Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 15 - Twinkle In Their Eyes

Hari mulai gelap. Dia bisa melihat pemandangan langit yang mulai berdarah, mengeluarkan gradasi warna jingga, kuning, merah, dan ungu mendominasi langit, bersamaan dengan awan berarak lambat mengaungi cakrawala yang luas. Semua hal itu terjadi karena perubahan waktu, bumi yang berputar setiap detik di luar angkasa, dan matahari yang tenggelam di ufuk barat. Semua detik-detik momen itu tertangkap dari jendela perpustakaan.

Gorden putih berhembus pelan oleh angin lembut, karena dia sengaja membuka jendela lebar-lebar, seolah menantikan kedatangan seseorang yang akan menyambutnya dengan senyuman bodoh. Sesekali, dia menoleh keluar jendela untuk memastikan sesuatu, memastikan kedatangan sosok itu, meskipun dia tahu sosok itu tidak akan datang.

Gadis itu menghembuskan nafas, mengeluarkan seluruh beban yang ada di dadanya. Tanpa dia sadari, sebagian kecil kebahagiaan ikut keluar.

Suara lembaran yang dibalikkan angin mengisi kesunyian di perpustakaan tersebut. Setiap tulisan di lembaran tersebut menyala pendar, mengisahkan sebuah kejadian yang sudah berlalu. Bagaikan film, paragraf itu memunculkan sebuah gambar di pikirannya setiap dia membaca.

"Kita semua sudah melihat bahwa hal ini akan terjadi padanya, cepat atau lambat. Kami sudah menduganya... Tapi, aku tidak akan menyangka akan secepat ini."

"Kalau kau tahu semua akan terjadi, kenapa kau tidak bertindak lebih cepat? Mengapa kalian hanya tertawa bersama, melupakan segala kerusuhan yang terjadi di sekitar kita?"

Jemarinya berhenti, terlalu bergetar untuk lanjut membaca halaman selanjutnya. Tidak jemarinya saja, bibirnya pun begitu, menahan isakan yang tertahan di tenggorokannya. Padahal dia bukan seorang empati. Jadi, mengapa dia terasa bisa mengerti setiap perasaan yang dimiliki sosok dalam cerita?

"Kau sendiri mengatakan harus menikmati setiap momen di masa sekarang! Kami ingin melupakan semuanya! Kami ingin berbahagia, menganggap semuanya baik-baik saja!"

"Tapi... kami tahu itu mustahil. Orang seperti kita tidak berhak berbahagia. Ini kutukan kita."

Dia mendongak ke atas, menahan air matanya yang ingin berlinang. Dia melepaskan salah satu tangan yang menahan buku tersebut, lalu mengipas kedua mata agar air mata itu tidak terjatuh. Akan sangat memalukan bila seseorang tahu dia habis menangisi kertas dan tinta.

Dengan jiwa yang bergetar, dia memberanikan diri untuk kembali membaca bagian tersebut.

"Sumpah, hentikan! Kenapa kau selalu memikirkan kehidupan orang-orang disini, meskipun ini bukan kewajibanmu!"

"KARENA DIA SUDAH MATI, VALEN!"

"DIA SUDAH TIADA, DAN HANYA AKU TERTINGGAL BERSAMA KEHIDUPANKU YANG TIDAK BERGUNA!"

Bagaikan air terjun, air mata itu menitik perlahan oleh ledakan emosi. Dia tidak mampu menahan dirinya untuk menangisi amarah dan kesedihan yang bercampur menjadi satu, menyebabkan sebuah hantaman keras di perutnya. Air mata itu membasahi sampul buku tidak berjudul.

"Ah, sial," gumamnya dengan suara parau.

"Habis nangis?"

Gadis itu duduk tegak saat suara berat mengejutkannya. Dia membelak saat melihat figur berdiri sambil menyandarkan diri ke rak buku, lalu menjulingkan mata. Dari sekian orang, harus pemuda itu melihat keadaannya yang sangat memalukan.

"Bukan urusanmu," elaknya sambil menyeka air mata di pipinya dengan kasar.

"Oke, berarti kau habis nangis." Pemuda itu simpulkan. "Udah tahu bukunya penuh trauma dan kejadian tragis lainnya dari pandangan sudut pertama, tetap ngeyel."

Gadis itu hanya diam, meletakkan sebuah pembatas pita sebagai bentuk tanda dimana dia terakhir membaca, tidak mengacuhkan pemuda yang tengah berdiri sambil membaca sebuah buku novel fantasi. Dari sudut matanya, dia merasa familiar dengan sampul buku tersebut. Sejak kapan dia tertarik dengan buku tersebut?

"Itu bukan buku hukum fisika, ya?"

"Aku baru tahu hukum fisika membahas makhluk mitologi," balas Leo sarkas, tidak sedikit pun menoleh ke arah perempuan yang tengah menyumpahinya lewat tatapan.

Sebuah pemandangan yang langka melihat Leo ternyata suka membaca novel fantasi. Itu suatu momen yang harus diabadikan oleh penggemarnya.

"Tidak biasanya kau membaca buku seperti itu." Gadis itu memandang pundak Leo yang sedikit terangkat. "Kau tertarik dengan dunia fantasi, mungkin ilmu di dalam novel tersebut bisa membantumu mengendalikan sihirmu?"

"Itu nggak ada kaitannya."

Terkadang, gadis itu merasa Leo memiliki dua sisi wajah yang berbeda untuk ditunjukkan ke orang lain. Sisi asli wajahnya saat dia berkelahi dengan Jun karena alasan kekanak-kanakan, dan itu selalu menghibur orang lain setiap ada yang menangkap kejadian tersebut. Sisi lainnya adalah sikap dingin, datar, tidak berperasaan.

Dia mulai berpikir sisi wajah apa yang ditunjukkan Leo pada orang berartinya?

"Hei, apa yang terjadi bila orang yang kau cari-cari sama seperti kita? Murid berkedok penyihir?"

Pundak pemuda itu berjengit.

Gadis itu tidak melepaskan pandangannya sedikit pun dari punggung tersebut, menangkap setiap pergerakan yang bisa dijadikan bahan analisis. Dia bahkan menghapus jarak mereka secara perlahan, memastikan apakah Solon membisikkan jawaban jujur di bawah nafasnya.

Akhirnya, Leo menoleh ke arah lawan bicaranya. Dia menunjukkan ekspresi letih. "Lama-lama, kau mirip Damien."

Gadis itu mengerutkan kening, terang-terangan menunjukkan ekspresi geli karena sudah disamakan dengan makhluk tersebut. "Jangan samakan aku dengan dia! Kau baru saja melukai harga diriku."

"Kalau gitu, berhenti berbicara seperti dia."

Meskipun hanya sekilas, dia menyadari tatapan terluka dan kegelisahan di netra cokelat tersebut. Gadis itu hanya merapatkan bibirnya, tidak bertanya perihal binar tersebut. Dia takut melukai jiwa pemuda tersebut, lapisan paling dalam, dan paling rapuh. Dia tidak pantas menanyakan hal tersebut.

Binar yang baru saja Leo perlihatkan mengingatkan dia pada binar wanita itu, wanita yang muncul di pikirannya saat dia membaca deretan kalimat tersebut. Sebuah binar yang sudah pernah merasakan kehancuran jiwa.

"Bagaimana kabarnya?"

Leo terdiam, lalu menatap gadis itu dengan bingung. "Jun atau... Veron?"

"Ngapain aku tanya kabar mereka?" Gadis itu mendengus pelan. Bila dia ingin tahu kabar mereka, dia bisa cari tahu sendiri. "Aku bertanya tentang orang berartimu itu?"

Pemuda itu mengangguk pelan, tapi masih ada kecurigaan di matanya. "Kenapa kau begitu ingin tahu?"

"Kau overprotektif sekali. Tidak ada salahnya bertanya tentang orang disukai adikku," goda gadis itu. Leo langsung memasang wajah geli mendengar respon itu.

"Secara fisik, dia sehat."

Gadis itu menaikkan salah satu alisnya. Pemuda itu terdiam, terlihat tengah memikirkan jawaban yang lebih tepat untuk pertanyaan tersebut.

"Dia terlihat kebingungan, dan gelisah... Aku tidak tahu bagaimana harus menolongnya, dengan keadaan kami yang seperti ini."

Leo menutup lembaran novel fantasi itu, membiarkan pandangannya jatuh pada sampul buku tersebut. Banyak yang terjadi dalam satu bingkai itu, membuat beberapa orang tidak dapat fokus pada satu titik saja, ditambah dengan bayangan hitam di sisi buku yang terlihat terpotong dari yang lain. Novel tersebut menceritakan seorang pemuda yang mengetahui hati dirinya sebagai putra dari Dewa Laut. Novel tersebut berdiri secara seri, harus dibaca berurutan agar pembaca tidak kebingungan saat mengetahui buku selanjutnya.

Apa yang dipikirkan dirinya saat memilih novel tersebut untuk menemani sorenya?

Hembusan angin kencang sudah tiba, seperti dugaan Lily. Dia mulai beranjak, melupakan kedatangan seseorang yang tidak akan tiba—untuk hari ini, lalu menutup jendela tersebut dengan kuat dan mengunci rapat.

"Kau tidak keberatan menemaniku sebentar?" Tanya gadis itu dengan senyuman lembut. Leo tidak suka dengan senyuman itu. "Sebentar saja. Kalau kau mengkhawatirkan Jun, aku bisa menjelaskan situasi ini."

"Itu hanya akan membuat semuanya tambah buruk," celetuk Leo, mengingat sikap Jun yang tak diprediksi untuk setiap situasi yang sama.

Kekehan pelan keluar dari ujung bibirnya. "Oke, aku akan menambahkan beberapa kebohongan. Jadi, kau akan membantuku atau tidak?"

Leo menghembuskan nafas, merenggangkan otot-otot pada jarinya. "Aku akan repot sendiri kalau tidak membantumu."

-

Ini mimpi. Ucapan itu selalu kuhilang di dalam benakku sampai ratusan kali. Tetapi setiap aku memejamkan mata, menampar pipiku yang mati rasa, dan berteriak ke siapa pun yang ada di ujung jalan: pemandanganku tidak berubah. Aku terjebak di satu tempat.

Putih terang mengisi seluruh ruangan. Horizon, lantai, dinding. Seperti ruang rehabilitas di rumah sakit jiwa yang selalu kulihat di film, tapi bedanya, tempat ini tidak ada bantalan atau keempukan, semuanya keras. Semuanya bersih tanpa noda.

Satu-satunya noda yang dimiliki ruangan ini adalah aku dan sihir yang selalu mengikutiku bagaikan bayangan—secara harfiah.

Ini mimpi. Kalimat itu kembali terulang di kepalaku. Tidak ada yang bisa melukaiku, karena semua ini hanya projeksi dari kepalaku.

Sepertinya aku harus memeriksa isi kepalaku yang doyan membuat jiwa tubuh ini suka paranoid karena pikirannya sendiri. Aku butuh terapi.

Kekosongan itu membuatku ingin melangkah lebih dalam, mencari apa pun yang membuatku merasa tidak sendirian. Aku bahkan tidak peduli pakaian apa yang tengah kukenakan sekarang, karena terasa berat dan susah bergerak, seperti mengenakan mantel kerja bapak-bapak.

Di setiap langkahku yang semakin jauh ke dalam, ruangan putih itu menyusut, digantikan kegelapan yang terlihat begitu menakutkan. Tidak ada cahaya benderang yang begitu menyilaukan, membuatku ingin menyipitkan mata dan bersembunyi. Semuanya gelap. Aku mulai merindukan ruangan terang yang terlihat disinari sepuluh atau lebih lampu sorot. Jadi, aku membalikkan badan, kembali ke tempat asal, dimana bayanganku terlihat begitu jelas di bawah kaki. Tetapi ruangan putih itu tidak ada disana.

Rasanya seperti melompat dimensi ke ruang dimensi lainnya.

Ini mengerikan.

"Aku sudah menantikan kehadiranmu."

"Kau akan menggantikan kami."

"Si pecundang selanjutnya."

"Kau akan membebaskan kami!"

Kepalaku bergerak begitu cepat, menyisir sekitar dengan teliti. Aku terjatuh di lantai saat api biru—mungkin Onibi—mengelilingiku, tidak memberikan sedikit pun celah untuk kabur. Seluruh tubuhku juga jadi kaku dan lumpuh, aku tidak bisa menggerakkannya sesuai dengan keinginanku. Aku terkepung. Tidak ada jalan untuk kabur.

Lantai di bawah kaki menjadi basah dan lengket. Airnya seperti lumpur, mengotori pakaian terang yang kukenakan. Aku hati-hati agar kedua tangan penuh noda tidak mengotori wajah, waspada bila ada kuman atau bakteri bahaya yang dapat menggoroti kesehatan tubuh. Setelah bangun dari mimpi ini, aku ingin mencuci tangan sampai kedua telapak tanganku memerah karena terus digosok.

Tiba-tiba, sensasi panas membakar mataku, membuat sebuah cairan yang sedikit lebih cair daripada lumpur menodai wajah. Darah. Aku bisa melihat warna merah familier itu mulai jatuh dari dagu, bersatu dengan lumpur yang terasa tengah menelanku.

Aku menjerit dalam sunyi, menangisi mimpi mengerikan itu, menyerukan pertolongan pada kesunyian yang membunuhku secara perlahan. Meskipun tidak ada suara, aku bisa mendengar api biru yang mengelilingiku tertawa, cekikan, terkekeh, terlihat begitu menikmati situasiku yang sangat menyedihkan.

Putus asa mulai memenuhi hati saat melihat kedua tanganku menghitam, menunjukkan retak emas yang kulihat saat meditasi neraka bersama Haku-senpai. Hentikan! Biarkan aku bangun!

Jeritanku tertahan saat melihat figur seseorang berdiri di depanku. Seseorang yang familiar, tetapi wajahnya tidak berekspresi. Kedataran yang menyimpan sejuta luka.

Itu aku.

Penampilanku terlihat lebih dewasa dan tinggi. Rambutku disana panjang, sama seperti sekarang, hanya saja ujungnya seperti dicat ungu pastel yang mampu bersinar. Kedua mataku berbeda warna. Apakah ini benar-benar aku?

"Jangan dengarkan mereka."

Bunuh bunuh bunuh—

Persembahkan—

Hancurkan—

Berikan darah—

Aku versi dewasa berjongkok, melepaskan tanganku yang menutupi wajah, tidak takut melihat bunga yang tumbuh di mata kanan bersamaan dengan darah berlinang. Aku terlihat seperti monster sekarang, bahkan Okaa-san—wanita yang sudah mengandungku di perutnya selama sembilan bulan—pasti jijik melihat wajahku.

Aku benar-benar mirip seperti yang mereka bicarakan. Sebuah monster.

"Jangan dengarkan mereka. Ikuti saja kata hatimu. Jangan biarkan suara itu menguasaimu."

Aku versi dewasa tersenyum, menghilangkan aura dingin yang dia bawa sebelumnya. Sentuhan di kulitku tidak terasa karena aku masih mati rasa, jadi aku tidak yakin apakah ini sentuhan kehangatan dan dingin.

"Seperti yang Haku-senpai katakan, hiduplah di momen sekarang."

Jidat kami saling bersentuhan. Aku bisa merasakan kesadaranku perlahan kembali ke permukaan.

"Kau pantas berbahagia di kehidupan ini."

Seketika, aku terbangun dari posisi telentang. Nafasku terasa sesak, seolah aku baru saja dicekik selama mengalami mimpi itu.

Mimpi aneh. Meskipun aku mencari ke internet apa artinya, aku yakin situs-situs tidak dapat menjelaskan apa maksud dari setiap gambaran itu.

Aku mengangkat kepala setelah puas memandang kedua tangan yang bergetar tanpa alasan, lalu pandanganku bertemu dengan figur yang melangkah keluar dari toilet. Aku tersentak, membuat kepalaku terantuk cukup keras. Figur itu pun tidak kalah terkejut, hampir saja gelas penuh dalam genggamannya terjun bebas ke lantai.

Itu pun bukan Mirai, karena aku melihat gundukan selimut milik kasurnya naik-turun, menandakan bahwa dia masih dalam alam mimpi. Aku ingin tahu apakah sihirnya tidak aktif saat kesadarannya tidak ada.

"Habis mimpi buruk?"

Suara lembut itu cukup mengejutkanku. 

Jendela kamar yang tidak tertutup gorden membiarkan sinar rembulan menembus kaca, memberikan cahaya kepadaku agar bisa melihat figur itu lebih jelas. Tinggi tubuh yang sedikit lebih pendek daripada Miria, mungkin hanya beda beberapa inci. Rambutnya juga acak-acakan, khas orang yang bangun tidur. Kedua mata yang terlihat waspada saat menghampiriku, untuk memastikan keadaanku lebih pasti. Dia mengenakan piyama putih, dilapisi kardigan rajut buatan tangan sendiri—terlihat dari beberapa benang keluar dari tempat rangkaian akhir.

"Minum dulu," tawarnya sambil mendekatkan air hangat ke arahku. "Belum kuteguk sedikit pun. Atau kau lebih memilih air dingin?"

Aku menggeleng pelan, lalu meraih tanganku yang masih gemetaran seperti orang tremor, jadi sedikit susah menahan gelas itu agar tidak lepas.

Seolah sadar akan kesusahanku, perempuan itu menahan kedua tanganku, memberikan sedikit bantuan agar aku bisa minum. Tangannya terasa  hangat di kulitku, atau bisa dibilang panas. Mungkin tanganku saja yang terlalu dingin karena mimpi buruk itu.

"Tanganmu dingin sekali, padahal aku tidak menyalakan pendingin ruangan karena temanmu mengatakan udara musim ini masih dingin." Perempuan itu mengerutkan alis, entah apa yang dia pikirkan saat itu. "Apa kau sakit? Masuk angin, mungkin?"

"Setahuku, enggak..." jawabku ragu. Kepalaku terasa berputar, seolah aku baru saja melakukan gerakan tornado dengan seluruh tubuh atau kebanyakan tidur. Tetapi rasa pusing itu akan hilang bila aku diam saja atau kembali tidur.

"Kau yakin?" Perempuan itu mengangkat alis, tidak yakin mendengar jawabanku yang sangat mencurigakan. "Wajahmu sangat pucat, seperti orang kekurangan darah. Apa kau datang bulan?"

"Enggak!" Elakku cepat. "Aku baik-baik saja. Ini karena mimpi buruk saja, buka  hal besar."

Perempuan itu belum melepaskan pandangannya dariku, jadi aku menundukkan kepala untuk menyembunyikan ekspresi wajahku yang dikatakan pucat. Dari sudut mata, aku melihat dia mengangguk pasrah, lalu meraih nakasnya untuk mengambil sesuatu. Aku sedikit mengangkat kepala saat melihatnya mengeluarkan minyak aromaterapi di dalam tabung kaca kecil.

"Oles di leher belakangmu biar sedikit mendingan. Mau kubantu?"

"Um, kalau tidak keberatan, tolong?"

Dia memberikan isyarat agar aku menurunkan kerah belakang piyama, memberikan izin agar kehangatan dari minyak tersebut menyebar ke kulit. Aku meringis pelan saat sensasi dingin itu akan berubah menjadi panas.

Sangat jarang untuk orang memberikan pertolongan pada orang asing. Apakah karena kami teman sekamar? Apa karena dia seorang senior jadi harus menunjukkan kepeduliannya? Tidak semua senior ingin melakukan hal itu secara cuma-cuma.

"Emma mengatakan kau gampang kedinginan, jadi dia memintaku tidak menyalakan pendingin ruangan," ujarnya saat mengoles aromaterapi tersebut.

Emma. Dia membicarakan Mirai. Apa dia adalah teman dekat yang pernah Mirai bicarakan—teman yang mengajarkannya cara memasak?

"Aku tidak selemah itu," gumamku dengan pahit.

Perempuan itu bergumam. "Simpan perkataan itu setelah kau mulai merasa baikan," balasnya sarkas. "Ngomong-ngomong, aku Lilianna. Kau bisa memanggilku Lily. Aku yakin Emma atau Vanessa pernah membicarakannya padamu."

Apakah Vanessa bercerita kepada senpai ini tanpa sepengetahuanku? Kuharap dia tidak menceritakan hal buruk.

Aku mengedik, saat sadar bahuku tengah diurut, aku langsung merilekskan tubuh. "Tidak banyak. Aku hanya tahu tentang status akademimu sebagai senpai kami, sekaligus teman sekamarku, Lily-senpai."

"Kau akan mengetahui lebih banyak tentangku selama kau tinggal di kamar ini sebanyak tiga tahun," balas senior itu dengan santai. "Dan, tolong panggil aku tanpa senpai. Kalau kau merasa tidak nyaman, gunakan -san saja."

"Apa semua kakak kelas tidak mau dipanggil senpai oleh kouhai?" Aku bertanya, teringat pada salah satu senior yang aku temui di ruang makan bersama Mirai dan Vanessa.

Kekeh pelan keluar dari sela-sela bibir, terdengar seperti ditahan oleh sesuatu. "Enggak semuanya. Ada juga kakak kelas gila hormat atau kakak kelas yang ingin menunjukkan kewibawaannya sebagai seorang senior."

"Aku tidak mau dipanggil senpai karena belum pantas dipanggil seperti itu. Aku belum menunjukkan kesenioritas yang membuatku pantas dianggap sebagai senior," ujar Lily. Ucapannya terdengar begitu keren.

"Menurutku, senpai sudah pantas mendapatkannya." Dia mengeluarkan 'hm' pelan sebagai tanda bingung. "Senpai memberikanku air minum hangat saat sadar aku pucat, lalu mengoleskan aromaterapi, bahkan mengurutku."

Tawa kembali terdengar. "Kau baik sekali, Yunia."

Ah, rasanya sedikit aneh saat ada seseorang memanggilku dengan pengucapan yang benar itu.

Aku menoleh ke belakang saat merasakan Lily sudah melangkah mundur, menunjukkan kalau dia sudah selesai. Pandangan kami bertemu beberapa saat, membuat pandangan Lily sedikit meleleh dengan ujung bibir sedikit terangkat.

"Punyamu lebih lembut, ya," gumamnya.

"Lembut? Apanya?" Aku mengerutkan kening.

Lily menggeleng saat sadar dia mengucapkan kalimat itu secara terang-terangan. "Rambutmu, lebih lembut dari rambutku yang seperti sapu ijuk."

"Tidak mungkin! Aku yakin rambut senpai lebih halus dari punyaku!"

Rambut? Aku bahkan tidak ingat sejak kapan dia menyentuh rambutku.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro