Bab 3; TARGET
Dominic merasa sangat kecewa. Ia merasa hidupnya hampa dan tidak ada guna. Selama ini, ia menjadi mainan Pandu untuk membunuh musuh-musuh Pandu. Awalnya memang ia menolak. Tapi Pandu terus meracuninya, menyiksanya, bahkan hingga tiga hari Dom tak mampu bangun dari ranjang.
Malam valentine ini rasanya malah malam yang terburuk dalam hidupnya. Ia lelah. Hatinya sudah sangat kotor dan ia tak akan pantas bersama Tiara. Ia sudah melihatnya tadi. Betapa Tiara sangat polos dan anggun. Ia tak ingin mengotori Mawar Damacena itu lebih dari ini. Dom menyetir mobilnya pulang dengan perasaan gamang. Ponselnya meraung-raung di sebelahnya, tetapi tidak ia gubris. Ia tahu panggilan itu dari Pandu. Dan ia sedang malas menjawab panggilan Pandu. Adakah orang yang mampu membunuh brengsek itu?
***
Rumahnya Dominic nampak sunyi. Setidaknya neraka kehidupannya terkurangi sejak orang tuanya bercerai dan hidup dengan pasangan mereka masing-masing belasan tahun silam. Itu lebih baik, karena mereka selalu bertengkar dan memperebutkan piala ego jika berada di rumah. Telinga Dom selalu gatal dan risih dengan pertengkaran mereka. Berharap, esok adalah pagi yang penuh dengan kedamaian.
Dom membuka pintu rumahnya dan Mbok Sinta menyambutnya seperti biasa. "Kok sudah pulang, Den? Katanya mau kencan?!" kata Mbok Sinta dengan aksen jawanya yang kental. Dom mendesah putus asa. Ia akan duduk di sofa sebelum ketukan di pintu menghalanginya.
"Biar si Mbok bukakan, Den," kata Mbok Sinta saat melihat wajah majikan mudanya yang pias.
"Jangan!" cegah Dom. Firasatnya buruk. "Mbok masuk saja. Biar saya saja yang buka."
"Tapi, Den." Mbok Sinta mulai tidak enak dengan majikan mudanya.
"Percayalah, Mbok. Apapun yang terjadi, jangan keluar! Kunci pintu rapat-rapat, OK?!"
"I-iya, Den." Mbok Sinta tergesa memasuki kamar di dekat dapurnya dan mengunci diri di kamarnya persis apa yang disuruh majikan mudanya.
Dominic membuka gerendel pintu depan dengan perasaan was-was. Seorang pria yang dikenalnya berdiri di depan pintu. Nyengir lebar.
"Ada apa?!" kata Dom kesal.
Pria itu menodongkan senapan biusnya dan menembakkan langsung ke jantung Dominic. Tersenyum puas melihat Dominic roboh di depannya. "Bawa dia!" perintahnya pada anak buahnya.
***
Guyuran air sedingin es itu membangunkan Dominic. Kepalanya berat seperti ditindih batu berton-ton. Matanya mulai menangkap siluet-siluet yang dikenalnya. Tapi kini siluet-siluet itu seperti berbayang. Ia menyadari dirinya diikat di sebuah kursi lipat.
"Oohayo gozaimasu Dominic-kun," kata Pandu bernada mengejek. Dominic tak menemukan kata untuk membalas ejekan Pandu. Kepalanya masih berat. "Ini sudah pagi. Waktunya bangun pemalas. Ngomong-ngomong aku kecewa dengan pekerjaanmu semalam," kata Pandu datar.
"Apa...," desah Dominic. Pandu menarik kasar rambut Dom ke belakang. Meremasnya. Mata mereka bertumbukkan.
"Apa kau mulai lemah, Dom?! Apa karena gadis itu?!" suara Pandu berupa bisikan.
"Aku sudah membunuhnya!" tandas Dominic. “Aku membidik jantungnya!”
"TIDAK! Dia masih hidup. Dan kau gagal! Erik. Lepaskan dia!" Pandu menyentakkan kepala Dom kasar. Erik datang dan melepaskan ikatan yang membelenggu Dominic. "Kau tahu sendiri konsekuensi kegagalanmu,” kata Pandu mengingatkan Dominic akan hukumannya. Pandu beralih kepada anak buahnya. “Erik, beri dia hukuman!" kata Pandu datar. Ia duduk di kursi beledunya menyesap gin dan tonic-nya sambil mengawasi anak buahnya bekerja memukuli Dominic bagai sarung samsak.
Dominic masih dalam pengaruh obat bius sehingga fokusnya belum kembali untuk membuat pertahanan dan menyerang anak buah Pandu. Hingga Dom tak mampu berdiri lagi, jatuh tertelungkup. Pandu berdiri dan menyuruh anak buahnya berhenti. Ia mendekati Dom yang tertelungkup. Lebam-lebam memenuhi wajah dan tubuhnya.
"Lain kali, jangan buat aku kecewa. Atau kau akan kehilangan jari-jarimu, atau matamu, atau malah gadismu." Pandu mengancam dengan nada serius.
"Pulangkan dia!" Dominic diseret dengan paksa. Satu matanya membiru lebam. Bibir tipisnya sobek dan berlelehan darah. Tubuhnya sakit semua ditambah kepalanya yang masih pening. Orang-orang itu menyeretnya tanpa ampun membawanya pulang dan melemparnya bagai onggokan sampah di beranda rumahnya.
@@@
Tiara hampir gila dan putus asa kalau saja Yudhistira tidak ada di sampingnya. Kakaknya benar-benar beruntung memiliki sahabat seperti Yudhistira. Yudhis bahkan rela bolos kerja dan diputus pacarnya demi menyemangati Tiara dan sahabatnya, Bayu. Ia lembut dan sangat sopan meski kadang menjengkelkan. Rasanya, kini, Tiara merasa ini adalah sejatuh-jatuhnya dia jatuh. Terlebih rasa bersalahnya pada Feri. Ia meninggalkan Feri begitu saja malam itu. Tanpa kata apapun. Dan malam itulah terakhir kali Tiara bertemu Feri. Sudah berkali-kali selama tiga hari ini ia menghubungi Feri. Tapi pria itu masih tetap bergeming. Membuat rasa frustasi melanda Tiara begitu kuatnya.
Gamang, Tiara meraih tas selempangnya. Ia ingin ke rumah sakit lagi. Yudhistira bilang kakaknya sudah sadar tadi malam. Lega mendengarnya.
Tampak pasien-pasien berdatangan dari berbagai daerah. Tiara melenggang di antara orang-orang yang berlalu lalang menuju apotek untuk menebus obat kakaknya. Sekalian mencari obat pereda sakit kepala. Kalau perlu obat anti galau.
Antrean tak terlalu panjang pagi ini. Tiara mengantre di loket tiga. Tempat paling sedikit orang yang mengantre.
Tiara seperti mengenali aroma musk yang familier di belakangnya. Tapi rasanya aroma itu bercampur dengan bau kekalahan dan putus asa. Tiara mencoba mengenyahkan pikiran negatifnya. Kini gilirannya mengambil obat.
Kedua orang itu sama-sama terkejut saat tak sengaja bertumbukan mata saat Tiara selesai menebus obatnya.
Tanpa banyak berpikir, Tiara menyeret orang itu dari antrean ke sudut sepi.
"Apa kamu memang marah?!" Tiara berkata kesal. Ia melihat kondisi Feri yang kacau. Wajahnya lebam di beberapa tempat. Kacamata ber-frame hitam tebal membingkai matanya. Dan kelihatannya Feri tadi berjalan pincang. "ASTAGA! Apa yang terjadi padamu?!" kata Tiara tak percaya.
Feri tak menjawab. Ia hanya merengkuh Tiara dalam pelukannya. "Aku lega sekali. Kau hidup." Tiara meronta dan kini marah dengan ucapan Feri tadi.
"Apa?!"
"Pergilah sejauh-jauhnya!"
"Maksudmu apa?!" Tiara jengah. "Aku di sini untuk menemui kakakku dan kau datang seperti setan dan malah menyuruhku pergi? APA SIH!" Feri tampak terkejut. Entah kenapa ia merasakan deja vu yang kental.
"Maaf," desahnya.
"Ok. Apa yang terjadi padamu?" suara Tiara melunak. Berharap mendapat jawaban yang bisa menenangkannya.
"Entahlah. Ceritanya panjang." Tiara memutar bola mata.
"Ayo!" Ia menggandeng Feri untuk menemui kakaknya. Percuma menginterogasi Feri yang masih terlihat kacau.
Feri tak kuasa menepis genggaman itu. Ia menurut saja ke manapun Tiara akan membawanya. Setelah itu, ia akan menghilang untuk selamanya.
"Kamu harus janji cerita apa yang terjadi padamu. Nanti," kata Tiara sebelum membuka pintu edelweis 7.
Bau antiseptik langsung menguar saat memasuki ruangan itu. Seseorang terbaring lemah pucat di ranjang rumah sakit. Infus menggantung di sisi kiri ranjang. Seorang pemuda lain berdiri cemberut menatap Tiara sambil membawa bubur dari rumah sakit.
"Tiara, aku sudah menyerah," kata pemuda itu, Yudhistira. "Kakakmu hanya ingin kau yang menyuapi."
Kakaknya tersenyum. Sama sekali tak mengenali Feri. Namun, Feri tahu. Orang itu adalah target yang gagal ia bunuh. Bayu Jayangkara. Punya berapa nyawa sih Bayu ini?
"Tidak juga. Makanan rumah sakit semua tidak enak. Aku ingin opor ayam saja," kata Bayu sambil nyengir lebar.
"Tapi opor ayam akan membunuh Mas dalam kondisi seperti ini," kata Tiara mengomel. Ia merebut mangkuk bubur dari tangan Yudhistira dan menyuapkan satu sendok bubur.
"Rasanya hambar."
Tiara tersenyum. "Makanan apapun akan terasa hambar di lidahmu saat ini, Mas." Tiara mulai menyendokkan bubur lagi. Tapi Bayu menolak membuka mulut. "Aaa, dong!"
Bayu menggeleng. "Ayolah, Mas Bayu. Apa Mas tidak menyayangiku lagi?!" kata Tiara merajuk.
"Siapa dia, Tiara?" tanya Bayu menatap Feri.
Perhatian Tiara teralihkan. "Dia Feri. Feri, kenalin ini kakakku, Mas Bayu." Feri mendekat untuk menjabat tangan Bayu yang tidak terliliti selang infus. Tangannya terasa dingin dan rapuh seperti kapas.
"Feri...."
"Bayu." Bayu melanjutkan. "Dia Yudhistira." Feri mengangguk menanggapi senyuman Yudhistira. Wajahnya tampak kaku dan ingin segera pergi dari tempat itu. "Tiara, aku ingin susu kedelai di depan. Yudhis janji akan membelikannya. Tapi dia bohong," kata Bayu melapor.
"Memang jangan!"
"Setidaknya untuk tamu kita." Tiara berpikir sejenak sebelum mengiyakan.
"Aku akan menemanimu," sergah Yudhis.
"Feri, aku minta tolong…,"kata Tiara.
"Baiklah. Mudah menjaga orang yang masih terbaring seperti ini." Tiara lega Feri bersedia menemani kakaknya. Ia pun berjalan keluar dengan Yudhistira.
"Apa kamu di sini ingin memastikan aku sudah mati?" tanya Bayu setelah mereka pergi.
"Tidak," jawab Feri tanpa terkejut. Ia tahu, Bayu bukan orang idiot.
"Apa maumu?!"
"Tidak ada."
"Kau gila!"
"Maafkan aku. Aku hanya pembunuh bayaran. Aku tak tahu alasan aku membunuh mereka."
"Siapa yang membayarmu?"
"Pandu." jawab Feri jujur. Bayu tak kenal siapa Pandu.
"Apa ini ada hubungannya dengan saudara kembarku?"
"Mungkin saja. Ya. Sepertinya ada orang yang punya dendam kesumat pada kalian."
"Yang penting jangan adikku!" wajah Bayu mengeras.
"Kalau itu aku tak akan membiarkannya. Pandu dan orang-orangnya masih ingin membunuhmu. Pergilah!"
"Aku tidak takut."
"Terserah kalau begitu. Kita berdua akan mati. Sebentar lagi." Tak berselang lama, pintu terbuka dan Tiara masuk dengan Yudhistira.
"Tidak ada susu kedelai di depan," gerutu Tiara. Yudhistira hanya nyengir di sampingnya.
"Kemarin ada, Ra," elak Yudhis.
"Kemarin. Hhh...."
"Aku akan pulang," pamit Feri. “Nanti aku hubungi lagi, Ra.”
Tiara ingin mengejarnya tapi Bayu mencegahnya. "Biarkan dia, Tiara! Dia butuh waktu sangat panjang untuk memikirkan jalan hidupnya."
“Maksud Mas Bayu?”
T.B.C.
See U next Chapter☺
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro