itu erat kaitannya sama apa yang sebenernya kamu butuhkan tentang impian bisa berlama-lama hidup dengan seseorang."

Seketika dia menatapku tertegun. Sedikit melamun sebelum kemudian menampik. "Nggak," katanya dengan gelengan.

"Terus siapa? Apa kamu lagi naksir seseorang?"

"Itu sih alasan lainnya."

"Waw. And who is this guy?"

"Gue belum yakin banget sih. Dia udah nungguin gue lama banget sejak setahun yang lalu."

"Masa?"

"Asli."

"Tipe kamu?"

"Sembilan puluh persen."

"Anak Nuski juga?"

Ada satu anggukan serius.

"Aku pernah lihat anaknya belum, ya?"

"Kalau kamu sering lewat depan sasana bela diri sih kemungkinan pernah lihat."

"Namanya?"

Awalnya seperti ragu buat ngasih tahu. "Asbi."

Wait, what?

"HAH?" reaksiku spontan.

"Kenapa? Kamu kenal dia?"

Sesaat aku tetegun. "Nggak."

"Kalau pengin ketemu sama anaknya nanti juga bentar lagi dia nyusul ke sini."

"Nyusul ke kantin?"

"Iya. Katanya mau nganter aku pulang. Biasalah, cowok yang lagi usaha. Apa aja dilakuin. Tapi dia tulus banget orangnya. Baik kok. Tunggu aja. Tadi udah di parkiran katanya. Mau naik ke sini."

"Bukannya kamu mau pulang sama Juno?"

"Juno aku suruh buat antar kamu."

Aku tertegun sekali lagi. Masih kaget kalau Om Asbi juga sekolah di sini. Seriusan?

Tak lama kemudian ada satu cowok yang memakai jaket parasut warna merah mendekati meja kami. Jangkung. Badannya atletis. Punya tahi lalat di atas bibir kanan yang kalau senyum ikutan terangkat dan nambah cakep. Kulitnya warna sawo matang. Wajahnya lumayan. Aku semakin deg-degan dan takut bertingkah aneh di hadapan mereka. Meskipun mereka sekarang nggak tahu siapa aku di masa depan.

Om Asbi langsung duduk di sebelah Mama. Entah kenapa aku nggak setuju dua orang ini duduk berdekatan.

"Lana, ya?" tanya Om Asbi.

Kami salaman. "Iya." Nggak salah lagi ini memang Om Asbi remaja. "Aku ke bawah dulu deh, ya?"

"Duh, saya ganggu obrolan kalian, ya?" kata Om Asbi seperti nggak enak, "Kalau gitu biar saya aja yang nunggu di bawah. Kalian lanjut ngobrol aja."

"Oh, nggak. Aku sekalian mau ke toilet kok," aku beralasan. "Lagian masa aku mau jadi obat nyamuk di sini." Sekali lagi aku maksain senyum.

"Juno butuh kamu ada di sana," kata Kikan.

Aku memutar bola mata. "Duluan, ya."

Aku nggak bisa lama-lama melihat pemandangan dua orang yang nggak aku setujui ini berdekatan. Pasti ada yang salah. Tadi aku bisa melihat jelas Mama tertegun waktu aku membahas soal selera hati.

***
Sleeping At Last - Mind

[Estu Herjuno]

Setelah akhirnya bisa lepas dari kerumunan, gue memisahkan diri ke taman belakang sekolah. Taman luas yang dibiarkan lega oleh hamparan rumput hijau, jalan setapak, dan beberapa jenis pohon rindang. Gue memilih bangku sepi di bawah pohon tabebuya kuning yang tak lama lagi kembangnya bermekaran. Matahari sore sedang meradiasi bumi dengan warna kuning matang. Tenteram. Anginnya pun bergerak sopan.

Capek banget. Gue meneguk air mineral yang gue bawa. Kaos dalam gue basah oleh keringat. Gue sengaja memisahkan diri karena ada sesuatu yang gue curigai mulai kambuh. Lengan bagian atas gue sudah muncul beberapa bintik merah yang kemungkinan akan melebar. Sejak tercebur di kolam kodok badan gue terpengaruh. Vaskulitis gue seolah terpicu. Gue belum bilang ke salah satu keluarga gue soal ini.

Sidney:
- Gue cabut dulu ya, Bre. Doain semoga berhasil.

Gue balas cepat-cepat.

Gue:
- Oke, Bre. Tengs buat tudey.

Sid mau nembak Sahnaz. Terserah dia aja yang penting seneng. Auditorium udah gue pasrahin sama Bang Haryo buat diberesin.

Kepala gue pening banget. Rasanya kayak abis muter-muter. Gue bersandar biar lebih mendingan. Sampai nggak kerasa gue ketiduran sekitar belasan menit.

Gue terbangun karena ada seseorang yang duduk di sebelah gue, dan itu Lana.

"Lan," kata gue buru-buru membetulkan posisi duduk.

"Lanjutin aja tidurnya. Capek banget kan pasti."

"Nggak kok. Lana mau ngapain ke sini?"

"Nggak ada temen. Kikan lagi berdua sama Asbi. Sid pergi. Terus aku nggak akrab sama anak-anak yang lain."

"Oh."

"Aku nanya ke mereka kamu di mana."

"Di sini."

"Iya."

Gue bingung. Sebenarnya agak nggak pede karena pasti wajah gue sedang kacau.

Lana kemudian mengulurkan botol air mineral. "Air kamu udah habis."

Gue melirik botol yang sedang dia ulurkan di tangannya. Tapi malah salah fokus ke sebuah cincin yang melingkar di jari manis tangan kanan Lana. Bentuk cincinnya kok sama seperti punya gue? Hanya saja punya Lana berwarna biru dengan aksen glitter. Berkilauan.

Gue menerima pemberiannya. "Thanks," ucap gue.

"Mm."

"Omong-omong, cincin kamu bagus."

Reaksi Lana hanya tersenyum sambil memandangi cincinnya. Beberapa saat setelahnya dia seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu untuk dikatakan.

"Kamu juga punya, kan?"

Sekarang gue yang malah bengong. Tapi kemudian Lana merunduk untuk menurunkan kaos kaki panjangnya. Dan di sana gue melihat sebuah tato.

Napas gue tertahan. Gue memandang Lana dengan alis menyudut. Aliran darah di sekujur tubuh rasanya berdesir cemas. Lalu detik-detik berikutnya gue teringat dengan beberapa kejanggalan yang selama ini nggak pernah berani gue tanyakan ke Lana.

"I knew you have it too. On your chest. Aman kok. Nggak ada yang lihat selain orang-orang seperti kita," yang lana katakan justru bikin gue makin tertegun. Maksud dia apa dengan menyebut orang-orang seperti kita?

Gue menelan saliva. Masih menatapnya dengan bungkam. lalu ketika selama ini yang gue rasakan nyaman-nyaman saja dengannya, kini berubah menjadi getaran waspada.

"Lana tahu sesuatu yang nggak aku tahu," gue mengungkapkan dugaan. Ekspresi gue menjadi lebih dingin dan jaga-jaga.

Lana menoleh ke arah gue. Lalu meluncurkan senyum percaya diri yang seolah bisa meloloskan jantung gue dari gelayutnya. Senyum itu bermakna seperti dia ingin meyakinkan gue bahwa pembicaraan ini bukan sesuatu yang perlu ditakutkan.

"Banyak," jawabnya.

Gue menarik napas dalam-dalam. Lalu menunduk dan berpaling menghadap ke arah bangunan sekolah dan tribun lapangan sepak bola. Sangat sepi. Di tengah hamparan hijau ini hanya ada kami berdua. Nuski punya nuansa magis yang nggak pernah gue duga sebelumnya bahwa itu ada.

"Artinya apa?" tanya gue menoleh padanya lagi.

"Kita perlu tempat yang lebih sepi dari ini, nggak ada orang yang bisa lihat, juga titik buta dari pantauan cctv, karena kamu harus buka baju kalau pengin tahu arti dari semua keanehan yang mungkin bikin kamu bertanya-tanya selama ini."

"Hah?"

Tempat sepi dan gue harus buka baju? Dada gue meremang dan ketek gue merinding.

"Mau ngapain?" tanya gue dengan alis menyudut.

"Aku nggak lagi bercanda," katanya lagi.

Mulut gue membuka dan menutup karena ragu mau bicara. "Paling sepi ya di sini. Mungkin di balik pohon." Gue segera mengunci mulut karena entah kenapa pikiran cowok gue larinya ke mana-mana.

"Ya udah, ayo, di sini aja."

Ha?

Gue masih melongo persis seperti orang bego. Ini serius, mau ngapain?

Lana berdiri dan berjalan duluan ke balik pohon. Kepala gue patah-patah melongok ke kanan dan kiri. Plis lah, ini kalau ada orang yang lihat bisa dikira mau bikin skandal. No! B-b-but, why not? I mean, no! Big no, okay? Geez, God, stupid me!

Setelah gue menyusul Lana dan kami berdiri berhadapan di balik pohon tabebuya besar, Lana meminta waktu sebentar. Dia berjalan ke arah pohon, lalu menyentuhkan tangannya ke pohon itu.

"Lihat ini," pintanya.

Gue yang masih bego banget sama apa yang mau dia lakukan cuma bisa nurut. Dan secara mengejutkan, seolah jam fisologis pohon itu bergerak lebih cepat, kuncup-kuncup tabebuya perlahan menjadi mekar secara bersamaan! Tatapan gue melebar dan terkesiap. Bahkan napas gue tersita oleh keanehan itu.

Kemudian Lana melepaskan sentuhannya. "Lihat sekali lagi."

Gue nggak bisa ngomong apa-apa ketika Lana menyentuh pohon itu lagi, bunga-bunga yang mekar berubah menjadi kuncup seolah jam fisologisnya dimundurkan kembali.

"Kok bisa?" tanya gue.

"Mungkin kamu juga punya sesuatu seperti aku. Atau bisa jadi lebih besar." Tatapan Lana sangat percaya diri.

"Sekarang lepas kaosmu."

"Wait," kata gue, "Don't get me wrong. Tapi aku bingung ini mau ngapain."

Lana memutar bola matanya, "Lakukan aja! Ini aman."

Gue lalu nurut melepas kaos sandaranbahu. Dada gue terpapar kisi-kisi matahari yang menyusup dari celah-celah pohon. Dan gue jadi tahu ternyata itu tidak seperti tato pada umumnya. Dia berkilau seperti bertabur glitter. Sparkling in strange way.

Gue agak malu telanjang dada di depan Lana. Puting gue merinding astagaaaaa!

"Okay, what's next?" napas gue memburu. Gue takut ada orang yang lihat dan bikin pemberitaan yang aneh-aneh.

"Boleh aku sentuh dadamu?"

Mata gue melebar sekali lagi. Gue mengusap lengan sendiri karena canggung.

"Mau ngapain?"

"You'll know."

Gue tertegun sesaat dan kembali menelan saliva. "Oke."

Tanpa ragu lantas Lana mendekatkan dirinya sampai berjarak satu langkah dari gue. Kami berhadapan. Kemudian tanpa gugup atau malu-malu, Lana menyentuh dada gue. Dan gue yakin banget sejuta persen Lana bisa ngerasain detak jantung gue yang ribut bukan main.

Awalnya seperti omong kosong karena tidak terjadi apa-apa. Sampai kemudian gue melihat ke dada gue sendiri, cincin Lana menyala biru terang, dada gue terasa seperti dialiri tegangan listrik, cincin gue juga menyala ungu terang, dan sesaat kemudian tato di dada gue hidup seperti layar monitor. Lukisan galaksinya berputar pelan seperti langit malam. Bumi dan langit yang di dalam jam juga bergerak. Lalu yang paling menarik adalah ketika gambar sayapnya mengepak. Dan pada saat yang sama tulang belikat gue di punggung terasa menegang dan geli.

Lana melepaskan sentuhannya sambil melangkah mundur. Bibirnya tersenyum lebar, matanya berbinar, dan wajahnya terkagum-kagum.

"Coba menoleh ke belakang," ungkapnya. Dan saat itu juga gue terkejut sampai melonjak. Dua sayap cahaya berwarna putih membentang lebar di punggung gue dengan kilauan yang bertaburan seperti gemintang. Dan seolah kedua sayap itu sudah terhubung dengan tubuh gue saja, rasanya dua sayap itu seperti anggota tubuh baru yang bisa dengan sadar gue gerakkan. Bahkan saat gue sedikit panik, sayap itu bergerak panik juga.

"Apa yang barusan Lana lakuin ke aku? Ini apa-apaan?" tanya gue panik.

Lana masih terkesiap dengan wajah terkagumnya.

"Tenang dulu!" Lana malah terkekeh melihat reaksi gue. Ya mana ada sih orang yang bakal bisa tenang ketika dua sayap cahaya tumbuh di punggungnya? "Nggak ada yang bisa lihat semua ini kecuali orang-orang seperti kita."

"Orang-orang seperti kita yang kamu maksud itu apa?!"

Lana masih berdecak kagum. "Waw. Aku nggak pernah lihat sesuatu yang lebih indah dari ini!" ucapnya, "Bisa coba terbang nggak?"

"What? Kamu gila?!"

"Just try!"

"Nggak!" bantah gue. "Plis, ini gimana ngilanginnya?"

"Nggak bisa hilang. Karena sudah aktif."

"Jangan bercanda! Ini aku diapain sama Lana?" gue gemetaran. Panik banget.

"Aku nggak ngapa-ngapain!" wajahnya bahagia sekali. "Just communicated with your inner-self."

"Maksudnya apa?!"

"Oke, sekarang kamu tenang dulu, oke? Tenang. Atur napas. Pakai kaosnya."

Agak kesal gue buru-buru memakai kaos. Tapi sayap itu masih ada! Hanya saja rasanya seperti hologram sebab ketika mengibas sayap itu bisa menembus batang pohon yang terkena. Tapi dalam perspektif gue sayap itu wujud dan bisa disentuh atau dirasakan.

Setelah gue agak tenang, gue merasakan kedua sayap itu perlahan melipat.

"Jangan main-main sama aku," gue memperingatkan Lana sekali lagi. Cewek itu hanya melipat tangan di dada dan tersenyum puas.

"Kamu pengin tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi?" ucapnya.

Gue tidak menjawab atau mengangguk. Hanya tatapan waspada padanya.

"Oke, sekarang giliran aku. Semua pertanyaan kamu akan terjawab. Tapi aku nggak akan jelasin semuanya di sini. Maksudnya, tetap di sini tapi di masa yang lain."

Gue deg-degan bukan main. Bahasa cewek ini aneh.

Lalu Lana mengulurkan tangannya.

"Apa lagi?" gue tetap waspada.

"Pegang tanganku."

"Lan, plis," gue mengerjap sambil menggelengkan kepala. Takut.

"Percaya sama aku."

Senyum itu melemahkan segalanya. Lantas gue menurut.

Telapak tangannya yang halus bersentuhan dengan telapak tangan gue yang berkeringat.

Selanjutnya Lana memejamkan mata. Bibirnya masih tersenyum. Gue memperhatikan semua itu. Sampai kemudian sayap gue membentang kembali seolah mengikuti perasaan waspada gue. Dan sesuatu yang magis terjadi. Tembok-tembok gedung Nuski bergerak dan melipat-lipat seperti runtuh. Gue seperti sedang di dalam film fantasi. Genting-genting di atapnya juga bergerak-gerak hingga lesap. Tribun di lapangan juga demikian, sampai lapangan itu berubah menjadi tanah kosong yang masih ditumbuhi banyak ilalang. Sementara itu pohon tabebuya di belakang gue menyusut menjadi setinggi satu meter. Pun pohon-pohon lainnya. Ada yang menyusut, ada yang hilang, bahkan ada pohon lain yang tumbuh lebih besar.

Sayap gue mengepak-ngepak panik. Seperti burung yang siap dilepaskan ke udara. Semua keanehan itu terjadi sekitar dua sampai tiga menit hingga Lana membuka matanya.

Dengan segera gue melepaskan tangan lana dan mundur menjauhinya.

"Kamu sebenernya siapa? Kita di mana?"

"Aku masih Lana," dia masih yakin sekali ekspresinya.

Gue menggeleng panik.

"Kita masih di Nuski. Nuski ketika berusia satu tahun berdiri."

"Hah?"

"1999."

"Maksud kamu?"

Masa sih dia baru saja membawa gue melompati waktu ke masa lalu?

"Jangan main-main, ya, Lan!" gue nyaris membentak.

"Aku janji kita bakal kembali. Di sini aman."

Lalu gue mendengar suara orang berlari mendekat. Sampai akhirnya sosok itu muncul, ternyata dia adalah seorang cowok. Rambutnya tak disisir rapi. Seragam SMA yang dia pakai kumal. Bajunya dikeluarkan.

"Eh, elo lihat cewek lari ke sini, nggak?" tanya dia dengan logat bahasa gaul yang aneh di telinga gue.

"Nggak," jawab Lana.

Cowok itu mengabaikan kami begitu saja. Lalu dia berlalu kembali berlari. "Mel! Melati!" serunya memanggil nama. "Mel! Gue udah dapet tiket konser Sheila On Seven!"

Gue lantas menatap Lana begitu cowok itu pergi.

"Sebagai anak Nuski pasti kamu nggak asing dengan nama Melati," kata Lana.

Jantung gue berdebar cepat. Pun napas gue memburu berat.

"Ini adalah zamannya ketika dia masih hidup." Lana tersenyum antusias.

Berbeda dengan gue yang justru cengo dan napasnya terhisap entah ke mana.

God!

***

Sekuel sudah ada. Silakan kunjungi ceritanya di TheReal_SahlilGe

________________________

Bagaimana menurutmu bab ini?

Yang sambil dengerin musik, nuansa sad-fantasy-nya kerasa nggak?

________________________

Siap dengan kisah masa lalu Mbak Melati? 😁 Let's back to 90's!

Chapter 10 - Nuski Tempo Doeloe

Dan bab 10 bakal baper ampun. Hehehe. Lagu yang harus diputar juga asoyy banget. Agak nge-beat dan pumping in smooth way🙈

________________________

Guys, let me know:

1. Suka nggak sih kalian sama cerita Juno? :|

2. Kalau bisa kembali ke masa lalu, momen "kapan" kamu ingin kembali? Dan apa alasannya?

3. Kikan-Juno atau Lana-Juno?

4. Percaya nggak di masa depan manusia bisa membuat mesin time travel? Kalau saya sih nggak.

5. Boleh nggak saya bunuh Juno di akhir cerita? 💢 Saya ga suka kalian bahagya tanpa aer matha baca tulisan saya.

6. Tebak, Sidney bakal jadian nggak sama Sahnaz? 😂 Yang jelas kalau jadian saya mau minta izin ke kalian dulu, soalnya bakal banyak kealayan dan bucin vibes di bab-bab berikutnya. 😂

7. Rekomendasiin lagu dong yang menurut kalian cocok sama cerita ini? Saya perlu referensi.

8. Perlu ada POV Kikan nggak?

Lebih baik kalian pura-pura nggak tahu bahwa Lana itu siapanya Juno. Hehe.

Malam Minggu nanti (20.00) saya udah janjian sama anak-anak grup Sandaran Bahu mau live Instagram buat jawab pertanyaan kalian seputar Juno. Siapkan pertanyaan terbaiknya ya kalau mau tanya.

Di Instagram saya @sahlil.ge

Boleh main-main ke akun Wattpad saya juga TheReal_SahlilGe

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro