Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

==OoO==

"Aku pulang,"

Gadis kecil itu berjalan gontai memasuki rumah gedheg*-nya. Menyeret tas karung goni lusuh yang warnanya aslinya sudah bercampur dengan warna tanah. Raut muka khas gadis Jawa berusia 10 tahunnya berpeluh. Napasnya terengah-engah dan dadanya kembang kempis di balik baju lusuh putih polos yang ia kenakan. Warna kulitnya sudah agak gosong kecoklatan. Ia baru saja berjalan jauh di bawah teriknya matahari.

Tidak yang menyahut panggilannya.

"Mungkin eyang baru memasak di dapur," pikir si gadis.

Perempuan belia itu kemudian menaiki kasur kamu sederhana buatan kakeknya, lalu mengeluarkan dan menghitung lembaran uang kertas yang ia selipkan di stagen, sabuk tenun yang mengikat kain batik yang ia kenakan.

"Lumayan untuk hari ini,"

Ia baru saja kembali bekerja di rumah meneer* Van Dam, seorang tuan tanah pemilik kebun luas di desa itu. Sekadar membantu menyiram kebun, apesnya juga disuruh ikut mencabuti rumput liar dan memetik cabai. Lalu ia dibayar seadanya tanpa kontrak yang jelas berdasarkan pekerjaan hari itu. Tak ayal, setiap hari ia pulang dengan peluh dan raut muka kelelahan.

"Eyang, mbak Rinta sudah pulang!"

Terdengar suara anak laki-laki kecil dari dalam rumah. Disusul dengan munculnya seorang anak kecil berusia 5 tahun yang menghampiri si gadis bernama Rinta itu. Di belakangnya, sosok yang dipanggil "eyang" juga muncul. Perempuan tua dengan rambut putih yang disanggul sederhana, mengenakan kebaya hitam polos dan jarik lurik hijau keluar dari bilik dapur sambil membawa sepiring singkong rebus yang baru saja matang.

Rinta segera bangkit dari untuk menghampiri neneknya dan menerima singkong rebus yang menjadi menu makan siangnya hari ini.

Eyang putri, julukan perempuan tua itu, mengelus rambut ikal Rinta yang agak berantakan lalu mengekori cucu ke sayangannya itu kembali ke kasur kayu dan ikut duduk bersamanya.

"Bagaimana pekerjaanmu hari ini, nduk?" Tanya Eyang Putri pada Rinta.

Perempuan kecil itu menjawab setelah menelan sepotong singkong yang telah ia gigit. "Lumayan eyang,"

Ia lantas meletakkan sepotong singkong itu dan mengeluarkan lembaran uang yang baru ia terima pagi tadi. Hendak memberikannya pada Eyang Putri. Tetapi, perempuan itu menolak pemberian Rinta.

"Buat kamu aja nduk, itu kerja kerasmu"

Rinta menunduk. Lalu menyimpan lembaran uangnya kembali di dalam stagen.

"Habiskan singkongnya, lalu istirahat. Eyang ke dapur dulu. Nanti, tolong bawa makanan kakak sama kakekmu ke ladang," ujar Eyang Putri kepada Rinta dan adik laki-lakinya yang terus memakan singkong rebus.

Rinta mengangguk bersama dengan senyumannya. Mengiyakan perintah nenek yang ia sayangi itu.

"Rayi, Kakak mandi dulu," ujar Rinta pada adiknya yang ia panggil Rayi.

Rayi, anak laki-laki berusia 5 tahun itu, mengangguk. Seketika, menandang kakak perempuannya berjalan keluar dan menghilang di balik pintu bambu.

Sekitar setengah jam, Rinta selesai dalam membersihkan badannya. Memakai kebaya putih sederhana yang tidak selusuh tadi dan terlalut jarik batik sederhana yang warnanya memudar. Kemudian, ia melihat wakul bambu yang tertutupi daun pisang dan kain jarik gendongan untuk membawa wakul itu. Jelas itu makanan yang harus ia bawa siang itu.

"Rayi, ayo ikut Kakak," ajak Rinta kepada adiknya yang sedang memainkan pasir di depan rumah. Laki-laki kecil itu menyahut panggilan Kakaknya dan berlari kecil menghampirinya.

"Bantu kakak bawa air minum. Tolong ambilkan pakai wadah bambu biasanya ya," pinta perempuan yang sedang menalikan jarik untuk menggendong wadah nasi yang bertengger di punggungnya. Cukup berat, tapi ia sudah biasa.

Setelah adiknya keluar dari dapur dengan membawa bambu panjang berisi air matang untuk air minum, Rinta keluar dari rumah dan berangkat menuju ladang untuk menemui Kakak laki-laki dan kakeknya.

Tentu, kedua pria itu bekerja di ladang yang bukan miliknya. Seperti Rinta sendiri, mereka bekerja untuk meneer Van Dam. Bedanya, mereka bekerja kasar di ladang luas di selatan desa sedangkan Rinta bekerja di kebun kecil rumah tuan tanah dari Belanda itu.

Perjalanan dari rumah Rinta ke ladang itu cukup jauh untuk ditempuh jalan kaki. Sayangnya, mereka harus berjalan seperti itu tiap hari, bolak-balik pula. Tanpa alas kaki dan membiarkan tapak kakinya menyentuh tanah yang terkadang dihalangi oleh kerikil maupun lumpur becek.

Mereka melewati ladang hijau yang luas, namun bukan milik pribumi. Tebu, kopi, dan tembakau menjadi bagian dari komoditas wajib yang harus ditanam warga pribumi di atas lahan milik Belanda. Salah satunya, ya Meneer Van Dam.

Cukup lama berjalan di medan tanah yang untungnya sedang kering, walau matahari amat terasa terik, mereka berdua telah tiba di ladang tempat kakak dan kakek Rinta bekerja. Hamparan tanaman tembakau yang rapi dengan puluhan orang pekerja pribumi yang rajin menggarapnya. Namun, waktu itu sedang masuk jam istirahat.

"Rinta! Rayi!"

Teriakan dari salah satu sudut pematang memekakkan telinga Rinta.

"Mas Raka!" Balas Rinta.

Tidak luput, itu adalah panggilan kakak laki-laki Rinta yang ia panggil dengan sebutan Raka. Usianya sekitar 20-an tahun. Badannya tegap dan mukanya berpeluh menandakan bahwa ia adalah orang yang rajin dan cekatan dalam pekerjaan beratnya.

Di sebelahnya, terlihat lelaki tua seumuran Eyang Putri. Tentu, ia adalah kakek Rinta. Biasanya ia memanggilnya Eyang Kakung. Usianya memang sudah senja tapi soal performa jangan ditanya.

Rinta menggandeng tangan Rayi dan berlari kecil menuju Raka dan Eyang Kakung di tengah ladang. Lalu menurunkan wakul berisi nasi dan lauk pauk untuk makan siang mereka, tentu dengan bantuan Raka.

"Kamu sudah makan?" Tanya Raka kepada Rinta dan Rayi sambil mengambil nasi thiwul untuk Eyang Kakung.

Rinta mengangguk. "Aku sudah makan, mas. Rayi kalau mau makan lagi kasih saja," jawab Rinta dengan tawa kecilnya.

"Rayi mau makan?" Tanya Raka dengan pandangan hangatnya kepada si bungsu.

Pemuda kecil itu hanya menggeleng. Menolak menu makan siang berupa nasi thiwul yang terbuat dari tumbukan singkong dengan lauk sayur nangka muda.

Raka tidak ingin memaksa kedua adiknya untuk makan. Ia cukup menyisakan sedikit nasi dan sayur untuk dibawa pulang jika mereka lapar, lalu memakan jatah makan siangnya dan memastikan Eyang Kakung memakan jatahnya juga.

Usai mereka makan, semua sisa alas daun pisang dibuang di pinggir pematang ladang. Wakul dibereskan dan kembali digendongkan di punggung Rinta.

"Mas Raka, Eyang Kakung, Rinta sama Rayi pulang dulu," pamit Rinta.

Rinta segera beranjak, namun tangannya ditahan oleh Raka. Nampaknya ada hal yang ingin disampaikan pemuda itu pada Rinta. Namun, sepertinya agak penting dan rahasia hingga Raka perlu menarik Rinta minggir dari keramaian pekerja pribumi yang baru saja rampung beristirahat.

"Rinta, kamu ingat kan malam ini ada apa?" Tanya Raka.

"Ingat mas, ini malam Jumat Wage, hari kelahiran Rinta," jawab Rinta.

"Baguslah kalau begitu—" ujar lega Raka, "—jangan lupa beli bubur merah, bubur putih, dan kembang telon di pasar. Nanti taruh di tempat menaruh beras di dapur."

"Nggih mas," Rinta mengiyakan dan mengangguk mendengar perintah Raka.

Pemuda itu menepuk bahu Rinta, seakan-Akan memberi pesan hati-hati di jalan. Si adik kemudian meninggalkan kakak dan kakeknya di ladang tembakau untuk melanjutkan kerjanya.

Rinta menghela napas. Lalu menarik Rayi dari tempat itu dan membawanya ke arah pasar. Arah pasar memang cukup jauh dan memutar dari ladang. Takutnya, mereka baru tiba di rumah sore hari.

Suasana ladang seketika berubah menjadi suasana yang dipenuhi tembok bata dan keramaian pedagang. Kebanyakan pedagang itu merupakan pribumi kalangan menengah ke atas atau pedagang Tionghoa. Mereka yang pribumi apesnya menjadi kuli pengangkut barang pasar.

Misi Rinta kali ini adalah mencari sesaji berupa bubur merah dan putih beserta kembang telon yang terdiri dari bunga mawar, bunga kenanga, dan bunga kantil. Soal bunga-bunga ini ia dapat memetik di depan rumah, tapi soal bubur nya ia harus membeli. Untung ia membawa yang gaji pagi ini.

Sebenarnya, ini adalah kegiatan rutin yang ia lakukan setiap bulan di malam Jumat Wage, hari kelahirannya. Raka dan Eyang Kakung cukup ketat untuk tidak melewatkan peringatan ini tiap bulannya, termasuk memberikan persembahan.

Rinta ingat ketika ia bertanya pada Eyang Kakung soal ini waktu masih kecil. Ingatannya melayang menuju hari yang sama beberapa tahun silam, ketika persembahan itu diberikan di samping dapur.

"Eyang sedang apa? Kenapa buburnya ditaruh di pojok dapur? Nanti disemutin loh," Tanya Rinta kecil dengan polosnya.

Eyang Kakung menjawab "Itu namanya ithuk-ithuk. Buat metri Kakang Kawah, Adhi Ari-ari, Kaki Among, Nini Among."

Dalam mitologi Jawa, manusia lahir tidak sendiri. Ia memiliki saudara yang setia menemani di dalam kandungan, namun harus mati dahulu ketika kandungan itu lahir di dunia. Ia adalah Kakang Kawah, personifikasi dari air ketuban tempat janin berenang dan menyediakan oksigen untuk kehidupan si bayi. Ia muncul terlebih dahulu sebelum janin, hingga ia dipersonifikasikan sebagai kakak. Kemudian, Adhi Ari-ari sebagai personifikasi dari tali pusar atau placenta yang muncul setelah si bayi terbentuk. Dia lah yang selalu memberikan asupan makanan bagi bayi di dalam kandungan. Sayangnya, keduanya harus tiada setelah bayi benar-benar bisa melihat dunia yang sebenarnya.

Tidak berhenti di situ, si bayi kemudian ganti diasuh oleh 2 sosok penjaga tak kasat mata bernama Kaki Among dan Niki Among. Kaki bermakna Kakek sementara Nini bermakna Nenek, sedangkan Among bermakna penjaga. Jika pernah melihat bayi yang tersenyum dan tertawa sendiri, orang Jawa percaya bahwa sosok dua penjaga itu tengah menghibur si bayi. Sayangnya, mereka juga harus hilang ketika bayi mulai beranjak dewasa.

Rinta sebenarnya juga bingung soal apa yang dimaksudkan oleh Eyang Kakungnya soal apa yang disebut "Sedulur Papat Kalima Pancer" itu. Sekadar mematuhi adat, ia selalu mengikuti permintaan kakeknya untuk mempersembahkan sesaji yang juga disebut kegiatan metri. Katanya, bubur merah untuk Kakang Kawah dan bubur putih untuk Adhi Ari-ari. Sedangkan kembang telon untuk Kaki Among dan Nini Among. Terkadang, ia me nambah dupa atau kemenyan sebagai saran berdoa.

Seperti sore itu, ia telah membeli dua jenis bubur dan memetik bunga di depan rumah. Segera ia membawa adiknya ke kamar dan menuju dapur untuk meletakkan berbagai persembahan itu di pojok, kemudian membakar kemenyan dengan bara api yang ia dapatkan dari tungku. Dirinya duduk bersila di hadapan sesaji dan bara yang mulai melelehkan getah kemenyan yang semula padat.

Suasana menjadi berbeda. Entah mengapa rasanya menjadi dingin. Angin bertiup pelan mengenai bahunya dan memancarkan aroma kemenyan yang menyeruak di angkasa.

Hening
Semakin hening

Mata Rinta semakin berat. Berkali-kali dirinya menguap. Ia pun tak tahan lantas terpejam di atas pangkuan pahanya. Sayup-sayup terdengar kidung doa dari kejauhan.

Ibu bumi, kukuhna adeg-adegku
Ibu Bumi, kuatkanlah pendirianku

Bapa angkasa, ayomana tekadku
Bapak Angkasa, ayomilah tekadku

Nini among, ayunana lakuku
Nini Among, dampingilah perjalananku

Kaki among, jampangana paranku
Kaki Among, bantulah aku mencapai tujuanku

Kakang kawah, rewangana aku
Kakang Kawah, temani dan bantulah aku

Adhi ari-ari, pujekna yuwanaku
Adhi Ari-ari, doakan keselamatanku

Gusti, kula sumedya ngranggeh welas Paduka
Tuhan, aku berserah mencapai welas asih paduka.

Suara kentongan ditabuh bertalu-talu memekakkan telinga Rinta. Gemuruh suara tembakan dan percikkan api terdengar dimana-mana. Diiringi suara terikan minta tolong manusia. Seketika gadis itu terbangun, namun belum sadar seutuhnya.

"Rinta, bangun. Desa kita diserang Belanda"

Nampaknya Raka yang meyadarkan Rinta. Pemuda itu segera memberikan buntelan kain berisi berbagai persediaan seperti makanan dan pakaian.

"Pergilah, ikuti tetangga yang lain mengungsi," perintah Raka kepada Rinta.

Mata Rinta berkaca-kaca. Ia sendiri masih mengolah apa yang sebenarnya terjadi. Di sisi lain kepalanya juga pusing karena dipaksa bangun dari tidur.

"Cepat pergi, jangan hiraukan mas, adik, kakek, dan nenek!" Perintah Raka sekali lagi.

Ia terus memandangi kakaknya mendorongnya keluar. Tangisannya tidak terbendung. Kakinya terasa lunglai untuk keluar dari rumah. Pintu bambu yang selama ini menjadi jalan masuk nya sudah ditutup dari dalam oleh Raka. Ia mencoba untuk merangsek masuk dengan mendobraknya. Tapi aneh, sepertinya pintu dihalangi dari dalam dengan benda keras.

Rinta kehabisan tenaga dan nyaris tergeletak pingsan. Untung waktu itu ada tetangga yang segera mendekap gadis belia itu. Lalu membawanya ke pengungsian

....

Rinta tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Ia sama sekali tidak melihat kakak, adik, nenek, dan kakeknya di pengungsian. Entah mereka ditangkap atau dibunuh di tempat. Rinta sudah putus asa.

"Rinta—"

Suara itu bukan suara kakak, adik, nenek, atau kakeknya. Melainkan tetangga yang semalam membawanya ke pengungsian.

Rinta menoleh. Barangkali apa yang ia cari bisa terjawab dengan bertanya pada laki-laki paruh baya itu.

"Pak, di mana kakak, adik, kakek, dan nenek saya?" Tanya Rinta dengan menggebu-gebu.

"Omong kosong apa nduk? Selama ini kamu hidup sendiri—"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro