Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2; KENCAN DAN MEMBUNUH

"Jika kau ingin bebas dari lukamu, maka bukalah lukamu semakin lebar, biarkan dia menguasaimu, lalu menguap pergi darimu."

***

Di kamarnya, Dominic membuka-buka data tentang targetnya. Namanya Bayu Jayangkara. Sama dengan si satunya. 31 Desember '90. Sama. Tentu saja karena mereka adalah saudara kembar. Dominic mempelajari rutinitas Bayu. Benar, bahwa tidak ada kembar yang identik sempurna. Tidak ada aktivitas liar seperti pergi balap mobil, futsal dengan sarung tinju atau lainnya seperti saudaranya Bayu yang satunya.

Mengingat Danu, bagai mengulang masa lalu dalam kepalanya. Ia dan teman-temannya bertarung habis-habisan dengan Danu. Sialnya, Danu berhasil membunuh Braka dengan serangannya. Kemudian Pandu datang untuk menghabisi Danu. Danu tak akan mampu melewati begitu banyak penyerangnya. Pandu pun mengakhirinya dengan dua tembakan di kepala Danu. Kepala si pembangkang itu akhirnya tidak terselamatkan.

Dominic menutup kembali ingatan empat tahun silam itu dengan denyutan tajam di kepala. Dominic membaca satu nama yang membuatnya berpikir dan termenung.

Nonik Tiara Jayangkara.

Namun, tak ada keterangan apa pun mengenai nama itu. Seperti biasa, Pandu itu pelit informasi. Ia hanya memberi data-data tentang target saja. Dominic kembali membaca dan memahami lagi. Dan darahnya menghangat menyadari sesuatu yang ganjil. Entah itu perasaannya atau ada sesuatu yang tersembunyi.

@@@

Matahari sudah hampir terbenam. Mobil klasik tipe corolla hitam itu meluncur pelan menyusuri jalanan yang sepi. Jalan alternatif yang paling dekat menuju rumahnya. Orang yang duduk di balik kemudi memijat keningnya penat. Kacamata yang sudah bertambah tebal itu agak miring ke kiri. Koleganya yang satu tadi memang memusingkan. Bertele-tele plus menyebalkan. Ia heran, kenapa ayahnya betah menggeluti semua ini sebelum ia mati karena Tuberkulosis lalu ibunya menyusul karena Tipus dan ... Hhhh ... Ia mendesah berat mengingat keluarganya yang sudah tiada. Perasaannya menjadi gamang.

Pengemudi itu -Bayu- menginjak remnya mendadak hingga berdecit. Ia terlalu banyak melamun sehingga tak memperhatikan mobil Jeep dan Ferrary merah yang menghadangnya. Dengan heran, ia keluar dari mobil. Ingin tahu apa masalah mobil-mobil itu hingga menghalangi jalannya. Bayu mengetok kaca Ferrary merah bagian kemudi. Kaca itu diturunkan.

"Ada apa?" tanya orang yang berada di balik kemudi. Terganggu.

"Maaf, mobil anda menghalangi jalan. Bisa parkir agak menepi?!" kata Bayu tak mau berbasa-basi.

Si pengemudi Ferrari keluar dan berdiri di hadapan Bayu. Orang itu ialah Dominic. "Aku punya urusan denganmu," kata Dom sambil menghembuskan asap rokok ke muka Bayu.

"Hati-hati dengan benda itu. Ayahku mati karena TBC." Bayu mendengus. Jelas risih dengan asap rokok Dominic. Deja vu menyapa Dominic. Ia teringat saat berhadapan dengan Danu, dulu, di Jakarta. Perasaan ini membuatnya resah dan muak. Sepertinya 'Danu' yang ini sama menyebalkannya.

"Jadi, apa urusanmu?" lanjut Bayu. Dominic memberi tanda pada orang-orangnya untuk turun. Mereka mengepung Bayu dari segala arah. 

"Kau ingin mati cepat dan tenang atau bergulat sampai mati?!"

Bayu seakan tak percaya. Ia bahkan tak mengenali orang di depannya. Dan tiba-tiba saja orang itu ingin membunuhnya? Koleganya tadi pasti sudah membuatnya gila.

"Maaf, mungkin anda salah orang---" Dom membuang rokoknya yang masih separuh dan mulai menghajar Bayu secara tiba-tiba. Memotong kalimat Bayu. Kacamata Bayu terlempar jauh. Dominic ingin bermain-main dulu. Karena ia tak sempat bermain dengan yang 'satunya' lagi, hingga Danu berhasil membuatnya kehilangan sahabatnya, Braka.

Akhirnya, pertarungan tak seimbang itu terjadi. Bayu berkelit dari serangan yang kedua meski matanya yang rabun menyulitkannya, tetapi ia masih berusaha membela diri dengan sedikit ilmu silat yang ia pelajari di sekolah. Naasnya, jumlah mereka terlalu banyak. Bayu terdesak. Pukulan keras dan telak kembali menghantam dadanya. Membuat ia sesak dan memuntahkan darah.

"Selesaikan, Dom!" Lelaki yang dipanggil Dom mendekat. Mencabut pistol otomatis berperedam suara yang terselip di pinggang. Dua tembakan ia lepaskan. Satu peluru meleset mengenai bahu kiri Bayu. Yang kedua mengenai dada kiri Bayu.

Dom mengumpati dirinya. Ia telah membunuh lagi. Kemudian ia menyuruh teman-temannya untuk segera meninggalkan tempat operasi.

"Jangan lupa bagian kami." Jack, asli Yogyakarta, memberi kode. 

Wajah Dom mengeras. Malam ini adalah malam valentine. Malam yang seharusnya ia bebas tugas dan tenang bersama Tiara. "Dom! Jangan pernah mikir mau telan semuanya sendiri!" hardik Jack kesal karena merasa tak ditanggapi.

"Diamlah. Masalah uang itu gampang!" bentak Dom marah. Jack langsung diam. Dom selalu ingin marah saat ini. Ia muak dengan semua ini. Terlebih dirinya sendiri. Tiba-tiba ia merasa tak pantas bila bersanding dengan Tiara. Mengotori Rosa Damacena dengan kekelaman hidupnya. Namun, harapan bersama Tiara akan selalu ada dalam hatinya. Itu adalah keegoisan hatinya yang teguh.

***

Jalanan masih sepi. Matahari sudah sepenuhnya tenggelam. Entah keajaiban dari mana, Bayu tersadar dari pingsannya. Darah membanjiri jas hitamnya di bahu kiri. Dan ia merasakan nyeri yang sangat di dada kiri seperti tusukan yang dalam. Ia mengeluarkan kompas emas dari saku kemeja kirinya. Kompas itu remuk, dan sebagian menancap di kulit dadanya. Tiara pasti akan sangat kecewa karena itu adalah kompas hadiah dari Tiara.

Bayu merangkak dengan sisa-sisa energinya menuju mobilnya. Para pembunuh itu pasti mengira ia sudah mati, sehingga tak perlu repot-repot mengecek denyut jantungnya. Yah, Bayu memang merasakan jantungnya berhenti berdetak. Ia merasa yakin ia mati di tempat ini.

Dengan susah payah, Bayu memanjat dan membuka pintu mobilnya yang tak terkunci. Meraih ponselnya di dasbor. Ia terengah saat sudah duduk di jok supir. Darahnya terus saja memancar membuat tubuhnya semakin lemas. Tangannya gemetar saat ia memencet panggilan cepat satu. Suara yang familiar itu segera menyambutnya.

"Halo?!" kata suara di seberang heran.
Bayu menyebutkan lokasi dirinya dan menyuruh orang itu segera datang. Tenaganya sudah habis untuk bicara lebih panjang. Ia menjatuhkan ponselnnya hingga terjatuh ke aspal jalan. Suara di seberang masih memanggil sia-sia penuh kekhawatiran. Bayu merasakan deraan rasa sakit dan menangkap kilatan cahaya di matanya yang berat kemudian ia jatuh tak sadarkan diri.

@@@

Caffe Bridgesii malam itu begitu sepi. Tak ada pengunjung satu pun di dalamnya. Pelayan yang melayani gadis yang baru datang itu mengatakan cafe telah di sewa satu malam. Gadis itu, Tiara, terkejut mendengarnya. Malam ini ia ada janji dengan Feri di sini. Seorang pelayan mencegahnya pergi dan malah menyuruhnya duduk lalu memperlakukannya bagai putri raja. Sebuah alunan musik jazz mengalun dari piringan hitam.

Tak seberapa lama, seseorang datang dan mengulurkan tangannya bak seorang bangsawan.

"May I?" kata pangeran itu.

“Sure.” Tiara menyambut tangan itu mengikuti gerik lincah pangerannya. Mereka berdansa bagai angsa yang dimabuk asmara.

“Kau tidak sayang uang buat nyewa tempat ini satu malam?” tanya Tiara dengan polosnya.

Feri tertawa mendengar pertanyaan Tiara. “Uangku bahkan tidak habis kalau nyewa cafe ini seminggu,” kata Feri dengan bangganya. Penghasilannya memang lumayan. Sekali membunuh ia bisa mendapatkan puluhan juta. Tergantung klien yang meminta mau membunuh siapa. Semakin kuat target, tentu semakin mahal bayarannya, kan.

“Kamu kerja apa sih, Fer?” Tiara bertanya lagi.

“Aku meneruskan bisnis ayahku. Restoran.” Feri berbohong. Hatinya bagai ditusuk duri membiarkan Tiara mendengar kebohongannya. Ia tidak tahu, bahwa berbohong untuk orang yang dicintai rasanya akan sesakit ini.

"Aku mencintaimu, Ra," bisik Feri seraya memeluk gadisnya.

"Aku lebih mencintaimu. Setiap dari diriku mencintaimu dan merindukanmu," balas Tiara lembut.
Tiara menyandarkan kepalanya ke dada bidang Feri. Menikmati alunan lembut musik dan aroma musk Feri. Rasanya menyegarkan, hangat, dan juga ... sensual. Degup jantung Feri yang berirama cepat terdengar di dalam dada bidangnya.

Mereka berdua sama-sama terkejut mendengar nada R&B dari ponsel Tiara di meja. Tiara lupa merubah nada dering ponsel-nya. Feri masih menahan Tiara dalam pelukannya. "Maafkan aku, Tiara." Kata-kata itu menyembur dari mulut Feri tanpa Feri sadari dan sanggup untuk mencegahnya.

"Buat apa?" Tiara heran dan juga risih dengan ponselnya yang terus meraung-raung. Feri melepaskan pelukannya.

"Angkatlah dulu panggilan itu. Mungkin penting?" Tiara mengiyakan dengan berat. Ia takut mengecewakan Feri. Dengan linglung Tiara meraih ponselnya, menemukan sebuah nama di layar.

"Halo?!" kata Tiara ketus. Yudhis memang suka merecokinya di saat-saat yang tak tepat.

Tiara mendengarkan laporan Yudhistira. Wajahnya memucat dan berubah menjadi khawatir setelah Yudhistira mengakhiri pembicaraan. Tiara segera berlari. Lupa pada Feri dan kencan pertamanya. Hatinya gelisah. Ia menuju mobil BMW-nya sebelum Feri bisa menahannya. Secepat mungkin Tiara memacu mobilnya menuju rumah sakit.

***

Langkah Tiara cepat menyusuri koridor RS. Tiara bergegas ke ruang operasi dan melihat Yudhistira melambai padanya.

"Apa yang terjadi?!"  Tiara bertanya khawatir setengah marah.

"Duduklah dulu, Tiara." Yudhis memperlakukannya dengan lembut dan mendudukkannya di kursi tunggu. Orang-orang yang melewati mereka menatap heran dan prihatin. Mungkin tentang kencan di rumah sakit karena Tiara memakai gaun berwarna hati dan Yudhis rapi dengan kemeja linennya. Seharusnya ini malam saat masing-masing dari mereka berkencan.

Airmata Tiara turun dengan cepat. Tiara hanya menutupinya dengan kedua telapaknya.

"Apa yang terjadi?" tanya Tiara dalam tangisnya. Ia merasa frustasi harus menanggung kemungkinan kehilangan keluarga satu-satunya.

"Aku tak tahu persis, Tiara. Sore ini aku seharusnya melamar pacarku, tapi jam tujuh kakakmu tiba-tiba saja menelponku. Aku disuruh datang padanya. Awalnya aku ragu, memilih masa depan atau sahabat sendiri. Tapi sikap kakakmu begitu mendesakku. Dia tak bicara setelahnya. Tanpa pikir panjang kutinggalkan Sarah, pacarku. Lalu aku datang padanya dengan rasa heran dan juga sedikit kesal. Kemudian, aku menemukannya di balik kemudinya, bersimbah darah dan lebam pukulan. Aku sangat khawatir. Nadinya mulai melemah. Kupindah kakakmu ke kursi penumpang dan kukebutkan corolla-nya sampai ke rumah sakit. Malah. Nih. Aku dapat surat tilang.”
Tiara tak menggubris surat tilang yang disodorkan Yudhis. "Akhirnya, polisi-polisi itu mau mengerti dan membiarkanku lewat. Tapi tetap saja aku ditilang." Kepala Tiara terasa pening mendengar penuturan Yudhistira. Ia masih mencari pembenaran mengapa kakaknya menerima perlakuan seperti ini.

"Lalu kenapa kakakku di operasi?" Tiara menunjuk ruang operasi.

"Dokter sedang mengeluarkan proyektil peluru yang bersarang di lengan kirinya, Ra."

Siapa orang yang dengan keji melukai kakaknya? Apa salah kakaknya? Tidakkah orang itu punya hati dan perasaan?! Tiara hanya mampu bertanya-tanya. Membuat kepalanya berat dan airmata berlinangan.
Pukul 22.00 Seorang dokter bedah syaraf yang memimpin operasi keluar dari ruang operasi diikuti timnya. Ia memanggil siapa yang bertanggung jawab atas pasien bernama Bayu. Yudhis dan Tiara berdiri bersamaan dan berkata "Saya!" secara kompak.

"Proyektil pelurunya sudah berhasil diangkat. Ia akan pulih setelah melewati masa kritisnya." Keduanya mendesah lega. Dokter itu tersenyum tenang dan menambahkan. "Tuhan betul-betul menunjukkan kasih sayang-Nya pada saudara Bayu."

@@@

See U next chapter ☺

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro