Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 13 - Lingering Scent of Blood

Atas ajakan Vanessa, dia menarikku keluar dari kamar, mengajakku berjalan-jalan di bawah terik matahari yang membuatku ingin menyerah di tempat. Genggamannya di pergelangan tangan terlihat tidak mudah untuk dicekal. Apa karena dia seorang idol? Kudengar dari Nee-san bahwa beberapa idol melakukan olahraga untuk meningkatkan ketahanan fisik mereka.

Kami berjalan tanpa tujuan. Vanessa terlihat begitu keberatan, dan tetap mengarahkanku ke beberapa lokasi yang cukup jauh dari gedung asrama. Aku sampai ketakutan memikirkan bila kami akan tersesat saat ingin mencoba kembali, tapi Vanessa mengatakan bahwa kita akan baik-baik saja, karena dia pernah berada di akademi ini sebelumnya.

Tentu saja, itu benar. Karena seperti yang dikatakan Mirai, aku satu-satunya anak baru disini.

"Memang ada bedanya anak baru seperti aku dengan kalian?" Tanyaku dengan datar, berharap itu dapat meyakinkan Vanessa bahwa pertanyaaku dipenuhi kedengkian. Memang kenapa aku harus iri? Apa aku masih merasa kesal karena Mirai menyimpan sesuatu dariku?

Vanessa bergumam pelan dengan suara tingginya. "Tidak ada perbedaan yang begitu menonjol, sih..." Sama saja ada perbedaan yang menjadi jurang besar di antara kita. "Hanya saja, murid sepertiku sudah pernah mengikuti pelatihan yang membuat sihir kami menjadi stabil."

Apakah Mirai mengikuti pelatihan tersebut? 

Tentu saja. Dia meninggalkanmu sendirian, di dalam kegelapan.

Aku memukul belakang kepala, membuat Vanessa kembali memandang bingung. Aku menjawab asal dengan mengatakan ada serangga di belakang kepalaku. Dengan jawaban itu, Vanessa menarikku mendekat, seolah berpikir bila aku berjalan terlalu jauh darinya maka serangga akan terbang mendekat. Tapi serangga-serangga di sekitar benar-benar tidak menempel kepadaku.

"Karena kau tidak mengikuti pelatihan, kau harus tahu beberapa rumor selama disini. Bukankah tidak menyenangkan kalau kau satu-satunya yang ketinggalan berita?" Vanessa menunjukkan senyuman manis. Saat aku membuka mulut, dia mendekatkan jari telunjuknya ke arah bibirku. "Aku tahu, kau akan mengatakan tidak butuh, tapi kau memerlukan ini."

Aku mengerutkan kening. "Belum tentu rumor itu benar."

"Memang rumor apa yang akan kuceritakan?"

Jujur saja, aku juga tidak tahu apa yang ingin dia ceritakan. Tetapi sata mendengar 'rumor', pikiranku mulai menduga-duga tentang berita kacangan yang biasanya kudengar dari drama kacangan, seperti hubungan terlarang, kaum primadona, atau apalah. Aku tidak begitu peduli tentang rumor yang belum dilapisi fakta.

"Kau akan mengedarkan rumor apa? Tiga orang paling berkuasa di akademi?"

"Sejenis itu."

Tuh, kan!

Gadis itu tertawa pelan saat melihat wajahku--entah bagaimana, karena aku tidak bisa melihatnya. Dia mengusap wajahnya, mencoba menahan mulut itu agar tidak terbahak liar. "Oke, kita ganti topik. Aku juga tidak begitu suka membicarakan orang lain."

Jadi kenapa kau ingin memulai percakapan dengan rumor? Aku menahan pertanyaan itu di ujung lidah, lalu menelannya kembali. 

Tujuanku pasrah saja saat ditarik Vanessa keluar dari kamar untuk mendinginkan kepala, melupakan segala kepahitan yang kurasakan dari Mirai hanya karena alasan kekanak-kanakan, bukan untuk mencari ribut dari individu di sekitar. Aku bukan karakter yang suka kekacauan.

Kesunyian melanda. Vanessa terlihat bingung dan gelisah di setiap langkahnya saat aku melirik. Apa dia begitu putus asa?

Ternyata mencari topik susah juga, karena aku tidak pernah merasa secanggung ini sebelumnya. Kami bertiga—aku, Cera, dan Mirai—pernah mengalami kesunyian ini sebelumnya, tapi bukan kesunyian canggung seperti aku dan Vanessa sekarang, kami nyaman-nyaman saja saat itu. Mungkin karena kami bertiga sudah dekat, sementara ini kedua kalinya aku bertemu dengan Vanessa. Itu pun pertemuan yang tidak terduga.

Aku teringat saat Vanessa tiba di kamar asrama lewat jendela menggunakan sihir. Aroma dan warna familiar yang pernah membuatku menyiksa beberapa jam. "Apa kau selalu masuk ke akademi seperti itu?"

"Seperti apa?" Vanessa mengedip, sebelum membentuk mulut 'o' dan termangut sadar. "Kadang, kalau gerbang masuk tidak ramai! Tadi, ya, gerbangnya sangat ramai, padahal aku mengira akan banyak murid datang saat sore! Tapi aku salah perhitungan! Jadi aku menggunakan sihirku untuk masuk!"

"Lewat kamar asrama orang lain? Apa yang terjadi kalau bukan aku yang membukanya untukmu?!"

"Nah! Makanya itu, aku tidak akan menduga kalau Yun-Yun yang akan membuka pintunya!" Seru Vanessa dengan jari telunjuk tertuju ke arah hidungku. "Aku meminta bantuan pada Lily agar menggunakan kamarnya sebagai bentuk pelarian, tapi aku tidak menyangka malah ada kau yang ada disana!"

Riri? Ah, tidak, sepertinya aku salah. Semua nama penyihir ditulis menggunakan katakana campuran hiragana, jadi aku menyimpulkan bahwa namanya "Lily" dari lidah penuh aksen ini.

"Oh! Berarti kau akam sekamar dengan Lily, dong!" Seru Vanessa heboh. Dia bertepuk tangan dengan senyuman lebar, seperti tengah menonton sebuah pertunjukan. "Enak sekali...! Pantas saja Lily mengatakan aku tidak bisa sekamar dengannya."

Rasa bersalah mulai muncul di permukaan. "Ah, maaf sudah menempati duluan."

"Kenapa kau minta maaf? Lagipula, kalian duluan yang menempati itu duluan! Aku saja yang terlambat," ujar Vanessa. "Kau akan mendapat banyak manfaat bila sekamar dengan seorang Senpai!"

Aku menatapnya bingung. Bila membicarakan bentuk akademik, tentu saja banyak. Kau dapat meminta kisi-kisi ulangan darinya tanpa merasa keberatana, minta diajarin, atau minta bocoran ulangan—untuk yang terakhir, bila Senpai itu berbaik hati. Untuk faktor lainnya, aku tidak tahu. Soalnya, aku tidak pernah meminta bantuan Haku-senpai selain bidang akademik.

Membicarakan Haku-senpai, aku ingat bahwa dia orang pertama yang mendatangiku saat hari pertama sekolah. Lebih awal daripada teman sekelasku yang ingin berkenalan. Kedatangannya ke kelas tingkat pertama saat itu cukup menggemparkan satu angkatan. Seolah dia adalah selebriti yang susah dijangkau.

Malahan, aku mampu menjangkau Vanessa lebih mudah—notabene seorang selebriti, daripada Haku-senpai yang suka menghilang dan muncul tiba-tiba seperti hantu.

"Hm," gumam Vanessa berkepanjangan. Dengan bibir yang mengerucut dan alis menekuk, siapa pun bisa melihat kalau dia tengah berpikir keras, atau cemberut akan suatu hal. Hanya ada dua kemungkinan disana.

Aku mendesah pelan. "Apa yang kau pikirkan?"

"Err, aku tidak tahu kau ingin mendengar apa isi pikiranku." Vanessa meringis pelan, tetapi matanya bergerak gelisah kesana kemari. Seolah menimbangkan apa harus mengeluarkan rahasia itu atau tidak.

Ini semacam reverse psychology. Strategi yang digunakan untuk membuat seseorang melakukan apa yang kita mau dengan cara meminta mereka melakukan sebaliknya.

Aku tidak tahu apa Vanessa menyadarinya atau tidak, karena raut wajahnya mengatakan bahwa dia ingin mengeluarkan apa pun yang menjadi beban pada lidahnya. Apa sebaiknya aku bertanya? Bisa saja itu sesuatu yang buruk, lalu membuatku menyesal sudah mengetahui itu. Dari pandangannya juga, isi pikiran Vanessa tentang situasiku atau hal lainnya, tetapi masih ada kaitannya denganku. Bila pikiran itu ada hubungannya denganku, sebaiknya aku bertanya.

Tetapi tidak semua hal harus diketahui. Itulah mengapa ada sebuah frasa mengatakan ketidakpedulian adalah berkah. Apa sebaiknya aku pura-pura tidak tahu dan menganggap seluruh pertengkaran batin ini tidak pernah terjadi?

"Aduh, apa yang harus dipikirkan?" Vanessa menggeleng pelan, lalu menoleh ke arahku sepenuhnya. "Aku baru saja memikirkan ada dua kemungkinan kau baru dipilih masuk ke akademi ini!"

Huh, aku juga pernah memikirkan itu. Tidak ada salahnya mendengar opini orang lain.

"Dua kemungkinan? Kukira ada lebih."

"Ada juga, sih, yang lain. Tapi aku tidak yakin karena belum ada kepastian dari lingkungan sekitar." Gadis itu menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah di hadapanku. "Kemungkinan pertama, komponen sihir di tubuhmu terlalu kecil, dan mereka baru sadar saat kau menggunakannya secara fisik."

Aku juga memikirkan itu, kecuali tentang komponen sihir. Semua hal ini dapat terjadi karena mengusir penguntit itu dengan menggunakan sihir volume kecil. Dengan kata lain, karena aku menolong Vanessa. Kesimpulan lebih pendeknya, Vanessa adalah sumber dari semua ini.

Vanessa akan membawa diriku ke dalam gua maut untuk sekian kali.

Gadis itu terkesiap saat aku melempar pisau belati lewat tatapan.

"Maaf, aku tidak bermaksud memikirkanmu seperti itu." Aku menepuk pundaknya dengan senyuman pedih. Ini semua juga terjadi karena pilihanku, bukan sepenuhnya salah Vanessa.

"Aku tidak tahu kenapa kau minta maaf, tapi firasatku mengatakan kalau aku harus tersinggung," ujar Vanessa sambil memiringkan wajah, memberikanku tatapan ragu-ragu.

Wajahnya sekarang mengingatkanku pada salah satu meme menggunakan wajah anak-anak. Aku menahan kedua ujung bibir agar tidak terangkat sempurna. Bisa-bisa, Vanessa salah paham dengan wajahku.

Ekspresi asam itu tidak bertahan lama, digantikan dengan senyuman penuh binar indah. "Yang kedua, sihirmu sangat kuat jadi mengikuti respon tubuhmu untuk bertahan hidup, dengan cara menyembunyikan komponen sihir dalam jiwamu sepenuhnya!"

"Itu tidak mungkin." Tanganku mengibas cepat, seperti mencoba mengusir serangga yang ada di depan pandangan. "Bila sihirku cukup besar, itu dapat meledak di dalam jiwaku. Seperti sihir Cera saat tidak terkendalikan karena emosi."

Vanessa mengangguk setuju. "Dari keadaanmu sekarang, kau terlihat baik-baik saja. Tidak seperti sihirku yang bisa terjadi karena refleks atau sihir—" Kalimatnya terhenti saat dia menyadari sesuatu. "Kau kenal dengan Cera?!"

Itu yang kau tangkap?

Kedua bahu terangkat, dan bibirku tidak mengulun sebuah senyuman sepenuhnya. "Iya. Kami satu sekolah."

"Pasti dia tidak kalah populer disana," celetuk Vanessa.

"Seperti kau tidak terkenal saja." Aku memutar bola mata malas. Kedua orang cantik memang selalu seperti ini, tidak peduli dengan kepopuleran tapi sadar bahwa mereka memiliki wajah yang mampu menarik perhatian siapa pun.

"Udah, udah! Kenapa kita membicarakan Cera?"

"Kau yang mulai!"

Vanessa berdeham pelan. "Alasan mengapa kau bisa disini bila mengikuti kemungkinan kedua karena sihirmu keluar. Kalau dipikir-pikir lagi ini terjadi dari... kau menolongku saat itu?"

Aku menatapnya datar, lalu mengecap bibirku yang kering. Setelah percakapan ini, aku harus minum satu gelas. "Terlambat."

"Aku tidak selambat itu!" Seru gadis itu tidak terima.

Kami akan berdiri di bawah terik matahari sampai matang bila aku memperindah ucapannya. Jadi, aku hanya mengangguk pasrah, tapi Vanessa tidak terima dengan balasan kering itu. Meskipun begitu, Vanessa bukan tipe orang yang cemberut berhari-hari. Dia cepat mengganti alur percakapan kami ke arah lain, sambil mengajakku mencari tempat teduh untuk berbicara.

Tidak kusangka sebuah percakapan akan berjalan begitu panjang tanpa henti hanya di antara dua individu yang memiliki kepribadian yang berbeda.

"Kalau dipikir-pikir lagi, aku akan tetap membicarakan beberapa figur yang terkenal di akademi," ujar Vanessa tanpa memandang ke arahku. Tatapannya datar dan penuh tekad.

"Bukankah agak... tidak sopan bila kita membicarakannya?"

"Jangan khawatir! Aku akan mengatakan pada mereka langsung setelah kita puas membicarakan mereka!" Vanessa mengibaskan tangannya dengan santai. "Aku yakin mereka tidak keberatan selama aku melapor rutin, apalagi si narsis itu."

Sebuah tawa pelan keluar dari sudut bibir. Apa mereka juga tidak keberatan mengejek mereka, meskipun kami belum bertemu sebelumnya?

Vanessa melakukan pemanasan vokal. Seolah dia ingin bernyanyi di atas panggung dengan jutaan penonton mengisi stadium.

"Aku harap kau bersiap-siap! Karena percakapan ini akan cukup—"

Gadis itu memekik pelan saat ada sesuatu melewati kami dengan kecepatan yang hebat. Secara tidak sadar, Vanessa menyembunyikan wajahnya di atas pundakku. Aku hanya dapat duduk sambil menegakkan punggung, takut untuk bergerak seinci saja. Ini canggung.

Ternyata yang melewati kami merupakan seorang pemuda yang terlihat seumuran denganku. Keringat peluh bercucur dari kening. Matanya membelak saat menyadari keberadaan kami berdua.

"Ah, maaf sudah mengejutkan kalian! Aku ingin mengambil barangku yang ketinggalan." Pemuda itu mengambil ponsel yang terletak tidak jauh dari kami. Aku baru menyadari bahwa ponsel itu ada di sekitar kami. Bagaimana dia bisa melupakan barang yang sudah menjadi prioritas seluruh masyarakat setelah uang?

Vanessa mengangkat kepalanya, menghadap pemuda itu. "Oh, halo, Zenith! Untung saja ponselmu belum diambil seseorang. Ish, kau harus belajar mengecek tiga kali sampai yakin!"

Dia bicara seperti Ibuku setiap aku ketinggalan buku tugas. Aku mendengar kalimat mirip itu sampai hafal di luar kepala.

Pemuda itu tertawa pelan. "Akan kupastikan tidak mengulanginya lagi."

"Masa kau harus diingatkan terus? Apa perlu kuingatkan lewat mantra surat?"

"Aku tidak ingin membuatmu menjadi semacam alarm pribadi," celetuk pemuda itu dengan senyuman lembut.

I can feel some tension between them, and I don't like it.

Vanessa mengerjap saat menyadari bahwa dia melupakan sesuatu. Dia menggenggam kedua tanganku. "Zenith, ini Yun-Yun, anak baru di akademi!" Lalu, dia menoleh ke arahku. "Yun-Yun, ini Zenith! Dia seangkatan dengan kita!"

Pemuda bernama Zenith itu mengulurkan tangannya. "Zenith. Aku tidak menyangka angkatan kami akan ada anak baru."

Aku menerima uluran tangan itu, lalu tersenyum canggung. "Yunania, panggil saja Yunia. Aku juga tidak menyangka bahwa angkatan kalian akan menerima anak baru."

Zenith mengangguk mengerti. Keberadaannya menunjukkan kepribadian yang ramah dan tenang, tidak seperti orang di sampingku yang memiliki kepribadian seperti kembang api. Tetapi aku tidak mampu melupakan suara tenang Vanessa saat menyapa pemuda itu, seolah mencoba menahan suatu api yang menyala besar di dalam dirinya. Aku tidak tahu pasti, tapi lidahku menjadi pahit saat melihat interaksi mereka. Yang pasti bukan cemburu, ngapain aku cemburu?

"Kalian tidak pergi makan siang?"

"Memang sudah jam berapa?" Vanessa langsung menarik pergelangan tanganku, dimana arloji biru tua melingkar disana. "Jam makan siang sudah dari lima belas menit yang lalu? Pantas saja aku lapar!"

"Dan, kau menahannya daritadi?" Aku menatapnya dengan bingung. Kita bisa menghentikan percakapan ini sedaritadi bila Vanessa sadar dengan keadaan tubuhnya.

"Rasanya tidak nyaman kalau aku belum membicarakan yang tadi!" 'Tadi' yang dimaksud mungkin topik pembicaraan tentang figur populer di akademi. Vanessa juga terlihat antusias untuk membicarakan itu.

Zenith memasukkan perangkat pintarnya ke saku celana. "Bagaimana kita ke ruang makan bersama? Kebetulan juga aku ingin pergi kesana."

"Eh? Tidak biasanya kau melewati jam makan siang?"

"Aku baru saja membereskan kamarku, dan juga..." Zenith meringis pelan. "Kudengar ada sesuatu yang terjadi dapur, mungkin seperti konflik kecil dari anggota tim dapur."

Vanessa memiringkan kepala. Tergambar keraguan di wajahnya. "Itu tidak biasa. Bukankah Jun semacam perfeksionis?"

Zenith mengedikkan bahu, tidak tahu juga situasi di ruang makan.

"Semoga aja bukan apa-apa." Pemuda itu berujar.

Aku hanya mengangguk, meskipun tidak mengerti konflik kecil yang dimaksud di ruang makan. Aku memekik pelan saat Vanessa menarik tubuhku dalam satu tarikan. Kuat sekali!

"Ayo, kita kesana! Keburu diambil menu favorit kalian!"

Aku bahkan tidak tahu apa yang disajikan disana.

-

Di saat kami melangkah masuk ke ruang makan, Zenith memisahkan diri untuk menghampiri teman-temannya yang sudah menyimpan satu tempat untuknya. Aku kira kami berdua akan menghabiskan waktu yang banyak untuk menemukan satu tempat duduk dimana ada dua bangku yang kosong, tapi dugaanku salah. Mirai menemukan kami di tengah kerumunan, lalu menteleportasikan kami ke sebuah meja dimana baru dia menempati. Letaknya cukup jauh dari kerumunan, mungkin ada hubungannya dengan sihir kedua milik Mirai.

Antrean untuk mengambil makan siang sudah sepi, dan aku bisa mengatakan hal yang sama pada hidangan yang mereka sajikan. Porsiku cukup sedikit karena aku membiarkan Vanessa mengambil duluan. Tidak kusangka selera makannya banyak juga untuk ukuran seorang idol. Pasti dia sangat kelaparan dengan porsi makannya dibatasi oleh manager atau siapalah, karena harus menunjukkan proposi tubuh terbaik di depan kamera.

"Mobil siapa yang masuk?!"

"Bukankah itu mobil mewah yang sering dilihat di film barat?"

"Eh! Apakah dia Kirisaki atau Hidaka itu?"

"Kawasaki, bodoh!"

Vanessa menoleh ke belakang untuk melihat apa yang menciptakan kehebohan itu, lalu dia memandang Mirai yang terlihat acuh tak acuh dengan kerisuhan tersebut. Si idola terlihat meminta jawaban dari tatapannya. Aku punya perasaan bila Mirai dan Vanessa tidak sekedar kenal nama saja.

"Harus seheboh itu?" Tanyaku dengan alis menekuk. Mungkin karena terbiasa menyumbat earphone di telinga atau suka menyendiri, perlahan aku tidak terbiasa dengan tempat yang ramai.

"Ini bukan apa-apa dibanding kedatangan Vanessa atau artis sekolah lainnya." Mirai mengedik ke arah pemilik nama, sementara Vanessa hanya memasang senyuman malu.

Tiba-tiba, suara lain menyambar ke percakapan kami.

"Bagaimana kita tebak siapa sumber dari kehebohan itu?"

Kami bertiga menoleh ke arah meja makan berisi empat orang. Yang baru saja menyambar seperti tiang listrik adalah seorang pemuda yang tengah menyandar agar mendekat ke arah meja. Karena sikap sok kenal sok dekatnya, dia didepak oleh temannya yang duduk di samping. Pemuda itu protes akan aksi kekerasan tersebut.

Vanessa terlihat tidak begitu keberatan dengan sosok asing yang asal masuk ke dalam percakapan kami, dan Mirai juga tidak keberatan—maksudku, tidak peduli. Hanya aku saja yang merasa canggung dengan kedatangan orang tidak dikenal itu.

"Aku bilang... Pangeran akademi ini!" Vanessa melemparkan jawabannya.

Sebelum Mirai menjawab, pemuda itu menghentikannya. "Ah, kau nggak perlu jawab. Kau pasti sudah tahu jawabannya!"

"Bisa saja aku salah," celetuk Mirai santai.

"Aku akan sangat terkejut sampai jatuh dari kursi kalau tebakanmu salah," ujar pemuda itu dengan raut wajah serius. Bukankah itu berlebihan?

Pemuda itu merespon balasan Vanessa, "Aku tidak yakin dia akan datang terang-terangan seperti itu. Dia suka mengangetkan orang lain, walaupun niatnya bukan seperti itu."

Mereka membicarakan hantu atau murid di akademi ini?

"Benar juga! Satu-satunya murid populer yang datang mencolok seperti itu adalah—" Vanessa memberikan jeda dramatis. Tetapi senyuman antusias miliknya tidak begitu mendukung atmosfer yang dia coba ciptakan.

Vanessa dan pemuda itu saling bertatapan, menunggu momen untuk mengeluarkan jawaban mereka secara bersamaan. Bagaikan kerikil dilempar ke jendela, keheningan itu dihancurkan oleh suara kunyahan Mirai, disusul dengan jawabannya.

"Damien."

Mereka berdua langsung menatap Mirai yang masih memasang ekspresi tenang.

"Padahal, kita baru saja ingin mengucapkannya!" Protes Vanessa.

"Kalian terlalu lama." Mirai memasukkan suap terakhir ke dalam mulutnya, "Keburu selesai makan siang."

Aku hanya mengeluarkan cengiran, tidka begitu mengerti dengan arah pembicaraan mereka. Yang kutangkap hanya kericuhan yang tengah membicarakan kedatangan seseorang menggunakan mobil hitam—aku sempat melihat sepintas dari jendela. Vanessa dan pemuda yang tidak kukenal namanya tengah bermain untuk menebak siapa pencipta kehebohan tersebut, lalu Mirai menghancurkan kehormanisasian itu dengan jawabannya yang tepat...?

Aku tidak mengerti. Aku masih muda, tidak berduit, dan bingung. Kalian pasti tahu seberapa banyak stress yang kupikul di pundak loyo ini.

Mirai menyadari kebingunganku, dan menjelaskan apa yang mereka bicarakan dengan sabar. "Damien adalah ketua OSIS di akademi ini, orang pertama yang ditemukan Kepala dan Wakil Kepala Sekolah. Ini periode keduanya menjabat sebagai Ketua OSIS. Sepertinya—" Vanessa mengangkat salah satu alis, membuat Mirai memutar bola mata malas. "Dia anak dari keluarga Kawasaki yang terkenal itu."

Aku termangut pelan. "Sepertinya akan ada banyak murid berduit di sekolah ini."

Pemuda itu mengangguk setuju. "Benar-benar memberikan kesan pada akademi elit ini, biar netizen percaya tidak ada rahasia kotor di sini," ujarnya sarkas. Dia mengerutkan kening, "Kau anak baru itu? Pantas saja tidak tahu!"

Apakah secepat itu rumor tentang keberadaanku disini?

"Belum tentu murid yang sudah pernah mengikuti pelatihan mengenal mereka." Mirai membelaku. Tatapan yang dia pancarkan penuh kedataran tapi tajam, seperti ular. "Bahkan Lily—senior kami—tidak tahu ketua OSIS adalah Damien."

Nama 'Lily' kembali disebut. Sudah berapa kali aku mendengar nama tersebut?

Jeritan dan pekikan mengisi ruangan. Spontan, aku menutup telingaku yang berdering akan kehebohan tersebut. Rasanya seperti di konser untuk menyambut kedatangan seorang idola di atas panggung. Makanya aku lebih memilih menonton secara live, bukan langsung.

Sosok yang kami bicarakan sebelumnya melangkah masuk dengan aura sihirnya berbau di udara.

Aku mengerutkan kening saat mencium aroma sihirnya. Darah?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro