Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 22 - A Stranger in My Journal

Aku memandang kamus itu dengan lekat, belum ada keinginan untuk mengekspos lembaran di balik sampul tebal tersebut. Setiap jari-jariku masuk di antara lembaran, aku menariknya kembali, seolah tumpukan lembaran itu merupakan gigi hewan buas yang akan melahap jariku. Ugh, sekarang aku merinding membayangkannya.

Sebelum Sein menjelaskan lebih lanjut, aku sudah jatuh pingsan tiba-tiba. Hal terakhir yang kurasakan adalah tangannya yang menahan tubuhku agar tidak jatuh. Bila kita bertemu lagi, aku akan berterimakasih dan memintanya untuk menjelaskan lebih lanjut.

Helaan nafas keluar begitu saja dari bibir, menunjukkan kelelahan dan keraguan yang kurasakan. Kebiasaan buruk itu tetap ada disana, padahal Okaa-san sudah memperingatiku agar tidak sering menghela nafas. Hal itu membuatku terlihat seperti orang paling tersiksa di dunia ini, jadi aku terlihat seperti kurang bersyukur di dunia ini.

Kamus ini adalah Buku Kehidupan untuk Fraudulent, diturunkan dari generasi ke generasi.

Nama itu asing dan familiar di waktu yang sama. Sebuah paradoks yang membingungkan, seperti salah satu jenis manusia yang bisa kau temukan di berbagai wilayah. Ditambah, rasa takut melingkupi tubuhku, ditunjukkan lewat tanganku yang mulai berkeringat dingin. Kaki yang menyilang juga bergetaran, seperti saat Mirai mulai merasa gelisah besar.

Bagaimana Sein memiliki buku ini?

Misteri tentang gambaran padang salju yang kulihat saat pingsan juga belum terpecahkan. Rasanya seperti mengalami mimpi panjang, tetapi mimpi itu tersimpan di memori.

Aku masih ingat setiap kejadian yang terjadi. Seorang pemuda mengenakan jaket panjang kusam berbulu berjalan menghampiri, tudung yang dia kenakan menutupi setengah wajahnya, menyisahkan bibir pucat dehidrasi. Ada serigala abu-abu di sampingnya, menggeram ke arahku yang berdiri di atas salju merah, seolah ada darah yang disiram untuk menandai wilayah. Lalu, pemuda itu mengucapkan sesuatu, sebuah sambutan dengan nama orang lain. Bukan Yuuna atau Yunania.

Setelah pertemuan tidak jelas itu, aku terbangun di UKS, bertanya-tanya bagaimana aku bisa ada di sana.

Aku mengusap kamus itu. Kapan-kapan, aku akan membukanya.

"Eh? Lho?!"

Sampul kamus tersebut berubah menjadi buku kuno dengan sebuah permata di tengah-tengahnya. Di dalam lingkaran itu, ada enam simbol mengitari lingkaran, lalu simbol ketujuh mulai muncul. Seolah ada semacam mantra dimana efek transparan dihilangkan. Perubahan menakjubkan itu memberikan sebuah dorongan yang besar dalam diriku.

Lembaran pertama merupakan kata pengantar, untuk siapa buku itu ditujukan.

Kepada Yunania, Fraudulent Generasi Kedelapan.
Inilah permulaan barumu.

Buku itu kembali tertutup rapat, lalu terkunci dengan sendirinya. Aku memandang ke atas. Ketakutan kembali datang seperti tamu tak diundang. Mengapa selalu hal negatif yang tiba saat aku butuh sebuah suporter? Itu tidak membantu sama sekali!

Darimana buku itu tahu namaku, dan juga nama sihir yang tidak pernah kuberitahu orang lain? Mengerikan. Apa buku ini memiliki arwah? Apa Sein tengah menjebakku?

"Yunia, kau ngapain di dalam lemari?!"

Jeritan lolos keluar begitu saja saat pintu lemari terbuka lebar. Aku langsung menyembunyikan buku angker itu di sela-sela baju yang kulipat, lalu menekan lipatan paling atas agar tidak terlihat ada gundukan di sana. Dan, senyuman canggung terukir begitu saja saat pandanganku bertemu dengan tatapan bingung Lily.

"Hanya... menyendiri?" Itu jawaban yang bagus, Yuuna! Kau baru saja membodohi dirimu sendiri.

Bibirnya sedikit terbuka, sementara pupil mulai bergerak ke segala arah, seperti mencari sebuah jawaban dari apa atau siapa pun, lalu pandangannya kembali bertemu denganku. "Jangan di lemari juga. Nanti kau tidak bisa bernafas."

Aku mengangguk. "Senpai kenapa mencariku?"

"Sebentar lagi jam perkumpulan di gedung sekolah. Apa kau lupa pengumuman tadi?"

Tanganku terulur begitu saja, dan Lily menarik tubuhku keluar.

Bagaimana aku bisa lupa tentang pengumuman itu?

Kami berdua mempercepat langkah menuju gedung utama. Beberapa kali, aku hampir ketinggalan langkah karena kakiku yang pendek, jadi Lily harus berhenti sebentar dan menoleh ke belakang, memastikan agar aku tidak ketinggalan. Gestur kecil itu membuat hatiku tersentuh dan merasa bersalah di waktu yang sama. Gara-gara menunggu aku yang lelet, Lily ikutan telat.

Awalnya, aku tidak berniat mengikuti kelas malam. Mempelajari mantra, ramuan, dan sejarah yang tidak ada kaitannya dengan Tanah Air-ku tidak ada gunanya di masa depan. Namun, sebuah bisikan muncul di hati, mengingatkanku untuk datang sekali saja daripada ketinggalan informasi. Setidaknya, aku harus datang meski tidak mendengar pembelajaran sama sekali. Bisa-bisa absenku ditulis "Alpa".

Lily memisahkan dirinya ke barisan kelas dua, dimana dia bersapa dengan beberapa orang yang dia kenali. Bibirnya tidak menyinggungkan senyuman terang, seperti yang dia berikan kepadaku atau Mirai. Daripada senyuman, bibirnya bisa dikatakan hanya terangkat saja. Apa dia tipe bersikap cool dengan orang seumurannya?

Darimana dia tahu kau ada di lemari?

Aku mencemooh pertanyaan bodoh itu.

Seruan umpatan yang kukeluarkan saat membaca nama penyihir yang tertulis di buku itu pasti membuatnya tahu keberadaanku di dalam lemari. Mungkin pendengarannya sangat kuat dan dia percaya dengan firasat, tidak berpikir bahwa suara itu bukan milik tikus kejepit.

Tapi... kenapa dia mencariku? Apa Mirai memintanya?

"Yuu!" Aku tersentak mendengar nama panggilan khas diserukan, lalu menoleh ke sumber suara. Eri menghampiri dengan senyuman lega. "Ternyata kau sudah disini! Apa kau mematikan jaringan di ponselmu?"

"Hah? Bukannya Mirai minta Lily-senpai mencariku?"

Eri mengerutkan kening, seolah aku baru saja mengucapkan hal paling aneh di dunia ini. "Setahuku, enggak. Mirai tidak memberitahu siapa pun, dan mencoba menghubungimu tadi. Jadi aku mengatakan pada dia agar santai, dan bilang kalau kau sudah ada di barisan Kelas Bintang. Eh, ternyata benar!"

Semuanya jadi tambah aneh setelah mendengar cerita Eri. Apakah kedatangan Lily murni karena mencariku atau dia ada niat lainnya?

"Mirai... tidak meminta Lily-senpai mencariku?" Pertanyaan itu keluar begitu lambat dari lidah. Aku memandang ubin di bawah, menghitung setiap titik-titik yang terlihat seperti pasir, seolah aku bisa menjawab dari tingkah tersebut.

"Aku kurang tahu untuk itu. Kau tanya saja ke Mirai," ujar Eri. "Tapi nanti! Ayo ke barisan kelas dulu!"

Eri mendorong punggungku dengan mudah menuju barisan murid Kelas Bintang. Ternyata ketua kelas sementara sudah menantikan kehadiranku, lalu mencentang nama sebagai tanda bahwa aku hadir dalam pengarahan pembuka untuk kelas malam.

Aku mengeluh pelan, lalu terdiam saat melihat mahkota hitam familiar di antara kerumunan. Cepat-cepat, aku mengalihkan pandangan ke depan, mengusir segala pikiran tak jelas.

Beberapa murid di kerumunan bertanya-tanya apa maksud mereka dikumpulkan dalam satu ruangan. Kebisingan itu mereda seketika saat langkah teratur menggema di seluruh ruangan, keluar lah dua penyihir bersaudara dan Damien dari belakang panggung. Calix—Kepala Sekolah—menepuk mikrofon beberapa kali, memastikan apakah benda pengeras suara itu berfungsi semestinya.

"Selamat malam semua!" Sapanya dengan senyuman hangat, jauh berbeda dengan raut cuek bebek milik Gladiz yang berdiri di belakangnya. Kok bisa mereka saudaraan? "Karena semua murid sudah hadir, kita akan mulai pembagian kelompok untuk patrol malam."

"Patrol malam?" Aku mengerutkan kening.

"Mungkin itu ada hubungannya dengan penyerangan saat apel beberapa hari lalu." Siswa di belakangku menyahut, mengalahkan Eri yang terlihat ingin menjawab pertanyaanku. Dia menyadari tatapanku, lalu mengulum senyuman ramah. "Hai. Kalau kau lupa, namaku Zenith."

Aku mengerjap, memasang wajah bodoh. "Aku enggak lupa, kok. Kita pernah bertemu di taman bersama Vanessa."

Zenith, yang diartikan sebagai "puncak". Menurut ilmu astronomi, Zenith adalah titik di angkasa yang berada di persis di atas pengamat.

Sungguh, aku mengalami amnesia tapi masih mengingat setiap ilmu astronomi yang kupelajari beberapa tahun lalu. Amnesia macam apa ini?

"Tapi kenapa mereka baru menentukannya sekarang, bukan dari pertemuan pertama?"

Eri merenggangkan leher, sekaligus melirik ke arahku. "Karena kemarin Calix-sama masih sibuk mengurus beberapa murid yang terkena kasus, dan banyak murid belum hadir saat pertemuan pertama."

"Kasus? Tentang Bloody Party itu?" Alisnya menekuk, sama bingungnya denganku saat ini.

"Memang itu pesta apaan? Ada hujan darah terjadi disana?" Aku bertanya, dengan sedikit sarkasme disana.

Blood Party. Beberapa hari yang lalu, nama itu juga disebutkan dari speaker. Entah kenapa, aku yakin pesta itu lebih dari sekedar hujan darah semata, apalagi sampai seantero akademi tahu kasus ini dari pemberitahuan dan menganggapnya sesuatu yang besar.

"Mana aku tahu, Yuu. Tanya saja orang yang ikuti pesta itu." Matanya mulai melirik ke arah siswa berbadan jangkung, "Solon contohnya."

Yang merasa terpanggil langsung menoleh ke sumber suara. Ada ketidaksukaan di mata saat Eri asal menyeret namanya ke percakapan kami. Shirogane-san memilih mengacuhkan, pura-pura tidak mendengar dan baru saja merespon panggilan itu.

Suara Calix di depan podium kembali menarik perhatianku. "Pembagian kelompok sesuai dengan kelas masing-masing. Nanti ada beberapa murid yang dipindahkan ke kelompok lain agar jumlahnya setara." Aku sedikit jinjit, baru sadar bahwa jumlah murid kelas tiga dan dua beda jauh. "Sebelum kita mengakhirinya, murid yang disebut harus maju ke depan."

Gladiz mengisyarakat sesuatu pada Damien dari gerakan tangan, membuat pemuda itu melangkah maju. Banyak yang berbisik, bertanya-tanya apakah Damien akan menyampaikan sebuah pidato sekaligus menyebut nama-nama itu.

Mikrofon kembali ditekuk--maaf, disentil--oleh Gladiz, kembali memastikan apakah benda itu berfungsi baik agar suaranya tersampaikan. Karena tindakan itu, suara berdengung memecahkan telinga mengisi ruangan. "Tanpa basa-basi." Dia berdeham, "Helen, Veron, Jun, Ivan, Re--ahem--Solon, Minerva!"

Pemilik nama masing-masing tidak memiliki pilihan selain maju ke depan. Tiga di antara mereka berdiri kaku, mewanti-wanti apa alasan Gladiz memanggil mereka. Salah satu perempuan di kelompok itu terlihat gemetaran, memainkan kedua ibu jari dengan gelisah, terlihat jelas bibirnya komat-komit tanpa suara sedang mengumpat. Perempuan lain, yang kuasumsikan sebagai kakak kelas, berdiri tenang sambil tersenyum simpul. Aku membelak saat melihat seorang lelaki berdiri di samping perempuan kecil. Badannya terlihat berisi dan posturnya seperti veteran perang.

Jun? Eri mengatakan bahwa dia adalah anggota tim dapur. Lily juga mengaitkan pemuda itu kepada Mirai dan mengatakan kalau aku akan berkenalan dengannya. Setelah lebih banyak berpikir, aku tambah bingung.

Lagi-lagi, Gladiz mengisyaratkan sesuatu lewat gerakan kepada Damien. Si Ketua menyamakan letak berdirinya dengan murid yang dipanggil, berdiri di samping Shirogane-san yang terlihat keberatan dengan kehadirannya.

"Nah, kita membuat tim terpisah dari tim satelit." Gladiz berjalan dengan lembut, seperti tengah berselancar menggunakan sepatu hak tingginya, lalu menepuk pundak perempuan gelisah dengan pelan. "Baiklah, mereka adalah tim Komet. Agak membingungkan emang, tapi aku harap kalian bisa memaklumi bila jadwal atau misi kalian berbeda dengan yang lain."

Bukan 'bila' lagi, karena aku yakin tujuan mereka jauh berbeda daripada tim lainnya.

"Kombinasinya familiar," ujar seorang murid di samping.

Aku menoleh, ingin mengetahui siapa yang baru saja mengomentari sosok tim Komet ini, dan orang yang tak kuduga berdiri di sana. Seharusnya aku sudah tahu hanya dari suara imut dan sedikit lebih tinggi daripada perempuan yang pernah kutemui. Dia tersenyum sumringah saat pandangan kami bertemu.

"Yun-Yun! Ternyata kau di Kelas Kalisto!" Vanessa langsung meringis saat murid di depannya menegur, meminta dia agar tidak terlalu berisik. "Maaf, maaf, aku hanya terlalu bersemangat! Aku senang sekali bisa bertemu denganmu."

Lucu sekali. "Kita baru saja bertemu tadi pagi."

"Itu kehitung lama, lho," gumam Vanessa sambil memajukan bibirnya beberapa senti. Raut wajahnya kembali cerah, mengusir awan gelap yang kulihat di luar jendela. "Yun-Yun, kau mendengar komentarku tadi, ya?"

Aku mengangguk. Lagipula, ngapain juga aku berbohong? "Apa maksudmu dengan kombinasi familiar?"

"Karena hubungan tiap anggotanya, kecuali senior berkacamata itu. Ditambah..." Vanessa mengerutkan kening. "Kombinasi sihir mereka bagaikan badai, apalagi kalo ditambah satu orang yang itu."

Ucapannya ambigu dan penuh teka-teki. Jadi, aku hanya mengangguk seperti orang tolol, lalu kembali memandang ke depan. Apa yang disampaikan Vanessa tidak begitu menjawab seluruh pertanyaanku, maka ini pertanda bahwa aku harus cari tahu sendiri. Mungkin aku akan berencana ke perpustakaan besok atau saat aku punya waktu luang.

"Ah, satu orang lagi!"

Hanya perasaanku saja atau... pandanganku baru saja bertemu dengan Gladiz?

Leherku merinding saat melihat senyumannya perlahan tambah lebar. "Satu anggota lagi untuk tim Komet, yaitu Yunania!"

Rasanya seluruh lampu sorot tertuju padaku, dan puluhan atau ratusan sepasang mata tertuju ke arahku. Bisikan kembali mengisi pikiran, mau itu dari sekitar atau dari mereka, tidak menyisahkan sedikit pun ruang untuk berpikir jernih. Tiba-tiba saja, aku merasakan sebuah tangan menepuk punggung, menyadari bahwa Eri lah yang melakukan itu. Dia mengucapkan sesuatu dari gestur mulut, mungkin sebuah kalimat penenang, karena pikiranku kembali ringan.

Aku membelah kerumunan, mencoba menghilangkan perasaan tidak tenang yang terasa di punggung, mempercepat langkah ke atas panggung. Di saat kaki yang gemetaran menginjak satu anak tangga, aku bisa merasakan tekanan yang hebat. Ah, aku ingin menghilang!

"Tenang," bisik seseorang. Gladiz menghampiriku, lalu mengulur tangannya, dan aku menerima uluran itu tanpa pikir panjang. Dia membawaku ke tengah-tengah murid yang dipanggil.

"Nah, dengan begini sudah lengkap tim Komet!"

-

Bila ini adalah alur novel, aku akan mengatakan di saat namaku dipanggil adalah sebuah plot twist setelah mendengar penjelasan Lily tentang pembentukan tim lain.

"Apa hubungannya Yuna dengan hukuman mereka? Bahkan aku dengar beberapa dari mereka tidak terikat oleg hukuman itu!" Mirai mengeluarkan protes dari seberang kamar. Itu tindakan sia-sia, karena dia tidak bisa mengungkapkan protes itu kepada pihak akademi, apalagi dia menyampaikan itu saat hanya ada kami bertiga di kamar.

Lily hanya diam, memikirkan balasan yang tepat sampai berputar kecil di kursi belajar. "Seperti yang mereka katakan tadi, keseimbangan."

Tawa cemooh keluar dari bibir Mirai. Sudah lama aku mendengar tertawa merendah itu. "Keseimbangan, katanya. Omong kosong banget," ejeknya. "Isi pikiran Nona Gladiz hanya kode morse, seolah dia tahu aku akan mengintip batinnya. Sementara pikiran Calix berantakan, aku jadi pusing. Tapi dari sekian suara yang kudengar, aku masih tidak mengerti kenapa mereka menyeret Yuna, padahal dia hanya anak baru!"

"Apa mereka ingin menjadikan Tim Komet sebagai pemimpinnya?" Lily bergumam, mengerutkan kening.

"Sepertinya begitu," ujarku dengan pelan. "Kombinasi Tim Komet sudah cukup kuat, apalagi ada Jun disana. Kudengar dia memiliki kemampuan untuk memantulkan sihir."

Mirai menatapku tidak percaya. "Kau tahu darimana?"

Aku membalas tatapannya dengan bingung. "Saat kelas ramuan, banyak yang membicarakannya. Kudengar juga Minerva-senpai menguasai mantra dan ramuan sampai jilid ketiga. Pasti mereka punya tujuan yang besar bila memasukkan mereka dalam satu tim."

Meskipun aku mengenal Shirogane-san, aku tidak tahu tipe sihir apa yang dia miliki. Yang kutahu hanya dari aroma sihirnya mengingatkanku pada pantai, asin tapi nyaman di penciuman. Warna aura sihirnya juga jernih dan segar, mengingatkanku pada sungai mengalir di musim panas, menjernihkan kepala dan menghilangkan pelu saat menyentuhnya. Terkadang, aura yang dia bawa membuatku merinding, bukan sejuk. Warnanya juga meluntur lalu berubah ke warna lain, jadi aku tidak bisa menyamakannya dengan satu jenis warna saja. Aku mengasumsi bahwa dia memiliki dua sihir yang berdampak pada suasana hatinya, mungkin? Bisa jadi lebih dari dua tapi dikategorikan menjadi satu.

Indra penciumanku untuk sihir tidak begitu tajam, tapi—bisa-bisanya—Damien menjadi pengecualian. Aroma darah memuakkan, seperti bulan merah yang menciptakan rasa nyeri di perut. Lalu, aura dari sihirnya seperti kabut, begitu tebal dan susah ditembus, seolah ada sesuatu yang coba dia sembunyikan di balik kabut itu. Seperti kepribadiannya yang menyebalkan. Kesimpulan, sihirnya pasti tidak jauh rumit dari milikku.

Jun memiliki aura transparan, seperti ada angin dingin dari pendingin ruangan di sekitarnya. Begitu tipis dan susah ditangkap mata, namun kau masih bisa merasakan kesejukannya. Aroma dia keluarkan seperti semprot ruangan yang tidak bisa berhenti. Aroma buah-buahan manis, tapi beracun bila terlalu banyak menghirupnya.

Sayangnya, aku tidak tahu apa-apa tentang ciri khas sihir Veron. Setiap aku ingin mengamatinya, dia menangkap tatapanku lalu membalas dengan tatapan intimidasi, membuat diriku terasa kecil dalam pandangannya. Karena itu, aku tidak bisa menganalisis lebih jauh.

Aku memandang Lily yang tersenyum misterius, lalu beralih ke arah Emma yang baru saja membaca pikiran kakak kelas kami. Ada sesuatu di antara keheningan ini.

"Tiga orang disana: ...Solon, Damien, dan Jun. Mereka punya sihir yang mematikan. Sebuah trio yang tidak pantas untuk diciptakan, karena kombinasi mereka tidak seimbang." Tiba-tiba saja, Lily menjelaskan, membicarakan ketiga orang yang baru saja kupikirkan.

"Mengapa begitu?" Badanku teracung ke depan, mulai tertarik dengan arah pembicaraan kami.

"Mereka kuat, hanya sekali lihat mereka bisa tahu. Tapi... Solon bukanlah orang yang koperatif, apalagi sama Damien." Senyuman tipis penuh rahasia digantikan dengan seringai menggoda. Lily melirik ke sampingku, "Harus ada pawangnya di sana kalau ingin dia kerja sama."

"Tipe yang patuh pada istri," celetuk Mirai

Lily mengedikkan bahu. "Tidak juga. Dia masih punya pendirian. Tapi keberadaan pawangnya disana membuat dia sedikit tenang."

Aku tidak mengerti apa yang dia maksud dengan pawang, seolah Shirogane-san adalah seekor singa ganas yang patuh pada penjaganya saja. Wow...

Mirai terlihat tidak ingin kontribusi dalam percakapan, maka aku memasukkan diri ke dalam percakapan lagi. "Apa hubungannya?"

Senyuman misterius kembali disana. Menyiratkan sesuatu, entah pada siapa itu ditujukan.

"Karena dia bisa melindunginya dari dekat."

Aku tersentak ketika mendengar tawa cemooh dari Mirai. Senyuman jengkel di wajahnya membuatku bingung, karena aku tidak pernah melihat senyuman yang keluar dari Mirai tertuju pada Solon seorang. "Itu pun kalau mampu. Dia punya banyak pikiran akhir-akhir ini."

Rasanya... bukan Solon saja yang diejek disini.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro