Chapter 14 - Everything's Alright
Itu pertama kalinya aku menemukan aroma sihir dari seseorang begitu memuakkan. Untung saja, aku sudah menyelesaikan makan siang saat dia melangkah masuk, jadi aku tidak perlu menelan makanan bulat-bulat ditemani bau amis yang membuatku ingin muntah. Dari jauh saja sudah sepekat itu, apalagi kalau dia dari dekat.
Tapi, aku merasakan sesuatu darinya. Aku tidak yakin apakah itu hal baik atau buruk.
Pemuda yang berbicara dengan kami sebelumnya adalah seorang senpai, berbeda dua tingkat dari kami, itulah yang Mirai katakan saat kami melangkah keluar dari ruang makan. Senpai tersebut merasa tidak nyaman dengan percakapan yang kaku, makanya dia terlihat agak ragu saat aku membalas ucapannya dengan formal, berbeda dengan balasan yang dia berikan saat Vanessa berbicara informal dan santai.
Atau ketidaknyamanan itu berasal darimu?
Suara itu kembali datang membawa sejuta kegelisahan yang coba kucegah dengan mengurungnya di dasar lubuk hati, tapi kedatangannya selalu saja tiba-tiba, dan siap menghantamku sampai aku tidak bisa bangkit. Aku tidak punya tenaga dan akal sehat untuk meladani setiap kekacauan yang akan diperbuat.
"Eri akan datang nanti sore, sekaligus bawa beberapa snack yang kau minta," ujar Mirai sambil membaca pesan yang Eri kirimkan. Aku mengintip isi pesan mereka, melihat deretan emoji yang pengirim berikan pada Mirai, kebanyakan emoji yang digunakan untuk mengejek seseorang.
"Tanya apa dia beneran bawa barang yang kuminta!" Aku mengguncangkan pundak Mirai dengan pelan. "Sekalian minta barang buktinya!"
Mirai mengindahkan permintaanku. Tidak butuh waktu lama, bunyi notifikasi muncul dari ponselnya, menunjukkan satu deret emoji dari Eri bersamaan dengan foto sebagai bukti. Aku mengangguk pelan, meskipun senyuman antusias terlukis disana. Tidak sabar menantikan buah tangan yang Eri janjikan saat hari kelulusan.
Gawai digenggamanku bergetar pelan. Di saat aku melihat layar, tulisan 'Okaa-san' terletak disana dengan tombol bersimbol telepon loncat-loncat di dalam layar. Aku izin memisahkan diri dari Mirai untuk mengangkat panggilan tersebut, lalu pergi ke tempat sepi terdekat.
Aku menerima panggilan tersebut setelah sampai di pos yang dekat dari gerbang masuk. Okaa-san lah yang memulai pembicaraan panggilan.
"Udah makan siang? Kau merasa nyaman di asrama?"
Aku mengangguk. Setelah sadar Okaa-san tidak bisa melihatnya, aku menjawab dengan pelan, "Udah. Asramanya kayak apartemen, bukan apartemen satu kamar."
"Luas banget pasti disitu," ujar Okaa-san yang kubalas dengan tawa pelan sebagai tanda setuju. "Jangan lupa minum vitamin sama obatnya, dan jangan tidur larut."
Selalu pesan yang sama, jadi aku hanya membalas dengan dehaman atau "iya" yang sengaja kuperpanjang untuk menunjukkan rasa bosan pada pertanyaan tersebut. Okaa-san tidak menangkap kode, tapi menambah beberapa pesan yang jarang diucapkan, seperti: jangan ngomong kasar di lingkungan yang belum dikenal, perbanyak lingkaran pertemanan, dan nasihat berhubungan dengan akademik.
Pesan yang Okaa-san berikan selanjutnya membuatku terdiam.
"Besok kau harus pergi ke rumah sakit, jam setengah sebelas. Jangan lupa, Yuuna!"
Lidahku terasa kelu, tapi aku memaksakan diri untuk menjawab. "Iya. Di rumah sakit biasa?"
"Iyalah di rumah sakit biasa. Mau kemana lagi?"
Aku memaksakan diri untuk tertawa, mengusir perasaan pahit bahwa aku harus kembali untuk melakukan terapi yang tak berujung.
Panggilan itu diputuskan oleh si pemanggil, meninggalkanku di dalam kesunyian penuh kesesalan. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus disesalkan. Banyak pertanyaan mengapa dan bagaimana, tapi tidak ada jawaban yang pas untuk diisi. Suara yang biasanya rewel dan cerewet itu juga tidak bisa menjawab.
Karena telah menghamburkan orang tua untuk sesi pengobatan yang tidak mengalami kemajuan?
Karena sudah membuat orang-orang di sekitarku khawatir, seolah aku bayi yang baru saja lahir?
Apa yang salah dariku?
Aku tidak mengerti. Perasaan yang membuatku berpikir bahwa aku melewatkan banyak hal di dunia ini, tapi aku tidak pernah terlambat ke suatu hal. Apa-apaan dengan perasaan janggal ini?
Dengan geram, aku melangkah keluar dari pos, siap untuk menghampiri Mirai yang menunggu disana.
"Eh, bukannya kau—"
Seorang pemuda yang kulihat di ruang makan berdiri tidak terlalu jauh dariku. Si pemilik aroma darah. Sial, aromanya benar-benar ajak ribut!
Dia mengenakan pakaian dari brand terkenal. Aku tidak berani mengucapkan namanya satu per satu, karena perutku akan mual hanya membayangkan harga dari setiap merek. Aku yakin harga set pakaian itu lebih banyak daripada biaya rumah sakit untuk perawatanku. Astaga, bukankah sudah kubilang jangan membayangkannya?
Pemuda itu mengangkat tangannya, tapi dia mengulurkan kembali saat mengingat tindakan menunjuk seseorang di negara ini bukan perilaku yang terpuji. "Kau... Kau siapa?"
Apa-apaan dengan cara bicaranya?
Alisku menekuk, tidak repot menyembunyikan kebingungan dan kewaspadaan di setiap garis wajah. "Kau bertanya nama penyihirku, tidak?"
"Hm, iya, nama penyihirmu."
Mencurigakan.
Aku melipat tangan di depan dada, memicingkan mata dengan curiga. "Bukankah kau harus memperkenalkan diri dulu bertanya dengan orang lain?"
"Itu cara yang kuno, sudah banyak orang tidak mengikuti cara itu lagi," celetuknya. "Lagipula, aku yakin kau sudah tahu namaku."
Nilai plus kepada sikap percaya diri itu, tapi nilai minus untuk sikap menyebalkan itu. Aku yakin dia mampu mengusir semua perempuan yang mengantre untuk masuk ke dalam hatinya hanya dengan membuka mulutnya, karena jutaan kata-kata menyebalkan itu akan keluar dari sendirinya. Orang-orang yang menyukainya memiliki selera yang buruk.
"Yunania, disingkat jadi Yunia."
Salah satu alisnya terangkat, lalu megumamkan namaku sebanyak dua kali agar mudah diingat. "Kau si anak baru, kan?"
"Tolong jangan memanggilku seperti itu." Rintihan pelan keluar dari ujung bibirku. "Hanya karena aku baru saja menginjak wilayah akademi ini, bukan berarti aku anak baru, tidak seperti yang lain."
Damien mengedikkan bahu dengan santai. "Kau tidak mengikuti pelatihan dan ini pertama kalinya kau menginjakkan kaki ke akademi. Kau tidak jauh berbeda dari seorang amatir."
"Kau berbicara seolah tahu segalanya."
"Memang aku tahu segalanya. Tidak kepadamu saja tapi juga orang lain di akademi," balasnya.
Aku mendengus pelan. Apa dia semacam dewa? "Akan sangat lucu bila sesuatu tidak berjalan sesuai dengan perkiraanmu."
"Kesalahan adalah sesuatu yang normal, karena aku juga manusia." Damien menyinggungkan senyuman mengejek. Uwah, dia lebih menyebalkan daripada sikap antusias Vanessa yang selalu membuatku kelelahan.
Sebelas duabelas dengan aroma darah yang menggelitik indra penciumanku.
Kami saling bertatapan cukup lama. Bukan tatapan yang ada di drama romcom atau seperti di adegan kedua sejoli, lalu ada CGI sebagai penambah suasana. Tidak ada yang romantis dari tatapan yang saling menjatuhkan satu sama lain.
Aku menatapnya dengan penuh permusuhan, sementara Damien menatapku dengan tatapan menilai yang diselubungi kecurigaan.
"Baiklah, semoga kau nyaman di akademi ini selama tiga tahun." Damien memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. "Kita harap kau dapat bekerja sama dengan kami."
"Kita?"
"Aku mewakili murid-murid lain di akademi."
Aku hanya mengangguk, menahan diri agar tidak menjulingkan mata atau berdecak. "Sama disini."
Pemuda itu melangkah menjauh, lalu aku pun melakukan hal yang sama. Mirai pasti menungguku cukup lama disana. Tetapi langkahku tertahan saat mendengar gumaman Damien yang dapat terdengar cukup jelas.
"Apa yang akan terjadi kalo mereka bertemu disini?"
Entah kenapa, seluruh badanku kembali memandang punggung Damien yang melangkah jauh. Aku mengigit bibirku, menahan apa pun yang ingin keluar disana.
Siapa? Siapa yang dia bicarakan?
"Mengapa kau begitu ingin tahu?"
-
Dering ponsel yang tengah menunggu si penerima mengisi kesunyian. Dia memandang tulisan di layar mengatakan bahwa pemilik nomor yang coba dia raih tengah online, tapi panggilannya belum diterima sama sekali. Suara operator muncul untuk mengatakan bahwa nomor yang dia tuju berada di panggilan lain, yang dia tebak bahwa si pemilik nomor masih melalukan pekerjaannya.
Leo memutuskan panggilan itu, lalu beralih untuk mengetik pesan pada Ayahnya. Dia ingin menanyakan perihal panggilan yang tidak dia angkat sebelumnya. Tetapi dia merasa itu bukan panggilan yang penting bila Ayahnya tidak menelpon sebanyak tiga kali seperti biasanya, atau Ayahnya terlalu sibuk untuk melakukan panggilan kedua.
Panggilan dari Ayahnya tiba lebih cepat dari dugaannya. Tidak ingin membuat beliau menunggu, Leo menerima panggilan itu.
"Halo," panggil suara berat yang terdengar seperti kekurangan tidur.
"Maaf tidak menerima panggilan Ayah tadi," ujar Leo dengan suara yang pelan.
Lokasi persembunyiannya bukan lagi di atas pohon, melainkan di atap sekolah. Hembusan angin dapat tertangkap jelas di mikrofon ponselnya, meskipun dia menggunakan airpod. Ayahnya pasti dapat menebak dimana dia sekarang untuk menikmati waktu sorenya.
"Hm, iya. Ayah hanya ingin bertanya bagaimana kabarmu di akademi."
"Baik. Ada Jun disini, jadi tidak terlalu sunyi."
Tawa kekeh terdengar dari sana. Tetapi itu tidak dapat menyembunyikan suara serak, seperti belum minum sebanyak dua hari. Leo mulai merasa khawatir.
"Jangan terlalu buat Jun repot. Dia bukan pengasuhmu."
Leo mengigit bibir bawahnya, menimbangkan untuk membalas penuturan itu dengan nada kekhawatiran atau membalasnya dengan candaan untuk meringankan suasana hati Ayahnya. Dia terjebak.
"Ayah juga," gumamnya. "Jaga diri Ayah baik-baik. Aku tidak akan disana untuk selalu mengingatkan Ayah untuk makan atau istirahat."
Akhirnya, pesan itu dikirimkan.
Ada perasaan takut. Takut bila Ayahnya mengira dia terlalu tahu hal ini, dan menegur bahwa ini bukan urusannya. Dia selalu melihat itu saat ada seorang anak yang coba menasihati orang tuanya agar tidak lupa beristirahat, meskipun ada banyak pekerjaan yang menumpuk. Leo tidak tahu respon apa yang akan Ayahnya berikan, karena respon yang selalu diberikan Ayahnya kering dan datar saat lelah.
"Iya. Ayah lagi makan sore hari ini bersama rekan kerja Ayah."
Bohong. Leo sangat tahu bahwa Ayahnya tengah berbohong, karena ada ringisan pelan di setiap jeda ucapannya.
"Ayah mau lanjut makanannya dulu. Jangan terlalu khawatirkan Ayah. Bersenang-senanglah di akademi!"
Panggilan itu terputus begitu saja, meninggalkan Leo yang belum memberikan respon perpisahan. Musik yang dijedakan kembali mengalun dari airpod, kembali mengisi kesunyian yang ditinggalkan panggilan singkat tersebut. Angka menunjukkan beberapa menit panggilan itu berjalan berkedip-kedip, membuat Leo kembali menyesalkan sesuatu yang sudah terlambat.
Perasaan pahit dan kesedihan yang pernah dia rasakan karena penyesalan.
Waktu sendirinya kembali dicegat saat sosok tinggi muncul dari bawah gedung. Sayap hitam mekar di punggungnya mulai menyusut, tapi tidak dengan warna surai yang perlahan meluntur. Kedua tatapan tajam itu mereda saat melihat keberadaan Leo yang tengah bersandar di pagar besi sisi atap.
"Disini kau rupanya!" Sahut Damien, menunjukkan senyuman lebar yang memperlihatkan taring kecilnya. "Kau tidak akan percaya apa yang baru saja kulihat!"
Leo mendalamkan airpod-nya, memasang wajah muak pada Damien. "Aku tidak ingin mendengar kisah romansamu."
"Dih, siapa yang ingin menceritakan itu?" Damien memasang wajah tersinggung. "Coba tebak apa yang baru saja kau lihat?"
"Veron lagi ngebucin."
"Kalau itu, ngapain aku kasih tahu? Orangnya saja belum datang." Damian mengibaskan tangannya, mengusir jawaban asal itu. "Coba tebak lagi."
Pemuda bersurai kelam itu menghela nafas gusar. "Kita sedang tidak bermain kuis. Katakan saja, kalau enggak, cari korban lain untuk mengisi waktumu."
"Yang lain sedang sibuk, jadi aku menganggumu saja." Leo menjulingkan mata sebal, membuat Damien tertawa melihat reaksi yang sudah dia duga. "Oke, aku akan berhenti bercanda. Dengarin, lepas benda putih itu!"
Leo melepaskan airpod-nya, lalu memasukkan kembali ke kotak kecil sebagai tempat penyimpanan. Dia ingin kabur dari situasi ini, secepatnya. Sudah ada banyak dugaan muncul di kepalanya bila Damien menunjukkan senyuman usil yang selalu dia tunjukkan, membuat darahnya naik perlahan karena emosi. Pasti Damien hanya mengerjainya, seperti biasa, seperti waktu-waktu yang pernah dia habiskan hanya untuk mendengar omong kosong tidak jelas itu. Ini satu-satunya kesempatan yang Leo berikan sebelum mencolok mata tajam Damien.
"Apaan? Aku akan menco—"
"Yuuna ada disini."
Ucapannya berhenti begitu saja mendengar kalimat itu keluar dengan lancar dari lidah tajamnya.
Eskpresi terkejut tergambar jelas disana. Tapi tidak butuh waktu yang lama ekspresi netral kembali, dibumbui perasaan kesal dan amarah yang tidak bisa diangkut sendirian.
"Enggak lucu," ucap Leo dengan geram. "Jangan bercanda kayak gitu."
"Siapa yang bercanda?" Lawan bicaranya masih menyinggungkan senyuman khas itu. "Dia ada disini, sebagai murid akademi tetap. Sebagai 'anak baru'."
Leo terdiam mendengar ucapannya. Tidak ada balasan, tidak ada ekspresi kesal, tidak ada tingkah laku untuk mencolok mata Damien. Dia hanya berdiri disana dengan tatapan datar.
"Sepertinya takdir belum ingin kisah kalian berakhir begitu saja."
-
"Yaah... kamar kita beda lantai!" Rajuk Cera sambil memanyunkan bibirnya. Tanganku jadi gatal untuk menarik mancung itu.
"Setidaknya masih satu gedung," hibur Mirai dengan senyuman menenangkan.
Beda jenis kelamin kalau beda gedung, dong!
Sepertinya Eri juga berpikiran hal yang sama denganku, karena wajahnya terlihat lelah dengan ucapan Mirai. Sedangkan gadis yang tengah kami umpati lewat mata membalas kami dengan tatapan datar.
"Aku dapat membaca pikiran kalian." Mirai mengingatkan.
"Baguslah!" Eri menunjukkan senyuman memesona khasnya. "Tidak ada rahasia di antara kita!"
Pembohong. Kalian menyimpan sebuah rahasia bahwa kalian pernah kesini untuk mengikuti pelatihan dariku.
Kamar Eri terletak di lantai dua, sementara kamarku dan Mirai terletak di lantai empat. Beda dua lantai. Akan membutuhkan waktu yang lama bila kami ingin bertemu di kamar masing-masing. Tetapi Mirai mengatakan itu bukan masalah, karena salah satu sihirnya adalah teleportasi. Dengan kata lain, dia tidak keberatan digunakan sebagai alat transportasi.
Aku harap dia tidak mengambil kembali kalimat itu, karena aku akan menggenggamnya, dan akan menggunakan kartu itu bila diperlukan.
Eri melangkah mendekat kepada pintu kamar tanpa ganggang pintu, lalu melakukan hal yang sama seperti dilakukan Mirai dua hari yang lalu. Pintu tersebut terbuka lebar, menyambut kedatangan pemilik kamar terakhir. Aku menangkap kedua koper milik Eri berada di lorong masuk tersebut. Jadi disitu letak barangnya bila menggunakan lingkaran teleportasi objek yang disediakan.
Tidak seperti kamarku dan Mirai yang minimalis, kamar Eri terlihat ramai dengan fairy lights dan beberapa foto polaroid bergelantung di dinding. Kamar tersebut dipernak-pernik, seperti foto kamar ideal yang kutemukan di internet. Dekorasi pada kamar itu benar-benar meneriakkan vibe Eri, karena kamarnya di rumah mewah itu juga tidak jauh berbeda dengan yang kulihat sekarang.
"Hah... kayaknya aku tidak bisa akrab dengan kedua senior kamar ini," keluh Eri. Dia menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur, merasakan keempukan dan kelembutan dari seprai putih tak tersentuh.
"Kenapa? Karena mereka penggemar Damien?" Tebak Mirai, atau mungkin dia baru saja mendengar pikiran Eri.
Aku jadi Eri pasti berpikir begitu. Ogah mengakrabkan diri pada kumpulan orang yang menyukai makhluk bernama 'Damien' ini.
"Salah satu alasannya itu, iya, mereka penggemar Damien." Eri menjulingkan mata. "Alasannya lain... karena mereka berisik. Kerjaannya bergosip mulu."
"Kita bertiga juga."
Eri memberikan tatapan datar kepadaku. Apa dia tersinggung? Seharusnya dia mempersiapkan diri, karena aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk meledeki satu sama lain, sebagai tanda bahwa aku nyaman dengan mereka dan tidak segan memberikan sarkasme. Dan juga, itu adalah fakta. Dia tidak boleh marah.
Mirai menyembunyikan tawanya di lipatan lengan, lalu kembali dengan wajah netral khasnya. "Mau nggak mau, kau harus terima. Salah sendiri terima di kamar bekas kakakmu."
Eri mengangguk, "Kau benar. Ini semau salahnya dia!"
Saat menyadari tatapanku, Eri mendengus pelan. "Oke, ini salahku tidak mengecek terlebih dahulu."
"Kenapa nama kalian keren-keren, sedangkan nama sa—penyihirku tidak jauh berbeda dengan nama asliku?" Aku menggeram pelan.
Mirai dengan Emma, sementara Eri dengan Cera.
Nama penyihirku hanya beda penulisan karena dalam bentuk katakana dan butuh lebih banyak tempat untuk ditulis. Hanya menang di panjangnya saja, tidak dalam bentuk pengucapan.
"Arti nama Yunania bagus," ujar Mirai. Dia meraih sebuah pensil mekanik dan lembaran coretan yang tergeletak begitu saja, lalu menulis sesuatu. "Begini, kan, penulisannya?"
Kami berdua melihat mahakarya yang baru saja Mirai ciptakan. Sepertinya itu ditulis dalam bentuk romaji, karena ada abjad 'a' yang ditulis secara terbalik, dan ada ekor panjang di akhirnya. Aku dan Cera hanya saling memandang, tidak tahu bagaimana menjelaskan bahwa kami tidak tahu apakah penulisan itu benar atau tidak.
Saat menyadari kebingungan kami, Mirai berdeham pelan. "Oke, penulisan nama penyihirmu seperti ini. Pengucapan 'Yuna' di awal namamu dibaca sebagai 'Yua-na'. Tapi lidah kita mengikuti aksen Tanah Air, jadi pengucapannya seperti 'Yuuna' tanpa ada penekanan, bagi mereka yang tidak tahu pengucapan dari dunia sihir. Karena kau menyingkat namamu, jadi 'Yua-nia.'"
"Dengan kata lain, namamu cukup langka dari dunia sihir—kemungkinan dari situlah sihir kita berasal. Atau mungkin nama penyihir ini bisa membawamu ke sebuah takdir yang tidak pernah kau ketahui."
Aku langsung memeluk diriku sendiri. "Itu tidak membuatku senang sama sekali, melainkan merasa gelisah."
"Kalau misalnya takdir itu membawanya ke akhir jalan, gimana?" Eri meringis saat aku memukulnya di punggung. "'Kan misalnya!"
"Tapi tetep saja! Kau seperti mendoakanku untuk cepat-cepat mati!"
Atmosfir ruangan menjadi jatuh saat kalimat itu keluar dari bibirku. Meskipun ada unsur bercanda disana, mereka menganggap ucapanku serius.
Siapa yang aku salahkan? Mungkin hati mereka sangat terluka saat aku mengalami koma.
"Maaf, Yuu," gumam Eri sambil menundukkan kepala.
Dadaku menjadi sesak. Seketika saja seluruh kalimat yang ingin kuucapkan untuk mendinginkan suasana ini hilang begitu saja.
Aku tidak suka.
"Yuuna, mau tahu apa arti dari nama Cera kalo digabungkan dengan Damien?"
"Apa maksudmu digabungkan?!" Pekik Eri dengan semburat merah mulai memenuhi wajahnya.
Ya, seperti ini saja. Jangan ada yang berubah.
Anggap saja semua baik-baik saja.
Karena memang itu kenyataannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro