Chapter 6 - Golden Letter
"Burung merpati dengan kepakan sayap putih tiba
Membawa kabar bahagia dalam wujud surat pada paruhnya
Tapi gadis itu menganggapnya sebagai malapetaka,"
***
Bangun awal saat liburan tidak termasuk daftar favoritku, karena aku yakin Okaa-san akan memaksaku membantu di dapur atau di halaman, sementara kakak yang paling "kucintai" sibuk tidur di kamarnya sampai siang hari. Bila tidak disuruh bekerja, Otou-san akan mengajakku jalan pagi sekitar kompleks, dan aku akan mengajak Mirai bersama adiknya agar kami sengsara bersama karena tidak terbiasa berolahraga. Hanya ada dua kemungkinan saja yang kupikirkan saat aku menuruni setiap anak tangga dengan lambat. Tapi menerima sebuah surat entah darimana bukanlah sambutan pagi hari yang akan kuduga.
"Yuuna, kamu ambil tes di Akademi Houseki?" Pertanyaan Okaa-san sebagai bentuk sapaan di pagi hari membuatku melongo di tempat. Bukankah itu nama sekolah yang sama dimana Mirai dan Eri bersekolah?
Menyadari kebingunganku, Okaa-san memberikan sebuah amplop cokelat yang sudah dibuka talinya. Aku menyeret keluar inti surat yang mengingatkanku pada piagam yang kuterima di hari kelulusan.
"Ternyata kamu bisa, tuh! Makanya jangan menyerah dulu!" Ujar Okaa-san sambil menepuk pundakku dengan lembut, lalu berjalan kembali ke dapur untuk memasak sarapan kami.
Aku tidak mengerti. Bahkan sampai kubaca berulang kali, aku tetap tidak menyangka bahwa hari itu akan tiba secepat ini. Bagaimana mereka bisa menemukanku?
Surat yang dilapisi aura sihir itu tidak mampu menjawab pertanyaanku, karena mereka dilapisi sebuah mantra, jadi aku tidak dapat mengindentifikasi pemilik sihir tersebut. Aku tambah kesal saat membaca surat itu terdengar mengancamku bila aku mencoba membuang surat ini atau membakarnya.
Kepada saudari, Yuuna Moritake,
Anda diterima sebagai salah satu murid Akademi Houseki. Pertama, tolong datangi alamat yang ditujukan untuk menulis kehadiranmu sebelum tenggat waktu.
Kami sangat menantikan kehadiranmu di akademi ini,
Yunania.
Siapa pun pihak akademi yang mengirimkan surat ini, mereka diajak untuk bergulat di atas atap sebuah gedung detik ini juga. Mereka pasti sengaja mempertebal nama dengan penulisan katakana setelah kalimat penyambutan, seolah memintaku untuk mengingatnya. Sialnya, aku sangat ingat nama itu sebelum membaca surat itu seisinya, karena nama itu memang sudah ditujukan padaku sebelum surat ini diberikan.
Ada kertas di dalam amplop itu untuk menunjukkan tenggat waktu dan alamat dimana akademi itu berada.
Iya kali aku akan mengikuti apa yang mereka mau.
"Menurut Mama, apa aku harus menerimanya?" Tanyaku dengan pelan. Surat itu kuletakkan di ujung meja makan tanpa minat. Emosiku tambah tidak jelas kalau aku berlama-lama melihatnya.
"Kenapa kau tidak ingin menerimanya? Kau sudah berjuang, dan itu oportuniti yang bagus untuk memulai hal yang baru," ujar Okaa-san.
Masalahnya, aku tidak berjuang sama sekali untuk masuk ke akademi ini. Aku jadi merasa bersalah pada siapa pun yang mencoba mendaftarkan diri ke akademi itu, tapi tidak bisa karena mereka tidak memenuhi satu syarat paling penting.
Aku kembali mencari alasan yang dapat membawa Okaa-san ke pihakku, karena aku yakin mendapat dukungan Otou-san tentang hal ini adalah hal paling mustahil. "Kudengar setiap murid wajib tinggal di asrama!"
"Bukankah itu bagus? Daripada kau terus tinggal disini, dan tidak mandiri, selalu ngerepotin Mama."
Perkataan itu ditembak lurus ke ulu hati. Aku yakin, bila perkataan itu ada anak panah, aku sudah sekarat di tempat. Kejam sekali!
"Kenapa Yuuna? Kamu nggak mau ke sekolah ini? Bukannya Mirai juga di sekolah ini?" Aku terdiam mendengar pertanyaan Okaa-san.
Tentu aku berada di pihak lebih menguntungkan, karena aku satu sekolah dengan Mirai lagi. Bila aku lebih beruntung, aku bisa saja satu kamar dengan mereka di asrama. Tapi aku tidak ingin melihat ke arah positifnya.
Bagaimana mereka bisa menemukanku? Itu pertanyaan pertama yang harus kupikirkan jawabannya sekarang.
Jangan-jangan... Hari dimana aku menyelamatkan Vanessa dari penguntit itu. Aku memberikan siksaan kecil kepada si penguntit yang tidak begitu menyakitkan, tapi memberikan sensasi panas yang terasa seperti mengelupas kulitnya. Meskipun aku menggunakannya sebentar saja, aura sihirku pasti keluar, dan memberikan izin pada mereka untuk melacak keberadaanku.
"Repotin banget!" Seruku dengan kesal sambil mengacak rambutku yang disanggul rapi. Aku menciut saat Okaa-san memberikan tatapan yang mengatakan aku pergi ke hutan saja bila ingin teriak.
Ah, sebenarnya ini agak terlambat, tapi aku juga seorang Penyihir. Bukan seperti Mirai atau Eri. Anehnya, aku lebih berasosiasi dengan Vanessa, meskipun kami tidak begitu dekat.
Bayangan di bawah kakiku mulai bergerak dengan penuh semangat. Terlihat jelas kalau mereka tengah meledekiku yang mengatakan identitasku tidak akan diketahui siapa pun.
"Kalian berlagak seperti itu lagi, aku tidak akan segan menghapus keberadaan kalian," ancamku, dan metode itu berhasil.
"Apa ada tenggat waktu kapan kau daftar ulang ke akademi sana, Yuuna? Mama belum baca surat satu lagi."
"Iya, minggu ini berakhir, aku tidak bisa daftar ulang. Untuk pemilihan asramanya, bisa datang saat hari pendaftaran atau setelah hari pendaftaran dengan tenggat waktu yang sama—tujuh hari."
Okaa-san mengangguk mengerti sambil mencicipi sup miso yang tengah direbus. "Jadi, kau ingin sekalian pindah di hari pendaftarannya juga?"
Aku mengerutkan kening. "Bukannya jadi ribet kalo begitu? Mendingan setelah mendaftar saja."
"Kalau gitu, kau harus cepat-cepat. Siapin dulu barang-barang yang kau butuhkan."
Aku bahkan belum yakin akan mendaftar ke akademi itu.
"Mama, aku ke rumah sebelah dulu, ya!"
Setelah mendapat izin dari Okaa-san, aku melesat pergi sambil mengenakan jaketku yang bergelantungan di tangan sofa. Aku kembali ke meja makan untuk memasukkan surat itu, lalu melesat pergi. Karena terlalu terburu-buru, aku tidak sadar alas kaki yang kugunakan merupakan sandal Natsumi-nee-san yang terasa sempit di kakiku.
Timing yang sangat pas, karena Kazumi—adik Mirai—melangkah keluar untuk membuang sampah.
"Kazumi, ohayou*!" Sapaku sambil berlari menghampirinya. Bocah itu terpanjat mendengar sapaanku, tetapi tetap membalasnya dengan lambaian singkat. "Apakah Mirai sudah bangun? Aku perlu membicarakan sesuatu dengannya."
Kazumi memberikanku tatapan datar sambil mengangkat salah satu alis. "Yuuna-nee, kau sudah berapa tahun mengenal Aneki**?"
Aduh, bagaimana aku bisa melupakan fakta itu? Mirai dan Natsumi-nee-san satu kaum kalau sudah berhubungan bangun di hari libur, karena mereka bangun di atas pukul sembilan. Bahkan mereka pernah memecahkan rekor sampai kepala mereka pusing karena kebanyakan tidur.
"Aduh, jadi gimana, dong? Tidak mungkin aku menyiramnya dengan air dingin! Ini masih awal musim semi!"
"Yang ada, kau akan digeplak pakai ember bila berani melakukan hal itu kepadanya."
Kami berdua mulai memikirkan sebuah ide untuk membangunkan Mirai.
Kazumi mendengus pelan. "Bangunin saja dengan cara yang normal, daripada kau harus menunggu sampai waktu siang. Aku yakin dia akan mengerti kalau kau datang dengan wajah sepanik itu."
Spontan, aku menyentuh wajahku untuk mencari garis wajahku yang berevolusi. "Apa wajahku terlihat sepanik itu tadi?"
"Iya, kayak ada kebakaran saja."
Ugh, aku tidak ingin mendengarnya dari anak yang beda setahun denganku. Malu-maluin saja.
Kesal dengan sikapku yang tiada akhir kelabilannya, Kazumi mendorongku masuk, tidak memberikan sedikit waktu bagiku memikirkan cara paling halus untuk membangunkan singa yang tidur. Di saat aku menoleh ke belakang, Kazumi menggeleng cepat. Sepertinya aku tidak ada pilihan untuk kabur. Lagipula, Mirai bukan tipe orang yang akan mengamuk saat dibangun paksa.
Saat aku melangkah masuk, Tante Aida—Nyonya besar keluarga Oozora—menyambutku dengan senyuman yang mirip Mirai. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
"Maaf mengganggu, Tante Aida. Mirai belum bangun, ya?" Tanyku dengan sopan. Meskipun keluarga kami sudah kenal satu sama lain, aku masih merasa canggung.
"Aduh, jangan ditanya kalau tentang Mirai sudah bangun atau belum. Dia paling rese kalo hari libur," ujar Tante Aida sambil menggeleng penuh resah. "Tolong bangunin dia, Yuuna, sekalian sampaikan kalau dia harus bersihin kulkas."
"Akan kusampaikan!" Aku langsung berlari ke kamar Mirai yang terletak di lantai pertama, tidak begitu jauh dari ruang tengah.
Seperti yang dikatakan dua penghuni rumah tersebut, Mirai masih terlelap di balik selimutnya, menikmati betapa hangat dan dinginnya hawa musim semi. Aku jadi iri melihatnya. Seharusnya aku tidur telat seperti Natsumi-nee-san dan Mirai.
Aku menarik selimut tebal itu dengan kasar, membuat Mirai menggerutu pelan di tidurnya. Dengan sengaja, aku menjatuhkan bongkongku di sisi tempat tidurnya yang lebih empuk dari pada punyaku.
"BANGUN! BANGUN! Hari ini kau harus mendaftar ke akademi!" Seruku tepat di telinga.
Kening kami berdua bertabrakan, membuatku meringis sementara Mirai merintih kesakitan. Matanya yang belum terbuka sepenuhnya menatapku dengan kesal.
"Apa... yang kau lakukan disini?"
"Dengar! Aku ingin kau jadi orang pertama yang tahu ini!" Aku membiarkan jeritan mengisi pikiranku, terselip tujuan mengapa aku datang ke kamarnya sepagi ini.
Mirai mengerjapkan mata tidak percaya. Dia memberi isyarat agar aku diam sebentar, karena pikirannya butuh waktu yang cukup banyak untuk diproses.
"Kau serius?" Tanyanya, masih tidak percaya.
"Apa jeritan di pikiranku tadi hanya candaan?" Balasku sambil mengangkat salah satu alis.
"Huh," gumam Mirai. Tangannya menyapu rambut pendeknya yang sudah bertumbuh lebih panjang dari tahun sebelumnya. Sebuah senyuman terselip di bibirnya. "Jadi, apa yang kukatakan benar. Tidak ada yang mustahil di dunia ini."
Aku mendengus pelan, lalu menjatuhkan tubuhku di atas kasur. "Tapi tidak kusangka itu akan benar-benar terjadi." Mataku melirik ke arahnya. "Apa kau ingin tahu apa sihir utamaku?"
"Kalau itu bukan pertanyaan personal, aku ingin tahu."
Oke, aku tidak tahu bagaimana harus menjelasakannya, jadi aku akan memeragakannya.
Bayangan di kolong tidur Mirai mulai berkumpul di tengah-tengah ruangan. Perlahan-lahan, suluran bayangan itu mulai mendominasi ruangan, tidak memberikan sedikit pun cahaya masuk agar memperkuat kegelapan mereka. Mirai berjengit di tempat saat seluruh kegelapan mengisi ruangan, menyisahkan kami berdua yang dapat melihat satu sama lain.
Terlihat jelas kalau Mirai tidak nyaman dengan situasi ini. Aku juga begitu saat mengetahui potensi yang dapat kulakukan, apalagi mengetahui apa yang bisa kuperbuat lebih jauh.
Dalam kedipan mata, kamar tersebut kembali ke keadaan semula. Tidak ada bayangan yang hidup berkeliaran di dalam gelap. Cahaya dari mentari mengisi ruangan kamar tersebut, memberikan sensasi kehangatan yang begitu dirindukan.
"YEY! Jadi itu sihirku!" Aku bertepuk tangan dengan meriah, membuat Mirai melongo di tempat, masih memproses perubahan yang terjadi pada kamarnya sebelumnya.
Mirai tidak melepaskan pandangannya dariku, seolah mencoba mencari jawaban di gerbong kereta pikiranku. "Aku tidak mengerti. Aku tidak dapat membaca pikiranmu."
"Itu hal yang normal. Kadang, aku juga tidak mengerti apa yang terjadi di dalam pikiranku. Seperti alasan mengapa putik bunga menjadi alat kelamin betina, sementara serbuk sari menjadi alat kelamin jantan. Banyak hal yang tidak dapat dimengerti di dunia ini. Kau hanya perlu menyimpulkannya dari kejadian yang baru terjadi lewat sudut pandangmu."
Raut ragu masih setia di fitur wajah Mirai. "Sudut pandangku saja tidak cukup."
"Semesta tidak sebaik itu memberikan jawaban kepadamu langsung dari langit." Aku menutup mataku, menjauhi tatapan Mirai yang tetap lengket ke arahku. "Perlahan-lahan, kau dapat mengetahui lebih jauh."
Mirai termenung sebentar, sepertinya dia tengah memikirkan jawaban yang pas untuk sihirku. "Mengendalikan... kegelapan, bayangan? Entahlah." Dia mengedikkan bahu pasrah.
Aku tertawa mendengar jawaban Mirai yang masih terkandung keraguan. "Itu salah satunya," gumamku. "Pulang upacara kelulusan, katanya kau mendaftar ulang bersama Eri ke akademi itu, kan? Bagaimana sekolahnya?"
"Aku tidak harus memulai darimana untuk mendeskripsikan akademi itu." Sekarang giliran Mirai yang tertawa pelan. "Bayangkan saja latar belakang rumah mewah yang kau baca di komik fantasi favoritmu."
Gila, semewah itu? Berapa hektar halaman yang dikuasai satu sekolah saja?
Pasti aku sudah membeku di tempat hanya melihat gerbang sekolahnya saja.
"Bagaimana dengan pembagian kamar asramanya?"
Mirai mengedikkan bahu. "Eri mengatakan kalau kakaknya sudah memberikan kamar untuknya, tapi kamar itu sudah ditempati dua orang lainnya. Jadi kita tidak dapat satu kamar dengannya."
Aku mengangguk mengerti, tenggelam di dalam pikiranku sendiri, lalu membalas ucapan Mirai setelah menyimpulkan penuturan itu. "Berarti kita bebas memilih kamar asrama," ujarku. "Tapi yang kukhawatirkan adalah pemindahan barang. Kudengar orang biasa tidak boleh asal masuk ke lingkungan akademi."
"Boleh saja," balas si pemilik kamar. "Aku melihat salah satu kakak kelas membawa keluarganya untuk membantu mengangkut barang-barangnya karena dia ingin pindah kamar, tapi ditentukan batasnya. Ada semacam fasilitas yang dibuat untuk memindahkan barang-barangmu ke kamar."
"Seperti teleportasimu?"
Mirai hanya menunjukkan senyuman penuh makna, yang membuatku terus kepikiran kalau dia tahu sesuatu tentang akademi ini. "Semacam itu."
-
"Jadi, kau lanjut ke sekolah berasrama, ya?" gumam Natsumi-nee-san saat mendengar ceritaku tentang akademi terkenal itu. Pandangannya masih terkunci ke depan agar tidak menabrak tiang lampu, dan mempermalukan dirinya sendiri.
"Kau juga akan pindah ke kota lain untuk melanjutkan kuliahmu," balasku, mengingatkan kembali kalau kami berdua akan melepaskan dari rumah, dan menjalani kehidupan yang mandiri tanpa ada Okaa-san yang selalu mengingatkan atau membangunkan kami.
Kami berdua menyusuri trotoar, ditemani jalan raya yang penuh dengan transportasi, dalam perjalanan kembali ke rumah dengan plastik putih berisi makanan ringan. Aku merapatkan tudung jaket agar beberapa helai rambutku yang basah tidak menghalau pandangan mata. Berbeda dengan Natsumi-nee-san, dia berjalan dengan santai tanpa ada badai yang mampu menghalanginya. Yah, itu karena rambutnya disanggul agar tidak ada sehelai pun rambut menghalangi matanya.
Entah kenapa, Natsumi-nee-san mengajakku berjalan-jalan, sekalian membeli beberapa makanan ringan di toserba terdekat. Awalnya, aku hanya ingin titip makanan yang ingin kubeli. Tapi aku langsung berubah pikiran saat memikirkan kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu makanan yang kuinginkan tidak ada, dan Natsumi-nee-san tidak membeli pilihan kedua. Jadi disinilah aku sekarang, menemani jalan sorenya.
Setelah interaksi itu, kami berdua kembali ke mode sunyi. Kami berdua memiliki sikap yang sama dengan Okaa-san, pendiam, mau itu sama orang terdekat atau orang asing. Tetapi sikap pendiam Okaa-san membawa hadiah di setiap langkahnya, seperti mendapat kenalan banyak, surat cinta bertebaran di kolong meja dan loker sepatu, dan hal yang tidak dapat kami berdua dapatkan. Sepertinya kami berdua tidak mendapat keberuntungan itu.
Waktu berjalan begitu cepat tanpa kusadari. Aku sudah menduga bahwa cepat atau lambat, kami berdua tidak akan selalu mengandalkan kedua orang tua kami. Ini sudah saatnya bagi burung kecil seperti kami harus terbang dari sangkar yang nyaman.
Daripada mengkhawatirkan diriku sendiri, karena akan memasuki sebuah lingkungan yang mencegahku untuk menerima kebebasan, aku lebih mengkhawatirkan Nee-san yang kuliah di kota berbeda. Dia akan berada di lingkungan yang jauh berbeda, tidak ada sanak saudara yang dapat membantunya, dan hal buruk lainnya yang belum terpikirkan.
"Nee-san." Yang dipanggil hanya bergumam pelan untuk menunjukkan kalau dia mendengarkan. "Jaga baik-baik disana."
"Yuuna, aku tidak pergi ke medan perang. Aku hanya pindah kota untuk kuliah."
"Sama aja. Pendidikan adalah medan perang," ujarku dengan penuh tekanan. Hal itu kudapatkan dari guru yang mengajar saat aku SD. Sensei tersebut sangat displin dan memperingati kami bahwa tingkat SMP adalah level pertama, dimana kami akan dimasukkan ke dalam kandang buaya.
Semua teman yang tertawa bersamamu merupakan musuh saat ujian berlangsung. Kalian akan saling bertarung untuk merebutkan takhta tertinggi, saling menjatuhkan satu sama lain. Tetapi ada juga yang saling mendorong satu sama lain, membantu teman mereka sebelum hari-H tiba membawa penyesalan. Mungkin aja ada yang menganggapnya biasa saja.
Sayang, aku tidak dapat mengatakan hal yang sama tentang keluargaku, karena Okaa-san dan Otou-san orang yang sangat kompetitif, dan menginginkan yang terbaik untuknya. Meskipun mereka mencoba mengerti anaknya, aku masih mendengar kekecewaan yang kental saat Okaa-san menduga aku akan membuang kesempatan itu.
Bila tingkat SMP merupakan kandang buaya, maka tingkat SMA disamakan dengan kandang harimau yang tidak makan tiga hari.
Dan, aku tidak ingin pindah ke lingkungan dimana banyak hal terjadi di luar nalar.
Natsumi-nee-san menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke belakang. "Kau kenapa? Ada sesuatu yang ketinggalan di toserba?"
Aku mengerjapkan mata. Karena pikiranku yang berisik, aku berhenti melangkah dan hanya memandang punggung Natsumi-nee-san yang perlahan mengecil. Sepertinya dia juga melamun kalau baru menyadariku berhenti sekarang. Apa kita berdua memikirkan hari yang belum tiba?
"Nee-san, memang... akademi itu sebagus apa?" Nada pahit itu terasa jelas di lidah. Aku yakin Natsumi-nee-san menangkap ekspresi wajahku yang terlihat ingin menyumpahi seluruh isi bumi di setiap detak jantung. "Apa aku harus kesana, padahal aku tidak menginginkannya?"
"Jadi, kenapa kau mengambil tes akademi itu?"
Itu masalahnya! Aku belum pernah mengambil tes apa pun di akademi tersebut. Mengunjungi tempat atau berada di sekitar lokasi itu saja tidak pernah! Ini semua terjadi karena aku membantu Vanessa dari penguntit itu. Hanya secuil sihir saja, dan semuanya bisa terjadi seperti ini.
"Yuuna." Aku menggerutu pelan sebagai balasan. "Kau selalu menyimpan jawaban kepada dirimu sendiri, makanya Okaa-san nggak dapat mengerti."
"Nggak ada gunanya dijelaskan," balasku. Kedua kaki yang menapak di trotoar atau ban mobil yang bergesekan di jalanan aspal lebih menarik perhatian, daripada manusia di depanku yang sedang berkacak pinggang. "Semoga saja kalian tidak akan menyesal saat aku menghilang sepenuhnya di balik gerbang akademi itu."
"Lebay! Kau masih bisa pulang saat liburan!" Natsumi-nee-san menyentil keningku. Aku mengeluarkan rintihan pelan saat merasakan sensasi panas di kulit, lalu merambat ke seluruh wajah, dan siap untuk membalasnya bila dia tidak segera menghindar.
"Aku serius! Bagaimana misalnya aku mati disana?!"
"Jangan bercanda, Yuuna. Kau hanya pergi ke sekolah berfasilitas asrama, bukan ingin pergi berperang," ujar Nee-san sambil menggeleng pelan. "Ayo, Okaa-san pasti nyariin kenapa kita lama pulang hanya beli ginian."
Aku mengikuti langkahnya, meski pandanganku masih lekat dengan sepasang sandal yang kugunakan saat berjalan keluar seperti sekarang.
Tetapi, apa yang terjadi bila itu benar-benar terjadi?
***
GLOSARIUM
*Ohayou
Ucapan "Selamat Pagi" dalam bahasa Jepang
**Aneki
Bahasa informal untuk panggilan "kakak"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro