01 - 𝕻𝖆𝖚𝖘𝖊
Baik, sebelum kita mulai petualangan rasa di cerita ini. Saya ingin temen-temen absen dulu dengan cara komentar Kota asal, tanggal, dan persisnya pukul berapa temen-temen mulai baca kisah Juno ini. Contoh: Bandung, 9 November 2019. Pukul 19.00 WIB.
DI SINI
Saya cuma pengin tahu dari mana saja pasukan pembaca yang bakal ambyar masal di cerita ini. 😇
Oke. Siap?
Here we go.
_________________________
***
CHAPTER 01
[Estu Herjuno]
Sudah sekitar lima bulan gue tidak bikin unggahan apa pun di Instagram. Sekalinya bikin story, tiba-tba banyak DM yang masuk. Gue lupa nggak membatasi siapa yang boleh balas story. Makanya membeludak. Mereka nggak penting. Maksudnya, itu cuma cewek-cewek yang pada jago ngalus. That cyber crowd made me feel like, overdose on social media. I'm an introvert. A cool introvert, they said.
- Setelah sekian abad akhirnya nongol lagi. Astagah! Jun, aku rindu tulisanmu! 😢
- Kok cakep sih, Jono! 😭
- Lagi nulis apa, Kak?
- Ini mataku yang rabun atau kamu emang makin uwu tiap unggah foto? :')
- HBD, author kesayangan! Wishing you all the bestest! Sori telat lima hari ngucapinnya. Baru nemu Wattpad kamu dan follow IG kamu soalnya.
- Kapan update cerita baru, Kak?
- Sengefans itu aku sama kamu. Ditunggu cerita barunya ya, Luv.
- Hai.
- Kak, kemarin kok aku kayak lihat kamu yah di toko sepatu?
- Novel Time And The Stories Left Behind karya Kaka beneran mau dibikin webseries? Kenapa nggak diterbitin mayor dulu sih? Kenapa SP mulu? You are worth it for such a bigger shout! :(
- Folbek Ka.
- Kak hari ini aku ulang tahun. Ucapin dong kak. :(
- So cozy.
- Demi apa ini wajah Kak Juno?
- Entah apa yang merasukimu, tiba-tiba unggah foto cakep di story. Huaaa, nanges aku!1!1!
- Jaketnya cakep. Orangnya pun :)
- Kak, nerima endorse pemutih ketek, ngga?
- Up lagi dong kak ceritanya. Aku suka!
- Semalam aku solat hajat pengin dilihatin wajah jodohku. Terus sekarang lihat wajah kamu. Apakah ini artinya pencarianku sudah sodaqallahul adzim? :')
Gue berdecap heran. Nggak ada satu pun dari mereka yang gue izinkan perpesanannya. Biarin mengendap, nanti juga hilang dengan sendirinya. Satu-satunya DM yang gue balas cuma dari Kikan.
Kikan:
- Sebuah anomali seorang Juno bikin postingan. Nggak tanggung-tanggung unggah pose cozy lagi ngetik deket jendela. Mau bikin cewek-cewek khilaf?
Gue:
- Nyawa gue udah balik. Kangen wattpad. Udah lima bulan nggak unggah lagi sejak cerita terakhir tamat. My readers are going crazy now.
Kikan:
- Gue mau siaran dulu sama anak-anak ekskul.
- Btw, lo ada cucian nggak di loundry? Nanti gue sekalian ambilin.
Kikan tinggal serumah sama gue. Orang tua Kikan temen dekatnya Papa. Saat itu terjadi kecelekaan pesawat. Jasad orang tua Kikan tidak ditemukan. Akhirnya duka Papa membawa Kikan menjadi tanggung jawab keluarga kami. Papa membeli satu rumah di komplek elit untuk kakak gue yang bernama Feronika. Rumah itu berjarak dua puluh menit perjalanan motor ke Nuski. Kak Fe punya bisnis online dan clothing line. Kantornya juga di rumah. Like, home business. Karena jarak yang dekat dengan Nuski, makanya gue sama Kikan tinggal bareng Kak Fe. Bertiga. Tapi selalu rame sama rekan kerja Kak Fe. Ada juga sih dua ART yang kebetulan suami istri. Namanya Pak Hadi dan Bu Hadi (serius gue nggak tahu nama istrinya).
Gue:
- Nggak ada. Gue nitip sempolan depan gang dong. Tadi mau beli malu. Gue takut kecipratan minyak panas lagi.
Gue suka banget sama jajanan pinggir jalan. Cuman gue hampir nggak pernah beli sendiri. Selalunya nyuruh temen cowok gue, Sidney. Atau yang paling sering ke Kikan. Pengalaman gue beli basgor minyaknya meletup kena tangan. Membekas seujung pulpen. Untung nggak sampai harus amputasi. Dan itu cukup bagi gue untuk jadi pembelajaran hidup. Minyak goreng panas itu horor.
Kikan:
- Itu aja? Ini gue pulangnya agak malem loh. Kayaknya pukul sembilan baru nyampe rumah.
Gue:
- Iya, gue tahu. Lo harus siaran di radio sekolah. Terus pulangnya langsung ambil sif paruh waktu di binatu. Dan besok karena hari Minggu, lo punya paruh waktu di toko dvd.
- Kenapa sih lo nggak di rumah aja? Pesangon dari bokap gue belum dikasih? Lo lagi nabung buat apa lagi? Hp baru? Tiket konser Wak Doyok?
Kikan cewek termandiri yang pernah gue kenal. Agak tomboi memang. Gaya penampilannya jauh dari feminis. Dia suka memilin lengan bajunya sampai dekat pundak. Rambutnya panjang, seringnya diikat simpel. Ada rencana mau potong rambut dalam waktu dekat, katanya. Dan selalu ada rambut yang menjuntai di dekat kedua telinganya. Jarang kelihatan dandan. Kalau kuliah konon mau ambil jurusan teknik elektro. Cita-citanya pengin punya bengkel reparasi alat-alat elektronik.
Wahai, dia lebih lakik dari gue.
Kikan:
- Kalau pun gue ada duit dari bokap lo. Gue tetep nggak bisa diem, Junedi! Lagian biar ada aktivitas. Gue nggak bisa kalau harus rebahan.
Astaga, padahal rebahan itu surgawi.
- Emangnya lo, yang pulang sekolah mending anteng di rumah. Keluar kek, main apa kek. Fans lo banyak tuh di luar.
Gue:
- Ya elah, gue juga kadang keluar kali.
Kikan:
- Iya, tapi kalau ada ekskul film doang.
Gue:
- Makanya, gue di rumah juga sambil observasi. Nonton film-film kece.
Kikan:
- (((observasi)))
- Udah ah, gue mau siap-siap siaran. Bentar lagi giliran gue.
Gue:
- Sekarang siapa yang jadi tamu obrolannya? Gue dengerin dari sini kok.
Kikan:
- Anak pertukaran pelajar itu. Yang seminggu ini jadi topik gosip favorit anak cowok.
Tak lama kemudian saluran radio Nuski FM yang cuma bisa diakses via ponsel pintar sudah mulai siaran. Kikan membuka dengan gaya suaranya yang enak. For your info, Kikan juga jago nyanyi dan gitaran akustik. Sementara gue jago banget di urusan nonton dia gitaran, dengerin dia nyanyi-nyanyi di dek rumah, dan rikues lagu-lagu kacangan buat dia nyanyiin. Cara Kikan ngomong dan nyanyi gue kira terdengar mirip banget sama Danilla Riyadi ―standar baru cewek keren bagi cowok zaman kiwari. Calonnya kalau Kikan udah dewasa lagak-lagaknya bakal mirip juga. Cool in aproachable way. She has a wondrous thought about everything. Keren, keren, dan keren. Gue belum ketemu lagi cewek seumuran yang satu spesies seperti dia.
"Owkey, guys. Kali ini gue udah bareng sama sosok viral yang bakal nemenin sesi gue siaran kali ini. Tentunya juga bakal nemenin Nuskian yang masih pada santai di weekend ini, yah. Atau Nuskian yang masih di perjalanan pulang. Atau kalian yang lagi comvey di posisi istirahatnya masing-masing. Atau siapa pun deh yang lagi dengerin saluran ini," kata Kikan. Suaranya lebih kontras dari alunan beat hip-hop yang lirih sebagai latar belakang. Masih kedengeran kok meski harus saingan sama suara ketikan jemari gue di kibor.
"Nah siapa sih yang nemenin gue kali ini? Langsung aja deh ya orangnya sendiri yang bakal kenalan. Haiiiii!"
"Halo, temen-temen Nuski! Duh, gugup juga, ya."
"Kalem aja. Emang ini tumben aja yang kelihatan lagi dengerin banyak banget nih. Kayaknya sebanyak itu juga deh yang penasaran sama kamu. Dan tahu nggak sih, kamu itu lagi jadi bahan pembicaraan kebanyakan Nuskian. Terutama para cowok nih. Hapal banget gue mah. Beda treatment kalau sama yang bening-bening," Kikan tertawa.
"Ya ampun, biasa aja aku padahal. Hehehe. Oh ya, kenalin buat yang belum. Aku Nacita Kelana. Salah satu siswi pertukaran tahun ini. Seneng banget bisa diterima sama temen-temen semua. Baik-baik banget. Kayaknya bakal betah satu semester ini. Panggilnya Lana aja, ya."
"Ini belum apa-apa udah banyak banget nih yang nanyain IG-nya," kata Kikan, "Dan anak cowok semua." Kikan berdecap.
"Duh, aku itu jarang main IG padahal. Jadi kalau dikasih tahu nama akunnya pun nggak ada unggahan apa-apa."
Pernyataan cewek itu membuat jemari gue berhenti mengetik.
"Kenapa tuh, Lan? Kan asik kalau main sosmed. Seenggaknya bukan cuma buat seru-seruan aja kan yah. Tapi dengan memakai sosmed kita juga bisa tahu kabar teraktual dan perkembangan geliat kehidupan sekarang."
"Umm, kurang suka aja," cewek itu menjawab dengan kekehan kecil.
Berikutnya obrolan mereka melebar ke mana-mana. Gue nggak begitu fokus. Cuma bisa enjoy sesekali Kikan muter lagu yang dirikues. Sampai kemudian sesi terakhir Kikan nanyain mapel apa yang paling Lana sukai.
"Sejarah. Aku suka banget sama sejarah," jawab Lana. Gue mengambil botol mineral dan meneguk isinya. Bersandar nyaman di kursi putar. Sambil sesekali memeriksa ulang hasil ketikan.
"Kenapa suka sejarah? Bukan karena gurunya yang oke itu, kan? Hehe, sori Pak Ilin, yang barangkali lagi nyimak."
"No. Aku emang suka banget sama sejarah. Dari dulu sih."
"Alasannya kenapa tuh? Karena gue sendiri masih suka kagok ya kalau belajar sejarah. Haha. Nangis."
Nggak tahu kenapa gue penasaran sama alasannya.
"Um, gimana, ya. Sejarah itu lebih dari apa yang perlu dipelajari dari hidup sih menurutku. Kayak, secara inheren sejarah itu melekat pada masing-masing dari kita. Banyak hal. Mendetail. Misal, cara kita merayakan ulang tahun, itu pun bagian dari menghargai sejarah. Kita mengingat kembali kapan kali pertama kehidupan bermula untuk kita di tiap tanggal dan bulan yang sama. Sejarah bagiku juga ... tentang permulaan, proses, akhir, dan bagaimana itu dikenang.
Apalagi aku anaknya analisis banget. Ya, seenggaknya sampa taraf tertentu lah. Makanya dibanding instagram aku malah seneng main ke YouTube, or something like Quora, Podcast, Reddit, TED, dan baca buku-buku yang membahas tentang sejarah apa aja."
"Terus?" Gue senang sekali ketika Kikan minta jawaban terus. Merasa terwakili.
"Iya, sejarah itu menarik aja sih. Aku juga suka sejarah yang naratif, di mana babak-babak kehidupan disajikan dalam format seperti cerita. Historical Fiction. Kayak, ketika orang tua kita nyeritain sejarah masa lalu mereka, itu juga seru, kan? Dan sejarah itu kayak punya banyak fakta menarik dan kisah-kisah hebat yang mati ditinggal waktu, yang jasadnya selama ini seolah memohon-mohon untuk terus diceritakan oleh mereka yang masih hidup di punggung waktu biar sejarah itu tetep ada, meski cuma dalam ingatan."
WHO IS THIS GIRL?!
"On the other side, dan mungkin ini alasan yang paling kuat kenapa aku suka banget sama sejarah, adalah kronologi."
"Kronologi itu seperti hal-hal yang berkaitan dengan pembabakan waktu bukan sih?" Kikan menyambar.
"Dari kata cronos yang artinya waktu dan logos yang artinya ilmu."
"Nah, itu maksud aku."
"Ya, itu sih paling. Karena sejarah nggak akan tercipta tanpa adanya waktu. Sejarah hanya akan tercipta ketika waktu berjalan. Misal, pagi tadi adalah sejarah untuk sore ini. Disebut sejarah karena waktu menggiring kehidupan ini sampai sore, kan? Kalau waktu berhenti ya semuaya terjeda. Semuanya diam di tempat. Lalu sejarah nggak akan pernah terlahir. Atau katakan saja sejarah bisa lumpuh.
Coba deh. Kalau kita memahami sejarah dengan baik, itu bisa memperluas pemahaman kita tentang kemanusiaan dan macam-macam kebudayaan. Makanya aku sering bikin guru sejarah kerepotan kalau aku udah mulai nanya. Hahaha. I would endlessly pester them for a reason that I thought I deserved. It's always been a part of me, and studying history helps fulfill the need for understanding that I inexplicably seem to have. I love history that much. Thank you for asking that, Kikan!"
Sori, gue nggak paham dia ngomong apa di akhir kalimatnya. Vokab dia di atas rata-rata.
Selama Lana bicara, gue menahan napas sembari otak gue mencerna setiap kata yang dia tuturkan. Siapa sih cewek ini? Kok kepintarannya seksi banget bagi gue. Seseorang yang menyukai sejarah dengan sebuah alasan yang bisa akal gue terima. Bahkan untuk cowok seperti gue yang terhitung punya rangking bagus di kelas nggak pernah kepikiran untuk sebegitu mencintai satu mata pelajaran dengan alasan yang juga sebegitu cantiknya. Dan sekarang gue malah seolah tergerak untuk belajar jatuh cinta dengan sejarah. Juga.
WHO-, WHO IS THIS GIRL?!
***
Saat Kikan pulang gue udah nungguin di anak tangga. Kamar gue, Kikan, dan Kak Fe terpisah di lantai dua. Sedangkan lantai satu dipusatkan untuk urusan umum termasuk wilayah kerja Kak Fe.
Rumah ini gedenya nggak bercanda. Bokap memang mengkustomisasi rumah ini karena alasan untuk mendukung bisnis Kak Fe. Makanya gue sama Kikan jarang ikut nimbrung di lantai satu karena rame sama rekan kerja Kak Fe yang kadang, baru pada ngacir kalau udah lewat pukul sebelas malam. Gue sama Kikan lebih aktif di lantai dua yang juga udah ditata semua pemenuh kebutuhannya. Selain itu ada escape space di dek rumah lantai tiga. Mungkin semacam rooftop? Itu area terbuka yang lumayan luas. Dialasi rumput sintetis pada beberapa bagian, dan yang lebih luas lagi dikover sama lantai parket dari kayu jati. Ada beberapa kursi malas dari penjalin atau rotan. Ada satu gazebo kecil masih dari kayu jati juga. Satu ruang untuk mini kitchen, fungsinya jelas, ya. Dek ini nggak sepenuhnya terbuka. Karena ketika hujan tetap ada peneduh dari sliding roof atau atap geser transparan yang buka-tutupnya bisa dikendalikan dengan beberapa tombol di alat seperti remot. Kak Fe mengusulkan ke Papa untuk merealisasikan rubanah (ruang bawah tanah) biar difungsikan sebagai gudang stok.
Gue meringis waktu Kikan mendapati gue menghalangi jalannya di tangga.
"Dari cara lo natap dan senyum aneh itu, kayaknya gue tahu kalimat yang mau lo ucapkan arahnya ke mana," kata Kikan terus terang.
"Sempolan."
"Nggak, bukan. Nggak ada sempolan yang namanya Nacita Kelana."
"Anjrit, mana sempolannya?" gue nyengir.
Kikan memutar bola matanya. Lalu menyerahkan kantong plastik kresek warna putih isi sempolan.
"Berapaan?"
"Lima juta."
"He! Berapaan?" gue mengejar langkah Kikan yang melewati gue menaiki anak tangga.
"Gue capek, Juned. Kalau mau ngobrol nanti dulu deh. Gue mau mandi. Kalau perlu ngobrol apa aja, gue mau ladenin nanti," jawabnya.
Gue berdecap menyerah, "Ya udah. Di dek, ya?"
"Ya."
"Keysip!"
"Eh, lo naik dulu dong ke dek," ujar Kikan lesu. "Kemarin gue sama Kak Fe beli ramyun. Dan kayaknya masih sisa tiga bungkus. Masakin yah?" Seringai itu muncul di wajah letihnya.
Gue memutar bola mata. Ya Tuhan, masak ramyun? Nyalain kompor? Air mendidih?
"Buru, ih! Giliran gue yang minta tolong nggak pernah gercep lo ah. Curang banget sih," protes Kikan sebelum menutup pintu kamarnya.
"Pedes nggak?!" teriak gue di depan pintu.
"Pedeeeees!" jawabnya dari dalam kamar.
Gue lalu berderap menaiki tangga sampai ke dek. Di atas dek langit kelihatan rapat ditutupi awan. Terdengar guruh menggelegar dari balik awan gelap itu. Untuk jaga-jaga gue menekan tombol agar atap menggeser sampai tertutup barangkali nanti hujan.
Dan bener aja. Ketika gue lagi masak air buat matengin ramyun, hujan turun cukup deras. Gue lantas bergegas menyalakan penghangat ruangan agar suhu di dek tetap nyaman.
Namun sebuah keanehan terjadi. Seketika itu juga seolah ada yang baru saja menekan tombol pause pada kehidupan ini. Secara harfiah. Semua suara seolah hilang. Hening. Tidak ada suara hujan. Tidak ada suara musik dari lantai satu. Tidak ada suara air yang mendidih. Tidak ada suara deru mesin penghangat. Tidak ada suara serangga malam. Gue celingukan aneh. Menoleh sana-sini dan segalanya semakin terasa aneh. Gue nggak salah mengibaratkan, tapi semuanya benar-benar terhenti. Tidak ada pergerakan sama sekali. Percaya tidak percaya, bahkan gue bisa melihat dengan jelas air hujan yang terhenti di udara. Pohon yang tadinya tertiup angin pun mematung dengan pose ranting yang aneh.
Tangan kanan gue lalu menyentuh dada kiri. Detak jantung gue tidak berhenti, baguslah. Lalu kenapa semuanya terhenti? Gue berjalan ke arah kompor, dan di sana jilatan api pun mematung. Gue pun melihat dengan jelas uap dari panci yang terhenti di atas tutupnya.
Karena merasa ini nggak wajar dan malah creepy, gue lalu bergegas menuruni tangga. Gue mengetuk-ngetuk pintu kamar Kikan. Berkali-kali namun tidak ada jawaban sama sekali. Hening. Lantas gue turun ke lantai satu. Arah yang gue tuju adalah ruang kerja kakak gue. Dan alangkah terkejutnya gue ketika mendapati semua orang sedang mematung dengan ekspresi terakhirnya. Justru itu bikin gue nggak berani mendekati mereka.
Gue menoleh ke jam tangan. Dan mata gue membelalak ketka melihat semua jarum penunjuk waktunya berhenti. Gue mulai deg-degan nggak jelas. Jam dinding pun sama, semua terhenti. Situasi aneh ini semakin membuat gue panik bukan main.
Kemudian gue buru-buru ke arah dapur. Di sana ada Bu Hadi yang sedang mematung dalam posisi mencuci piring dengan aliran keran yang terhenti juga. Lalu belum sempat gue balik badan, tiba-tiba seperti ada yang baru saja menekan kembali tombol pause. Dan secara otomatis segalanya bergerak kembali. Giliran gue yang terhenyak kebingungan.
Bu Hadi menoleh ke arah gue terkejut sampai tubuhnya sempat melonjak, "Ya ampun! Mas Juno bikin kaget, Ibu! Sejak kapan berdiri di situ?"
Ekspresi gue masih cengo. Ini perasaan gue saja atau kehidupan baru saja terjeda selama beberapa menit?
***
Sekuel sudah ada. Silakan kunjungi ceritanya di TheReal_SahlilGe
***
Oke, segitu dulu.
Jadi kesan pertama kalian sama Juno bijimane?
Sampai jumpa hari Senin, Bosque.
Enaknya diunggah pukul berapa?
Biar Kakanda siap-siap.
Sebelum keluar halaman baca. Jangan lupa tambahkan ke perpustakaan. Dan vote. 💯
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro