Part 8 - Dua Makhluk
Di ruang makan itu ia duduk sendiri, tak ada wanita lain yang menemani. Posisinya sama seperti tempat setiap makan siang, meja deretan ke dua dari belakang.
Mata hijaunya masih teliti dengan baju rajutan, keahlian yang ia pelajari sedikit demi sedikit saat mendekam di dalam bunker saat tak melakukan apa-apa, dimulai sejak ia datang di The Fort.
Sesekali ia melepas pandangan dan menatap ragu bunker keenam yang terlihat dari ambang pintu ruang makan, tajam dan menyelidik seakan berusaha menembus pintu yang tersegel kuat, lalu kembali berpaling merajut pakaian itu.
Sambil menarik dan menurunkan jemarinya berulang kali, memegangi jarum dan merajut secara telaten ia membaur dengan kesendirian, kepalanya kembali tidak bekerja sama dengan menggambarkan sketsa-sketsa aneh yang Aleena alami akhir-akhir ini, ia membayangkan wajah Molk yang begitu dekat memperlihatkan deretan giginya yang menjadi taring berwarna coklat tua tak terurus, dengan lendir hitam dan irisan kulit-kulit manusia yang menyangkut di sela-sela gigi.
Kini semakin jauh lamunannya, ia menggambarkan dirinya berjalan pelan di sketsa berwarna abu-abu terang lalu terhenti dan menengok ke arah kiri, suatu penglihatan aneh ketika dia melihat sendiri bagaimana Molk yang terbunuh karena tombak yang dilancarkan olehnya, ia bahkan melihat jelas dirinya sedang berdiri di atap, seakan Aleena berada di bawah tepat di sekitar Molk berada, hanya saja bukan hutan sekelilingnya, melainkan sketsa abu-abu.
Ia melihat lagi samar-samar cairan berwarna biru di dalam tabung kecil yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Lalu ia melihat seorang lelaki berteriak kesakitan, di lehernya dilumuri cairan hitam pekat, wajahnya tak begitu jelas karena tubuhnya meringkuk kesakitan teramat sakit. Tubuhnya berguling-guling di atas tanah dengan tumpukan daun kelapa dan ranting kering. Jeritannya menguras hati, suara permintaan tolong untuk siapa pun agar ia tak lagi merasakan sakit itu.
Merasa bayangannya semakin menjadi menyedihkan matanya menjadi berkaca-kaca, lalu kepalanya mendadak menjadi begitu menyakitkan, lagi dan lagi. Dan spontan saja saat ia merasakan kejutan jarum menancap di telunjuk kirinya.
"Aww!" ringisnya pelan ketika jerum cukup dalam masuk dan perlahan mengeluarkan gumpalan darah dari luka. Ia menekan telunjuknya lebih keras dengan sengaja untuk membuat rembesan darahnya lebih banyak keluar.
Kacau, ia menuju kamar mandi di sebelah ruang makan, ia menyeka jemarinya dan air dinginnya melarutkan darah. Ia mengambil air lagi, mengisi telapaknya yang terbentuk layaknya mangkuk dan membasuh wajahnya. Dinginnya air terasa di pori-pori wajahnya begitu sejuk. Ada yang salah, kepalanya semakin hari semakin sakit diikuti debaran jantung yang kuat. Ia tertunduk di kamar mandi, mengernyit saat denyut di kepala masih menggaruk.
Ia menyiram wajahnya lagi dan keluar, matanya kembali menatap tajam bunker enam yang tepat di seberangnya.
"Lena!" tegur Azzura yang lebih pada sebuah teriakan kesengajaan, Aleena tersontak kaget lalu memalingkan perhatiannya cepat dari bunker enam itu.
Azzura sempat memergoki Aleena yang sedang menatap sesuatu sangat serius lalu memutar kepalanya ke belakang ke mana Aleena tadi melamun, kemudian ia berbalik dan melirik penuh kecurigaan ke Aleena dengan tatapan mengingatkan.
"Lupakan Zura, ada apa?" tanya Aleena mengganti topik karena ia tahu jika Azzura akan mengomelinya lagi dan lagi untuk tak terlalu menanam curiga pada bunker mistis itu.
"Kau masih berhutang rahasia padaku," ingatnya mengangkat kedua alisnya bersamaan.
"Rahasia apa?"
"Saat makan siang kemarin, ayolah beri tahu aku. Aku bisa menjaga rahasia dan akan selalu berada di sisimu selama kau butuh aku," godanya meluluhkan hati Aleena, namun Aleena berjalan pergi menghiraukan pintaannya.
Ia hanya ragu jika Azzura akan menerima kenyataan pahit jika ia telah mencampuri urusan Tent atau Upper sekaligus dengan membunuh Molk.
Azzura menahan pergelangan tangan Aleena dan menghentikan langkahnya seketika. "Lena! Percayalah padaku," pintanya terlalu penasaran.
Aleena terlihat diam dan berfikir berulang-ulang, setidaknya hanya Azzura teman terdekatnya setiap saat dan selalu ada di setiap suka dan duka Aleena.
Aleena menghela nafas menyerah. "Kita cari tempat lain."[]
"'Apa!!" jerit Azzura berteriak, matanya melotot semaksimal mungkin mendengar poin penjelasan Aleena.
"Sssshhhh aku tak mau orang lain tahu Zura," desisnya pelan memincing ke seluruh tempat agar tidak ada banyak orang yang tahu.
Obrolan panas itu berlangsung sangat mendebarkan bagi Azzura di pojok ruangan bunker 1 tepatnya di atas ranjang Aleena, Aleena dan Azzura saja yang mendiaminya walau terkadang beberapa wanita masuk dan keluar lagi.
"Mereka jelas marah, ada apa denganmu! Sadarlah, kau tak mencoba mengundang bahaya kan?" pekiknya kesal.
"Aku tidak akan pernah melakukan itu, aku hanya- aku hanya ingin membantu mereka," sambungnya terputus berusaha memberi penjelasan yang masuk akal, yang sebenarnya terjadi ia tak tahu mengapa dirinya berbuat hal seperti itu dan menjadi bahan cemooh Dan sang Upper itu.
"Itu pekerjaan para Tent, tapi aku cukup bangga dengan sikap keberanianmu itu, tapi di lain faktor itu tak baik, ini bukan kamu yang biasa," gumam Azzura.
"Aku pertama juga mengira bila itu bukanlah diriku, aku cukup shock melihatku sendiri seperti itu," tatapan Aleena kosong dan fikirannya melayang mengingat klip yang memperlihatkan dirinya sendiri.
"Kau tentu saja ketakutan saat itu."
"Apa menurutmu itu rasa takut?" tanya Aleena serius, menyilakan kakinya di atas kasur menghadap Azzura.
"Maksudmu?" kening Azzura mengerut, tak mendapat arti yang lebih detail dari kalimat Aleena.
"Apa aku membunuh Molk itu karena rasa ketakutanku?" kerutan kening Aleena semakin mendalam, ia tak pernah merasa jika perbuatannya itu didasari oleh rasa ketakutan di dalam hatinya.
"Entahlah ... Dalam lautan dapat diduga dalam hati siapa tahu," jelas Azzura memainkan kata-katanya kembali.
Dia benar, tak dapat kita mengetahui isi hati orang lain, melainkan kita merasakannya sendiri.
"Jadi kamu masih memiliki satu hari lagi masa hukumanmu? Kenapa kau tak mencoba keluar, mereka tak mungkin pula mengawasi bunker's seperti kita ini," kata Azzura memberi masukan.
"Dia mengawasiku."
"Siapa?"
"Dan, dia pria dari Upper, entahlah mengapa dia memperlakukan aku seperti itu. Aku tak ingin berurusan dengan pria itu," gerutunya muak mengingat orang itu lagi.
"Mungkin dia hanya ingin membantu saja."
"Jelas saja tidak," elak Aleena mentah-mentah.
"Apa lelaki itu yang mencarimu kemarin pagi? Seperti yang Ris bilang padamu?" tanyanya penasaran.
"No! Itu pasti pria dari Ridcloss."
"Ridcloss? Kau memiliki teman dari grup Ridcloss para pekerja itu? Ajudan para Tent?" Azzura terkekeh geli, menganggap derajat mereka lebih rendah dari Bunker's.
"Dia tidak seperti itu!" Aleena mendengus kesal.
"Hmm kau membelanya, ini menarik. Berikan ciri-cirinya secara detail," tutur Azzura menatap Aleena dengan seringai menggoda yang membuat wajah cantiknya spontan berubah. Tangannya melipat di depan dadanya mencoba mengintrogasi Aleena di tempat.
"Namanya Yura, rambutnya coklat kekuningan, matanya coklat gelap, tinggi, sedikit kurus, hanya itu yang aku tahu," tutur Aleena datar.
"Itu bukan detail, berikan penjelasan secara spesifik bagaimana karakternya?" Azzura makin penasaran.
"Aku tak memiliki waktu untuk membahas masalah itu Zura," erangnya memutar mata.
"Tak memiliki waktu? hey! Hukumanmu masih 1 hari lagi dan kau tidak dapat ke mana-mana, kau tidak dapat lari dariku," sambung Azzura bersemangat dan terkekeh geli bersamaan, ruangan itu tiba-tiba hanya menggemakan suara tawa mereka berdua, selang beberapa lama Aleena berhenti tertawa dan menatap Azzura serius.
"Berjanjilah kau tidak akan mengatakan hal ini pada siapa pun," gumam Aleena memohon.
"Aleena, aku tidak tahu rencana apa yang kau susun di kepalamu, tapi bagiku kau tak perlu begitu cemas dengan keadaan sekitar, kau terlalu gelisah dengan apa yang ada di luar sana. Percayalah, mereka lebih pintar dari kita dan mereka tahu apa yang terbaik untuk kita. Rendah gunung tinggi harapan." Kata Azzura lirih menatap Aleena yang tertunduk cemas, ia benar-benar tak mengerti jalan pemikiran temannya saat itu ke mana.
Belum lagi temannya sudah membunuh satu Molk yang merupakan sesuatu yang sangat ganjil baginya, ia bahkan tidak pernah melihat Molk sebelumnya dengan mata kepala sendiri, ia dapat membayangkan Molk dari selentingan deskripsi yang beterbangan di dalam Afdeling 1.
"Aku tak ingin kau terluka," kata Azzura kembali yang mendapat tatapan lirih dari Aleena sembari memeluknya hangat dan erat, menumpu kepalanya di bahu Azzura yang penuh dengan rambut cokelatnya
"Tidak." Aleena meyakinkannya. "Ris?" tanyanya bingung ketika manik matanya mendapati seseorang di ambang pintu.
"Aku ingin berbicara padamu," pintanya.
Aleena hanya menghela nafas berat, ia sengaja menghindar dari Ris agar dia tak menanyakan bagaimana kejadian hari yang lalu.
Belum lagi Ris yang selalu mengikutinya bagaikan anak kucing meminta makan. Dia rasa Ris sepatutnya tidak mengetahui hal itu karena dia tergolong orang baru dan mengingat perkataan Donny saat itu untuk tak terlalu cepat membeberkan masalah dunia luar dan makhluk-makhluknya kepada gadis kecil seperti Ris.[]
"Mengapa kau tak ingin menjelaskan tentang Molk dan Ghroan?"
"Ghroan? Dari mana kau tahu semua itu?" matanya membelalak lebar sadar jika Ris sudah tahu nama makhluk itu.
"Mereka memberitahuku, tapi tak mau menjelaskannya. Aleena, aku terlalu penasaran." Keluhnya.
Aleena berfikir sejenak, tapi setidaknya Ris akan mengetahuinya secara cepat atau lambat sesuai kondisi di luar. Dia sama seperti Aleena halnya rasa penasaran yang menggebu di diri.
Aleena membuang nafas panjang. "Mereka menamakannya Molk, manusia yang telah berubah seutuhnya menjadi seorang Zombie. Zombie terbentuk dari proses ilmiah yaitu racun yang mengalir di setiap saraf-sarafnya, belum lagi perkembangan teknologi yang pesat puluhan tahun silam, bahkan hanya dengan pemikiran mereka dapat membuat bubuk Tetrodotoxin yang dapat menciptakan Zombie. Sampai suatu saat mereka tak dapat mencegah kebengisan yang tak terprediksi sebelumnya karena di luar dari kendali. Sebagian dari mereka diciptakan, sebagian tertular, sebagian teracuni, dan sebagian lagi terinfeksi virus yang lebih berbahaya, yaitu virus dari Ghroan."
"Bagaimana rupa Ghroan?" percakapan mereka semakin serius dengan aura mistis yang mengabutkan seisi ruang makan yang sepi, hanya beberapa wanita di sana dan tidak dapat mendengar mereka.
"Aku tidak pernah melihatnya, tapi aku mendengar tentangnya jika Ghroan adalah satu makhluk yang tidak akan pernah bisa disentuh, mereka memiliki duri yang panjangnya hingga satu meteran lebih. Ada yang bilang tubuh mereka sebesar bantal dan durinya melebihi satu meter, namun aku juga mendengar dari Orvos jika tubuh mereka hanya sebesar kepalan tangan, namun yang membuat tubuh mereka besar adalah duri-duri yang tebal berwarna hitam pekat, aku tidak tahu mana yang benar."
"Ris, aku ingin kau mengingat ini. Apapun yang kau lakukan, apapun yang kau kerjakan jika seorang Tent datang dan menyuruh semua orang untuk masuk bunker lakukan secepat mungkin. Jangan pernah pergi terlalu jauh dari rumahmu, para Molk terkadang lolos dari penjagaan ketat para Tent dan dapat memanjat benteng besi yang mengelilingi kita. Otak mereka bekerja atas dasar darah dan denyut nadi, mereka dapat mendengar dan merasakan detakan jantung kita. Kau harus menyelamatkan dirimu, dan orang lain."
"Bagaimana bisa mereka lepas dari penjagaan Tent?"
"Tent tidak sebanyak yang kau kira, banyak dari mereka yang masih dalam tahap latihan untuk mengabdi menjadi seorang Tent seuntuhnya, bahkan mereka merekrut para Ridcloss akhir-akhir ini untuk menambah jumlah. Pergerakan para Molk juga setengah-setengah, kadang mereka tak menampakkan diri dalam 3 hari penuh mereka tidak kelihatan, terkadang hanya hitungan jari yang terlihat sampai di tengah hutan di sekitar benteng, dan kadang jumlah mereka banyak melampaui batas maksimal para Tent."
"Bagaimana dengan Ghroan?"
"Mereka tidak dapat terprediksi," singkat Aleena menghembuskan nafas berat, nadanya juga ia pelankan membuat aura dingin yang lebih kental.
"Aku tidak tahu detail lebih tentang Ghroan sejauh ini, mereka jarang membicarakannya. Ris, mereka makhluk yang paling ditakutkan sejauh ini," bisiknya.
Ris meneguk ludahnya keras matanya memandang Aleena cemas, jari-jarinya tak pernah berhenti bergerak gelisah.
"Mengapa para wanita tidak boleh ikut ke luar sana?" tanya mengerutkan keningnya tipis.
"Mereka menjaga kita, dari sedikitnya para grup di luar sana lebih sedikit para Bunker's," balas Aleena.
Ris sekarang tahu di luar sana lebih dari menakutkan, tapi mimpi buruk. Ada dua makhluk yang menguasai daerah di luar sana.
"Tidak apa, kau aman bersama- kami," kalimat Aleena tersendat.
Dia tahu sesuatu akan terjadi, ia tahu dirinya ada di tengah kelamnya dunia, hanya mereka yang tersisa di sana. Mereka tak dapat ke mana-mana lagi, satu hal yang akan selalu terikat pada kehidupan mereka adalah bertahan dan berlindung dengan mencari harapan yang hilang.[]
Hari baru untuk Aleena, matanya cerah dan berbinar kembali setelah kabut menyelimuti mata dan hatinya. Hukumannya berakhir dan ia bisa berjalan dengan tenang keluar tanpa gertakan dari Dan sang Upper yang mengawasinya.
Langkahnya cepat mengambil pijakan dan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuh yang sudah tegang tak pernah ia bawa untuk berjalan atau menaiki tangga yang biasa ia lakukan.
Tangannya menyapu tengkuk lehernya membersihkan setiap macam kuman yang bersarang, kemudian menggosok lengan bagian atas dan memijatnya perlahan.
"Aku tak memiliki otot, aku harus berolahraga," gerutunya pelan masih memijat.
Rambutnya terurai jatuh di belakang bahunya, rambut coklat tak terkuncir masih basah setelah mandi.
Tanpa menguncirnya kembali ia berjalan ke ruang makan untuk menyantap makan siang bersama penghuni bunker lainnya. Seperti biasa ia duduk di tempat langganannya di mana Azzura dan Ris telah dulu menyantap ayam panggang dengan roti yang ditemani berbagai sayuran hijau yang selalu ia lihat berbulan-bulan.
"Kau terlihat cantik jika rambutmu terurai," ucap Azzura memulai.
"Ah, terima kasih," bibirnya terangkat, mengulum bibirnya menyimpulkan senyuman khas Aleena yang tersipu malu.
"Jangan melirik bunker itu Lena," kata Azzura melebarkan matanya, paham arah mata Aleena memandang. Ris hanya menatap Aleena ragu dan masih memakan potongan ayam di piringnya. Sebuah hembusan nafas pelan keluar dari hidung mancung Aleena.
"Mungkin kau bisa memulai dari bunker itu," sahut Ris polos, mendapat kerutan kening dari Azzura dan Aleena secara bersamaan.
"Apa kalian telah bekerja sama memecahkan misteri bunker itu?" pekik Azzura geram, matanya menatap satu per satu Aleena kemudian Ris yang duduk di sampingnya.
"Kau benar," gumam Aleena setuju.
"Jangan anggap aku tidak ada Lena," desis Azzura menancapkan garpu di potongan ayam panggang miliknya.
"Tapi dari mana kau harus memulai, kau harus mencari orang yang telah lama mendiami tempat ini dan memiliki pengetahuan luas," balas Ris mengerti dan paham akan semuanya secara inti.
"Lenaaaaa!" desis Azzura seperti suara geraman hewan buas yang siap menerkam saat itu juga.
"Sepertinya aku tahu orangnya," mata Aleena cerah ketika hatinya menyebutkan satu nama orang yang sudah ia kenal sejak datang di sini, pria yang baik namun jarang terlihat karena kesibukannya.
"Siapa orang itu Lena?" sambar Azzura memijat kepalanya yang sudah berdenyut pusing tak dianggap oleh mereka berdua, nadanya pasrah dan menerima sosok Aleena yang keras kepala karena kepenasarannya yang sudah merajalela.
*****
-Vote dan Komentar masih di tunggu, tinggalkan jejak kalian ya kalau sudah selesai seneng deh kalau langsung di Vote hohoho .
-Add to your library would be so nice, All the love M.D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro