Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 9 - Tuduhan

Tangannya lihai melilit rambut coklat tua, memutar semua di jari telunjuk dan menggulung menjadi satu gulungan besar di atas kepala menyisakan rambut di sekitar pipi yang lebih pendek dari yang lain. Lengan baju coklat ia gulung seperti biasa sampai siku dan melakukan pemanasan terlebih dahulu.

"Kau yakin?" Azzura memastikan apa yang Aleena ingin lakukan.

"Wanita juga harus kuat, bukan diisi oleh lemak saja," balasnya sinis dibalas decak kesal Azzura yang merasa tersinggung. Azzura masih mengamati Aleena yang sedari tadi masih melakukan pemanasan dengan merenggangkan pinggang, lengan, kaki, dan leher.

"Kau mau mencobanya?" Aleena membujuk.

"Kau duluan."

"Baiklah aku akan memulai dengan hal yang paling sederhana, push up," ia menumpukan telapak tangan di lantai besi yang dingin lalu mengangkat badan kecilnya sendiri dengan kuat, matanya menatap fokus ke lantai dengan menghitung aba-aba untuk memulai.

Tangannya turun dengan mudah dan naik dengan susah payah mengangkat berat badannya sendiri seraya ia mendorong tubuh berkali-kali, ia sambil menghitung.

"Satu. Dua. Tiga. Empaaat. Liiiiiiimaaa-" hingga pada hitungan ke lima ia tak sanggup dan membanting tubuhnya ke lantai layaknya cicak yang lepas pegangan.

"Kukira akan sampai 20," Azzura menyindir.

"Aku menargetkan 10 kali," balas Aleena masih mengatur nafasnya yang terengah-engah dan tak mau menggubris nada mengejek Azzura yang terkekeh geli mendengar balasannya.

"Ck, kau bahkan tak memiliki otot. Membuat otot tak semudah dan secepat yang kau kira, membutuhkan waktu yang lama dan sakit yang luar biasa," jelasnya.

"Mudah bagimu hanya dengan melihat tapi tak pernah mencoba," desis Aleena tak mau kalah mengejek.

Aleena duduk di lantai dan menatap tajam Azzura yang duduk di atas ranjang miliknya. "Tunjukkan kemampuanmu nyonya berotot," balas Aleena geram menekan kata berotot untuk menyerang Azzura.

Semua wanita di dalam sana yang tengah menonton kelakuan Aleena yang memang kurang kerjaan tertawa bersama-sama. Terkadang perdebatan Azzura dan Aleena adalah sebuah lelucon klasik bagi wanita-wanita dewasa lainnya, melihat anak muda yang notabene bersahabat itu berkelahi dan saling melempar tantangan satu sama lain cukup menghibur.

"Aku terima tantanganmu Sharlon." Azzura bangkit dari ranjang dan menuju tempat Aleena di bawah, bibir kanannya tertarik ke atas menyunggingkan senyuman sinis khas miliknya. Aleena bangkit masih menyimpan rasa sakit di tangan bagian atasnya setelah lima kali melakukan push up.

Azzura melakukan pemanasan dengan menarik tangan kanan dan kirinya secara bergantian di depan dadanya, lalu mengangkat ke udara, menariknya sekuat tenaga berulang-ulang kali.

Sorakan kecil-kecilan menyambut giliran Azzura. Mereka masih tertawa geli dan terhibur dengan adu push up seorang wanita.

"Come on Zura."
"Yeay."
"Azzura. Azzura. Azzura."
"Lakukan 20 kali."

Semua heboh, dan dukungan yang pilih kasih itu membuat Aleena berdecak kesal iri.

"Baiklah, apa hadiah yang kuterima bila aku lebih baik darimu?" Azzura berhenti sebelum memulai, posisinya sudah siap sediakala seperti Aleena yang tengkurap menahan tubuh.

"Ayam panggang milikku selama tiga hari?"

"Ck, itu bukan hadiah darimu melainkan kesempatanmu untuk membuangnya padaku, kau memang tak pernah menyukai ayam panggang buatan Ridcloss," gerutunya dibalas kekehan Aleena.

"Lakukan saja, tubuhmu bahkan lebih kecil dariku," ejeknya.

Azzura hanya melirik tajam Aleena yang tersenyum seorang diri menunggunya untuk memulai, hatinya mengumpat bila Azzura hanya besar mulut dan tak seberapa hebat dari dirinya.

Azzura mendengus dan menarik nafas panjang, ia mulai menurunkan tangan dan menaikannya berkali-kali, Aleena menghitung diam-diam namun hitungan keras sahut-menyahut di setiap penonton.

"1! 2! 3! 4! 5! 6! 7! 8! 9! 10! 11! 12!"

"Sial", umpat Aleena, matanya membelalak besar tak percaya, temannya bahkan melakukan push up lebih baik dari pada dirinya.

Tubuh Azzura naik dan turun dengan susah payah, lututnya menyentuh lantai dengan rambut coklat bergelombang yang menutupi wajah. Hitungannya masih berlanjut 16, 17, 18, 19, 20.

"No way!" umpatnya kembali ketika hitungannya berakhir di 20.

Kepala Aleena menggeleng tak percaya, tidak mungkin dia bisa lebih baik darinya. Bahkan dia tak pernah berolah raga di sini, apa dia memakai ilmu hitam atau menganut ajaran setan?

Azzura bangkit menyapu kedua tangannya berulang kali lalu mengacak pinggangnya menghadap Aleena yang sudah terbujur kaku seperti menunggu kalimat yang tertahan di ujung lidah. Tawa renyah dan sorakan menyambut keberhasilan Azzura dan juga menyambut mimik kusut Aleena.

"Tidak mungkin," ucap Aleena datar masih mengamati Azzura yang memburu oksigen rakus.

Azzura terkekeh pelan. "Jaga bibir manismu itu Sharlon." Nafasnya memburu.

"Bagaimana bisa?"

"Rahasia perusahaan," putus Azzura sambil tersenyum dengan seringai bangga. Ia berjalan perlahan menuju ambang pintu bunker menuju kamar mandi lalu berhenti menatap Aleena kejam. "Aku tidak tertarik dengan ayam panggangmu, akan membuatku berlemak," jelasnya tersenyum mengejek Aleena.

Mata Aleena mengikuti ke mana Azzura pergi dengan perasaan yang menyedihkan di mana ia dipermalukan oleh dirinya sendiri. Ingin rasanya dia menghapus kalimat barusan dan memilih diam, mungkin akan terasa baik.

Hatinya menggerutu akan apa yang dia lihat, bagaimana Zura bisa melakukannya dan dia tidak?

Dengan niat dan kemauan yang keras ia melakukan push up pada waktu senggang, walau tangannya masih merasa sakit dan pegal yang mendenyutkan lengan atas.

Ia kembali menaik turunkan tubuhnya susah payah, terkadang ia harus tergeletak menahan sakitnya tangan bagian atas yang keram karena tak pernah melakukan olahraga berat ini, lalu melanjutkannya kembali.

Keringatnya bercucuran dan menetes deras setelah selang berjam-jam, lantai besinya kini sedikit basah karena tetesan-tetesan keringat yang keluar dari pipinya.

Bosan melakukan push up ia melakukan sit up, di samping itu ia ingin menjadikan tubuhnya lebih kuat dan mengisi kekosongan waktunya di dalam bunker.

Tanpa Aleena sadari Azzura mengintipnya dari balik pintu tersenyum bangga. Walau tidak membentuk otot dengan cepat, setidaknya olahraga yang Aleena kerjakan mengisi tenaga dan menghidupkan kembali otot-otot yang lama tak bekerja. Otomatis ia menjadi bugar dan sehat.[]

Bunker terlihat penuh, sebagian pergi ke luar dan membaur. Aleena di kasurnya memasang sepatu dan mengikat talinya. Azzura datang, membawa mimik penasaran dari ambang pintu.

"Kau mau ke mana?"

"Keluar, kau harus ikut keluar Zura?" Aleena masih mengikat tali terakhir.

Azzura menggeleng. "Aku lebih baik di dalam."

"Kau tak pernah merasa bosan di dalam sini?" tanya Aleena kembali memberikan tatapan 'jijik' mengingat Afdeling satu yang membosankan.

"Lagi pula cepat atau lambat mereka akan menyuruh kita masuk dan masuk lagi, apa bedanya ketika kita hanya berada di dalam sini setiap saat?" Nadanya lesu.

Aleena menarik nafas panjang tanpa tahu harus menjawab apa lagi, terlalu banyak kalimat keputusasaan yang ia dengar setiap kali ia mengajak seseorang dari dalam Afdeling satu keluar. Aleena beranjak pergi namun terhenti dengan satu pertanyaan terakhir dari Azzura. "Tubuhmu tak apa?"

"Sangat sehat!" Aleena tersenyum lebar antusias. Ia beranjak pergi dan menginjakkan kakinya untuk pertama kalinya dalam dua hari ia tak keluar karena hukuman tak masuk akal itu.

Sangat tepat waktu, sore hari yang seperti biasa ia luangkan untuk pergi ke atas atap menemui kawan setianya sang pohon rindang dan indahnya langit terang.

Baginya tak mudah melupakan kejadian tempo lalu, ia pasti masih mengingat hal itu. Baru 7 anak tangga ia naiki seseorang memanggil dari bawah.

"Hey!" panggil seseorang dengan aksen kental.

"Hey?" balas Aleena tersenyum ragu melihat ke bawah di mana Yura dengan sendirinya ikut naik ke tangga.

"Mau ke atas?" tanya Yura tersenyum hangat, masih naik semakin mendekat dengan Aleena yang kemudian membalasnya dengan anggukan.

"Boleh kutemani kau?" pintanya memohon dan hangat.

"Dengan senang hati," balas Aleena senang kemudian naik lagi, tangga besi yang hanya selebar 1 meter di mana tak ada lampu neon yang menerangi, hanya cahaya sore yang menyinari mereka.

Jarak mereka berdua hanya dibatasi 4 buah anak tangga, kepala Yura sangat dekat dengan kaki Aleena, ia benar-benar canggung setiap Yura terlalu dekat dengan dirinya di tengah-tengah dentuman langkah kaki mereka yang silih berganti.

"Aku tak pernah melihatmu selama tiga hari ini, dari mana saja?" tanyanya memulai.

Aleena berfikir sebentar di ambang bawah sadar dan alam nyatanya hingga membuat pijakan kakinya terlepas dan membuatnya hampir terjatuh. "Aah."

Dengan cekatan Yura menangkap dari bawah memegang paha di balik celana yang press. "Wow, kau baik-baik saja?" Yura memastikan dari bawah masih memegang pangkal paha kanan Aleena. Susahnya ia menarik nafas dalam hitungan detik.

"Ya- kaki- aku hanya sedikit lemas," balas Aleena tergagap canggung masih merasa remasan di paha kanannya, nafasnya tertahan lama.

Benar saja kakinya lemas bahkan semua tubuhnya karena setelah berolahraga yang ia paksa beberapa jam yang lalu, bahkan tangannya bergetar karena lengan atasnya benar-benar sakit setiap sedikit saja ia gerakkan.

"Kau bisa melakukannya? Apa kau mau aku membantumu?" tanya Yura memastikan dari bawah Aleena.

Membantuku? Membantu seperti apa, menggendong?" batin Aleena cepat lalu menggeleng menenggelamkan fikirannya sekaligus menolak tawaran Yura dan kembali naik ke atas dengan perasaan letih.

Mereka sampai ke atas, nafas Aleena terengah-engah tak seperti biasanya mengingat sudah tiga hari dia tak naik ke sana.  Manik matanya mengawasi hutan mencari Molk yang ia bunuh tanpa ragu sedikitpun untuk melihatnya.

"Mereka membakarnya," sambar Yura dari samping Aleena menatap arah bawah hutan, bahkan pernyataannya lebih dulu sebelum Aleena bertanya dalam hatinya sendiri ke mana bangkai Molk hari itu.

"Membakarnya?" kening Aleena mengerut tak mengerti jalan cerita Yura.

"Malam itu juga mereka meluncurkan panah api ke tubuh makhluk itu untuk menutupi jejaknya, mereka bilang Molk dapat mencium bangkai kaumnya sendiri dalam radius 1 kilometer." Yura menatap tanah jauh di bawahnya.

"Bagaimana mereka bisa tahu itu?"

"Mereka Upper, mereka tahu semuanya," singkat Yura.

Yura berbisik waspada. "Aku melihat para Tent berjaga di setiap sisi benteng tengah malam kemarin, aku dengar mereka mengawasi para Savagery yang keluar The Fort untuk memasang sensor sejauh 70 meter jauhnya mengelilingi The Fort dan untuk mengantisipasi lebih cepat jika ada Molk atau Ghroan yang datang. Jadi ketika Molk dan Ghroan datang namun masih jauh, mereka telah bersiap untuk melindungi benteng," jelas Yura khawatir.

Aleena menoleh cepat ke Yura. "Aku tidak mengerti, mengapa mereka tak melakukan prosedur ini sejak dulu?"

"Bukan aku menyalahkan, hanya saja sejak kejadianmu kemarin, terlalu banyak Molk yang datang dan mereka mulai menyusun rencana secara teliti. Para Upper memiliki data, data yang mereka ambil setiap kali Molk datang ke hutan dan rentang waktu. Sebagian yang datang karena tersesat, sebagian lagi karena mencium darah atau bangkai Molk lainnya -ditandai dengan kedatangan dalam jumlah banyak dan berpencar-. Dan setelah hari itu, Molk datang dengan banyak dan tidak berpencar."

"Aku!?" Pekik Aleena menahan.

"Bukan maksud ku-"

"Bagaimana bisa! Apa hanya aku orang pertama kali membunuh Molk di sini? Bagaimana dengan para Tent? Mereka juga membunuh Molk lain seperti ku. Ini pasti seperti konspirasi yang didasari dilakukan oleh bukan seorang Tent. Kenapa mereka melakukan hal itu setelah aku yang membunuh Molk?" Aleena tak setuju, emosinya meninggi karena tuntutan yang dilempar para Upper ke sembarang orang.

Aleena adalah tipe perempuan yang hatinya terlalu sensitiv untuk hal kecil yang membuat sakit hati, terbukti dengan nada yang bergetar dan mata hijaunya yang sudah mulai berkaca-kaca.

"Tidak." Desah Aleena. "Aku lebih tertarik pada sensorik baru itu." Ia berfikir.

"Ah, come on!" Bola matanya berputar. "Kau tahu, kita tidak tahu apa-apa tentang mereka dan penelitian mereka. Mungkin alarm dan peristiwamu hanya kebetulan di waktu yang sama." Tangannya bergerak menjelaskan.

"Ha! Yura, kau lucu. Tapi tidak bisa menghentikanku untuk mecari jawaban" Ia tergelak. "Aku akan pergi." Lalu ia berjalan kembali.

"Aleena! Ke mana kau?" Yura mengerjar Aleena yang sudah menuruni tangga.

"Aku ingin mengetahuinya sekarang juga." Ia mendangak, menatap antusias Yura karena sadar keikutsertaan pria itu begitu terlihat jelas.

Yura mendecak. "Kita harus bertemu para Upper," ucap Yura memberi usul.

Mereka berjalan bersamaan menuju menara Gloetik, rencana Aleena ialah menemui Dan secara terpaksa. Perlahan mereka mulai dekat dengan menara Gloetik, memperhatikan pintu utama. Selagi langkah mereka tak dapat terhenti, mereka masuk dengan santai seperti kucing rumahan.

Ia menatap pria berpakaian maroon gelap yang memakai kacamata baca. "Hey," panggilnya. "Apa kau tahu di mana Dan? Aku ingin bertemu dengannya."

"Ia tak dapat diganggu, lagi pula untuk apa kalian datang ke sini?" Upper itu tak suka kedatangan wanita di dalam.

"Ini penting. Aku harus bertemu dengannya." Aleena mendapat lirikan kecil semua di sana.

"Apa dia seperti barang yang harus dilindungi begitu? Aku punya hak untuk menemui seseorang bukan?" Aleena mulai tak sabaran, lalu Yura menyentuhnya sebagai pengingat.

"Ada apa ini?!" gubris seseorang dari belakang Aleena dan Yura.

"The Bunker's. Ada apa lagi datang kemari?" Alis pria itu menyatu, membentuk posisi ketidaksukaan situasi. Aleena menoleh, dan spontan tahu siapa pria tersebut, ia orang yang paling menyebalkan di bandingkan Upper lainnya.

Aleena sabar lagi. "Di mana Dan?"

"Taruh beberapa rasa hormatmu di sini! Dia itu sibuk, jika kau benar-benar ingin menemuinya mintalah janji untuk menemuinya, dia tidak sesantai yang kau pikirkan. Apa kau tahu jika para Upper tak memiliki waktu untuk basa-basi kalian? Jadi pergilah, dan kembali jika kau sudah melatih rasa hormatmu," telunjuknya mengarah ke wajah Aleena, membuatnya emosi.

"Siapa orang-orang ini yang berlagak sibuk!" Aleena memekik keras. "Kalian bahkan tidak melakukan sesuatu yang besar dan rumit, lalu kalian bilang kalian semacam pengendali dan atasan di dalam sini?!"

Yura menarik kain Aleena. "Aleena, sudah cukup," bisiknya mengingat Aleena diluar batas wajar.

"Tolong buatkan aku sesuatu yang besar dan rumit, aku akan menghormati kalian," nadanya ditekan dengan wajah yang menatap pria sebelumnya tajam. Itu sindiran yang selalu didengar banyak Upper tentang pekerjaan mereka yang tidak begitu 'rumit' seperti yang dibayangkan berbagai kubu. Pekerjaan mereka kadang diremehkan dan dianggap siapa pun Upper itu bukanlah bagian dari The Fort.

"Otakmu terlalu kecil untuk berkembang," desis pria itu.

"You Jerk!" Aleena memajukan tubuhnya bringas, mendorong dada pria itu. "Bisakah kau tidak membuatku marah sedetik saja!" Jerit Aleena, tak terima dengan perlakuan Aleena di depan umum ia maju dan mencengkram kerah baju Aleena dan membuatnya tersentak.

"Kau lebih payah dengan sikap aroganmu! Seharusnya aku biarkan kau mati!" Desisnya di sebelah telinga Aleena, lalu beberapa orang pun melerai perkelahian mereka.

"Lepaskan dia!" desis Yura menepis lengan pria itu dari kerah Aleena. Hingga semuanya menjadi sedikit kacau dan panas, para Upper berkumpul menjauhkan pria itu dqri wanita emosian seperti Aleena.

"Kalian berdua pergilah!" teriak lantang seorang Upper yang kebetulan melerai Aleena dengan pria itu. Mereka terusir bak anak anjing yang terasingkan. Aleena berbalik, berjalan cepat menjauhkan wajahnya dari tatapan mengasingkan dari banyak orang.

Yura khawatir, mengikuti jejak Aleena menuju keluar lebih jauh. "Kau tak apa?"

"Tidak! Kita harus bertemu dengan Dan aku tak peduli!" Pekik Aleena menggebu-gebu.

"Mereka tak akan mengizinkan kita ke sana lagi, bahkan aku," balas Yura menatap Aleena cemas dengan kondisinya.

"Lakukan apa yang aku perintahkan," desis Aleena tegas, Yura tak bergeming. "Mau ikut?" Ia mengajak Yura, menunggu respon pria itu. Tidak ada respon dan bagi Aleena itu sebuah "Ya".

Selang beberapa jam hingga kondisi di dalam normal Yura masuk dengan pelan dan berusaha membaur dengan sekitarnya seolah tak pernah terjadi apapun. Kepalanya menunduk sambil berpura-pura menggaruk kepala belakang sesuai dengan rencana simple Aleena untuk dapat menemui Dan. Ketika berhasil sampai pertengahan ruangan dan mendekati lift, sekarang giliran Aleena masuk.

Rambut coklatnya tergulung, langkahnya laju mendatangi Yura yang bersiap untuk masuk lift yang masih tertutup. Agar tak terlihat wajah yang gampang dikenal milik Aleena, ia menunduk sambil menggaruk keningnya di mana telapak tangannya menutupi wajah.

Selang dua meter dari lift tiba-tiba seorang pria berteriak.

"Kalian!!" Jeritnya menunjuk ke arah Aleena.

Dengan refleks Yura berlari dan masuk lebih dulu ke lift dan Aleena masih 2 meter di belakang berusaha mencapai lift. Para Upper berlarian termasuk pria yang beradu cengkaraman bersama Aleena sebelumnya. Aleena telah sampai di lift dan dengan tergesa-gesa Yura menekan tombol angka 3 berulang-ulang kali panik.

"Berhenti!!" teriak kembali Upper yang tadinya sempat adu tarik-menarik baju dengan Aleena dan mendapat segenggam baju di bagian lengan Aleena dan ia sudah berada di dalam lift bersama Yura.

"Arrgh," erang Aleena ketika tubuhnya tertarik keras karena Rowan yang brutal, ia hampir keluar dari lift hingga pintu lift tertutup akan menghimpit Aleena dan tangan Rowan yang belum lepas.

Dengan kuat Yura mengacak pinggang Aleena dan menariknya kuat bersamaan dengan Aleena yang bahkan kaki kanannya ia tahan di dinding lift agar melepas cengkraman pria itu.

"Uuuuggggghhhh!!" gerutu Aleena menahan sekuat tenaga tarikan pria yang sudah mulai kehabisan kesabaran.

Hingga pintu lift menyisakan ruang 5cm, dengan pasrah pria itu melepaskan cengkraman baju Aleena mengingat orang lain masih membutuhkan tangannya yang cekatan untuk bekerja.

Aleena terbanting ke belakang menubruk Yura dan terduduk di atas pangkuannya.

"Uh!"

"Aah."

"Kau tak apa?" Yura membantunya bangkit.

"Aku tak apa." Yura dengan cemas melihat pergelangan tangan Aleena menarik lengan bajunya memeriksa, dan mendapati cap merah di pergelangan tangan Aleena.

"Tak usah khawatir," sambung Aleena meyakinkan Yura yang menatap matanya cemas. "Tanda pertama aku mulai ke langkah di luar kendaliku."

Angka lift berhenti sesuai di angka 3, mereka bergegas dan berlari secepat mungkin membuka satu per satu pintu mencari ruangan Dan bagai anak kecil bermain, mengingat para Upper di bawah pasti murka dan berusaha menyusul mereka berdua.

Aleena membuka pintu ke tiga di bagian kiri. "Dan!!" Ia menjerit setelah mendapati orang yang sudah ia cari dengan susah payah.

"Hey, Apa- apa yang kau lakukan di sini?! Apa-"

"Jelaskan atas tuduhanmu itu!" Aleena tak ingin basa-basi.

"Tuduhan apa?" kening Dan mengerut tak mengerti.

"Penyebab kalian melakukan prosedur itu? mengeluarkan para Savagery untuk memasang sensor di sekeliling benteng hanya karena aku membunuh satu Molk?! Kau bisa bukan melakukan prosedurmu itu berpuluh puluh tahun silam sebelumnya, para Tent lainnya juga membunuh Molk yang sama! Tak ada bedanya denganku!"

"Jadi hanya ini? Kau dengan illegal datang kemari?" balas Dan.

"Apa ini seperti istana presiden begitu?" Aleena masih tidak suka dengan hal tersebut. "Jawab saja pertanyaanku!" Ia kembali ke topik semula.

"Molk sudah ada sejak puluhan tahun silam bahkan sebelum pendahulu kami menemukan benteng ini. Perlu kebijakan dan pengorbanan nyawa hanya untuk meneliti bagaimana jalannya kehidupan para Molk."

"Fakta yang menarik ketika para Savagery mati-matian memacing satu Molk saja agar datang ke benteng ini demi melakukan tes yang akan membuktikan keraguan semua orang, jika Molk dapat berkomunikasi dengan yang lain. Tanpa berfikir dua kali kami membunuh satu Molk itu dan menunggu, menunggu dan menunggu respon Molk lainnya, namun tak ada satu pun datang."

"Dan suatu hari tiba-tiba saja keraguan itu terjawab bila Molk dapat berkomunikasi satu sama lain, ketika itu di suatu senja satu Molk muncul tapi kali ini berbeda. Dia sempat mengeluarkan geraman dan lengkuhan dari suaranya sebelum ada orang yang sempat membunuhnya."

"Beberapa jam kemudian Booom! Jumlah Molk yang tak terbayangkan oleh kami datang menyerang di malam hari. Mereka tak hanya berjalan-pelan, melainkan berlari dan melompat lompat berusaha menggapai ujung dinding The Fort, ya Fast Molk pun juga datang."

"Dulu kami tak memiliki peralatan secanggih ini, peraturan aneh ini, orang-orang pintar dan satupun strategi, hingga revolusi terjadi. Kau mungkin mendengar seperti benteng lebih tinggi, ruangan mulai diberlakukan kunci otomatis, Gloetik mulai berjalan, banyak korban untuk mencari banyak sumber daya dan sebagainya. Itu salah satu kemajuan setelah terungkapnya Molk dapat berkomunikasi, untuk pencegahan dan penyelamatan. Aku hanya ingin berbagi cerita mengerikan bila satu Savagery rela mati di luar sana hanya mendapatkan bahan-bahan untuk merangkai sensor terbaru kami yang lebih efektif, dan tebak siapa yang membunuhnya?"

"Bukan Molk, secara teknis itu adalah kau.." Aleena terbujur kaku sama halnya dengan Yura di ambang pintu mendengar penjelasan panjang lebar, membuat aura mencekam datang seakan merangkul pundak Aleena.

"Kau tidak bisa menuduhku!" elak Aleena cepat tak menerima.

"Biar kutanyakan satu hal gadis muda, apa sebelum kau membunuh Molk itu kau mendengar raungan yang keluar darinya?" tanya Dan, langkahnya mengelilingi mejanya dan memainkan daun di vas meja.

Aleena diam karena ia memang mendengar geraman tersebut, Dan simpulkan sebagai jawaban 'iya'. "Itulah saat ia memanggil kawanan 'aku menemukan makanan', mereka meraung ketika mereka melihat orang lain selain Molk. Jika kau lari saat itu dan Molk tak melihatmu, mungkin dia tak akan menggeram. Itu yang kita pelajari Aleena Sharlon, untuk tidak menyepelekan hal terkecil walaupun bagimu sangat tidak jelas." Diktenya.

"Selang beberapa tahun silam terakhir sejak raungan Molk itu terdengar dan kau mengulangnya kembali. Aku tak menerima konsekuensi." Keluh Dan. "Aku penasaran, apa kau benar-benar tahu semua tentang kita dan punya solusi yang terbaik?" Keningnya mengerut mengintimidasi.

"Aaaarrghhh!"

Aleena menengok ke belakang cepat, seorang Tent dalam diamnya dari tadi sedanv mengunci pergerakan Yura dengan melipat tangan Yura di belakang tubuhnya hanya dengan satu genggaman tangan dan mendorong kepalanya ke bawah menundukkan kepala Yura dengan tangan lain, Yura tak dapat bergerak sama sekali di dalam ringisan kesakitannya.

"Yura!" panggil Aleena khawatir, lalu seorang Tent lain dengan perlakuan dan tenaga yang sama mengunci pergelangan tangan Aleena yang masih sangat sakit.

"Aaasssshhh!!" ia meringis lebih kesakitan daripada Yura.

"Berikan kontribusimu pada The Fort, jangan hanya tahu mengomel dan mendikte seseorang tanpa tahu alasan dibaliknya! Bawa mereka pergi!" Tuturnya dan kedua pria tersebut menyeret Aleena dan Yura hingga ke pintu keluar.

Dengan tampang tak perduli mereka mendorong Aleena dan Yura hingga tersungkur di tanah di mana langit telah gelap begitu cepat. Perlakuan yang benar-benar tidak terhormat sama sekali bagi Aleena.

Gejolak berbagai macam perasaan yang bercampur menjadi satu di hati Aleena seolah menenggelamkannya di dalam kepahitan hidup yang ia rasakan.

Satu hal kecil saja dapat membuat Aleena yang lemah lembut itu menangis apa lagi dengan kecamuk brutal di hatinya.

Bagaimana bisa hidupnya berubah drastis seperti itu? Aleena berfikir bila itu memang kesalahannya. Sesuatu mulai berubah akhir-akhir ini, baik faktor dari dalam maupun dari luar.

*****

-Terima kasih untuk setia membacanya, maaf agak lama upload. Kritik dan saran selalu di tunggu .

-Vote dan komentar ya :p

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro