Chapter 10 - Comely
"Begitu manis, begitu pahit, lidahnya tidak mampu menafsirkan seluruh perasaan itu,
Bagaikan langit cerah yang menangis,
Tapi bukan berkah lah yang tiba, melainkan..."
-
Memiliki tetangga yang baik dan dekat denganmu sejak kecil punya banyak keuntungan. Contohnya, bisa makan bersama, Okaa-san lebih banyak berkomunikasi dengan orang yang seumuran dengannya, anak-anaknya tidak dirumah sendirian dan sibuk dengan gadget, dan bisa saling berbagi tanpa ada rasa gengsi. Saking dekatnya, kadang anaknya jadi korban pembicaraan mereka, seperti makan malam sekarang.
"Mirai juga sekolah disana? Baguslah kalo begitu, Yuuna anaknya susah cari teman, jadi aku lega dengar kalo mereka satu sekolah lagi."
"Mereka kayaknya nggak bisa dipisahkan sejak kecil, ya."
Kazumi yang menatap kedua wanita yang berbincang ringan dengan satu sama lain langsung beralih ke arah kami berdua. Lebih tepatnya, ke arah Mirai, karena kakaknya duduk di sampingku. Pandangannya jelas tidak percaya bahwa Mirai yang dia kenal sebagai sosok paling malas dan ogahan di muka bumi bisa masuk ke sekolah elit. Mirai yang menyadari tatapan itu langsung mendelik.
"Aneki galak banget," gumam Kazumi sambil menurunkan sumpit Mirai yang masih terancungkan ke arahnya. "Sungguh, aku masih nggak percaya. Apa kau memakai semacam guna-guna?"
"Kau mau kugitukan juga pas kau lulus tes SMA impianmu nanti?" Balas Mirai. Sebuah senyuman mengejek terukir di bibirnya. "Itu pun kalau kau lulus tesnya."
Kazumi memasang wajah kesal. "Seharusnya kau berdoa agar aku lulus, bukan sebaliknya."
"Kau duluan yang mulai."
Setiap melihat interaksi mereka berdua, aku bertanya-tanya apakah aku bertengkar seperti itu dengan Natsumi-nee-san. Bila aku memutar ulang ingatan, pertengkaran kami jauh berbeda dengan pertengkaran Mirai-Kazumi, karena kami kadang menggunakan fisik kalau sudah kesal dengan satu sama lain. Kalau bukan fisik, kami perang dingin, dan yang selalu mulai perang saling mendiamkan satu sama lain adalah Natsumi-nee-san dengan segala kejudesannya.
Bila kedua ibu-ibu sibuk bercengkrama dengan satu sama lain—lebih tepatnya Tante Aida yang kebanyakan cerita, sementara Okaa-san menjadi pendengar setia—, pihak Ayah hanya diam saja menikmati makan malam. Tapi aku yakin setelah makan malam, mereka akan berbincang dan tertawa cukup keras, entah apa yang tengah dibincangkan sampai tawa Otou-san menggelegar ke sudut ruangan.
"Jadi kapan rencananya kapan kalian berangkat?" Tanya Okaa-san.
"Rencananya mau dua hari lagi, tapi Mirai-nya belum selesai beres-beres," ujar Tante Aida, memperhalus ucapannya agar Mirai tidak terdengar malas di telinga Okaa-san.
"Ya, namanya juga untuk tiga tahun. Pasti banyak yang harus dipersiapkan." Okaa-san mencampur lauk di dalam mangkuk nasi agar mudah diangkat, lalu kembali menatap Tante Aida. "Kedua anakku akan pergi dari rumah, jadi suasananya akan sedikit sepi tanpa mereka berdua, apalagi Yuuna."
Aku mengangkat kepala, menatap Okaa-san yang tidak begitu memedulikan tatapanku. Okaa-san juga memperhalus ucapannya agar Tante Aida tidak salah paham, karena sebenarnya aku cukup gila kalau di rumah. Terkadang aku ingin tahu apa seruanku pernah terdengar oleh tetangga.
Tante Yui tertawa pelan, lalu memandang ke arah aku dan Nee-san yang sedaritadi diam mendengarkan. "Tuh, dengerin, sering berkunjung pas hari libur, ya! Kamu juga Mirai."
Mirai meringis pelan saat Tante Aida mengacak rambutnya, membuat aku dan Kazumi tertawa puas melihat ekspresi wajah Mirai yang ingin mengeluh karena diperlakukan seperti anak kecil.
Dua hari telah berlalu sejak aku pulang dari akademi, dan diantar oleh Gladiz ke stasiun menggunakan mobil mewahnya, dan pertemuan Okaa-san dengan wakil kepala sekolah akademi tersebut. Menurut Okaa-san, Gladiz terlihat begitu muda tapi mampu menempati posisi tertinggi akademi tersebut. Aku mengangguk setuju. Wajahnya memancarkan kalau Gladiz masih berada di pertengahan dua puluh. Atau aku salah menduga, karena wajah awet muda itu menipuku. Lain kali, aku akan bertanya umurnya kepada Calix saja, karena wanita sangat sensitif dengan pertanyaan umur dan berat badan.
Sampai di rumah, aku menceritakan Mirai tentang pengalaman yang kualami. Gadis itu langsung heboh saat aku menyebut merek mobil tersebut.
"Itu nikmat dunia, Yuuna! Aku akan menggeplak kepalamu kalau kau berpikir untuk mendustakannya!" Ujar Mirai yang berpura-pura kesal. Aku dapat merasakan keirian dalam ucapannya, namun aku tidak tahu harus bagaimana saat menghadapinya.
Pikiranku kembali berlari pada mimpi yang sudah lama terjadi. Mimpi itu tidak datang seperti kaset rusak yang selalu mengulang hal yang sama. Itu hanya terjadi sekali, tapi bekas yang ditinggalkan lebih tebal daripada ampas biji kopi. Rasa pahit itu masih terasa di lidah, mematikan seluruh indra perasa lainnya yang ada lidah. Apalagi mengingat raut wajah terluka yang membuat dadaku sesak.
Aku mengerjap saat merasakan telapak tanganku disentuh lembut. Jari telunjuk Mirai mengetuk telapak tanganku. Saat pandangan kami bertemu, Mirai tersenyum lembut, membuatku berpikir bahwa dia tidak mendengar batinku saat ini. Akan sangat buruk bila Mirai tahu tentang mimpi itu dan siapa yang kulihat di mimpi tersebut.
"Semuanya akan baik-baik saja," hiburnya. Seluruh sarafku mulai tenang untuk beberapa saat. "Aku akan bersamamu, Yuuna, apa pun yang terjadi."
Entah sejak kapan, Mirai mulai overprotektif kepadaku, begitu pun dengan seluruh anggota keluargaku. Perasaan mereka tidak pernah bertingkah seperti ini sebelumnya, terutama Mirai yang tidak terlalu suka menyibukkan diri dengan urusan orang lain. Semuanya berubah begitu saja sejak... kecelakaan itu.
Aku membalikkan telapak tangan, menggenggam tangan Mirai yang terasa dingin di genggamanku. "Iya, terima kasih."
Sebaiknya, kau harus mengubah jalan pikiranmu, Mirai. Secepatnya.
-
Hari yang gelap adalah waktu yang pas bagi para kelelawar terbang keluar dari tempat persembunyian, begitu pun dengan bayangan yang berada di bawah kakiku. Mereka bergerak dengan penuh semangat, memainkan beberapa surai rambutku tanpa menyentuh langsung, dan menciptakan gesekan di atas ubin yang membuatku ingin menjadi tuli di tempat. Ditambah mereka sibuk melakukan aktivitas gaslighting di dalam benakku.
Kekuatan ini tidak memiliki kelemahan. Apakah itu hal baik? Tentu saja tidak!
Mereka selalu keluar seenaknya saat malam hari, tidak memberikanku satu hari saja privasi agar aku bisa damai melakukan aktivitas penutup sebelum Okaa-san tiba ke kamar. Bila aku menyalakan lampu, bayangan itu tambah pekat dan menyebalkan. Bila aku melakukan sebaliknya, mereka tambah kuat dan menyebalkan juga. Kedua pilihan tidak memberikanku akhir yang bahagia. Aku hanya sengsara saja disini, karena sebuah sihir hidup yang telah bersama denganku sejak lahir.
Kedua pilihan yang tidak berguna itu mengingatkanku pada dating sims dimana mau itu akhir bahagia, akhir sedih, atau akhir normal; pemain yang mendapatakhir apa pun akan merasakan kalau itu akhir buruk. Si pemain tidak akan puas bila karakter utama yang mereka mainkan tidak mendapat keuntungan, kecuali berhasil menaklukan hati si karakter cerita.
"Apakah kau yakin tidak ada yang terjadi?"
"Tutup mulutmu, goblok. Jangan membuatku ingin ribut denganmu di waktu seperti ini," balasku kesal. "Kau akan membangunkan tetangga."
Seharusnya aku melarikan diri saat sampai di akademi tersebut, mencampakkan buku daftar nama, menumpahkan seluruh isi tinta tersebut, dan mematahkan bulu pena. Tetapi penyesalan selalu datang terlambat. Ini semua karena aku terlena di dalam pertanyaan yang aku lemparkan pada mereka. Hal ini tidak jauh berbeda dengan mempermainkan diri sendiri.
Aku memandang beberapa barang bawaan yang akan aku bawa ke akademi tersebut. Ada dua koper yang sudah tersedia untuk meletakkan pakaian dan barang-barang lainnya. Nee-san mengatakan, aku harus menyiapkan lebih banyak barang karena jumlah barang bawaanku tidak jauh berbeda dengan jumlah barangnya.
"Hm, kita membawa semua buku novel yang kupunya atau... bagaimana?" Bayangan itu membalas pertanyaanku, dan jawabannya membuatku tidak habis pikir dengan pola pikir mereka. "Aku hanya bercanda tentang bawa semuanya. Lagipula, aku juga akan membeli koleksi baru selama disana."
Bayangan itu kembali bertanya dengan suara rendah di dalam pikiranku.
"Apakah aku akan merindukan mereka? ...Tentu saja," balasku dengan suara yang pelan. Suaraku lebih mendekati bisikan angin yang begitu pelan. Saking pelannya, angin itu tidak mampu menghembus daun-daun kecil.
Aku belum menginjak usia dua puluh tahun, masih berusia lima belas tahun dan mental umur yang mendekati anak sepuluh tahun. Tanganku belum kuat memeras kain pel atau menggosok pakaian saat dicuci. Aku tidak pandai mengatur waktu yang kumiliki, dan lebih sering membuangnya seperti sisa makanan. Seperti yang pernah dikatakan Okaa-san, dia tidak bisa melepaskanku semudah itu karena aku belum mandiri.
Aku hanya anak cengeng yang tahu makan, tidur, dan bernafas. Kelebihan yang kumiliki hanya dapat berbicara dengan bayangan yang mampu mengambil alih tubuhku suatu hari. Tidak ada bagusnya sama sekali.
Aku tidak berguna sama sekali.
Huh, entah kenapa aku merasa pernah mendengar kalimat itu sebelumnya?
"Aku tidak menyangka kau akan mengembalikannya."
"Itu milikmu. Sudah sepantasnya aku mengembalikan barang ke pemilik aslinya."
"Lagipula, syalmu sudah banyak membantu."
Keheningan melanda. Tapi tidak bertahan lama karena sebuah suara memecahkan kesunyian mereka.
"Iyakah? Aku tidak menyangkanya. Kukira aku tidak berguna sama sekali di dunia ini."
Eh, itu suara siapa? Apa itu salah satu dialog dari novel yang kubaca atau dari drama yang kutonton bersama Mirai atau Nee-san?
"Aish, udahlah!" Aku menarik selimut tebal sampai menutupi seluruh tubuh. "Tidur saja, Yuuna! Mama cerewet banget kalo tahu kau tidur telat!"
"Selamat malam!" Ucapku pada kesunyian, sebelum menutup mata sambil menyandungkan lagu pengantar tidur.
Kehangatan dari selimut dan keempukan kasur ini akan kurindukan, karena aku akan tidur di lingkungan asing. Wallpaper emas pucat dengan motid suluran berwarna kuning pasir yang kupilih secara pribad ini juga akan kurindukan. Seluruh perabotan yang ada di ruangan ini, dimana jejak keberadaanku tertinggal akan kurindukan. Beberapa kertas dengan motto dan quotes favoritku akan menceritakan siapa yang pernah tinggal di kamar ini, sebelum aku pergi selama tiga tahun.
Di saat aku pergi, aku tidak akan mendapatkan sambutan dari burung gagak yang selalu kuberi makan sisa makanan yang tidak kusuka, sampai Okaa-san menyadarinya dan menegurku habis-habisan. Aku tidak dapat mencium aroma bumbu masakan Okaa-san yang terkadang membuatku batuk-batuk.
Huh, akan ada banyak hal yang harus kutinggalkan demi pergi ke lingkungan baru dimana aku bisa saja mati disana.
Akademi itu akan menjadi kuburanku.
-
Mirai akan berangkat lebih awal dari yang kuduga, padahal Tante Aida mengatakan dia belum selesai beres-beres kemarin malam. Apa dia begadang hanya untuk menyusun barang bawaannya? Mirai memang orang yang heboh kalau tenggat waktunya tinggal satu hari atau beberapa jam saja. Itu gila.
Dari yang Kazumi ceritakan—dia memilih tidak ikut karena takut mabuk kendaraan—saat kami bertemu, kedua orang tuanya dan Mirai berangkat jam enam pagi. Pilihan waktu itu atas permintaan Mirai karena ingin memilih kamar asrama yang pas untuknya, atau setidaknya memilih teman sekamar yang dapat dia kenal.
Itu alasan yang lucu. Aku dan Mirai merupakan anak baru, tidak seperti Eri yang mengenal beberapa murid karena koneksi kakaknya, jadi mustahil bila Mirai memiliki seorang kenalan. Atau mungkin dia memang punya? Dia pernah bercerita tentang resep makanan dari "teman" yang tidak kukenal.
Kazumi membuka mulutnya. Itu gestur yang selalu dia tunjukkan saat teringat oleh sesuatu yang dia lupakan. "Aneki juga mengatakan agar dia bisa mendapat kamar yang sama denganmu. Dia benar-benar lengket kepadamu."
"Emang? Tapi aku sangat membutuhkan hal itu," gumamku.
Salah satu alisnya terangkat. "Kenapa? Bukannya gampang mencari teman?"
Aku terdiam mendengar ucapan Kazumi. Bocah itu hanya mengerjapkan matanya dengan raut wajah tanpa dosa. Di antara dia sengaja atau tidak sengaja dalam mengucapkannya, tapi itu berhasil menyentil harga diriku yang berbeda satu tahun dengannya.
Beberapa tahun menjadi teman Mirai, aku juga mengenal Kazumi karena sering berkunjung ke rumah mereka. Perbedaan yang mereka miliki cukup pekat. Mirai pendiam dan hanya dekat dengan orang yang sudah dia kenal cukup lama, sementara Kazumi mudah bergaul dan memiliki banyak lingkaran pertemanan. Bocah itu juga pernah mengundang tujuh teman lainnya agar bermain bersama saat aku mengunjungi Mirai di musim kedua kelas tiga.
Memang ekstrovert sudah beda dimensi.
Kazumi mengeluarkan erangan kesal saat aku menjepit batang hidungnya, menyalurkan kekesalanku dari gestur "kasih sayang" itu.
"Ternyata Yuuna-nee tidak jauh berbeda dengan Aneki, main fisik!" Keluh Kazumi yang diakhiri dengusan kesal.
"Kazu-kun, kau tidak akan merindukan Mirai nanti?" Aku bertanya tiba-tiba. Kazumi kembali menatap ke arahku, padahal dia baru saja ingin memainkan ponsel pintarnya. "Tidak ada teman berantem, tidak ada yang membantumu mengerjakan PR, tidak ada seruan kesal saat kau memakan jatah makanannya. Suasana rumah jadi sepi bila salah satu anggota keluarga tidak ada di antara kalian."
Bocah itu mengerutkan kening, terlihat tengah berpikir. "Kau sedang menceritakan dirimu sendiri?"
Aku tersenyum pelan mendengar jawabannya. Tanganku kembali terulur ke arahnya, lalu mengacak rambut cokelat gelap bocah itu. Aku mengacak rambutnya menggunakan dua tangan, membuat Kazumi mengeluh karena dia harua menata kembali penampilannya. Tetapi dia terlihat tidak mencoba mengusir tanganku dari atas kepalanya. Memang, terkadang, perkataan tidak sesuai dengan tingkah laku seseorang.
Kecepatan tanganku berubah perlahan. Kazumi juga menyadari itu, terlihat dari matanya yang membelak di saat tanganku mengelus puncak kepalanya.
Terlihat jelas kalau dia ingin bertanya mengapa aku bertingkah seperti ini sebelumnya. Itu cukup dimengerti, karena kontak fisik kami hanya sebatas jabatan tangan dan saling memukul saat tertawa keras. Aku juga tidak pernah menunjukkan sikap seperti kepada lawan jenis, kecuali sama sepupuku. Ah, sama satu orang lagi, tapi perbincangan kami perlahan memendek hari ke hari.
"Jaga dirimu baik-baik, Kazumi. Kami tidak dapat membantumu secara langsung karena jarak, tapi jangan malu untuk menceritakan harimu bila kau mengalami kesusahan. Kakak-kakakmu ini akan mencoba membantu."
Perlahan, sebuah senyuman terukir di bibirnya. "Yuuna-nee banyak berubah akhir-akhir ini!" Kazumi tersenyum lebar sampai matanya berbentuk bulan sabit.
"Emang? Apa itu perubahan yang buruk?" Gumamku. Aku tidak begitu sadar dengan perubahan yang kualami.
"Tentu saja tidak. Apa buruknya kalau lebih mudah mengekspresikan perasaanmu? Nanti kau sama seperti Mirai, dia datar dan frontal," ujar Kazumi dengan ekspresi serius. Dia akan mati kalau Mirai mendengarnya.
Terkadang, orang luar yang lebih menyadari tentang suatu hal yang terjadi padamu, daripada dirimu sendiri. Aku tidak suka dengan ucapan itu. Rasanya, dunia yang kujalani hanya tergambar dari sudut pandang orang lain, bukan sudut pandangku.
Tapi, bila Kazumi mengatakan itu bukan hal yang buruk, aku akan mencoba menganggapnya seperti itu. Lagipula, tidak setiap hari aku mendapat kata-kata manis seperti hari ini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro