Chapter 7 - Hello Darkness, My Old Friend
Meskipun aku sudah lulus, atau hari libur tengah berjalan, pekerjaan akan terus mengalir seperti air sungai kecil di belantara hutan. Tidak ada namanya hari libur sepenuhnya. Satu-satunya hari libur full yang akan didapatkan, disaat aku sudah mati. Selama aku hidup, aku akan bekerja seperti kerbau, meskipun aku suka menunda beberapa pekerjaan.
Hari ini, aku tidak akan menjadi babu di rumah, melainkan seorang instruktur untuk ekskul kendo yang mempersiapkan lomba antar-provinsi. Itu sudah hal biasa di antara ekskul kami yang terkenal sebagai ekskul workaholic di antara ekskul lainnya. Terutama, pelatih kami merupakan seorang perfeksionis yang tidak akan pernah lupa mengambil kesempatan, selalu mengingatkan tentang para alumni yang pernah mengikuti lomba untuk datang saat hari latihan.
Ya, aku pernah mengikuti lomba, bila kalian perlu tahu. Tetapi aku tidak sehebat Haku Ryoutani-senpai yang terkenal dengan tebasan pedang tak kasat mata. Hakama yang dia kenakan saat pertandingan terlihat begitu ringan, tidak menghalangi pergerakan yang ingin dia lakukan untuk menghalau si lawan. Bahkan namanya pernah muncul di majalah olahraga bela diri.
Aku merenggangkan leher untuk melihat siapa saja yang datang sebagai instruktur. Ternyata satu alumni yang satu angkatan dengan Haku-senpai sebelumnya juga datang, padahal dia paling malas untuk hal seperti ini. Saat aku bertanya apa yang membuatnya berubah pikiran, dia mengatakan sedang kabur dari rumah, karena tidak ingin disuruh-suruh.
Ternyata kita satu alasan. Kabur dari tugas menjadi babu dadakan selama hari libur.
Tiba-tiba, Haku-senpai menyeretku menjauh, membawa kami berdua menuju sudut ruangan. DI saat aku ingin kabur dari apa pun yang coba dia perbuat, tangannya lebih sigap untuk menahan kerah belakang bajuku. Senyuman yang dia lukiskan seolah mengancamku agar tidak mengatakan apa pun.
"Dengar, senpai, aku masih tertarik dengan laki-laki!" Seruku dengan suara yang pelan. Kedua lenganku mulai memeluk tubuh dengan protektif, dan mataku menatapnya dengan tajam.
"Aku juga berpikir dua kali kalau tertarik dengan perempuan." Haku-senpai memutar bola matanya dengan jengah sambil mengeluarkan dengusan sebal. Dia kembali menatapku yang masih di posisi yang sama. "Bisakah kau tidak melakukan itu? Orang-orang akan menganggapku orang cabul bila kau terus memasang ekspresi itu."
"Biarin. Salah sendiri--Aww!" Aku merintih kesakitan saat Haku-senpai memukul kepalaku, seolah mencoba membelah semangka. Untung saja tengkorak yang dilapisi daging dan kulit ini cukup kuat. Kalau tidak, dia harus membayar biaya rumah sakitku.
Haku-senpai menyilangkan kakinya, lalu memangku kedua tangannya di atas lutut. Di saat aku ingin melakukan hal yang sama, dia melarang dan menyuruhku duduk dengan cara seiza. Aku menoleh ke arah pelatih, ingin melapor atas ketidakadilan yang baru saja kurasakan, tapi Haku-senpai menggampar wajahku dengan lembut. Aku tidak bisa melepaskan pandanganku sedikit pun darinya.
Apa enaknya memandang wajah seseorang yang membuatmu muak satu ruangan dengannya?
"Pikiran jangan kemana-mana!" Tegur Haku-senpai sambil menunjuk di antara alisku.
"Kita mau ngapain? Bukannya meditasi sudah lewat?"
"Kau enggak fokus saat meditasi. Jangan coba membohongiku."
Mengerikan. Aku tidak ingin membayangkan perhatian Haku-senpai yang sedaritadi tertuju padaku. Bila sudah seperti itu, artinya aku tidak boleh coba-coba berbohong tepat di wajahnya. Yang ada kepalaku akan dia pukul kedua kalinya, seperti ingin membelah semangka dengan tangan kosong. Aku yakin pukulan kedua itu benar-benar dapat memecahkan kepalaku.
"Bisakah kita melewati sesi ini, dan fokus pada murid yang ingin mengikuti perlombaan?" Aku menunjuk ketiga adik kelas kami yang akan mengikuti kompetisi tersebut. Mereka sedang melatih beberapa teknik yang direkomendasikan salah satu alumni.
Haku-senpai memandang ketiga murid itu tanpa minat. "Bisa aja, tapi aku ingin fokus kepadamu saat ini."
Kedua lenganku kembali melindungi tubuhku dengan erat, sementara mataku melirik setengah ke arah Haku-senpai yang mulai memasang wajah muak dengan sikap dramatisku. Salah sendiri mengucapkan kalimat yang bisa buat seseorang salah paham.
"Usir setiap pikiran yang mencoba menghentikanmu untuk berpikir tenang. Sekarang, fokus! Ringankan seluruh isi kepalamu." Haku-senpai menggenggam kedua sisi kepalaku. "Suatu hari nanti, aku yakin kau akan berterimakasih padaku."
"Aku ingin meludahimu," gumamku.
"Simpan segala komentar itu di sudut pikiranmu saja!"
Tangannya mulai mengusap wajahku dengan kasar, seolah memintaku agar tidak tegang, apalagi saat menutup mata. Hanya menutup mata saja, aku bisa merasakan keempat indra yang lain langsung tajam. Hembusan nafasku, derap langkah di atas lantai kayu, dan gesekan bambu. Perasaan dapat mendengar semuanya dengan jelas sangat mengerikan. Belum lagi mencium bau apek dari setiap kaki yang dibalut kaos kaki.
Aku merinding saat merasakan sesuatu melata di lengan menuju pergelangan tangan, dan aku yakin itu bukan tangan Haku-senpai yang iseng. Dia bukan orang cabul seperti candaanku. Tetapi entah apa pun yang tengah menyentuh kulitku sekarang, berhasil menyulut emosi. Sesi meditasi singkat ini akan berubah menjadi sesuatu yang kacau.
Seolah mencoba mengalihkan konsentrasiku dari perasaan geli itu, sebuah gambar muncul di pikiranku. Tanah lapang dengan rerumputan yang luas. Entah bagaimana, aku bisa merasakan hembusan angin di atas tebing tersebut, lalu datang aroma laut yang biasanya kucium saat liburan ke pantai. Pemandangan langit jingga di depanku terlihat begitu menenangkan. Sebelum langit runtuh.
Bayangan di bawah kakiku mulai bergerak gelisah, lalu melangkah keluar. Mereka beranjak ke udara untuk menciptakan kubah yang luas, tapi gelap, aku tidak bisa melihat apa pun yang ada di dalam kubah hitam tersebut. Anehnya, aku bisa dapat melihat diriku dengan jelas, kedua tanganku yang menghitam dengan retakan emas yang panjang sampai ke lengan. Itu sama seperti dengan kejadian di kamar Mirai atas perbuatanku sendiri. Bedanya, aku tidak memiliki hal aneh seperti ini di tanganku.
Apa yang terjadi? Apakah langit benar-benar runtuh?
"Yunania, semuanya akan baik-baik saja."
'Yunania'? Bukankah itu nama familiar yang akan dipilih sebagai nama penyihir-ku? Daripada itu, siapa yang baru saja berbicara?
Tiba-tiba, sepasang tangan bercahaya menyentuh wajahku dengan lembut. Rasa dingin karena takut sudah digantikan dengan kehangatan yang berasal dari tangan orang asing tersebut. Tidak kusangka cahaya dapat menyala di kubah ini. Mataku membelak saat sebuah senyuman bertemu dengan mataku. Begitu menenangkan, begitu meyakinkan, begitu... familiar.
"Kami berada disini bersamamu. Akan kami pastikan engkau tidak perlu menderita lagi."
Kesadaranku kembali ditarik ke permukaan samudra. Haku-senpai berada di posisi nyamannya, sementara aku masih setiap di posisi seiza* sampai kakiku kesemutan. Dia memangku dagunya. Ada senyuman menyebalkan terlukis disana, entah sudah berapa lama.
"Itu lebih cepat dari yang kuduga," komentarnya. Aku menatapnya dengan curiga, menerka-nerka apa yang baru saja kualami ada kaitan dengan kemampuan miliknya.
Tanpa memedulikan tatapanku yang mampu membolongi belakang kepala, Haku-senpai beranjak berdiri, lalu merapikan hakama-nya yang menekuk. Dia meraih tanganku sebelum menarik seluruh tubuhku yang tidak bisa berdiri stabil dalam satu tarik. Haku-senpai sigap menahan diriku yang hampir jatuh, menyisihkan momen memalukan yang akan terpatri di kehidupanku.
"Apa yang sudah kau perbuat, senpai?"
"Bukankah sudah jelas?" Dia dan refleks cepatnya, karena dia berhasil menghindari tanganku yang siap menampar pipinya dua kali. "Aku baru saja membangkitkan potensiku. Kau tidak perlu gengsi, Yuuna, aku tidak terima rasa terimakasihmu."
Aku memutar bola mata dengan malas. "Aku juga ogah harus berterimakasih setelah melewati penyiksaan itu!"
Rasanya seperti mengalami fever dream atau lucid dream, tapi itu terasa sangat asli. Aku tidak dapat merasakan langit yang runtuh karena kubah tersebut. Namun, rasa sesak itu masih tersisa di dada, mengingatkan seluruh dosa yang pernah kubuat di setiap hembusan nafas.
Ini mengerikan.
Keinginanku untuk mendaftar ke akademi tersebut tambah menyusut. Bila disana sihirku akan dikembangkan lebih jauh lagi, aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi. Cukup satu kekacauan saja. Aku tidak ingin sejarah terulang untuk kedua kalinya.
-
Penglihatan yang kualami beberapa jam sebelumnya masih terpatri di dalam pikiran, mengingat setiap detik-detik momen, seolah penglihatan itu ditato di keningku secara permanen. Seorang gadis yang asing tapi familiar di waktu yang sama. Tanganku yang hitam, seperti baru saja direndam ember berisi oli, berserta retakan emas yang mengikuti urat nadi. Jangan lupakan ucapan gadis itu yang begitu ambigu.
Seharusnya aku menendang perut alumni itu saat dia mengajakku untuk meditasi. Semuanya tambah mengerikan bila aku membiarkan pikiranku tenang, dan mataku tertutup ramat, karena di saat itulah bayangan yang berada di sudut terdalam jiwaku mulai menyusuri setiap sisi untuk mengendalikanku. Rasanya seperti dicekik oleh ular.
Membicarakan tentang alumni itu, dia tidak bisa berhenti berbicara di sampingku, memberikan sedikit waktu saja untukku berpikir tentang penglihatan tersebut. Dia membicarakan tentang sekolah barunya, belum menemukan teman sefrekuensi, dan seragamnya tidak semembosankan milik Komatsu-Gako. Aku akan melapornya pada kepala sekolah tentang komplainnya tentang seragam SMP-ku.
Saat ini, kami tengah di perjalanan pulang dari tempat ekskul. Haku-senpai mengajakku pulang bersama, tapi aku menolak karena masih trauma dengan apa pun perbuatannya saat aku mendapatkan penglihatan tersebut. Penolakan itu tidak ada gunanya sama sekali, karena kami pulang searah, dan mulutnya itu tidak bisa berhenti. Seberapa banyak stok air ludah yang dia miliki di balik lidahnya?
"Apa saja yang kau lihat selama 'meditasi'?" Aku mendelik ke arah Haku-senpai yang memakan crepe dengan hiasan berupa eskrim. Kami sempat mengunjungi salah satu kedai crepe atas permintaan si alumni.
"Semua dikelilingku gelap," jawabku cepat. Jawaban itu bukan sebuah kebohongan. Sekelilingku benar-benar sebuah kegelapan yang dibentuk untuk melindungiku dari langit yang runtuh. Lagipula, tidak mungkin aku menceritakan semuanya pada Haku-senpai.
Senyuman manis dengan beragam makna miliknya masih ada disana. Selama tiga tahun mengenalnya, aku tahu perbedaan dengan senyuman manipulatif dan senyuman all-knowing selama dia di sekitarku. Dan, senyuman yang dia lemparkan sekarang menunjukkan kalau dia tahu sesuatu yang menjadi jawabanku sekarang.
Bagaimana aku mendorongnya untuk mengatakan semuanya? Mereka mengatakan lingkungan di sekitarmu memiliki dampak yang besar dalam perubahan sikapmu. Bila kebodohan dapat menular, begitu pula dengan kepandaian. Tapi aku tidak dapat merasakan apa pun selama berteman bersama Haku-senpai, kecuali emosi yang suka meningkat tajam setiap dia mulai memainkan pikiranku dengan ucapannya yang kelewat indah.
Tiba-tiba saja, si alumni menepuk kepalaku beberapa kali, lalu mengacaknya dengan kedua tangan. Aku memukul kedua tangannya dengan kesal. Padahal aku sudah mengikatnya serapi mungkin sesudah ganti seragam. Aku melakukan hal yang sama pada rambutnya, membuat Haku-senpai tertawa pelan sebelum menyingkirkan tanganku.
"Ngajak ribut ceritanya?" Aku mendengus sebal. Dengan ogah, aku menarik ikat rambut yang kucuri dari kamar Nee-san, lalu menyatukan seluruh rambutku untuk diikat lagi.
"Aku tidak keberatan meladenimu, kalau mau," balas Haku-senpai dengan tenang. Seolah setiap hari dia mendapat undangan pertarungan dari setiap orang yang dia lewati.
Mengapa dia bisa setenang itu, sementara aku disini ingin mencabik-cabik wajahnya? Aku tidak mengerti!
"Kau tahu sesuatu tentang sihirku, 'kan, Haku-senpai? Kau menggunakan salah satu talenta yang dimiliki penyihir generasi baru ini untuk meramal masa depan yang kemungkinan akan terjadi, kan?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku tanpa dicerna terlebih dahulu.
Si alumni langsung mengatupkan dirinya. Aku mengambil keheningan itu sebagai izin untuk mengeluarkan segala unek-unek yang selama ini kusimpan, tidak memedulikan beberapa mata yang menoleh ke arah kami dengan penuh rasa ingin tahu. Sudah cukup aku saja yang selama ini ditarik kemana-mana olehnya. Aku ingin memimpin perbincangan ini sesuai dengan keinginanku.
"Senpai, aku tidak ingin menceritakan semuanya bila kau sendiri menyimpan sesuatu tentang diriku. Rasanya tidak adil kalau tidak begitu, bukan?"
Haku-senpai terdiam. Pasti dia tidak akan menyangka kalau aku akan jujur dengan perasaanku kepadanya di timing yang buruk.
"Maaf," ucapnya dengan pelan. Itu pertama kalinya aku mendengar seorang Haku Ryoutani mengucapkan permintaan maaf dengan ekspresi mendung.
"Kau benar. Aku memang meramalkan sesuatu saat kau mengatakan tentang sihirmu. Tapi, aku tidak tahu bagaimana menyampaikan apa yang kulihat saat itu. Aku takut mengecewakanmu."
"Apa maksudmu?"
Si alumni mengalihkan pandangannya dariku, sebelum kembali menatap kedua netraku yang tidak lepas sedikit pun darinya. Dia mengeluarkan sebuah senyuman sedih. Aku jadi merasa ragu tentang ramalan yang dia lihat. Ada sedikit penolakan untuk mengetahui lebih lanjut, tapi rasa ingin tahu selalu menang karena nafsunya yang tak terkalahkan.
Aku menahan diriku untuk mendorong lebih lanjut saat merasakan jari kelingking Haku-senpai dikait ke jari kelingkingku. Kaitannya tidak erat seperti ibu jari sedang bergulat. Dia mengangkat tanganku, lalu melakukan gerakan janji yang biasanya dilakukan anak kecil bersama seorang Ibu. Kepala ibu jari kami masih bertemu. Aku menunggu Haku-senpai untuk melepaskan tangannya terlebih dahulu.
"Senpai mau sampai kapan kita terus--"
"Yuuna, berjanjilah padaku satu hal." Aku menutup mulutku rapat-rapat saat bertemu dengan wajah serius milik Haku-senpai. "Jangan terlalu khawatirkan masa depan, jangan terlalu terpaku pada masa lalu. Hiduplah di masa sekarang. Kau tidak dapat mengulang waktu, karena itu bukan sihirmu. Bersenang-senanglah, seolah dunia akan hancur bila kau tidak tersenyum."
"Bukankah itu berlebihan?"
Haku-senpai tertawa pelan. Dia menjauhkan tangannya dariku, meninggalkan jejak yang merupakan benang janji di antara kami. "Kau tahu aku orangnya dramatis."
-
Kami berpisah di persimpangan. Haku-senpai menyebrang zebra cross setelah turun dari stasiun, sementara aku menyusuri trotoar yang asing di mataku. Suara kendaraan yang berlalu lalang, langkah kaki orang lain, dan hembusan angin untuk menyambut musim semi masih sama. Tapi aku tidak bisa melepaskan firasat buruk yang mengelilingi hatiku.
Pikiranku mulai berpikir cepat. Perlahan-lahan, ingatanku berjalan dengan normal setelah melihat salah satu gedung pencakar langit yang melekat di benakku. Bangunan tersebut salah satu poin terpenting setiap kami--sekeluarga, terkadang bersama sepupu--pergi liburan kemana pun. Gedung tinggi itu selalu berhasil mencuri perhatianku dengan kemegahannya.
Aku tidak tersesat, untungnya. Aku hanya keluar dari bagian stasiun yang berbeda, karena mengikuti Haku-senpai. Biasanya, aku keluar dari arah barat, sekalian mengunjungi toserba untuk membeli beberapa makanan bila aku masih memiliki uang saku yang cukup. Tapi pikiranku terlalu sibuk dengan si alumni sampai mengikuti langkahnya keluar dari shinkasen.
Aku langsung menyumbat kedua telingaku dengan earphone, mengisi kesunyian di dunia dengan deretan lagu beragam genre, tidak mengizinkan suara apa pun mengusik perlindungan ketenangan yang sudah kubuat. Volume lagu itu kubuat melewati garis biru, membuat garisnya menjadi jingga, menyatakan bahwa volume-nya sudah di atas 'normal'. Beberapa mata yang melewatiku juga mengatakan kalau lagu yang diputar sampai bocor dari telingaku.
Tidak ada waktu untuk memikirkan pandangan atau volume laguku terlalu besar. Misiku sekarang adalah mencari jalan pulang yang familiar, bukan sightseeing di kota dimana aku dilahirkan.
Sial! Jangan bilang aku tersesat?
Jalan yang kulewati tambah asing di setiap aku melangkah. Di saat aku putar balik, aku tidak bertemu dengan jalan yang sama, melainkan jalan yang jauh berbeda. Setiap aku berbelok ke arah yang berbeda, orang-orang yang kutemui tambah berkurang. Tidak ada suara kendaraan yang berlalu lalang di kejauhan.
Pikiran yang rasional tidak dapat menyelamatkanku sekarang.
Aku harus pergi. Pergi sejauh mungkin dari tempat yang sepi. Aku harus menemukan tempat yang ramai, yang berisik, yang sesak. Lokasi dimana aku tidak ingin di tempat itu selamanya. Aku harus menemukan tempat itu. Secepatnya!
***
GLOSARIUM
*Seiza
Cara duduk tradisional nan formal di Jepang
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro