Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PROLOG

12 Januari
05:16 PM

Suara derasnya hujan yang menyentuh tanah seakan menambah kecemasan mereka. Suara guntur yang menggelegar dahsyatnya seakan tanda keputusasaan mereka.

Pepohonan bergoyang ke kanan dan kiri mengikuti terpaan angin kencang, semua dedaunan kering yang dengan setianya menemani sang dahan pohon kini berjatuhan ke dalam benteng.

Keringat dingin yang bercucuran di setiap jenis kulit sangat membuat suasana menjadi lebih mencekam. Langit berubah menjadi abu-abu gelap seakan tidak mengizinkan sang matahari menyinari mereka semua dan menenangkan hati yang berdebar-debar.

Tidak ada suara apapun selain hujan deras di senja ini. Tidak ada bolam lampu yang menerangi benteng mereka, semuanya gelap karena senja dan tidak ada sinar matahari yang memberi pasokan listrik pada medan energi benteng.

Dua pria berdiri tegang di gerbang utama yang tingginya dua kali lipat dari tinggi mereka berdua, masing-masing berdiri memegang gerbang besi kanan dan kiri menatap lurus penuh harap ke depan mereka.

Jantung terpompa sama seperti deretan orang lain di belakang. Sang pria penjaga gerbang utama bagian kanan menengok ke belakang pelan, matanya menuju sang istri yang rambutnya basah karena hujan deras, mata hijau daunnya sangat berair, baju putihnya kotor karena cipratan tanah basah, kakinya sudah lemas menunggu sama seperti yang lain. Tatapannya seakan penuh cinta di tiap pasang mata masing-masing.

Jejeran hutan di depan perlahan menggelap, cahaya semakin memudar. Waktu yang berjalan kini terasa sangat cepat hingga harapan mereka telah lenyap.

Beberapa pasang kaki yang kebasahan terguyur hujan masih setianya menunggu kedatangan teman-teman mereka, senjata tombak mereka masih setianya menempel di genggaman.

Sedangkan beberapa pasang kaki yang berteduh di belakang hanya bisa menatap lirih gerbang dan semua orang yang kehujanan.

Tiba-tiba saja suara cipratan langkah kaki yang berlari terdengar dari telinga sang penjaga, tombak yang berujung tajam berdiri tegak berjaga-jaga.

Tubuh semua orang yang tadinya lemas kini menjadi tegang melihat sang penjaga gerbang sangat was-was saat ini.

Pria pembawa tombak lainnya yang berdiri menyebar kini memegang tombak dengan kedua tangan mereka yang bergetaran hebat di setiap tangan. Semuanya telah siap dengan kedatangnya.

"Hey!!!" teriakan pelan terdengar dari dalam hutan, sang penjaga kini menurunkan tombak mereka mendengar suara pria berteriak dari dalam hutan.

"Cepat!!!" teriakan besar tadi semakin lama semakin mendekat pada gerbang utama, sang penjaga masih diam di tempat masing-masing. Mereka berdua tidak akan mengambil risiko yang akan berakibat fatal bila meninggalkan tempat mereka saat itu.

Keputusasaan kini berubah kembali menjadi harapan yang tadinya sudah pudar ketika melihat sesosok pria berlari menuju benteng mereka.

Tombaknya yang sebelumnya panjang kini telah patah menyisakan satu potongan kecil dengan ujung tombak terlihat berlumuran darah kental berwarna hitam pekat.

Pria yang menggunakan baju serba hitam itu sangat tergesa-gesa menuju gerbang yang tinggal beberapa meter lagi, langkahnya cepat dan teliti menerobos lebatnya hutan di sekitar mereka tanpa harus terjerat akar-akar liar yang menguasai hutan.

Wajahnya yang sudah di tumbuhi bulu-bulu kasar tipis di sekitar rahangnya, basah karena air hujan yang mulai deras. Ekspresi tegang yang menggebu dalam jantung tak terelakkan.

Di belakang sang pria terdapat lima orang pengikutnya berjalan dengan ketelitian yang tidak kalah dibandingkan sang pemimpin.

Dua pria seumuran di belakangnya berjalan tergesa-gesa menuju gerbang, sang pria berambut abu-abu terlihat sedang menggotong rekan di sebelahnya yang sangat lemah hingga sulit berjalan.

Tangan kekarnya merangkul rekannya agar dia lebih mudah menyeret raganya hingga ke dalam benteng. Dua pria di belakang selanjutnya tak kalah cepat berlari menuju gerbang utama, hanya saja pria berkulit gelap itu dengan susah payahnya menggendong pria pucat yang sudah melemah di punggunya, terus saja ia menyeretnya tak memperdulikan apapun walau kaki rekannya menggantung terseret-seret sepanjang jalan dan menghantam akar pohon yang timbul.

Pria terakhir berjalan mundur tergesa-gesa mengawasi sekitar hutan, tombaknya menegang dan ia genggam sekuat tenaga menjaga para rekan rekan di belakangnya agar selamat sampai tujuan.

"Tutup gerbangnya!!" suruh sang pria terakhir setelah masuk di dalam benteng. Kedua pria penjaga gerbang dengan tergesa-gesanya menutup gerbang yang sangat berat tersebut.

Bunyi lengkingan besi mengilukan setiap gendang telinga yang mendengar sampai dentuman keras menutup gerbang rapat.

"Apa yang terjadi?!" istri penjaga gerbang utama yang sudah berjaga-jaga bertanya khawatir, wajahnya sangat panik dan emosional melihat kondisi rekan mereka sangat lemah.

"Kami menemukan mereka berdua tergeletak lemah di bawah jembatan Napoleon," balas pemimpin mereka sangat cemas dengan seluruh tubuh basahnya yang terguyur lebat hujan senja ini.

"Di mana Hector?" tanya cemas wanita berambut pirang tua menatap harap pada sang pemimpin. Gelengan pelan dari pria tersebut seakan menjawab pertanyaan, dan itu sangat menyakitkan.

"Masukan mereka ke dalam ruang isolasi, pastikan hanya semua Orvos yang ada di dalam, siapkan beberapa Tent di luar pintu untuk berjaga jaga. Jazlyn ikut aku," titah wanita pirang itu menghadap sang pemimpin, dan ia bergegas.

"Tutup pintunya," tukas sang pemimpin terhadap penjaga pintu.

Dentuman keras terdengar kembali saat pintu yang terbuat dari besi tebal tertutup, membuat gemaan panjang menyusuri lorong-lorong gelap di depan.

Bunyi langkah cepat menuju ruang isolasi membuat suasana menjadi merindingkan bulu kuduk setiap orang, ini kali pertama mereka menghadapi kondisi seperti ini sejak silam satu tahun yang lalu.

Dinginnya hujan membuat dinding besi di sekitar mereka menguapkan hawa beku yang menyerap kulit. Suara samar-samar hujan terdengar dari lorong gelap mencekam seakan menghantui.

"Cadance, menunggu semua perintah dari anda," sambut seorang Orvos di dalam ruang isolasi.

"Periksa denyut nadi masing-masing dari mereka, pastikan semua luka bersih. Jazlyn, siapkan lima buah Artemorum. Ikat tangan dan kaki mereka sekuat mungkin, mereka mungkin saja bisa memberontak kuat. Berikan aku status Will," tutur wanita berambut pirang ini memerintah semuanya, tiap perintah langsung dikerjakan secara cepat dan teliti oleh setiap individu yang bertugas.

Selagi ia memerintah tubuhnya bergerak ke meja, dengan tenang ia memakai sarung tangan berwarna putih di kedua tangan nya, ia mengambil sebuah masker putih dan menyimpul tali di belakang kepala.

"60%," balas seorang Orvos berkulit hitam manis bernama Will.

"Lima Artemorum," sambut Jazlyn di belakang wanita pemimpin Orvos.

Dengan sigap Cadance mengambil satu botol serum cair berwarna ungu tua mengingat tingkat virus sudah mencapai 60%, satu buah suntikan telah siap di tangan kanannya. Dengan pelan ia memasukkan jarum suntikan ke dalam botol serum dan menarik suntikan, membuat cairan terhisap ke dalamnya.

Ia gerakkan telunjuknya untuk mengetek berkali-kali jarum panjang itu, menghilangkan sisa-sisa cairan di sisi jarum.

"Pegang dia," gumam Cadance datar menatap pria yang sudah terbaring terpejam, tangan dan kakinya terikat tali tambang kuat menahan tubuh rata dengan kasur.

Jarumnya dengan perlahan menembus kulit tepat menuju nadi di pergelangan tangan. Setelah menyuntikkan ke pria yang satu, Cadance lanjut ke pria satunya. Ia mencari nadi dengan teliti, saat terasa gumpalan nadi di pergelangan pria kekar tersebut Cadance menyuntikannya.

"Berikan aku status," ujar Cadance penuh ketenangan seseorang yang berhadapan dengan maut setiap harinya.

"80%!" Will memekik menjadi tegang melihat layar monitor yang menunjukkan grafik batang menampilkan gambar yang penurunan batangnya perlahan bersama alat detak jantung yang menunjukkan detakan yang kritis.

"Apa?!" teriak Cadance tak percaya.

"Artemorum biasanya cepat bereaksi dan menetralkal virus," sambungnya kembali tak percaya.

"Dia semakin melemah! Daya kebalnya menurun, Artemorum tidak kuat melawan virus yang menjalar luas. Virusnya dengan cepat menyebar ke jantung dan otaknya, dan kita terlalu lambat menanganinya," jelas Will tegang, nadanya bergetar sangat ketakutan, mereka membawa calon mayat hidup di dalam benteng, dan mereka tak pernah membiarkan satu pun orang yang terjangkit virus masuk ke The Fort sebelumnya.

"Tidak mungkin. Jazlyn! Artemorum lagi." Cadance kini semakin panik, ia harus pintar-pintar mengambil keputusan, jika salah sedikit saja konsekuensi ialah kehilangan nyawa kedua orang temannya.

Ditambah lagi bila virusnya sudah menyerap ke dalam otak, pola berfikir mereka akan berubah drastis dan cenderung memberontak kesakitan. Reaksi tubuh berupa urat-urat akan membengkak menjadi warna hitam dan timbul di sekujur tubuh, dan saat itulah mimpi buruk bagi Cadance dan semua penghuni di benteng ini.

Mendadak samar-samar suara ricuh terdengar dari luar ruangan isolasi, suaranya lebih lama semakin jelas menjadi suara teriakan para laki-laki dan tangisan perempuan.

Semua orang di dalam ruangan isolasi menjadi bingung, panik dan membisu mendengar ricuhnya di luar. Suara teriakan 'Tombak!! Tombak!!' Terdengar jelas walau pelan. Tent di depan pintu masih berjaga-jaga sambil memegang erat tombak tajam mereka.

"Apa yang terjadi di luar sana?!" Suara Cadance naik satu oktaf panik, dahinya mengerut, nafasnya laju, detakan jantungnya cepat, adrenalinya menciut.

Jazlyn membuka pintunya kecil dan mendengar lebih jelas berkat suara gema yang ditimbulkan dinding besi.

"Mereka diserang." Jazlyn menarik nafas panjang sangat panik, raut wajah mudanya menjadi kepanikan yang luar biasa.

"Frank?" desis terpukul Cadance memikirkan sang suami yang menjaga gerbang utama, air matanya menggenang di dalam tampungan kelopak mata.

"Woow!! Cadance!" Will berteriak keras membuat semua Orvos di dalam tersontak kaget. Mata Cadance membulat besar, teriakan Jazyln semakin memperburuk keadaan.

Mimpi buruk Cadance di depan matanya sekarang, hal yang ditakutinya seakan terwujud. Rekannya memberontak dan berteriak meronta di ranjang, mata mereka menjadi merah darah, urat nadi mereka membengkak dan timbul menjalar di kulit dan di wajah mereka.

Bau anyir tercium menusuk hidung Cadance di balik maskernya. Rontaan tubuh pria di atas ranjang mengendorkan tali tambang yang kuat itu, tak merasakan kesakitan lepuh setiap gesekan antara kulit dengan tali.

Setiap orang di dalam menjadi ketakutan dan berlari menuju pintu keluar bersama Cadance.

"Bagaimana mereka bisa bergerak?!" Cadance kebingungan dan panik, tubuhnya bergetar tak tahu harus berbuat apa.

"Aku- aku tidak tahu." Will menjawab tergagap-gagap. Tubuhnya meringkuk terlalu lemas merasakan ketakutan yang berkelipatan ini.

"Mereka seharusnya lumpuh." Cadance berteriak histeris, hanya satu yang ada di kepalanya saat ini, kebingungan. Dia melepaskan masker yang ada di mulutnya dikemudian bau anyir darah busuk lebih menyengat hidungnya.

Kedua pria yang diselamatkan itu terlambat ditangani dan akhirnya virus menjadikan mereka mayat hidup, mereka berlari mencari tiap bau darah segar yang mereka hirup seakan kehausan mereka sangat di luar batas normal. Darah dari mulut mereka menetes bagaikan ludah dan itu sangat mengganggu pemandangan.

"Lari!!" suruh Cadance membuka pintu. Para Tent yang menjaga di luar juga terserang rasa kepanikan melihat mayat hidup di depan mereka lolos dari ikatan kuat dari ranjang masing-masing.

Mulut mereka mengeluarkan darah hitam bersamaan dengan bau anyir tadi. Jalan mereka terhuyung-huyung, virus di otak mereka mengendalikan setiap sendi dan tulang walau secara kedokteran serum yang mereka berikan itu seharusnya menyebabkan kelumpuhan.

Cadance hanya menatap panik pasiennya ditambah keringat bercucuran akan kecemasan yang menyakitkan, mengingat apa yang terjadi di luar dan apa yang ada di dalam.

Kini semua seisi benteng menghadapi malam mencekam. Teriakan minta tolong menggema di setiap lorong, teriakan para perempuan lain seakan perusak telinga. Peluh keringat akhirnya menyucur deras, korban berjatuhan dan mimpi buruk itu akan terus teringat semua orang.

Molk di dalam ruangan mendadak berlari, menggigit-gigit angin dan merasakan udara dingin di sekitar. Tangannya terulur dan menggapai daun pintu yang masih terbuka.

"Tutup pintunya lebih rapat!!" jerit Cadance. Dengan dorongan sekeras tenaga para Tent dapat membuat mayat hidup itu terpental keras ke belakang setelah menabrak pintu besi. Terdengar bunyi retakan yang diduga adalah tulang mereka yang patah, membuat wajah seseorang yang dulunya pria tampan dengan wajah kotak kini menjadi tidak beraturan dan membuat semua orang di luar meringis jijik.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang!?" tanya panik seorang Tent menatap Cadance yang panik.

"Kau harus membunuhnya sebelum mereka keluar," saran Cadance tegang dan ketakutan.

"Kau tidak bisa membunuhnya!!! Dia suamiku!!" teriak seorang wanita yang tiba-tiba saja datang menangis histeris.

Dirinya terpukul melihat suaminya telah menjadi mayat hidup di dalam ruangan itu, menghambur setiap benda yang tenang pada tempatnya, menghancurkan setiap serum-serum.

"Dia bukan dirinya lagi! Dia mayat hidup! Kau tidak melihatnya?" pekik Cadance tak kalah histeris dan berteriak melawan wanita seumurannya.

Wanita itu kemudian mendatanginya dengan amarah yang bergejolak, menarik kerah baju Cadance dengan cengkraman kuat. Cadance tersontak kaget dan takut melihat tatapan mengerikan dan air mata pedih di mata wanita itu.

"Dia berkorban ke luar demi kalian! Dan ini yang kalian berikan untuk membalasnya?" Wajahnya keras karena marah. "Aku mohon Cadance, selamatkan dia ... tolong selamatkan dia, SELAMATKAN DIA !!" wanita itu memohon lemah dihadapan Cadance yang menahan kerasnya tarikan di kerahnya.

Setiap pasang mata tidak berani memisahkan perkelahian dua wanita berambut pirang ditambah kecemasan dengan mayat hidup di dalam ruang isolasi. Cadance benar-benar harus memilih keputusan yang bijak, namun mengingat suaminya di luar terus menggentayangi dan merusak fikirannya.

Apa yang terjadi di luar sana? Bagaimana keadaan suaminya? Apakah ada harapan?

Cadence masih terdiam berfikir secara matang-matang, suara riuh dari dalam ruangan terus menggentayanginya, teriakan besar di luar sangatlah mengganggu, dan Cadance tak mampu berfikir lurus.

"Semuanya pergi ke dalam bunker. Will bersamaku," suruh Cadance tegas menyamarkan kepanikan. Dengan setiap perintah dari Cadance mereka mengikutinya.

Seorang Tent dengan kuatnya menggeser pintu besi bunker dengan seksama. Hingga ruangan gelap gulita terlihat dan bau besi yang khas menyapa .

Jazlyn dan beberapa rekannya berlari ke dalam bunker, dan Tent menggeser pintu menutup melindungi mereka dari kejamnya para mayat hidup.

"Apa yang kau lakukan?" bisik Will menyelidik. Tindakan Cadance begitu dipertanyakan, untuk apa?

Ia melirik wanita yang masih terisak di belakangnya, menyelidiki ketidaktahuannya.

"Aku hanya ingin mencoba sesuatu," bisik Cadance hati-hati.

"Mencoba sesuatu? Di saat genting seperti ini kau masih ingin bermain-main dengan mencoba?" pekik Will dalam keheningan yang mengikat.

"Hanya ini satu-satunya kesempatan. Kita punya Molk di dalam, dan menjadikannya kelinci percobaan tidak ada salahnya," jelas Cadance.

"Lalu bagaimana bila gagal? Apakah itu sebanding?" tanya Will dengan nada intimidasi dan ketidaksetujuannya.

"Will, walaupun itu gagal mereka akan tetap menjadi Molk," bisik Cadance waspada. "Setidaknya kita mencoba," tambah Cadance.

Will terdiam menimbangi, ada sesuatu yang ganjil dalam benaknya. Insting yang mengatakan akan ada kesalahan, dan Cadance akan menyesalinya seumur hidup.

Cadance yang tak sabaran meninggalkan Will yang belum sama sekali menjawab. Ia ingin semuanya terlaksana dengan cepat dan tepat, sebelum apapun yang di luar sana masuk ke ruangan.

"Bawa mereka ke bunker ini." Kata Cadance, menunjuk satu ruangan paling ujung.

Dengan segala tanda tanya yang terpendam, kedua Tent menuruti saja perintah Cadance. Tent di luar menancapkan tombaknya di perut, punggung, dan kaki di kedua mayat hidup, mendorongnya paksa dan menggiringnya masuk ke dalam bunker paling pojok.

Will tahu Cadance membelot, namun bawahan akan terus mengikuti pemimpinnya sejelek dan seburuk apapun.

"Bawa masuk!" jerit Tent yang mulai menyeret kedua Molk tuk masuk ke bunker gelap tanpa isi.

"Tidak," isakan tangis wanita yang melihat kengerian itu terus menggema, membisingkan suasana hening yang menegangkan di antara kejadian-kejadian di sekitar.

"Will, ambilkan Ovcerentraserum," suruh Cadance terhadap Will. Kini Will semakin yakin bila Cadance akan melakukan hal itu. Will masuk ke ruangan yang berhamburan dengan bau anyir yang masih merayap pada udara dan dinding sekitar, menuju meja dan membuka laci tuk mengambil serum tersebut.

Serum itu berada di dalam botol kaca yang lebih besar, warna hijau pekat cairannya terguncang di dalam botol. Will memberikan serumnya pada Cadance, dan ia membuka tutupnya kecil-kecil agar isinya tak keluar.

"Buka pintunya dalam aba-aba ke tiga ku," katanya pada Tent yang menjaga pintu.

"1, 2..." dalam hitungan ke dua Tent yang menahan pintu bunker menggeser sedikit saja pintunya hingga ada celah di pinggir.

"3!" pekik Cadance melempar Ovcerentraserum ke dalam bunker. Tiba-tiba kepulan asap berwarna hijau pekat menyelimuti seisi bunker dalam sekejap. Mayat hidup yang tadi memberontak kini lebih tenang dan pintu kembali digeser menutup agar asap tak terhirup mereka yang di luar.

"Apa berhasil?" desis tanya seorang Tent terlalu penasaran membayangkan aksi Cadance untuk mengembalikan kedua pria penting itu.

Hanya Cadance lah yang tahu apa yang sedang ia lakukan, sebagai pimpinan Orvos. Ia terlalu fokus pada suara desis asap di dalam bunker, entah bagaimana dengan pengimajinasiannya.

"Geser sedikit," gumam Cadance menatap Tent di pintu bunker. Ia menggeser pelan dan menyisakan 3 cm terbuka di ujungnya. Cadance dapat melihat kepulan asap hijau tua masih menyelimuti ruangan gelap itu.

Mendadak dengan mengejutkan tangan mayat penuh darah hitam itu memegang pinggiran pintu yang kosong membuat semua orang tersontak kaget.

"Tutup!! Tutup!!" teriak Cadance terkejut.

Deruan nafas kasar dan terenga-engah keluar dari tiap bibir. Bahkan penampakan tangan Molk saja dapat mejatuhkan jantung ke perut dan berdenyut keras.

"Ini tidak berhasil, mereka tidak berubah menjadi normal," bisik Will yang mendatangi sisi kanan Cadance.

"Mungkin, karena serum tadi bekerja pada kadar 60% ke atas, Will, Yhuemotoserum," bisik Cadance. Will hanya menatap Cadance tak percaya, Yhuemotoserum sangat berbahaya digunakan hingga sedikit saja asap yang tercium dapat melumpuhkan saraf-saraf bahkan kematian yang perlahan.

"Kau gila, itu bisa membunuhmu."

"Itu sudah meningkat 80% dan hanya serum ini yang mungkin bisa," desis Cadance.

Will dengan keringat bercucuran berlari lagi ke dalam ruang isolasi mengambil satu buah Yhuemotoserum yang memang sengaja di buat sebanyak itu. Karena Cadance yakin penemuan serumnya itu sangat berbahaya dan mematikan.

"Dalam aba-abaku kembali." Cadance yakin kali ini dia dapat menenangkan mereka di dalam, dan bahkan memecahkan pertanyaan. Cairan berwarna kuning muda yang disebut Yhuemotoserum telah dipegang Cadance.

"1, 2, 3!" Cadance melempar ke dalam dan suara pecahan kaca serum membuat Cadance sedikit takut akan asap kuning pekat yang mengepul .

Hingga pintunya tertutup kembali, menit demi menit ia jelajahi seakan penuh harap. Kini semuanya diam, hanya tangisan wanita lagi di belakang mengharap kesembuhan suaminya.

Errrrrrrrrrraaaaaarrrrr ......

Suara yang menyeramkan terdengar dari dalam bunker. Mata Cadance membelalak besar, jantungnya berdebar kencang takut. Dia tidak pernah mendengar raungan yang terdengar seperti makhluk asing selama ia hidup, bulu kuduknya berdiri mendengar raungan berkali-kali itu.

"Tidak mungkin, mereka masih hidup?" Cadance menggelengkan kepalanya.

Semua pasang mata menatapnya menunggu pilihan lain yang terbaik. Namun cepat atau lambat mereka akan mati, teriakan dari luar masih sangat bising. Mungkin ini adalah akhir hidup mereka semua, hanya menunggu waktu dan momen yang tepat.

"Itu sudah jelas gagal, tak ada pengobatnya," ucap Will rendah dan sedih, ia tahu apa yang dirasakan wanita di depannya. Bingung, pusing, takut, panik, dan sakit, perpaduan rasa yang bisa membuat harapan sirna.

"Will, Dserum," gumam Cadance.

"Apa?" Will membulatkan matanya. "Tidak! Itu hanya satu-satunya yang kita miliki. Kau tidak tahu apa yang akan terjadi ketika tiga serum itu bertemu. Kau telah membuatnya selama 1 tahun lamanya mengorbankan puluhan orang mencari bahan-bahannya. Kau tidak akan membuatnya kembali dan mengorbankan orang lagi. Aku tidak akan mengambilnya!" pekik Will menolak.

"Dserum Will! Atau kita akan mati karena geraman Molk tersebut memanggil koloni lainnya," desis Cadance.

"Tidak!!" tolak Will mati-matian.

"Ini perintah, nyawa semua orang di sini ada di tanganmu," balas Cadance datar.

Setiap orang menoleh pada Will tak tahu apa-apa, namun yakin dengan perkataan Cadance tentang nyawa mereka di tangannya.

Will membalas tatapan mereka bingung dan berbicara di dalam hati, mungkin setiap pemimpin memiliki alasan yang baik jauh dari perkiraan kita.

Mereka tahu apa yang terbaik untuk orang lain, bukan hanya dirinya sendiri. Walau bahaya yang ditimbulkan tidak sepadan dengan hasil, tapi kembali lagi pemimpin adalah orang yang lebih berpengalaman dan bijak dari orang manapun dan mereka telah melewati banyak pelajaran.
Will melangkahkan kakinya pasrah pada ruangan isolasi, ia mencari kunci yang mengurung Dserum selama setahun ini.

Pundak Cadance tersentuh oleh Will yang pasrah, tangannya menggenggam botol besar yang terbuat dari alumunium tebal, Dserum. Cadance mangambil serum itu, dan menatap wanita di belakangnya, kemudian menatap sang penjaga pintu memberi kode.

"Setelah tertutup nanti, kunci dan jangan pernah dibuka oleh siapapun lagi, hingga tak ada satupun orang yang tahu apa yang ada di dalam, selamanya," gumam Cadance serius.

"Maafkan aku Matilda," toleh Cadance melihat wanita yang terduduk di belakang.

"Maafkan aku semuanya," sambungnya lagi seakan itu adalah kata terakhir darinya.

"Semoga ini berhasil," gumam Cadance pilu.

Pintu terbuka kecil 5 cm sesuai dengan besarnya Dserum yang di genggam Cadance. Ia melepas kaitan atasnya dan menggelundungkan ke dalam bunker hingga asap putih keluar dari lubang alumunium perlahan menyelimuti seisi ruangan di dalam.

Sekilas Cadance tak dapat melihat apa-apa di dalam, terhalang kepulan asap berwarna hijau pekat, kuning, dan putih yang bersatu menjadi satu kesatuan yang mematikan.

Dan mereka menutup pintunya.

*****

-Terima kasih telah melirik sekilas cerita genre Sci-Fiction, Adventure, dan laga ini, bila berkesan tambahkan ke perpustakaan/reading list.

-Kritik dan Saran di tunggu di setiap part, dan mohon maklumi bila bertemu typo dikarenakan penulis belum sempat mengedit ratusan kata yang salah tersebut muehehe.

-Cadance on multimedia and a little trailer its okay right?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro