Bab 1 : Misi Terakhir Dom
Lelaki pertengahan dua puluhan itu sedang memandang keluar jendela dengan perasaan gembira. Gadis itu bersedia berkencan dengannya pada malam valentine nanti. Pada malam itu ia ingin melupakan segalanya, pekerjaan kotornya, dan dunia hitam yang digelutinya. Bisa dibilang, ia sedang ingin 'memutihkan' diri. Menjadi pembunuh bayaran dari gangster-gangster besar itu menuntutnya untuk menghilangkan nurani dan hatinya. Tapi kini, ia ingin 'mentas'. Ia ingin menjadi manusia. Paling tidak ia mencoba menjadi manusia sejak Tiara hadir dalam hidupnya.
Dia Tiara. Mahasiswi semester 6 jurusan kedokteran UGM itu gadis yang manis dan berbudi.
Ia bertemu dengan Tiara saat ia sedang membeli buku sekedar alibi untuk membuntuti targetnya. Dan Tiara seperti peri tiba-tiba muncul dengan suaranya yang jernih. Membuat dadanya bergetar. Baunya yang seperti mawar memabukkan, membuatnya limbung dan menjatuhkan buku-bukunya. Pertemuan singkat itulah yang membuatnya mengenal Tiara. Sudah dua bulan ini ia dekat dengan gadis yang menyedot seluruh atensinya itu.
"Dom, bagaimana target 'kucing biru', sudah kau lumpuhkan?" Kucing biru adalah seorang pria buncit yang selalu menyulitkan pengiriman barang bagi para pengedar. Pria yang bertanya itu menyeruput tehnya dengan elegan. Khas orang atas.
Orang yang dipanggil Dom menghembuskan asap rokoknya. Atensinya kembali ke dunia nyata. "Sudah. Dia malah udah dikubur," jawab Dom santai. Namanya yang sebenarnya bukan Dom. Itu hanya nama sementara ketika ia berkubang di dunia hitamnya. Menyesal juga telah membunuh orang. Belakangan ini, sejak ia mengenal Tiara, penyesalan terus hadir menghantuinya. Wajah-wajah orang yang ia bunuh terus terbayang-bayang dalam tidurnya.
"Tapi, Jelina lolos!" kata pria itu tajam penuh penekanan. Wajahnya yang mengeriput sama sekali tak mengurangi karisma dan daya tarik yang dimilikinya. Dom menyurukkan rokoknya ke asbak di meja. Ia tahu, kini saatnya serius. Jelina adalah pasangan kucing biru. Yang luput dari tugasnya. Ia hanya merasa tak pantas membunuh orang yang tak tahu apa-apa. Jelina itu hanya wanita dan ibu rumah tangga yang polos. Lagipula anaknya masih berusia tiga bulan.
"Aku tahu," jawab Dom setelah rokoknya padam.
"Kualitasmu sekarang menurun. Sebaiknya kau musnahkan dia," kata si pria elegan. "Atau kau yang akan musnah. Wanita itu bisa saja sebuah 'ancaman'."
"Dia hanya ibu rumah tangga," kata Dom mencoba mencari alasan wanita itu pantas hidup.
"Tak ada alasan apapun jika pekerjaanmu membunuh. Kamu membunuh, ya, membunuh saja. Jangan banyak cing-cong." Kata-kata pria itu mulai tak sepadan dengan penampilannya yang modern dan terdidik. Ia merogoh tas hitam di dekatnya dan menyerahkan bungkusan berwarna coklat pada Dom. "Itu akan bertambah setelah Jelina sudah kau bereskan."
Dengan sedikit enggan Dom menerima amplop itu. Dalam hati ia berjanji setelah wanita itu, ia tak ingin membunuh lagi. Sudah cukup. Ia akan mencari pekerjaan yang legal dan memulai hidup tenang dengan Tiara.
Pria itu beranjak. "Senang mempercayaimu, Dom." Setelah itu, pria itu pergi dari kafe yang mulai sepi diikuti orang-orangnya.
Lelah, Dom menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Kepalanya terasa pening. Baru tadi dia senang sebelum memasuki kafe ini. Kini, ia resah dan ingin segera keluar secepatnya dari dunia lumpur ini.
@@@
Rumah itu begitu hening. Hanya ada percakapan bisu antara perabot-perabot mewah yang tertata rapi di rumah mewah berlantai dua. Senyap dan sunyi. Rumah sebesar itu hanya ditinggali dua bersaudara yang telah yatim piatu dan 2 pembantu serta satu tukang kebun. Salah satu bersaudara dari keluarga yang cacat itu adalah Tiara. Wanita yang berusia dua puluh dua tahun itu sedang tersenyum-senyum sendiri. Hatinya berbunga-bunga mengingat ia akan menemui dia. Feri. Cowok gugup yang ia temui di toko buku itu telah menawan hatinya lebih dari yang mampu dicegahnya. Ia berharap hubungan Feri dengannya bisa menjadi sempurna.
Teng ... Teng ...
Jam di ruangan sudah berdentang 12 kali. Tiara melirik jam dinding. Tengah malam. Tapi kakaknya masih belum pulang. Tiara menguap. Matanya mulai berat karena serangan kantuk. Ia pun tertidur di sofa di ruang keluarga.
Tiara merasakan seseorang merengkuh tubuhnya dan memindahkannya di kamar. Tiara masih mencium parfum aroma lilac yang dikenakan orang itu. Pasti kakaknya. Kakaknya membaringkannya dengan lembut di ranjang tidurnya. Menyelimutinya. Tiara mengigau dan menyebutkan nama 'Feri...' Kakaknya hanya tersenyum kemudian pergi, menutup pintu dengan perlahan.
@@@
Dua hari kemudian....
Dom mendesah lega karena misinya usai. Ia telah membunuh Jelina. Dan juga sudah menggosok semua sidik jari di kamar Jelina. Si ibu satu anak itu sama sekali tidak melawan dan tetap tinggal di rumah peninggalan Alm. suaminya. Begitu percaya dan tenang seolah bahaya pembunuh yang membunuh suaminya telah usai dan pergi. Dom melangkah hati-hati di taman yang dijaga tidak ketat itu.
Penjaganya mungkin tertidur. Meski begitu, ia ingin tidak terlihat dan bersih. Setelah mencapai pagar, ia melompat dan berlari secepat mungkin. Amatiran? Pikirnya. Tapi dia tak peduli. Yang jelas ada mobil casino hitam yang mengejarnya. Casino hitam itu berhenti beberapa meter di depannya. Memuntahkan seluruh penumpangnya yang terdiri dari 4 orang pria berjas. Satu diantaranya bergaya ala kalangan atas. Dom segera berbelok ke gang terdekat menghindari mereka. Tapi mereka mengejarnya. Dan Dom terjebak di jalan buntu. "Sial! Kampret!" umpatnya.
"Dominic-kun, kenapa menghindariku?" tanya Pandu. Pria yang ia temui di kafe tempo hari.
Dom mengangkat bahu dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. "Olahraga," jawabnya tak acuh.
"Tengah malam, heh?"
"Mau apa sih? Sudah tahu tengah malam. Kenapa mencariku?!" kata Dom sarkastis. Ia takut Pandu akan menyuruhnya membunuh lagi.
"Wah, wah, aku kan hanya mau memberi kekuranganku," jawab Pandu tanpa dosa. Ia melemparkan segepok uang dalam bungkus coklat ke arah Dom. Dom menangkapnya.
"Sudahkan?! Aku mau pergi," kata Dom. Ia berjalan setengah berlari mencoba menerobos orang-orang Pandu.
"Eits, jangan buru-buru! Kita bisa mengobrol lagi di kafe biasa," kata Pandu sambil menahan bahu kiri Dom dengan satu tangannya.
"Maaf, Pandu. Tapi aku ingin berhenti," kata Dom yang jengah dengan sikap Pandu.
"Aku jamin ini yang terakhir," kata Pandu. Tapi sorot matanya jelas sekali dibaca oleh Dom. 'kalau kau tak bisa diandalkan lagi, aku akan membunuhmu.' Senyuman licik terbit di raut Pandu. Dominic berfikir lagi. Dan tak menemukan cara lain untuk menghindar. Orang-orang Pandu pasti punya senapan, atau alat pembius jika ia menolak. Meski Dom sendiri jago berkelahi, tapi orang-orang Pandu juga tak bisa diremehkan. Pandu adalah ular licik yang memilih dengan teliti orang-orangnya.
"Jika kau bohong?!"
"Mungkin kau bisa membunuhku?" Jawaban Pandu cukup memuaskan di telinga Dom. Ia juga ingin membunuh Pandu. Sangat. Dan sejauh ini, aksinya tanpa ketahuan.
"Ok."
"Ini!" Pandu mengeluarkan selembar foto dari saku jasnya. Seorang pemuda tampan berkaca mata tipis itu seperti dikenalnya.
"Dia?!" seru Dom kaget. Seluruh syaraf tubuhnya menegang, karena mengenali orang di foto.
"Ya. Dia. Tapi 'dia' yang satunya. Rupanya Danu masih punya fotokopi lain." Kepala Dom berputar dan ia merasa pening. Danu? Dan orang yang di foto itu. Sangat mirip. Benar-benar mirip. Entah kenapa ia menjadi ketakutan. Seolah foto itu adalah Danu yang sebenarnya sedang berdiri di depannya, mengintimidasi.
"Aku...," Dom menjadi ragu.
"Dia tak seliar Danu. Pasti mudah melumpuhkannya. Kau harus berhasil atau kau tak akan tenang hidup di dunia ini. Bos besar kami mempunyai dendam khusus pada keluarga Jayangkara dan perusahaan yang dikelolanya. Ah, sudahlah. Pokoknya tugasmu hanya membunuh. Ini semua data tentangnya."
Dominic menerima amplop coklat dari Pandu dengan lesu. Ini sama sekali jauh dari rencana di otaknya.
"Pada malam valentine orang itu harus mati. Harus!" kata Pandu menyebut dead line misi Dominic penuh penekanan. Kalimat itu seperti dogma yang tak boleh dilanggar. Pandu berbalik pergi diikuti orang-orangnya.
Dom memasukkan amplop coklat dari Pandu ke dalam ranselnya dan berjalan gontai ke rumahnya. Malam Valentine? Seminggu lagi berarti. Cukup untuk memata-matai target. Dan. Seminggu lagi sebelum ia mengencani gadis pujaannya.
Hai... Saya buka lagi draft saya. Semoga suka cerita usang berdebu yang bertemakan dunia hitam ini.. 🦊🙏🙏
❤🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹"Gawe Pean, para pembaca," 🤫🤠 dari Mas Danu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro