Chapter 21 - Secret Garden
Kemarin malam, aku kembali ke gedung asrama cukup larut, karena Avery masih berjaga dan bersikeras membuatku meminum teh penyembuhnya untuk memastikan keadaanku, padahal aku sudah membuktikan saat melakukan tendangan melingkar. Selagi "beristirahat" di balik gorden putih, Okaa-san menelponku, mempertanyakan perihal kunjunganku ke dokter pada hari Minggu yang lalu. Karena pertanyaan itu, aku jadi teringat dengan ucapan dokter tentang keadaanku.
"Ternyata gejala yang kamu miliki bukan amnesia mundur, melainkan amnesia disosiatif. Kamu masih mengingat beberapa ingatan yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Saya tidak tahu bagaimana hal ini bisa terjadi--"
Dikatakan, bahwa ada kemungkinan bila aku bisa mengingat kembali ingatan yang semestinya milikku.
Beberapa saat setelah sesi telpon dengan Okaa-san, aku kembali ke asrama, dan di sambut oleh Mirai dan Lily yang belum jatuh terlelap. Mirai mengatakan bahwa dia menungguku, karena dia tidak akan bisa terlelap tenang bila aku kembali ke asrama. Itu terlalu berlebihan, tapi hatiku cukup tersentuh dengan fakta ada seseorang yang menunggu kehadiranku. Sementara Lily belum bisa tidur, sekalian saja dia menungguku.
Mirai masih dalam mode Ibunya, memastikan bahwa aku tidur cepat dan beristirahat banyak, lupa kalau aku pingsan cukup lama. Tetapi saat mengatakan aku harus menyalin tugas dan catatan, ditambah alasan bahwa pengajar besok untuk pelajaran tersebut cukup galak, membuat Mirai menyerah dan kembali begadang hanya untuk menungguku kembali terlelap.
Keinginan keras kepalaku berujung menjadi senjata berkepala dua: tugasku selesai, tinggal mengembalikan buku catatan ke pemilik, dan aku bangun telat. Sialnya, Mirai tidak membangunkanku karena mengira aku masih lelah.
Ternyata sihirnya benar-benar tidak berfungsi bila ke aku.
Seragam yang kukenakan ambaradul, seperti aku baru saja lari maraton hanya untuk ke gedung akademi, meskipun aku bisa mengatakan memang itu kenyataannya. Mantel sekolah merosot di pundak, terasa sangat menganggu saat aku melangkah lebar-lebar di jalan bebatuan rata. Kancing kemeja putih tidak terkancing sampai atas, mengekspos rantai kalung yang kukenakan beberapa kali, seperti tengah mengintip malu-malu. Aku hampir saja terjungkal jatuh dan melandas dengan posisi memalukan karena aku mengenakan sepatuku seperti sandal jepit. Dasi yang biasanya bergelantungan di kerah kusimpan di saku mantel, terlalu malas mengenakannya karena aku harus menghabiskan lima menit hanya untuk mengikatnya.
Seketika, aku menjadi pusat perhatian dengan penampilan tersebut. Aku menjadi populer.
Aku diam di samping pintu masuk gedung akademi, merapikan seragamku, lalu mengenakan dasi acak-acak. Bodo amat, yang penting aku pakai seragam dengan lengkap.
"Selamat pagi, YunYun!" Jeritan yang mendengungkan telinga keluar secara refleks. Rasanya aku baru saja mengalami salah satu adegan film horor saat menoleh ke belakang, bertemu dengan hantu yang mendekatkan wajah mereka.
Aku tersentak mundur, lalu mengelus dada sambil menghela napas besar. "Kau mengejutkanku!"
Vanessa menunjukkan senyuman lebar nan polos. "Maaf, maaf! Aku hanya semangat saja bertemu denganmu pagi ini!" Serunya. "Tidak biasanya kau berangkat jam segini."
"Iya. Aku telat bangun hari ini."
Mungkin karena nafsu dari perut, pandanganku tertuju pada dua roti lapis yang berada dalam genggaman Vanessa. Roti lapisnya belum termakan. Aku juga tidak yakin apa dia punya niat memakannya terlihat dari segel bungkus yang masih rapi. Sialnya, isi roti lapis itu merupakan favoritku, seolah dia sengaja menggoda cacing di perutku karena belum dikasih jatah sarapan.
Vanessa sadar dengan tatapanku, lalu menyodorkan salah satu roti lapis itu tanpa pikir panjang. Aku cukup terkejut dengan gestur tersebut.
"Untukmu! Kau terlihat lapar." Hatiku merutuk pelan, bertanya-tanya apakah terlihat jelas sampai Vanessa blak-blakan.
"Ngapain aku memakan bekasmu? Dan juga, aku tidak lapar."
"Aku belum memakannya, kok! Santai saja!"
"Bukan itu masalahnya!" Aku menggerutu.
Raut wajah sedih dan bermohon terlukis secara perlahan. Aku langsung menerima roti lapis itu, berharap agar dia tidak bermain drama dengan mengeluarkan air mata buaya, lalu membuat banyak perhatian tertuju kepada kami dan aku mendapat serangan dari penggemarnya. Mengingat sikap keras kepalanya, aku yakin bahwa aku tidak akan bisa menang. Aku hanya terlalu baik.
Vanessa menatapku, seolah tengah menantikan sesuatu. "Cepetan!"
"Apaan cepetan?" Aku kembali bertanya dengan alis mengerut. "Memakannya?"
"Tentu saja! Apa lagi yang kunantikan?" Si idola mendengus, seolah menertawakan pertanyaan bodohku, padahal dia lebih tidak jelas di antara kita berdua saat ini.
"Aku bisa memakannya nanti."
"Nanti itu kapan? Saat pulang sekolah? Saat kita naik kelas? Saat kita sudah tua dan bau tanah? Yang ada roti itu berjamur duluan," celetuknya.
Aku memejamkan mata, mendorong jauh-jauh rasa kesal yang hampir tersalurkan dari lidah. Akal sehatku masih ada disana. "Tidak selama itu juga."
"Ya udah, makan dulu!" Vanessa mengangkat tanganku yang ingin memasukkan roti lapis ke mantel, lalu mendekatkan tanganku ke dekat mulut, setelah itu memberikan dorongan kecil agar aku segera mengindahkan permintaannya. "Daripada kau kelaparan saat tengah pelajaran dan harus tahan lapar. Nanti kau maag!"
"Iya, iya!" Aku membuka lapisan plastik di roti segitiga sembarang tersebut, lalu mengambil satu gigitan besar. Rasa asam dan manis dari mayonais dan tomat bercampur di lidah. "Puas?" Tanyaku di tengah kunyahan.
Vanessa mengangguk semangat. "Habisin, ya!"
Mengapa aku dikelilingi orang pushy yang terlalu peduli denganku? Setidaknya pikirkan diri mereka dulu, baru orang lain. Apa wajahku terlihat butuh dikasihani?
Aku melahap sisa roti lapis, sementara Vanessa masuk ke dalam gedung akademi duluan. Meskipun dia ingin hidup jadi orang biasa, masih ada saja yang mengerubuninya dengan tatapan memuja, bahkan ada yang mencoba mengetes keberuntungan mereka dan melakukan sesuatu berupa kesempatan dalam kesempitan. Jalan menuju kehidupan yang dia dambakan masih jauh.
Plastik robekan itu tersimpan di saku mantel, karena aku tidak menemukan tempat sampah sejauh mataku memandang. Aku juga tidak se-niat itu untuk berlari mencari tempat sampah.
Niat malasku kembali dites saat mengingat puluhan anak tangga yang harus kulalui bila ingin masuk ke kelas.
Dengan langkah yang berat dan malas, aku melangkah masuk. Pasti sangat tergambar di wajahku bahwa aku keberatan menjalani aktivitas hari ini. Tipe-tipe wajah yang kehilangan harapan, kurang tidur, dan mata lesu, membuat orang-orang tidak memiliki pilihan lain kecuali meletakkan rasa kasihan. Semoga mereka benar-benar tidak merasakan itu, karena itu sama saja membuang waktu dan tenaga.
Bagaikan sengatan listrik, mataku yang berat kembali terbuka lebar, kembali menemukan kesegaran yang hilang perlahan saat Vanessa melangkah pergi dengan senyuman cerahnya.
Keberadaan siswa tersebut dikerubunin oleh banyak murid, mayoritas dari mereka adalah kaum hawa yang tengah mencari kesempatan untuk mendekatinya. Aku tersenyum geli melihat seragam lengkap yang dia kenakan, karena biasanya aku melihat dia mengenakan seragam apa adanya, seperti gakuran yang tidak dikancing atau sweater vest tidak dikenakan. Mungkin karena sekarang masih terhitung minggu pertama sekolah, jadi dia memilih main aman.
Aku naik terlebih dahulu, tidak ingin bertarung dengan kerumunan hanya untuk menyapanya. Lebih baik bersapa saat di kelas. Tidak berdesakan, tidak mendapat tatapan tajam—meski dikelas ada satu atau dua tatapan, dan tidak perlu menambah lebih banyak musuh.
Tiba-tiba saja, dia sudah berjalan di sampingku. Terlihat jelas dia mencoba mati-matian kabur dari kerumunan itu entah bagaimana caranya.
"Selamat pagi!" Sapaku dengan cerah. Kuharap sapaan itu tidak terdengar kelewat antusias atau hiperaktif.
Dia menoleh, mencoba menegarkan kontak mata di antara kami berdua. "Pagi." Seperti biasa, sapaannya selalu singkat.
Aku menjatuhkan pandangan, dari sepatu sampai ke puncak kepala. Semoga saja aku tak terlihat aneh atau mencurigakan di pandangannya. "Kau terlihat keren di seragam itu," pujiku.
Mantel hitam dikenakam rapi di pundak, tidak ada tanda-tanda lecek atau kelipat. Kancing kemeja putihnya terpasang sampai atas, dengan dasi bergaris-garis putih terikat rapi di bawah lipatan kerah. Celananya juga bukan celana pensil, dimana ujungnya sengaja disempitkan entah apa tujuannya. Hanya saja, dia tidak mengenakan sepatu pantofel hitam seperti yang lain, melainkan sepatu kets hitam bertali putih. Tidak ada atribut lainnya yang kehilangan dari tempat.
Wow, mengapa aku melihat sampai detilnya? Itu benar-benar menyeramkan, Yuuna.
Shirogane-san membalas dengan gumaman, seolah mengakui pesona keren yang dia miliki. "Seragam itu juga terlihat lumayan saat kau kenakan."
Senyuman di wajahku meluntur, digantikan dengan ekspresi pahit. "Apa maksudmu dengan 'lumayan'? Jangan pelit-pelit bila kasih pujian!"
"Kau tidak terlihat seperti anak TK." Tawa singkat keluar begitu saja saat dia menangkap gelagat wajahku ingin mendorong bahunya sekuat mungkin. "Kau terlihat seperti anak kecil yang ingin memakai jas ke acara formal."
Aku memukul pundaknya sekuat mungkin, menyalurkan kekesalan yang kurasakan saat dia mengatakan itu seenak jidat, sedangkan Shirogane-san hanya tertawa dan menerima semua pukulan itu dengan rela. Di saat aku sudah berhenti memukul, aku berjalan sedikit cepat mendahuluinya, menghiraukan pertanyaan asal dari Shirogane-san yang menanyakan apa aku sungguh marah. Namun, aku tidak menjawab dengan senyuman dan tawa kecil, yang biasanya kuberikan saat teman sekelas mengucapkan sesuatu yang benar-benar menyinggung.
Bagaimana aku mengatakannya? Kelakukan tadi hanya sekedar akting, berharap agar hal tersebut dapat menutupi perasaanku yang sebenarnya, karena perasaan asli lebih parah daripada kekesalan itu. Jadi, aku hanya berjalan di depannya, menutupi kebenaram yang tidak pantas diketahui.
Ini bukan aku! Ini bodoh sekali!
"Jangan bawa tinggiku ke perihal ini!" Hanya itu yang bisa kukatakan. Saking tidak ingin meninggalkannya, aku berhenti melangkah, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menatap wajahnya kembali.
Akhirnya, aku kembali menoleh ke belakang, mendapati Shirogane-san yang belum melepaskan pandangannya dariku, mengabaikan seluruh atensi yang kami dapatkan dari skit aneh ini. "Lihat saja! Aku akan mencapai seratus enam puluhan di akhir semester!" Tegasku.
"Iyakah?" Tidak ada senyuman disana, tapi aku bisa menangkap nada mengejek di ucapannya. Sangat jelas! "Aku menantikannya kalo begitu."
Seperti hewan buas, aku mengeluarkan geraman berat yang tertahan di tenggorokanku.
"Kalian menghalangi jalan."
Suara yang terdengar seperti keluar dari sela-sela gigi mengejutkan kami—lebih tepatnya, aku yang terkejut, sedangkan Shirogane-san biasa saja. Seorang siswi menatap kami dengan tatapan datar.
"Minggir," ujarnya. Aku langsung melangkah ke samping, sampai lenganku bersentuhan dengan pegangan tangga.
Aneh. Keadaan tangga tidak seramai antrean sembangko, tapi dia menyuruh kami minggir, seolah tubuhnya selebar anak tangga. Terutama dengan tatapan yang diberikan sebelum menghilang di balik lorong terlihat seperti ingin memulai peperangan denganku. Meskipun aku ingin membalasnya tidak kalah galak, ada yang familiar dari tatapan seribu jarum tersebut.
"Ke kelas?"
Aku mengerjapkan mata, memandang Shriogane-san yang mengulurkan tangannya. Saat dia sadar apa yang baru saja dia lakukan, dia menarik tangannya kembali ke saku celana, berdeham seolah kejadian itu tidak pernah terjadi. Karena percakapan sebelumnya, aku jadi lupa dengan rencanaku ingin menyapanya tadi.
"Shirogane-san, terimakasih atas catatannya!" Aku mengigit bagian dalam mulutku saat teringat ucapanku sendiri. "Maaf, maksudku, So-Solon!" Ralatku secepat mungkin. "Padahal kau tidak perlu melakunnya, kau tahu? Aku bisa mencari tahu cara lain. Tapi... terimakasih. Sungguh."
Apa yang terjadi kepadamu?
"Tapi aku ingin melakukannya."
Aku kembali menatapnya lurus di mata, memastikan apakah yang dikatakan itu benar. Tetapi Shirogane-san terlihat tidak ingin melakukan pengulangan, jadi aku memilih diam dan menganggap apa yang baru saja terjadi hanya angin lalu. Lagipula, mengapa aku perlu kepastian? Aku seperti orang bodoh saja untuk memastikan hal yang tidak mungkin terjadi.
"Tetap saja—"
"Bagaimana denganmu? Kau sudah baikan?" Shirogane-san sedikit menelengkan kepala agar dia bisa melihat wajahku lebih baik. "Wajahmu sekarang terlihat pucat."
Reflek, aku menyentuh wajah, merasakan sensasi dingin yang selalu kurasakan saat kegelapan itu kembali menjalar di wajahku. Saking paniknya, aku sampai mengintip dari lengan kemeja, memastikan sihir itu tidak kumat lagi di waktu yang sangat tidak pas.
"Enggak papa. Terimakasih sudah mengkhawatirkanku."
Shirogane-san kembali bergumam. "Cepat laporkan kalau kau merasa tidak enakan."
Kenapa? Aku kembali berjalan saat Shirogane-san kembali mengajakku ke kelas bersama. Apa kehadiranku dengan keadaan seperti ini adalah beban untukmu?
-
Makan siang buatan Tim Dapur sangatlah lezat. Rasanya tidak hambar, bumbu yang diberikan juga tidak berlebihan atau kurang, ditambah dengan makanannya sesuai dengan seleraku. Aku ingin tambah satu sendok nasi, ternyata lauk yang kupilih belum habis. Tetapi batas tubuhku mengatakan sebaliknya, mengubah cara pikir agar menghilangkan keinginan untuk menambah satu porsi lagi. Bukan karena malu atau apa, malah ketua dari tim tersebut memperbolehkan murid yang ingin tambah. Mereka selalu memasak stok yang lebih dari perhitungan.
Aku mengunyah sisa lauk tanpa semangat saat aroma menusuk hidung telah tiba. Jarak bangku kami tidak dekat, dipisahkan oleh tiga meja berisi empat orang, tapi aroma darah itu benar-benar menggangguku.
"Kau kenapa?" Eri menghentikan tangannya yang menggenggam sumpit. Alisnya menekuk, seolah ini pertama kalinya dia melihat aku berlagak tidak memiliki semangat hidup. "Kalau kau sudah kenyang, enggak usah dipaksa. Kasih aja ke aku atau Mirai beberapa."
Namanya tidak bertanggung jawab bila aku melakukan hal seperti itu. Lagipula, ini salahku mengambil terlalu banyak lauk karena terlalu tamak. "Enggak, kok," sanggahku.
Eri terus memandangku, terlihat tidak yakin dengan jawabanku. Tanpa izin, dia mengambil beberapa potong daging dan potongan bawang bombai. Sepertinya dia melakukan itu sebagai bentuk jaga-jaga. Tidak kusangka dia masih ingat aku tidak begitu suka dengan sensasi pedas dari bawang yang satu itu.
"Kau mau pindah tempat duduk?" Aku mengangkat kepala, memandang Mirai yang baru saja buka suara. Apa dia baru saja membaca pikiranku? "Kita bisa makan di ruang terbuka bila kau tidak nyaman disini?"
Sebuah suara gumaman singkat masuk ke dalam percakapan kami. Lily mengerjap mata, terlihat bingung karena terlambat memasuki percakapan. "Kenapa? Apa disini terlalu ramai?"
Oh, iya! Ternyata Lily mengenal kedua sahabatku, jadi mulai sekarang kami akan makan siang bersama. Aku tidak terkejut saat tahu bahwa Eri mengenal Lily, meskipun kedekatan mereka tidak bisa dikatakan sedekat hubungan Eri dengan Mirai.
"Seharusnya aku yang mengatakan itu." Mirai memisahkan beberapa makanan di nampannya tanpa minat, lalu aku mengambil lauk pedas yang tidak begitu dia sukai. "Makasih," gumamnya saat menerima perilakuan tersebut.
"Atau kau bisa pergi duluan, Yuu. Aku akan membawa dessert-nya untukmu," ujar Eri. Pandangannya jatuh pada nampan kami berdua yang sama-sama kosong, menyisahkan minyak dari masakan dan kuah yang sudah tercampur saus lainnya.
"Aku tidak keberatan menunggu."
Aroma darah itu memang menggangguku, tapi aku harus terbiasa. Mentalku sangat lemah bila sudah menyerah untuk hal kecil seperti itu. Lagipula, aku harus segera terbiasa, karena suatu hari hanya aroma dan rasa itu saja yang akan memenuhi indraku sampai aku mati rasa. Nikmati kemudahan untuk hal itu selama aku bisa. Suatu hari, aku pasti akan menyesal pernah mengharapkan ketidakinginan untuk merasakan sesuatu.
Tatapan menusuk tertancap di puncak kepala, berasal dari Mirai yang menatapku dengan kerutan kening. Itu ekspresi yang sama saat melihatku siuman dari koma dan pingsan. Raut wajah yang menyimpan banyak pertanyaan, tetapi memilih menyimpan seluruh pertanyaan itu di dalam hati, tidak ingin menyakiti seseorang hanya karena rasa ingin tahunya.
Aku tersenyum kecil, mengatakan agar Mirai tidak perlu mengkhawatirkan sesuatu yang belum tentu akan terjadi.
Sebaiknya, aku berjaga-jaga bila suatu hari dia meningkatkan sihirnya itu dan menembus dinding empat di dalam batinku.
Tidak boleh ada yang tahu isi taman rahasia tersebut.
Saat seluruh murid masih menikmati waktu istirahat mereka di ruang makan, lampu di ruangan tersebut satu per satu berkedip, seperti salah satu kejadian di film horor—detik-detik dimana hantu yang menjadi antagonis cerita tersebut muncul. Kedipan itu berhenti setelah dua menit. Tidak sedikit murid yang bingung dan takut dengan kejadian tersebut. Bahkan Mirai—yang memiliki kemampuan baca pikiran—terlihat linglung, aku khawatir bila kegelisahannya kumat lagi di saat seperti ini.
Dari sekian banyak murid di ruang makan, Eri dan Lily termasuk orang yang santai dalam situasi panik seperti sekarang.
"Apa Calix-sama lupa membayar iuran listrik?" Eri mengadah ke atas, lalu kembali memamdang ke nampan kosongnya sambil menggeleng aneh. "Seharusnya mereka selalu memantau bila sudah akhir bulan."
Aku memandang aneh ke arah teman SMP-ku. "Sekarang... masih pertengahan bulan."
"Dan, walaupun mereka belum bayar listrik, akademi ini masih bisa berjalan dengan tenaga sihir yang tiada batas." Lily menjelaskan. "Jangan dengarkan suara mereka, Emma. Perlu kupanggil Jun kesini untuk memadamkan sihirmu sebentar?"
Mirai yang tengah menyusuri sekitar dengan gelisah langsung berhenti, lalu memandang Lily seperti kakak kelas itu baru saja mengucapkan bahwa tidak ada gravistasi di dunia ini. Itu cukup ironis, karena sihirnya sendiri merupakan gravitasi.
"Jun siapa?" Tolong dimaklumkan. Aku masih terhitung anak baru, dan tidak mungkin aku tahu setiap wajah baru dan namanya hanya dalam dua hari.
"Bukan siapa-sia—"
"Salah satu anggota tim dapur."
Eri menunjukkan senyuman polos ke arahku, tidak memedulikan tatapan kesal Mirai yang terlihat ingin mengaduk rambutnya sampai terlihat seperti adonan.
"Kau akan mengenalnya suatu hari." Lily menunjukkan senyuman simpul. "Dia cukup berkomitmen bila tentang kerja sama."
Sebenarnya, aku tidak peduli bila dia komitmen atau gampang diajak kerja sama. Aku juga tidak yakin bila kita akan berkomunikasi secepat mungkin setelah Lily mengatakan hal seperti itu. Entah kenapa, ada maksud lain saat Lily mengatakan hal tersebut.
Ada apa dengan dua orang yang suka bermain kode-kodean hari ini?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro