06 - Sinkronisasi Semesta
Alo! I'm back.
Saya sebenarnya masih pengin ketawain reaksi kalian sama kehaluan Juno di bab kemarin. Maafin ya 🙏🏻 Sengeselin itu kah? Hhhee.
Oke, guys. Imajinasi kalian agak dipertajam lagi ya di bab ini. Siap?
INSTRUKSI:
Sebelum membaca kalau bisa siapkan earphone dan Spotify/Joox/Deezer/iTunes atau platform pemutar musik lainnya. Nanti di tengah bab ada instruksi untuk memutar sebuah lagu untuk memberi efek magis ketika membacanya. Saya serius, ini penting banget. Karena lagu itu ada di dalam cerita dan saya rasa penting banget untuk kalian mendengarnya selagi membaca.
Kalau saat ini sedang tidak memungkinkan untuk membaca sekaligus mendengarkan musik yang nanti akan saya instruksikan. Boleh nanti dibaca ulang biar kalian benar-benar bisa merasa masuk ke dalam cerita. Promise me you will. 🙂
Selamat berkonsentrasi. 🌌
____________________________
***
CHAPTER 06
Estu Herjuno
Gue: Ini Juno.
Pesan itu sudah terkirim setengah jam yang lalu tapi Lana belum juga bales ―malah belum dibaca. Udah nggak terhitung berapa banyak gue bolak-balik lihat bilah notifikasi. Nihil.
Sekarang sudah lima menit cowok yang namanya Alan lewat dari janjinya. Padahal sudah jelas gue kirim lokasi Remember Me. Tapi gue nggak peduli misal mereka nggak jadi datang. Malah bagus. Agak males sebenernya bikin konten buat YouTube. Tapi nggak bisa dipungkiri gue butuh ginian juga. Maksudnya bisa buat promo webseries gue nantinya.
Tak lama kemudian ketika gue sedang memandangi ruang obrolan WhatsApp yang masih belum terbaca pesannya, pintu Remember Me terbuka. Dua cowok masuk.
"Permisi ada yang namanya Jono?" kata yang paling ngeselin mukanya. Gue yakin banget dia yang namanya Alan.
Mas Bahri yang sedang mencatat sesuatu di buku kecilnya menjawab dari meja transaksi. "Tuh."
Mereka gagal bikin kesan pertama yang oke di mata gue.
Lalu Alan dan terduga Naga berjalan ke arah gue yang sedang duduk di ruang tamu Remember Me. Mereka duduk bersebelahan. Masih pakai seragam Nuski. Pundaknya basah karena mungkin sempat kena hujan. Kami duduk berseberangan.
Sengaja gue sedikit mengangkat dagu. Mengunci mulut. Setel tatapan konservatif. Menyilangkan kaki kanan. Dan itu berhasil bikin mereka terlihat ragu buat basa-basi.
"Lo Jono, kan? Alan," dia mengulurkan tangan minta salaman. Gue lihat kuku telunjuk kanannya hitam. Antara nggak pernah dibersihkan atau bekas daki karena buat garuk. Unsanitary. Gue mengangguk ragu mau salaman. Lalu maksain salaman pada akhirnya.
"Juno."
"Gue Naga." Yang ini kukunya lumayan bersih.
"Juno," ucap gue menyalami.
"Juno, bukan Jono?" tanya Naga.
Gue mengangguk.
"Alan sialan!" Naga menoleh ke Alan. "Lo manggilnya Jono sih! Gue jadi ikut-ikutan!"
Alan nggak merasa berdosa. Reaksinya hanya mengangkat kedua bahunya. "Dia biasa dipanggil Buah Naga," kata Alan nambahin, "Naga itu bapaknya barongsai bukan sih?"
Gue bingung. Ini harusnya gue ketawa bukan sih? Naga memutar bola matanya. Kami bertiga saling tatap sebentar.
"Oke, nggak ada yang punya selera humor di sini," Alan nyerah.
Ya elah, tadi dia ngelawak?
"Oke, to the point aja," kata gue yang sebenarnya gatel pengin buka ponsel di saku karena getar-getar. Mungkin Lana.
Alan menyenggolkan lututnya ke Naga, "Nag, cepet ngomong," katanya setengah berbisik.
Naga lalu berdehem. "Jadi gini, Jon-. Sori, Jun. Um, kami mau ngajakin lo gabung tim buat konten YouTube."
"Yang kemarin ngontak gue siapa?" tanya gue.
"Ini si Alan. Gue cuma nyuruh." Naga menunjuk Alan.
"Dapat nomor gue dari siapa?"
"Penting banget nanyain itu? Gue dapat dari si Australia," jawab Alan.
"Nggak sekalian panggil dia Koala? Namanya Sidney. Jangan sering ubah nama orang."
"Iya itu lah."
Gue mendengus. "Jadi ini channel-nya mau kayak gimana? Coba jelasin dulu. Gue nggak mau gabung kalau cuma buat main-main nggak jelas."
Alan mencondongkan tubuhnya ke depan dengan wajah antusias. "Jadi rencananya kita bakal bikin channel travelling kayak My Sleep My Adventure. Ter-."
"My Trip," Naga mengoreksi cepat-cepat sambil menyentuh lutut Alan.
"Iya itu. Terus mungkin bakal tentang kuliner juga."
Oke, ini mereka masih dalam bentuk asap rencananya. Belum padat.
"Gini, Jun. Lo kan punya bakat editing yang mumpuni. Jadi kami pengin lo gabung biar kontennya bisa berkualitas dari segala sisi. Gue udah lihat hasil karya lo pas video sinematik Sumpah Pemuda kemarin. Itu keren sih. Terus dari sana gue lihat ada nama lo yang jadi penanggungjawab penyuntingan videonya. Gue juga ngulik karya lo yang lain di YouTube-nya ekskul film. Dan dari yang gue lihat sih, lo anaknya telaten sama detail. Kelihatan banget itu passion lo, makanya gue kira lo cocok aja kalau diajak gabung."
Naga pinter ngomong. Sementara itu Alan cuma mengangguk-angguk.
"Gue emang suka videografi. Tapi kalau untuk channel YouTube gue belum yakin," kata gue. Itu membuat Alan dan Naga saling tatap. "First thing first, gue perlu tahu dulu tujuannya apa bikin ginian? Terus, apa untungnya buat gue?"
Alan langsung menjawab. "Tujuannya biar terkenal, dong! Lo juga bisa terkenal nantinya. Keren!"
Nah, kan. "Oke, kalau itu alasannya, gue mundur dari sekarang. Mending kalian cari orang lain."
"Bukan gitu, Jun. Bukan," Naga menyanggah cepat-cepat. Seperti khawatir banget kalau gue nggak jadi ikut.
"Eh iya bukan itu. Tapi gimana, Nag?" Alan menoleh ke arah Naga. Nyadar bego.
"Lo diem dulu, deh, Lan. Gue aja yang ngomong!" omel Naga lirih.
"Iye," Alan meleng.
Sumpah, gue merasa punya energi tolakan dengan kepribadian Alan.
"Maksudnya ya terkenal bakal jadi bonus, kan? Itu wajar," kata Naga. "Tapi tujuan gue bikin channel karena gue pengin bikin konten yang punya kualitas dan integritas. Sesuatu yang berbeda. Yang banyak faedahnya. Jujur gue dapet banget pesan lo dalam video yang lo buat untuk Sumpah Pemuda tempo hari. Gue harap lo bisa nerapin skill itu di konten yang kita bikin bareng nanti."
"Duit Adsense bisa kita bagi rata," Alan menambahkan.
"Kalau pun gue mau gabung, gue udah nggak butuh popularitas apalagi cuan Adsense," jawab gue dengan nada serius. "Lo bilang pengin bikin sesuatu yang beda, kan? Tapi bukannya di awal katanya mau bikin konten kuliner dan perjalanan? Ayolah, jangan bercanda, udah banyak yang kayak gitu."
"Kita sajikan dengan cara berbeda," Alan agak serius juga.
"Beda kayak gimana? Lo mau berburu kuliner sambil telanjang biar beda?" ujar gue.
"Why not?!"
"Gila. Lo aja sana." Gue ingin lebih terus terang di depan mereka.
Naga menyikut Alan pelan. "Gini, menurut gue kita bisa bahas ini lebih jelas nanti. Soal konten gue pikir kita bisa saling nyumbang ide sambil jalan. Kita random dulu aja sampai akhirnya nemu konten yang sesuai sama kita. Namanya juga baru mulai. Nggak bakal bisa langsung naik. Kita harus bikin percobaan demi percobaan sampai akhirnya ada konten yang bisa jadi identitas kita."
"Betul," Alan mendukung pendapat Naga.
"Jun?" Naga berusaha meyakinkan gue. "Lo punya skill yang luar biasa. Dan gue butuh lo di tim ini."
Gue menatap kesungguhan Naga.
"Gue juga nggak butuh cuan Adsense, Jun. Kalau Adsense kita disetujui sama Google, kita bisa kok alihkan cuan kita buat mereka yang butuh. Mungkin bisa pake buat aksi sosial. Ya, kan?"
Jawaban kayak gitu yang pengin gue denger dari tadi. Gue mengangguk kecil. Saat itulah mereka berdua mengembuskan napas lega seolah sedari tadi tertahan selama di depan gue.
"Kalau pun gue gabung, memangnya ada peralatan yang mendukung buat gituan? Seenggaknya kita perlu studio, kita perlu software buat editing, kita perlu beli item editorial biar makin oke. Ada? Atau kalian cuma punya rencana tanpa nyiapin apa pun?"
Sejujurnya soal software dan item-item untuk editorial video gue udah punya lengkap, banget. Ulang tahun ke-17 gue kemarin gue cuma minta hadiah duit lebih ke Papa. Duitnya gue pake buat pembelian dalam perangkat lunak macam-macam. Bahkan gue punya personal studio di kamar yang biasa gue pake buat utak-atik sendiri. Perihal edit-editan buat YouTube itu cuma urusan kecil. Gue hafal bangat ciri khas dan pola editan video-video di YouTube. Gue cuma lagi ngetes sejauh mana Alan sama Naga dengan rencananya.
"Gue punya studio," jawab Alan. "Ini serius. Bekas pakai sih. Tapi semua peralatannya masih layak banget. Lumayan lengkap. Minus software aja. Tapi kan lo anak film. Pasti punya gituan." Tebakan beruntung.
"Di mana?" tanya gue.
"Ada di rumah gue. Deket kamar. Main aja deh nanti biar lihat. Boleh kok kalau mau dijadiin basecamp," jawab Alan.
"Seberapa lengkap?"
"Ada dua lampu buat lighting. Tripod ada beberapa. Kamera gue punya tiga. Toilet ada. Mebel ada. Papan tulis ada. Proyketor ada. Jendela ada. Oksigen ada," jelasnya.
"Jun, lo lihat nggak video-video Alan yang nggak jelas di Instagram?" tanya Naga. "Kasihan, kan? Dia punya studio tapi videonya kayak gitu. Miris gue," Naga berkata lagi.
"Gue nggak ada waktu buat nonton konten kacangan," jawab gue.
"Untung. Gue juga terpaksa lihat gara-gara ditunjukin temen."
"Jangan gitu dong, Nag!" Alan sebal. "Itu perjuangan cinta gue. Dan awal kesuksesan gue jadi seleb Nuski."
"Dih."
Gue terkekeh kecil untuk pertama kali. "Lo ngebet banget jadi seleb?" tanya gue ke Alan.
"Banget! Gue pengin ngalahin pacar baru mantan gue. Apaan, dia cuma ketua teater sama dapet peran utama doang. Lihat aja, gue bakal jadi YouTuber terkenal yang diajak kolab sama Rafi Ahmad! Dan Mak Beti."
Lah, ini bocah kenapa? Berapi-api sendiri.
Terlepas dari tujuan aneh si Alan, gue memikirkan untuk gabung. Nyobain dulu. Gampang cabut kalau arahnya udah nggak bener.
"Nag, lo ada partner lain yang modelnya nggak kayak dia, nggak, sih?" tanya gue menunjuk Alan. Gue mulai membuka diri untuk gurauan.
"Ye! Jangan salah! Naga duluan yang nyariin gue. Jelas dia terpikat sama mahakarya gue di Instagram. Lain di mulut lain di hati dia."
"Gue nggak terpikat sama video lo, Alan! Gue cuma lihat sisi positif lo yang nggak malu di depan kamera. Dan lo juga bisa kepake buat yang lebih gila dari itu kalau kita perlu."
"Udah, udah," lerai gue. "Intinya kalian datengin gue buat jadi videografer, ngurus editorial, dan jadi ideator? Gue bisa aja mau. Tapi dengan catatan, gue nggak boleh terlalu sering nongol di depan kamera. Bahkan kalau perlu nggak usah nongol aja. Kalian juga perlu catat, gue misal gabung nggak ada ekspektasi sama popularitas atau pun cuan hasil Adsense. Yang gue harapkan dari kalian sederhana."
Alan dan Naga fokus menunggu gue lanjut bicara.
"Pertama, ketika gue selesai garap setiap konten, tolong apresiasi dengan cara sewajarnya dan koreksi seperlunya. Kedua, selalu beri gue waktu untuk rampungin editan tanpa perlu ditanya-tanya kapan selesainya. Gue tahu kok kapan harus selesai tepat waktu. Ketiga-." Gue menjeda karena ragu buat bilang.
"Ketiga?" tanya Naga.
"Ketiga, jangan pernah berpikir untuk mengganggu ranah privasi gue."
Mereka berdua hening. Mungkin sedang merasa aneh dengan gue.
"Kalian paham?"
Alan mengangguk. Sementara itu Naga langsung mengulurkan tangannya sambil berkata, "Deal."
Gue menyambut salaman itu. "Oke, deal."
"Ya ampun aku terharu," kata Alan berlagak mau nangis. "Akhirnya kita dapet Pokémon langka ya, Nag."
"Thanks, Jun, udah mau gabung," Naga berterimakasih. Lalu melepas salaman.
"Gue orangnya bisa setia sama tim selama kalian memenuhi syarat gue tadi. Terutama syarat yang nomor tiga."
"Oke, kita paham." Naga mengangguk.
Setelah itu kami bertiga ngobrol sebentar. Obrolan yang lebih santai dan semacam upaya pengenalan diri masing-masing. Agaknya Naga sama Alan pun belum lama kenal. Nuski sekolah yang besar. Jadi nggak heran kalau masih banyak antar siswa yang belum saling kenal.
Kami bikin grup WhatsApp. Juga janji temu buat bahas nama channel dan konten. Hari dan tanggal gue serahin ke mereka. Lokasi di rumah Alan.
________________________________
INSTRUKSI:
Sudah siapkan earphone-nya? Oke sekarang ambil napas sejenak sebelum lanjut baca. Dan silakan cari lagu ini di pemutar musik mana pun.
Sleeping At Last - Saturn
Putar dengan mode mengulang 1 lagu. Kalau sudah mulai diputar lagunya, temen-temen silakan boleh lanjut baca sampai akhir bab selamat berkonsentrasi. 🙏🏻
________________________________
***
Sudah 24 jam gue nungguin, tapi pesan gue masih nggak dibalas juga sama Lana. Padahal udah centang biru. Pertama kalinya gue ngalamin kesel karena nggak dibalas pesannya oleh seseorang. Padahal biasanya kalau ada pesan gue yang nggak dibalas gue biasa-biasa saja.
Di sekolah gue sempat papasan sama Lana di depan sasana bela diri. Cuma selewat. Tapi nggak terjadi apa-apa. Dia kayak nggak nyadar lagi papasan sama gue. Gue bukan tipikal yang bakal nagih secara langsung. Apalagi ini sepele cuma nggak dibalas.
Udah gitu Sidney bilang malam nanti nggak jadi menginap. Dia janji bakal ganti malam besoknya. Itu bertepatan dengan malam Minggu. Alhasil malamnya gue manfaatkan untuk merancang beberapa hal yang bisa gue bahas keesokan harinya sama Sid.
Entah kenapa sejak gue mengiyakan gabung dengan Alan sama Naga, di dalam kepala gue seolah ada jendela tugas baru yang terbuka. Ada jendela tugas akademik, nulis, webseries, dan ketambahan channel YouTube. Lalu gue sadar ada satu jendela lagi yang rupanya terbuka paling menganga. Jendela Lana. Ibarat browser, kepala gue sudah multitasking banget berisi jendela-jendela halaman yang nggak bisa ditutup meski dibawa tidur sekalipun.
Sial.
Selesai bikin rancangan ide, gue berbaring di tempat tidur. Memandang langit-langit. Lagu berjudul Saturn milik Sleeping At Last mengalun dari Macbook gue. Aktifitas di dalam kepala gue membuat kening terasa gerah. Ini pertanda jelas kalau gue bakal demam tengah malam lagi. Gue rentan sama air hujan.
Ketika sedang berbaring gue entah kenapa kembali teringat pada penglihatan dari penampakan galaksi saat itu. Sebenarnya apa yang sedang terjadi pada diri gue? Kenapa gue mendapatkan penglihatan semacam itu padahal sebelumnya tidak? Jujur, apa yang gue lihat saat itu benar-benar indah dan begitu luas meski tak lebih dari lima detik. Dan suara-suara itu, semuanya.
Lalu gue mengangkat tangan ke atas, sekadar iseng ingin menggambar susunan planet atau rasi bintang secara imajiner. Gue mulai menggerakkan telunjuk untuk menggambar. Namun tak lama setelah gue menggerakkan telunjuk, seketika langit-langit kamar gue menghilang dan berganti menjadi pemandangan malam luar angkasa, lengkap dengan sinaran rasi bintang. Persis seperti apa yang gue lihat waktu itu.
Cepat-cepat gue bangun dari berbaring. Gue duduk menatap semua itu di atas kepala gue. Apa yang gue lihat benar-benar seperti ketika menonton film dengan kacamata empat dimensi. Terus terang saja, gue mulai panik. Namun karena ingin menemukan jawaban atas semua ini, gue lantas berusaha menenangkan diri dan berkonsentrasi untuk memahaminya. Tapi ini sangat sulit untuk dinalar. Bayangkan saja, saat ini kamar gue masih utuh namun atapnya seperti hilang, dan malah menampakkan galaksi secara empat dimensi.
Kamar gue seolah disulap menjadi artifisial planetarium secara nyata.
Gue mengucek mata dan menepuk pipi berkali-kali untuk memastikan bahwa ini bukan halusinasi. Tapi ini benar-benar nyata. Gue bahkan bisa merasakan semilir angin yang berembus dari atas. Ketika gue sedang sibuk terpukau dan heran dengan apa yang baru saja gue lihat, tiba-tiba saja tubuh gue seolah memiliki nol gravitasi. Perlahan-lahan badan gue terasa ringan. Gue tidak bisa melawan. Entah apa atau siapa seperti sedang mengendalikan tubuh gue. Mulut gue membisu. Tubuh gue seketika lumpuh dan pasrah terangkat ke atas. Tapi akal, hati, dan jiwa gue masih aktif dan sadar sedang mengalami semua ini.
Sekali lagi seperti gue sedang dikendalikan sebuah kuasa magis yang tak tampak. Mata gue terpejam dengan sendirinya. Bukannya menjadi gelap, justru dalam pejam itu gue seolah melihat semuanya. Waktu seperti sedang berdenyut di dalam nadi gue. Semesta terlihat sangat berwarna dalam gelap malam. Ada sebaran galaksi yang jumlahnya tak terbilang. Lesatan cahaya banyak sekali seperti komet-komet yang berseliweran. Kilasan-kilasan kehidupan mulai terlihat: manusia, binatang, tumbuhan, alam, wujud-wujud aneh yang tak pernah gue lihat sebelumnya dan bayangan semu seperti jarum jam yang berputar cepat. Lalu angka-angka penunjuk waktu dalam bentuk cahaya mulai melayang-layang di depan gue: 00.00, 01.01, 01.10, 02.02, 02.20, 03.03, 03.30, 04.04, 04.40, 05.05, 05.50, 06.06, 07.07, 08.08, 09.09, 10.10, 10.01, 11.11, 12.12, 12.21, 13.13, 13.31, 14.14, 14.41, 15.15, 15.51, 16.16, 17.17, 18.18, 19.19, 20.20, 20.02, 21.21, 21.12, 22.22, 23.23, 23.32. Otak gue dengan cepat langsung mengerti bahwa itu adalah angka jam dan menit dengan pola kembar dan terbalik.
Angka-angka yang menyala itu lalu membentuk formasi melingkar. Kemudian berputar-putar seperti baling-baling cahaya. Cepat sekali. Sampai tercipta gesekan listrik pada perputarannya. Semakin cepat putaran itu, semakin yang terlihat berubah menjadi seperti lingkaran cahaya. Lalu putaran itu melebur, dan berubah menjadi sebentuk cincin berwarna ungu gelap dengan kilauan seperti corak galaksi.
Kemudian satu sosok menyerupai manusia, memakai jubah cahaya berwarna putih, datang entah dari arah mana. Pergerakan sosok itu lembut sekali seperti asap. Dia mengambil cincin itu dan menyematkannya di jari manis kanan gue. Kemudian tubuh gue yang lumpuh dibaringkan olehnya di udara. Masih mengapung. Sosok itu melayang di atas tubuh gue. Aroma sosok itu wangi sekali. Untuk beberapa detik dia hanya melayang-layang di sana. Sampai kemudian secepat cahaya dia meluncur ke dada gue. Hentakannya membuat tubuh gue tertekan ke bawah. Paru-paru rasanya seperti terhimpit. Kepala seperti sedang diisi oleh tekanan yang sangat berat. Rasanya seolah gue sedang tersiksa namun tubuh gue tidak mampu melakukan apapun untuk melawan semua itu. Lalu dalam sepersekian detik gue sudah dikembalikan ke kamar gue semula. Dan langit-langit kamar gue kembali utuh.
Yang gue rasakan seolah tenaga gue habis terkuras untuk apa yang baru saja gue alami. Gue masih belum bisa bicara. Sekujur tubuh gemetar. Keringat merembas dari seluruh pori-pori. Dan kesadaran gue lalu menghilang bersama aliran darah dari hidung gue. Pingsan.
Paginya gue terbangun. Tenaga masih sangat lemah. Bekas mimisnya sudah mengering. Kejadian semalam ternyata bukan halusinasi atau mimpi. Itu sungguhan terjadi. Gue menggerakkan jari untuk merasakan apakah ada cincin atau tidak. Dan ternyata, ada.
Gue ingin berteriak minta tolong. Namun untuk bersuara saja gue terdengar sangat lemah.
Keajaiban datang ketika Kak Fe masuk ke kamar gue untuk menanyakan sesuatu tentang sponsor webseries. Akan tetapi dia langsung panik begitu melihat gue terkapar seperti manusia setengah mati di tempat tidur.
"Jun?" Kak Fe menepuk pipi gue. Gue berkedip lemah menatapnya. Dia berusaha mengelapi hidung gue. "Ya Tuhan! Demam kamu kenapa tinggi banget!"
Kak Fe lalu menelepon Mama dan Papa. Setengah jam kemudian mereka datang. Gue diperiksa. Gue disuntik. Gue ditanyai tanpa menjawab dengan pasti. Gue nggak mau dibawa ke rumah sakit. Dan akhirnya tenaga gue didorong oleh infus.
Siangnya sekitar pukul sebelasan lewat, gue sudah jauh mendingan. Gue sudah bisa bicara meski enggan bercerita karena takut dianggap gila. Apa keanehan itu hanya sampai sana? Belum selesai.
Mama meminta gue untuk salin karena baju yang gue pakai sudah tidak karuan oleh keringat. Mama mengambilkan gue satu setel pakaian santai.
"Ganti baju dulu. Mama nggak ke mana-mana, Sayang. Hari ini khusus buat kamu," kata Mama.
Gue lalu melepas baju. Namun anehnya di dada gue sudah terhampar sebuah tato bergambar aneh. Seperti perpaduan antara banyak hal. Sayap yang terbentang, galaksi, angkasa raya, dan sesuatu menyerupai jam pasir namun isinya bukan pasir. Tetapi gumpalan langit dan bumi.
Gue bergegas ke depan cermin membawa infus serta.
"Ada apa, Sayang?" tanya Mama keheranan.
Tapi Mama seolah tidak melihat apa pun di dada gue. Hanya kulit polos seperti biasanya. Sementara gue bahkan di cermin masih bertelanjang dada, bisa melihat hamparan tato itu dengan jelas.
"Nggak apa-apa, Ma." Suara gue gemetar.
Serius, Mama nggak lihat?
"Boleh minta ruang privasi nggak, Ma? Mau ganti," kata gue.
Mama terkesiap. "Oh, iya. Mama lupa. Ya udah, Mama keluar dulu ya. Kamu istirahat abis ini."
Setelah Mama keluar kamar, tak lama kemudian pintu diketuk dan diikuti suara Kikan yang minta izin masuk.
Plis deh, gue baru ganti celana!
Setelah selesai lalu gue berseru, "Masuk."
"Lo tumbang lagi?" tanya dia yang sepertinya sudah siap mau siaran. Ini Sabtu. Sekolah libur tapi beberapa ekskul tetap jalan.
"Hm," jawab gue.
"Oh. Gue punya dua kabar besar, sangat besar."
"Apaan?"
Kikan berjalan ke arah jendela dan membuka gorden kamar gue lebar-lebar. Sinar matahari menyeruak masuk ke dalam kamar.
"Pertama, ini mungkin nggak sebesar kabar kedua, Lana nanti malam mau nginep di sini. Di kamar gue."
"WHAT???" gue melongo. "Lo serius? Mau ngapain dia nginep?"
"Oke, kita tahan alasannya dulu. Gue lebih tertarik ngasih tahu lo kabar keduanya."
"Serius, Kan, lo jangan main-main. Gue lagi nggak karuan banget ini."
"Gue nggak lagi bercanda."
Gue mendengus skeptis. "Apa?"
"Lo lihat sendiri aja. Link-nya gue kirim ke WA."
Gue masih curiga dia lagi main-main.
Begitu link-nya gue terima, gue langsung klik tanpa baca itu link apa. Dan begitu halaman web yang tertaut muncul di layar ponsel, mata gue melebar ....
DEMI APA PUN!
*************************
Sekuel sudah ada. Silakan kunjungi ceritanya di TheReal_SahlilGe
***
Apa yang kalian rasakan atau pikirkan saat membaca bab ini?
Ada yang mengikuti instruksi saya dan baca sambil dengerin lagunya? Bagaimana rasanya?
__________________________
Atur napas dulu. 🙂
Kalau udah, sila jawab ini. Dengan menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan cerita, itu bisa membantu memperdalam pemahaman kalian pada cerita.
1. Apa imajinasi kalian bekerja dengan baik pas baca bab ini?
2. Tergambar jelas kah di kepala kalian apa yang Juno alami?
3. Menurut kalian, apa ini masih ada hubungannya dengan Lana?
4. Di bab ini yang bisa lihat tato itu hanya Juno. Kecuali cincin ungu gelap bercorak galaksi yang semua orang bisa melihat Juno memakainya. Menurut kalian, kalau itu pertanda Juno memperoleh kekuatan alamiah super, kekuatan semacam apakah itu? Ada yang bisa menebak?
5. Judul 'Jangan Baper' maknanya di cerita ini sangat dalam. Jadi harus siap ya kalau nanti saya kupas satu-satu di bab-bab berikutnya. Awas, plot twist bertabur di mana-mana. Kalian harus jeli.
Sampai jumpa malam Minggu nanti. Semoga suka sama cerita Juno.
Buat yang tadi nggak nemuin lagunya:
Oh iya, grup WhatsApp sudah ada. Link ada di bio Instagram saya.
@sahlil.ge
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro