Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 8 - Precious Jewel

"Biarkan rasa ingin tahu memandamu,

Perasaan itu akan menjadi pelitamu di jalan tergelap,

di waktu yang sama,

Rasa ingin tahu akan membawamu ke akhir jalur."

-

Derap langkahku tambah cepat saat tempo musik yang kudengarkan tambah cepat. Aku terus berlari tanpa menoleh ke belakang, seolah aku dikejar oleh rombongan anjing yang setiap mengigit betisku. Sempat-sempatnya aku memasangkan kembali salah satu earphone yang terlepas dari telingaku saat aku berlari menyelamatkan diriku dari apa pun yang akan menyambutku nanti.

Rasa lelah telah tiba, lalu menyangkut di tengkuk leher seperti yokai*. Aku berhenti sebentar, menstabilkan deru nafas, dan jantungku yang memompa darah ke seluruh tubuh. Kakiku terasa ingin lepas dari tubuhku, karena sudah lama tidak berlari secepat ini.

Teriakan frustasi keluar dari tubuhku saat melihat gerbang tinggi yang sama berada di sampingku. Rasanya aku putar-putar saja daritadi, padahal aku sampai melompati gang sempit untuk kabur dari ilusi ini. Aku menjatuhkan tubuhku di atas trotoar, menyumpahi siapa atau apa yang telah menguras banyak keringat di tubuhku.

Aku yakin tidak akan ada percaya denganku. Seorang gadis tersesat ke prefektur lain, padahal tujuan kereta yang dia naiki merupakan stasiun di prefekur yang jauh berbeda. Ini sama saja, aku berencana pergi ke Roma, tapi tersesat di Venice, meskipun kota itu sama-sama terletak di satu Benua dan satu negara.

KOK BISA?!

Semesta, permainan apa lagi yang telah kau keluarkan?

Pandanganku dipenuhi dengan ledakan warna aura dan aroma yang mampu menyumbat hidungku. Ini pertama kalinya partikel sihir mengelilingiku seperti ini. Rasanya begitu menyesakkan, tapi membuatku ingin memiliki semuanya di waktu yang sama. Apakah ini yang dikatakan semua orang tentang "tidak semua yang berlebihan itu baik"? Bila iya, aku dapat merasakannya sekarang.

"Sialan... Siapa yang mencoba bermain-main denganku sekarang?" Aku mendongak ke atas untuk melihat apa sebenarnya gedung tinggi ini. Warna di wajahku mulai menyusut dengan cepat.

Apa aku masih berada di Jepang?

Gerbang hitam di depanku sangat tinggi dan lebar, jadi tamu yang ingin berkunjung dengan mobil dapat masuk. Kedua sisi gerbang hitam itu dibangun tembok putih yang tidak kalah tinggi dengan gerbang, menghalangi siapa pun yang coba untuk lompat keluar atau masuk, ditambah dengan pagar hitam kecil di atasnya. Aku dapat melihat halaman membentang luas dengan setapak jalur yang panjang menuju gedung yang menjadi pusat dari segalanya.

Gedung dengan struktur dari batu bata, lalu dicat dengan warna kelabu terletak cukup jauh dari gerbang masuk, yang mengingatkanku dengan Gedung Putih--istana kepresidenan Amerika Serikat. Poin perbedaannya hanya gedung di hadapanku sekarang memiliki tinggi yang mengingatkanku pada istana, dan sedikit lebih lebar. Apa aku berada di perumahan elit? Aku tersesat terlalu jauh.

Aku mundur beberapa langkah, mencoba mencari papan nama yang biasanya terletak di samping gerbang untuk mencari tahu siapa pemilik gedung tersebut. Aku ingin menampar bolak-balik kepada seseorang yang sudah mempermainkanku saat ini.

B*ngsat.

Aku tidak perlu meminta kacamata pada siapa pun untuk melihat ukiran kanji dan romaji yang terletak di papan nama tersebut. Yang baru saja kubaca bukanlah ilusi semata, membuatku menyesal karena aku ingin semua hal yang baru saja kualami hanyalah mimpi. Beberapa saat kemudian, aku akan bangun di tengah jalan, karena aku pingsan tiba-tiba. Tapi itu terlalu indah untuk menjadi nyata.

Houseki Gakuen.

Ini pertama kalinya aku berharap tidak bisa berbaca, kembali menjadi anak bayi yang tidak tahu apa pun tentang keburukan dunia.

"Bunuh aku sekarang," gumamku dengan putus asa.

Situasinya tambah buruk saat gerbang hitam itu terbuka lebar, seolah mengundangku untuk segera masuk. Di saat aku putar balik, rasanya ada pelindung transparan yang menahanku untuk kabur. Oh, sekarang mereka langsung ke poin utamanya! Kenapa nggak daritadi saja, biar aku tidak panik!?

Aku tidak punya pilihan lain, kecuali melangkah masuk. Menyerahkan nyawaku di tangan siapa pun rela yang mengangkutnya, sekaligus seluruh dosaku.

Rerumputan di kedua sisiku terlihat dipotong sama rata. Begitu hijau dan segar dengan embun pagi, walaupun sekarang sudah jam dua siang. Sepertinya prefektur ini mengalami hujan beberapa saat yang lalu, dilihat dari jalanan becek, dan rintik-rintik air di atas daun. Selain aroma tanah yang dicampur air hujan, ada aroma aura sihir yang begitu kuat. Sarang dari para penyihir berada memang sudah beda lagi.

Alas kaki yang bergesakan di jalan setapak ini terdengar begitu halus, sesuai dengan tempo favoritku, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Perlahan tapi pasti, aku akan membawa jiwaku ke atas altar sebagai pengorbanan utama. Layaknya domba yang tidak tercela.

Aku menggenggam tali sarung pedang bambu di belakang panggungku. Hampir saja umpatan keluar dari bibirku saat melihat pintu gedung tersebut terbuka lebar. Kening mengerut saat melihat koridor panjang dengan lantai bening. Saking beningnya, aku dapat melihat refleksi diriku sendiri disana tengah menatapku balik dengan ekspresi sama bingungnya. Ada kandil di tengah-tengah langit koridor tersebut.

Dari koridornya saja sudah menyerukan kata 'mewah'.

"Aku bisa gila lama-lama," gumamku.

Kakiku kembali membawa tubuh ini jauh ke dalam gedung tersebut. Ada tiga jalur terpecahkan: kanan, kiri, dan lurus. Bila aku melangkah lurus, sudah ada tangga luas yang memisahkan diri saat menanjak ke atas, jadi bentuk 'Y'. Di tangga tersebut, ada jendela besar yang ditutup gorden krem. Jendela yang ada di atas ruang depan ini mengingatnanku pada jendela gereja, dimana ada hiasan akrilik menghiasi bingkai kaca tersebut.

Saking luasnya tempat ini, aku jadi bertanya-tanya dimana letak toilet. Sebuah tempat tidak akan sempurna bila tidak ada satu ruang khusus untuk darurat, seperti buang air atau hal yang berhubungan dengan privasi lainnya.

"Selamat datang di Jewel Academy atau... dikatakan manusia di negara ini, Houseki Gakuen."

Suara tenor menggema di seluruh ruangan. Tidak ada kesan familiar sama sekali, tidak seperti aku pertama kali si alumni. Kedatangan mereka tidak membawa kata sambutan saja, tetapi aroma dan warna dari aura sihir mereka. Aku menemukan dua hal yang berbeda dari keberadaan sihir itu, menyatakan kalau pemilik akademi ini adalah dua orang.

Aku menoleh ke sumber suara, mendapati kedua individu dengan paras yang mirip dengan satu sama lain berdiri di atas tangga. Entah darimana dan kapan mereka datang, aku tidak begitu peduli, karena aku cukup kesal saat melihat kedua penyihir berbeda generasi itu menatapku dengan dagu terangkat. Angkuhnya.

"Senang melihatmu berkunjung ke akademi ini, Yunania," sambut pemilik suara tenor tersebut. Dia melangkah turun, disusul seorang wanita yang kutebak sebagai saudara kandungnya.

Aku memiringkan kepala sedikit, memasang tampang bingung sebisa mungkin. "Maaf, namaku bukan Yunania atau siapalah yang kalian sebut."

"Itu namamu, Yuuna Moritake. Selama kau di akademi ini, kau akan dikenal sebagai itu oleh murid-murid di akademi ini." Wanita di samping pria tersebut menyahut dengan senyuman brilian. "Aku harap kau dapat terbiasa dengan nama ini, Yunania."

"Iya, tapi kenapa namaku diganti? Siapa kalian berhak melakukan seperti itu?"

"Sudah lama kami tidak menemukan murid banyak tanya sepertimu. Itu suatu hal yang bagus. Banyak yang harus dicurigai dari dunia ini." Pria yang mengenakan jas hitam itu mengangguk sekilas. "Tapi sebelum ada pertanyaan lagi."

Dari jentik jarinya, sebuah buku dengan sampul merah marun kusam muncul di hadapanku dengan lembarannya yang terbuka lebar. Kedatangan buku itu bersamaan dengan pulpen bulu putih dan sebuah tinta yang biasanya kau lihat di film kolonial. Ada beragam nama yang ditulis dengan katakana dan romaji terletak disana. Tidak ada satu pun dari nama itu aku kenal. Aku lupa tanya apa nama samaran atau penyihir Mirai dan Eri.

Ravyn... Zenith... Emma... Cera... Veron... Vanessa...

Ah, aku tarik kata-kataku kembali. Ada satu nama yang familiar di lembaran ini.

"Vanessa. Jadi dia juga termasuk murid di akademi ini?" Gumamku sambil melongos tidak percaya.

Wanita yang semula berdiri di samping pria itu sudah pindah tempat, jadi di sampingku. "Oh, tidak kusangka ada satu orang luar mengenal nama penyihir murid disini. Dia temanmu?"

Aku mengendik tidak peduli. "Teman atau tidak, itu bukan urusanmu."

Aku bukan orang dengan kepribadian yang sopan, seperti Mirai. Aku pemilih. Dan, aku memilih tidak meletakkan rasa hormatku pada kedua individu yang sudah mengerjaiku datang ke akademi ini. Itu namanya menyia-nyiakan sesuatu.

Mereka berdua juga tidak memedulikan sikapku yang mengigit.

"Aku hanya perlu menulis nama samaranku?"

"Nama penyihir." Pria yang berdiri di depanku membenarkan.

"Iya, itu," balasku tidak peduli. "Tidak akan ada risiko yang akan kuterima, kan? Seperti menjual jiwaku atau kontrak tidak jelas lainnya?"

"Kau terlalu banyak menonton film fantasi. Anggap saja sebagai pendaftaran ulang sebagai murid di akademi ini, meskipun sebelumnya kau bukan calon murid disini." Wanita itu mendekatkan buku dengan daftar nama lebih dekat ke arahku.

Aku menatap kedua individu itu secara bergantian, sebelum menulis nama penyihir itu dengan romaji. Buku dan tinta langsung menghilang di udara setelah aku merangkai nama "penyihirku".

Pria yang berdiri di depanku menepuk tangan, sebelum kembali menyembunyikan di belakang punggungnya. "Namaku Calix--iya, ini nama penyihirku--, kepala sekolah dari akademi ini." Tangannya beralih ke wanita yang duduk di sampingku. "Dan, ini kakakku, wakil kepala sekolah disini, Gladiz."

"Sebelum kita mulai berkeliling sekolah, kau dapat mengeluarkan seluruh pertanyaan itu." Gladiz tersenyum lembut sambil memiringkan kepalanya, membuatku tersentak saat netra kami saling beradu. Aura yang dia miliki juga pekat, sama seperti Vanessa, membuat hidungku mulai sesak dan kepalaku pusing. "Aku yakin kau kebingungan sekarang sejak kami mengajakmu datang kesini."

IBLIS! KUKATAKAN SEKALI LAGI, IBLIS!

Bisa-bisanya mereka menggunakan kata 'mengajak'! Jelas-jelas mereka mencuriku datang kesini! Aku butuh pengacaraku saat ini!

"Tapi, sungguh, sudah cukup lama kami bertemu dengan penyihir keras kepala sepertimu. Beberapa yang dipilih langsung mendaftarkan nama mereka secepat mungkin, bahkan yang tak diundang pun mencoba mendaftarkan diri. Apa ada alasan khusus kau menghindari akademi ini?" Tanya Calix dengan tatapan nyalang.

"Aku tidak suka diundang," jawabku asal.

Gladiz memilih tidak mengacuhkan jawaban gamblang itu. "Sebenarnya ada dua murid lagi belum datang kesini," ujarnya. Aku menatapnya dengan penuh harapan agar murid itu berlaku sama denganku. "Tapi dia janji akan datang nanti sore untuk pendaftarannya. Mungkin kalau kau berlama-lama disini, kau dapat bertemu dengannya."

Aku langsung memasang tampang tidak sabar, tidak perlu repot menyembunyikan kepada mereka. Suasana hatiku sudah cukup buruk membuatku susah untuk berpikir rasional. Yang kubutuhkan sekarang es krim yang sudah kubeli bersama Nee-san kemarin. Aku tidak khawatir bila salah satu anggota keluarga memakannya, mereka cukup tahu diri. Yang kukhawatirkan kesabaranku yang perlahan menyusut.

Ini adalah tes kesabaran. Tahan emosimu sebelum kau memilih untuk meniadakan satu wilayah ini, Yuuna. Jangan sampai perbuatanmu dikenal sebagai fenomena tanda-tanda kiamat.

Aku mengangkat tanganku untuk bertanyaan, kebiasaan lama yang membuatku malu. Tapi Gladiz langsung menotong kalimat yang ingin keluar dari lidahku. "Jangan bertanya mengapa kau diundang kesini? Itu sama saja membohongi dirimu sendiri."

Aku berdecak kesal. "Baiklah. Boleh saya tahu apakah semua murid berkedok penyihir telah diundang kesini?"

"Kami tidak tahu bagaimana harus menjawabnya," gumam Calix dengan alis menekuk. "Kami sudah mengundang dari Tokyo dan di sekitarnya, tapi jumlah mereka lebih banyak dari yang kami duga. Jadi kami berencana untuk menyerahkan sisanya untuk dua sekolah lainnya."

Huh, itu berita yang pertama kali kudengar. Atau aku saja yang terlalu acuh pada sekitarku?

Jadi, ada dua sekolah lainnya yang seperti ini. Apa mereka terang-terangan mengumpulkan murid penyihir seperti sekolah ini atau mengumpulkan murid biasa juga? Sudahlah. Tidak ada gunanya memikirkan itu sekarang.

"Sebenarnya, ada apa dengan nama samaran--"

"Penyihir." Calix kembali membenarkan. Terlihat jelas di matanya dia kesal dengan kesalahan kecilku.

"Maaf, nama penyihir," ralatku. "Siapa yang menentukannya? Nama asliku dan nama penyihir ini mirip bila ditulis secara romaji, tapi aku yakin itu bukan alasan sebenarnya."

Calix mengangguk setuju. Aku menggerutu pelan dalam hati saat menyadari betapa panjang dan lentik bulu matanya. Apa semua bulu mata laki-laki selentik ini? Setidaknya bagi-bagi.

"Kau benar. Meskipun agak aneh, tapi nama itu sendiri yang memilihmu. Setiap nama penyihir yang diberikan untuk setiap murid memiliki arti yang sesuai dengan bahasa Welta. Ambil saja satu nama, seperti 'Vanessa', yang memiliki arti kupu-kupu yang bercahaya. Arti itu bisa mendeskripsikan karakter seseorang, sihirnya, atau hal lain."

Aku termangut-mangut mendengar penjelasan Calix. Dia terdengar seperti melatih ucapan itu di depan cermin setiap pergi, dan menunggu momennya untuk bersinar.

"Untuk saat ini, baru itu pertanyaanku."

Sekarang giliran Gladiz yang bertepuk tangan, mencoba menahan dirinya untuk tidak berseru bahwa sesi tanya-jawab pertama telah usai. "Baiklah kalau begitu! Mari kita mengajakmu berkeliling!"

Kedua saudara itu mulai menarik tanganku menaiki setiap anak tangga.

Ya Tuhan, semoga saja nyawaku masih hinggap di tubuh sampai ini selesai.

-

Deretan ruangan di koridor putih mengingatkanku pada rumah sakit versi elegan. Dengan pilar putih berdiri tegap di samping beberapa pintu, jendela yang membiarkan sinar matahari menerangi lorong tersebut, dan beberapa loker berjejer rapi. Dinding putih ini memiliki detil yang hebat bila dilihat lebih dekat. Ada tumbuhan rambat terlukis disana, tersembunyi dari mata setiap pengunjung.

Kami berhenti di salah satu pintu bercat abu-abu terang agar tidak terlihat bersatu dengan dinding putih. Pintu tersebut memiliki motif polos yang membosankan, jauh berbeda dengan motif dinding tersembunyi yang mengingatkanku pada payung favoritku.

"Ini kelas Bulan."

What?

Calix membuka pintu kelas tersebut, menunjukkan sebuah ruangan yang dapat memuat sekitar dua atau tiga puluh siswa. Deretan kursi yang berada disana berjejer rapi, tidak menanjak seperti yang kukira. Dua kursi disatukan menjadi dua. Jendela yang ada di ruangan tersebut sedikit lebih kecil daripada di lorong, tapi jumlah cahaya yang masuk tidak kurang sama sekali. Kelas yang normal. Kecuali murid-muridnya.

Aku baru sadar bahwa ada dua pendingin ruangan terletak di satu sisi, di atas jendela. Ruangan itu akan sangat dingin bila ada orang yang coba-coba menyalakannya.

"Kalau kau belum menyadarinya, seluruh kelas memiliki nama satelit," ujar Gladiz. Dia mengambil alih penjelasan Calix untuk sementara.

Setiap penjelasan yang keluar dari mulutnya langsung kutulis di dalam pikiran. Bulan, Deimos--satelit planet Mars, Kalisto merupakan kelas sepuluh. Io, Umbriel, Triton untuk kelas sebelas. Ganymede, Phoebe, Carme untuk kelas dua belas. Itu butuh waktu yang lumayan lama agar aku terbiasa dan dapat mengingat semuanya.

"Bagaimana menurutmu, Yunania? Apa ada sesuatu yang ingin kau ubah?" Aku mengerut kening saat mendengar pertanyaan Calix. "Sudah lima tahun kami mendirikan tapi kami tetap saja merasa ada yang kurang."

"Sepertinya hanya kau saja yang merasa seperti itu, Calix," ujar Gladiz sambil menggeleng pelan.

"Aku setuju dengan Gladiz-sensei disini." Kepalaku mengangguk pelan. "Bukankah Anda ingin menciptakan lingkungan akademi yang tidak begitu menarik perhatian orang luar?" Walaupun penampilan mewah bak istana mengatakan hal lain.

Calix memasang tampang berpikir yang mirip dengan Gladiz. "Itu benar. Tapi sekolah ini sudah cukup terkenal. Kita harus mengambil perhatian murid penyihir sebanyak mungkin."

Itu berlebihan, menurutku. Belum tentu murid yang mereka maksud itu punya niat baik untuk datang ke sekolah ini. Bisa saja mereka tipe orang yang ambisius dan ingin mengambil alih seluruh sistem akademi ini. Sebaiknya mereka ambil aman dulu, daripada menyesal atas perbuatan yang tidak ada gunanya.

Namun, aku memilih tutup mulut selama mereka berdebat dengan pikiran masing-masing. Aku tidak tahu apa mereka akan menganggap opiniku sebagai apa, jadi aku diam saja. Bila mereka kembali bertanya, aku akan menjawab sebisa mungkin. Aku pasif.

"Sudahlah, nanti saja dipikirkan." Gladiz mengibaskan tangannya. "Yunania, apa kau mau ke atap sekolah?"

Aku mengangkat kepala untuk menatap mereka secara bergantian. "Ngapain kita kesana? Kalian ingin mendorongku?"

"Kalau iya, apa yang akan kau lakukan?" Gladiz menggenggam bahuku, seolah menahan diriku agar tidak mencoba kabur.

"Aku akan lompat sendiri."

Calix mengatupkan bibirnya rapat-rapat mendengar responku. "Kau harus membawa senter kemana-mana," gumamnya. "Mari kita bergegas ke atap."

Kedua saudara itu kembali menarikku--secara harfiah--untuk menaiki setiap anak tangga. Aku bisa merasakan betapa gempornya betisku menaiki setiap anak tangga. Aku mulai merasa iri dengan kekuatan teleportasi milik Mirai, sihir itu sangat efisien untuk situasi seperti ini.

Satu-satunya yang ditemukan disana hanya kekosongan dan pemandangan siang hari dengan sinar matahari yang membakar mata. Aku menaiki tudung jaket yang kukenakan, melindungi kepala dan mata dari terik mentari yang membutakan mata. Saking teriknya, aku harus menyipit untuk melihat pemandangan di sekitar.

Ada dua gedung kembar dengan lima lantai terletak tidak jauh dari gedung akademi. Aku menyimpulkan gedung tersebut dimana asramanya berada.

"Ah, itu gedung asrama yang dipisahkan secara tegas. Bila ingin bertemu, kalian dapat mengunjungi ruang makan dan ruang santai berada," ujar Calix sambil menunjuk sebuah bangunan kecil yang menjadi penghubung gedung kembar tersebut.

"Oh, kalian tidak ada gedung kedua?"

Gladiz mengerjap bingung, sebelum termangut saat mengetahui maksudku. "Kita bisa menggunakan gedung ini saja? Kami tidak serajin itu sampai membuat gedung kedua. Mengeluarkan banyak biaya saja," celetuknya.

"Jangan salah paham. Kami bukan pelit, tapi hanya menghemat saja," ujar Calix dengan senyuman sopan yang hampir kusalahpahamkan dengan senyuman kapitalisme.

Aku hanya menggangguk. Lagipula, sejak awal aku tidak bertanya tentang biaya atau apalah, selama biaya sekolah gratis, aku tidak akan mempermasalahkan apa pun.

"Maaf, saya masih punya banyak pertanyaan."

Gladiz langsung berdiri tegap mendengar penuturanku, tapi senyuman di wajahnya mengatakan agar aku tidak perlu begitu kaku. "Tanyakan saja, Yunania. Kami akan dengan senang hati menjawab semua pertanyaanmu sampai puas."

Kalau begitu, aku tidak perlu menahan diriku.

***

GLOSARIUM

*Yokai
Hantu dalam bahasa Jepang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro