Part 7 - Hukuman Batin
Aku ada di mana?
Gumaman hati terdengar luas menyeluruh terasa sahut-menyahut.
Hello!
Gemaan memantul sepanjang sketsa buram.
Ke mana semua orang?
Kegelisahannya pun ikut menggema.
Pandangannya menatap tanah dan ajaibnya ia tak bisa melihat dua pasang kaki, namun tetap saja rasanya ia tengah berdiri. Perlahan ia mencoba melangkah berharap ada warna lain yang timbul, namun tetap sama.
"Siapa pun! Tolonglah keluar."
Masih tak mengerti, ia yakin tengah bermimpi.
Tiba-tiba suara jarum jam berbunyi sendu. Merasa itu sebuah petunjuk ia mulai mencari arah suara, langkahnya kurang pasti mengikuti suara jam yang terus berdetik.
Tanpa batas warna dan ketidakpastian, mula-mula rasanya nyeri dan berubah menjadi tertekan. Buram seantero pandangan mendadak memunculkan warna dominan hitam yang semakin lama semakin melebar dan memperlihatkan suatu lemari jam antik dengan ruangan dari kayu yang lembab seakan mengurungnya bagai di dalam kerdus, semuanya menjadi aneh ketika bermimpi.
Tangannya bergerak ke jam kayu antik di depan, menyingkirnya jerat debu tebal hingga lepas. Melepas dari objek pertama, ia mengeksplorasi ke ruangan ia berada. Ruangannya tak kalah luas dengan bunker, bedanya ruang itu berisi perabotan tambang, tali tambang tebal yang tergulung menggantung di dinding dengan berbagai macam alat gali berlaras tajam, banyak box kayu yang tersusun di sekitar dengan karung tersandar di pinggirnya, tak ada jendela di sisi setiap dinding hanya satu pintu kayu dengan gagang emas pudar.
Kepalanya menengadah menatap langit-langit, sebuah terpal hitam menutupi atap asli, dinding di bagian kiri terdapat untaian tali tambang yang terjulur bebas dari balik terpal menyetuh lantai, berderet di setiap dinding bagian kiri.
Firasat yang semakin gelisah membuat saraf-saraf di kepalanya saling tarik-menarik. Ia ingin bangun dari mimpi namun tidak bisa, entah mengapa. Rasanya aneh, seperti berada di dunia lain yang hampir membuat terbang dan ingin jatuh. Tangannya terus memegang benda sekitar agar ia tidak jatuh, karena jatuh sangat mengerikan.
Sistem sarafnya bekerja, rasa bangunnya tak dikontrol oleh satu sistem saraf saja, ibarat saklar lampu di bunkernya. Saraf Ventrolateral Preoptic Nucleus atau VLPO yang bertugas mengatur rasa kantuk dan ada saraf Reticuler Activating System yang bertugas mengatur rasa bangunnya.
Kedua sistem saraf tersebut saling tarik-menarik, untuk mengontrol rasa kantuk dan bangun. Kemudian, saat saraf VLPO berusaha menidurkan, kadangkala sistem saraf Reticuler Activating System belum sepenuhnya ter-non-aktifkan. Kadangkala ia sedikit aktif kembali, sehingga menyebabkan terbangun dengan rasa seperti ingin jatuh atau biasa disebut Hypnic Jerk.
Gelagatnya kini cemas dan bingung bagaimana mengakhiri semua, lalu matanya menatap pintu yang sedari tadi terpampang menarik perhatian. Rasanya panas menguras kinerja kepala, seakan diperas dan sakitnya melilit hingga ia pingsan. Membuat rasa semakin ingin bangun dari mimpi.
Tak terkunci dan pintu terbuka pelan mengeluarkan decitan dari engsel pintu berkarat. Pandangan tajam mengawasi ruangan lain, dan hanya gelap yang terpapar. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan hingga.
"Raaaaagggghh!!!"
"ARGH!!" tiba-tiba satu Molk datang meraung melebarkan mulutnya. Tangan kurus dengan jalar nadi berwarna biru yang timbul di atas kulit itu mencekik leher dengan kuku tajam yang tumbuh lalu menancap sangat dalam pada leher hingga tak sanggup bernafas, ia tersendat-sendat mencari oksigen sudah merasa sekarat. Lehernya mengeluarkan darah segar dari kuku yang menancap dari Molk yang menekan kuat.
"Errrghh...." ia mengerang sakit menahan tubuh Molk agar lebih jauh darinya. Mulut Molk menganga lebih lebar dan ingin menggigit.
"Eaarrgg jangan!" erangnya dan kepalanya menggeleng-geleng cepat agar menghindari mimpi buruk yang begitu nyata ia rasakan.
Sekilas matanya melihat bayangan berwarna merah gelap yang menyala bagaikan sebuah bola besar dari belakang Molk yang kemungkinan ada makhluk lain yang bersamanya dan menunggu giliran, namun tak ia gubris dahulu.
Tangannya berusaha memberontak namun tak kuat, Molk itu kemudian dengan cepat dan sadis menggigit lehernya dengan mengerikan, mengoyaknya, mengunyahnya menikmati setiap suara renyah akan kulit segar dan membawa tubuhnya menghantam dinding di belakang. Tak bisa memberontak dan lemas, ia menyerah dan gambaran mengerikan itu segera menjadi hitam seperti akhir dari kehidupan.
#
"TIDAAAK!!!" Jerit Aleena kencang masih di kasur, matanya berair menangis ketakutan karena bunga tidur yang mengerikan, ia diingatkan kembali dengan gambaran makhluk Molk bahkan terasa lebih nyata dan dalam jarak yang dekat.
Nafasnya memburu sangat cepat dan tidak normal, teringat bagaimana kuatnya Molk mencekik lehernya begitu dalam. Aleena memeriksa lehernya cepat namun tak ada yang ganjil, lehernya mulus seperti biasa.
Anastasia yang menatap dingin dan kosong ke arah Aleena yang bermimpi buruk dan berteriak terus diam. Ia duduk di ranjang sebelah Aleena yang notabene milik teman lainnya. Kedua tangannya ia letakkan di masing-masing paha sembari matanya melotot pada Aleena.
"Aku hanya mimpi butuk Anastasia," tutur Aleena memberi tahu jika ia baik-baik saja kepada Anastasia yang sedang menatap Aleena tanpa makna.
Aleena menyisir rambutnya dengan jemari, mengusap keringat di seluruh wajahnya yang memucat.
"Kau terlihat kacau," balasnya datar tanpa irama.
"Benarkah?" tanya Aleena kembali, keningnya mengerut bingung melihat Anastasia yang menatapnya seperti itu.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Anastasia dingin.
Aleena termenung menatap canggung Anastasia yang tidak seperti biasa, belum lagi cara duduknya seperti hantu yang menunggu kedatangan tuan rumah. Matanya kosong, menatap Aleena dingin yang mampu membuatnya merinding dan mengerut gelisah.
"Aku baik-baik saja," balas Aleena tenang tak melepas tatapannya dari sorotan Anastasia.
"Bagus," gumamnya. Kemudian tanpa sebab ia melemparkan tombak kayu dengan cepat yang entah dari mana Anastasia dapat dan mengenai jantung Aleena, seketika ia yang mengeluarkan darah segar yang banyak bercucuran di ranjang.
Darahnya mengalir deras layaknya air terjun dan menetes ke permukaan lantai besi meninggalkan suara tetesan-tetesan darah kental yang berubah menjadi warna ungu tua lalu menjadi hitam pekat dengan aroma busuk.
Ia mati seperti Molk yang ia bunuh, tombak di jantung.
#
"JANGAN!!" jerit Aleena untuk kedua kalinya, tubuhnya benar-benar bergetar hebat mencengkram sprai kasur menahan gejolak ketakutan yang menebas dada seketika.
Matanya meneteskan air mata diikuti keringat dingin di sepanjang pelipisnya yang mulus. Nafasnya terengah-engah hebat seperti habis berlari sejauh 5km .
Hingga suara rintihan tangisnya semakin menjadi-jadi lagi. Ia tidak pernah mengalami mimpi buruk seperti itu. Ada mimpi di dalam mimpinya, ia tidak tahu mengapa dan bagaimana bisa terjadi.
"Lena, kau tak apa? Astaga kau tampak pucat!" Azzura teman dekatnya bergegas panik mendatanginya sangat khawatir.
"Aku- aku tak apa- aku tak apa," balasnya terbata-bata ketakutan seakan mimpi kelamnya masih terasa kuat di alam sadar.
"Kau terlihat kacau," tuturnya masih khawatir, mata Aleena membelalak lebar mendengar kata Azzura yang persis dengan mimpi buruknya di mana Anastasia yang menuturkan.
Tubuhnya mulai lunglai dengan gemetar ia mulai memberontak dan terisak menangis hebat meminta ampun, mimpinya menjadi kenyataan.
"Jangan! Pergi dariku! Jangan!" pekiknya menangis hebat, air matanya terjun dari kelopak begitu banyak, tangannya bergetar setiap tarikan isakan tangis. Tubuhnya sangat ketakutan, entah kenapa saat itu batin Aleena sangat tertekan hingga membuat tubuhnya lemah dan berfikiran seperti itu.
"Aleena sadarlah, kau tak apa!" ucap Azzura semakin khawatir dan mendatangi sisi Aleena. Aleena semakin takut dan kebingungan memberontakkan badannya dibalik selimut hangat.
Seluruh wanita terbangun karenanya, memandangi Aleena penuh raut cemas. Bagi sebagian orang hal itu terjadi lagi, di mana Aleena bertingkah aneh ketika tidur.
Aleena selalu berfikir jika Azzura sama halnya dengan Anastasia di dalam mimpi yang nantinya akan membunuh tubuhnya di tempat. Otaknya telah dirasuki oleh ketakutan yang menjadi-jadi, otaknya tidak jernih dan buntu dibuatnya.
"Pergi ..." erangnya panik berderai air mata. Tangan Azzura membelai lembut pipi Aleena yang memberontak dan merintih masih ketakutan karena mimpi buruk yang masih samar-samar belum hilang.
"Aleena tidak apa-apa, aku ada di sini, kau cuma bermimpi buruk, kau aman bersama kami," jelas Azzura rendah dan gemulai menenangkan Aleena, tangannya senantiasa tulus melingkar di tubuh Aleena memberikan ketenangan baginya.
"Sssshhh ssshhh tidak apa-apa, kau aman bersama kami," sekali lagi Azzura menenangkannya masih terisak menangis, ia membelai pundak ramping Aleena membetuk pola lurus berulang kali hingga isakannya normal.
"Sssshhh sudah sudah, kau sangat pucat pasi Aleena. Aku akan mengambilkan air untukmu oke?" tuturnya sangat lembut.
Aleena hanya mengangguk tak dapat memainkan kata-kata, lidahnya kelu bersama tenggorokannya yang seperti tertutup oleh ribuan batu bata. Nafasnya coba ia atur sendiri hingga berirama, bibirnya yang pucat menjadi kering masih menunggu segelas air putih yang akan membasahi.
Azzura pergi meninggalkan Aleena dengan tatapan yang sangat khawatir, tak pernah ia melihat Aleena setakut itu sejak ia mengenalnya. Azzura lebih lama 3 bulan tinggal di sana sebelum kedatangan Aleena, jelas ia tahu bagaimana tidak normalnya prilaku Aleena tersebut.
Masih menyesuaikan diri dengan sekitar, fikirannya terus berkecamuk, mengapa mimpi itu? Apa itu hanya sebuah memori buruk dari hari kemarin? belum lagi sebelum tidur ia sempat menatap bunker 6.
Selang beberapa lama Azzura datang membawa satu gelas besar air putih untuk temannya. Tangan Aleena begetar mengambil gelas, membuat air di dalam ikut bergoyang karena getaran. Tanpa ragu Azzura membantunya minum, tangannya ia kepal di depan tangan Aleena agar gelas tak bergetar lagi dan memudahkan Aleena meneguk air, menyejukkan tenggorokan serta batinnya.[]
Denting pisau dan garpu beradu di atas piring plastik dengan potongan daging ayam dan sayuran hijau di atasnya melengkapi makan siang.
Semua penghuni bunker di Afdeling 1 bersama menyantap makan siang mereka, saling berbincang ria satu sama lain. Aleena duduk di kursi panjang ditemani Azzura yang menatapnya khawatir di seberangnya duduk.
"Aleena makanlah, tubuhmu akan sakit," ucap Azzura sambil mendorong piring milik Aleena lebih dekat.
"Hah?" suara Aleena menyahut.
"Hentikanlah lamunan itu! Apa yang kau lihat?" tanya wanita berambut coklat lebih gelap dari pada milik Aleena, rambutnya terurai bergelombang.
Badannya memutar ke belakang penasaraan dengan apa yang Aleena lamunkan sedari tadi.
Tatapannya menangkap bunker keenam yang terantai kuat masih terlihat dari balik pintu ruang makan yang terbuka lebar, kemudian kembali memutar badannya ke arah Aleena.
"Apa yang kau fikirkan tentang bunker itu?" gubris Azzura curiga.
"Tidak ada," balas datar Aleena menyembunyikan sesuatu.
"Mereka selalu memperingati untuk tidak mendekati bunker itu," sambung Azzura kembali mengingatkan, ia menyuapkan satu irisan kecil ayam panggang dan mengunyah perlahan.
"Aku tahu. Apa kau bisa menjaga rahasia dariku Azzura Gates?" desisnya sedikit berbisik memelankan nada dan temponya. Tubuhnya condong ke depan menatap harap Azzura.
"Percayalah, aku tak punya siapa-siapa yang penting untuk aku bocorkan dengan orang lain Lena," ia memutar bola mata.
"Baiklah, kemarin malam sebelum aku tidur aku sempat memegang bunkernya-"
"Kau tahu kau tak harus melakukan itu Lena, para Upper bisa murka seketika," putusnya cepat tanpa ragu sedikitpun.
"Ssshh! Jangan terlalu nyaring," desisnya mengingatkan.
"Kau tak perlu tahu isinya apa Lena, dari bentuknya saja sudah menyeramkan seperti itu," sambungnya kembali menggidikkan bahunya ngeri.
"Jika memang bunker itu menyeramkan seperti katamu, mengapa mereka masih memeliharanya? Bukannya mereka menghancurkan atau merubahnya sebagai tempat tinggal para Bunker's lain?" desis Aleena sembari memainkan pisau menusuk-nusukkan ke daging ayam yang tak membuatnya selera sama sekali.
"Mungkin mereka tak bisa menghancurkannya," balas Azzura menaikkan bahunya acuh.
"Karena apa?"
Azzura mendesah. "Ayolah Lena, apa kau harus selalu sepenasaran ini dengan sesuatu yang tidak penting untuk diketahui seperti itu?" Azzura kembali memutarkan bola matanya memberi penjelasan serta tersirat untuk tidak ikut campur masalah Upper.
"Kau tahu siapa aku," gumam Aleena pelan, menusuk lebih dalam ayam panggang di piring.
"Lihatlah sekelilingmu sayangku tidak ada yang ingin mengetahui seluk beluk benteng ini yang memiliki rahasia yang terkubur dalam, maksudku tak ada yang peduli. Mereka hanya berusaha menjaga keturunan untuk masa depan nantinya yaitu di tangan kita atau lebih tepatnya di rahim ini, dan kini hanya dirimu yang penasaran tentang semua itu! Ayolah Lena." Jelas Azzura lelah. "Aku tanyakan kembali padamu Sweet Lena, jika kau sudah dapat jawaban final dan juga berhasil menguak semuanya, apa yang akan kau lakukan setelahnya?"
Jelas Azzura panjang lebar menatap ramah dan genit Aleena yang dibuat kaku dengan pernyataan. Sudah ditunggu oleh Zura jawaban darinya namun ia masih diam tak bisa menjawab, sebenarnya ia tahu jawaban dari lubuk hatinya namun ia tak bisa menyalurkannya melalui kata-kata, terlalu sukar.
"See? Kau bahkan tidak bisa menjawabnya. Ayolah Lena, mereka sulit mendapatkan wanita di luar sana, perempuan terkenal lemah dan tidak bisa melawan. Mereka hanya pasrah akan apapun yang akan menimpa mereka sebab itulah tak banyak wanita di luar sana." Terang Azzura kembali menatap wanita-wanita lain di belakang Aleena yang juga menyantap makan sembari berbincang dengan teman mereka.
Afdeling 1 hanya memiliki 5 bunker yang tiap bunker berisi setidaknya 8-10 orang saat ini. Jadi kemungkian total mereka hanya ada sekitar 40-an. Namun masih belum di total dengan wanita lain di Afdeling 2 sampai 4.
"Kau meyakini mereka masih ada di luar sana Zura, betulkan? Kau menyadari hal itu," tatapan Aleena masuk lebih dalam ke iris mata cantik Azzura, suaranya dalam dan serak menandakan keseriusan di nadanya.
Matanya menyipit mencoba mengorek isi hati terdalam Azzura yang mulai tidak nyaman dengan tatapan hijau Aleena.
"Hentikan pandanganmu itu Lena! Aku merasa risih dengan itu," ia menghembuskan nafas panjang dan berat.
"Kau tahu, lebih tepatnya ini adalah harapanku yang paling dalam, aku berharap masih ada orang lain di luar sana yang selamat. Menemukan tempat tinggal yang tak kalah besar, aman, dan kuatnya dari The Fort."
"Aku tidak berani membayangkan bila hanya kita saja yang bertahan di sini sedangkan makhluk-makhluk itu bertambah banyak di luar sana, bertambah kuat, bertambah pintar, bertambah besar," desisnya pelan di tengah sibuknya orang lain sedang makan. Ia tak bisa menyembunyikan nada pasrah dan menerima kenyataan ini.
"Kadang terbesit pula di fikiranku sama dengan yang kau katakan, tapi aku yakin seyakin-yakinnya mereka lebih pintar dan kuat dari pada kita. Kemajuan teknologi ini tidak dapat disepelekan."
"Kemajuan teknologi inilah yang menyesatkan dunia, mereka salah menilai jika kemajuan teknologi merupakan masa depan yang positif." Azzura tergelitik. "Berabad-abad silam manusia yang merupakan hasil evolusi telah muncul akibat dampak radikal dari kemajuan teknologi. Sebagai gambaran, manusia akan hidup sampai umur 120 tahun. Ras baru ini akan bergantung pada robot dan kecerdasan buatan untuk mengerjakan tugas sehari-harinya. Namun lihatlah sekarang mereka binasa karena memakan teknologinya sendiri," jelasnya panjang lebar.
"Buku apa yang kau kunyah?" Aleena mengernyit pusing.
"Aku juga heran," balas Azzura mengangkat bahunya kembali sambil meringis ngeri sadar akan kata-kata yang ia keluarkan. Senyum cerah dan lebar keluar dari Aleena dan Azzura memamerkan deretan gigi masing-masing dan terkekeh pelan. Setidaknya Aleena tidak terlalu tertekan dengan mimpi buruknya saat ini.
"Lanjutkan lagi penjelasanmu, nyonya Upper," sambung Aleena menekankan kata nyonya Upper sebagai bahan sindiran dan kembali terkekeh.
"Nanti saja, sepertinya seseorang mencarimu Lena," sahut Azzura menggerakkan kepalanya menunjuk arah belakang Aleena di mana Ris berjalan ke arah Aleena menatap khawatir wanita yang lebih tua darinya.
"Ris? Duduklah ada apa?" suruh Aleena sangat ramah menepukkan tangannya pada tempat kosong di samping kiri.
"Kau baik-baik saja? Mukamu pucat," sahut Ris enggan duduk masih menatap Aleena berdiri di sampingnya.
"Apa aku masih terlihat pucat? Aku tak apa. Ada apa Ris?" balas Aleena.
"Aku dengar, jika kau dihukum karena... karena telah membunuh-" kalimatnya terputus ragu menatap Aleena yang sudah melebarkan matanya.
"Dari mana kau tahu?" putusnya cemas berdesis pelan, ia takut bila semua orang akan mengetahui dirinya telah membunuh satu Molk dan merusak reputasinya.
"Teman priamu yang kemarin pagi tadi mencarimu tapi kamu masih tidur, dia menceritakan semuanya tentang kejadian di atas sana," ucapnya tak mengontrol tempo dan oktafnya yang cenderung nyaring, dapat terdengar oleh Azzura yang mengerutkan keningnya sedari tadi curiga dengan percakapan mereka.
"Hukuman? Membunuh? Teman Pria!! Kejadian? Di atas? Apa yang kau sembunyikan dari ku Lena! Kau sudah menyimpan lebih banyak rahasia!" Pekik Azzura kembali tak mengatur nadanya yang tinggi dan menekan setiap katanya hingga berirama seram dan penasaran.
"Sshh! Aku akan menjelaskannya tapi nanti bukan sekarang," jelasnya kemudian beralih ke Ris lagi.
"Ris, aku bisa menjelaskannya nanti, ini bukan waktu yang tepat bagimu untuk mengetahui hal ini," balasnya lembut dan tenang menyembunyikan kegelisahan yang sudah meraung-raung ingin keluar secepat mungkin.[]
Bosan, hanya itu yang Aleena rasakan setiap berada di dalam bunker. Tak ada yang bisa dikerjakan selain mendengar ocehan sekeliling yang selalu saja mendapatkan banyak topik tanpa rasa bosan sedikit pun, wanita.
Aleena yakin di luar sudah sore dan ia selalu memandang setiap inci langit yang selalu berbeda tiap harinya bila di luar sana. Decakan kesal keluar dari bibir tipis merah mendekati warna cherry.
Mata hijaunya tak pernah kagum melihat dinding besi sekitar, belum lagi lampu neon putih yang menghiasi selalu berkedip-kedip, setidaknya berikan satu pahatan patung, piano, lukisan monalisa dan jam dinding untuk menemani sang lemari buku yang kesepian.
Ia menghembuskan nafas kasar menggerutu dalam hati, apa harus di perlakukan seperti ini? Dia bukan seorang bocah 3 tahun yang harus di hukum bila melakukan kesalahan. Setidaknya berikan teguran saja sudah cukup mungkin?
Tunggu, tidak mungkin Upper itu mengawasi ku 3 hari penuh untuk tidak keluar. Aku tak yakin mereka akan melakukan hal yang tidak akan pernah mereka lakukan. Aku mungkin bisa keluar tanpa terlihat sama sekali seperti hantu, persetan dengan peraturan.
Ucapnya dari hati.
Kakinya melangkah cepat ke pintu keluar Afdeling 1 dan tak sabar ingin melihat keindahan langit sore hari.
Tangannya ia gunakan untuk menggeser pintu yang tertutup rapat lalu terbuka tak banyak dan seketika sinar mentari sore menyilaukan mata hijau tajamnya yang kini warnanya lebih jelas terang sangat indah.
Matanya ia sipitkan dan menatap lurus ke menara Gloetik yang jelas terpampang di seluruh penjuru benteng. Dengan hati yang kuat dan percaya diri ia berjalan mengendap-endap mengawasi sekitar bila seorang Upper saja terlihat.
Rambutnya terkuncir rapi seperti biasanya dan berayun ke kanan ke kiri mengikuti langkah kakinya yang kini lebih cepat menjauhi pintu Afdeling 1 hingga beberapa meter, namun tak selang beberapa lama langkahnya terhenti karena dehaman seseorang bersuara besar.
"Jangan kira bahwa para Upper lengah hanya dengan masalah sekecil ini pun nyonya muda apalagi seorang remaja sepertimu dan senang melanggar peraturan," kekeh seorang pria dari arah belakang Aleena, mata Aleena terpejam pasrah karena aksinya telah dulu ketahuan.
"Masa hukuman mu masih 65 jam lagi Aleena dan gunakan lebih bijak di dalam sana untuk merenungkan perbuatanmu sendiri dan jernihkan fikiran berontakmu," desisnya dingin dan datar.
Sial.
Umpatnya kesal dalam hati ketika melihat sosok Dan yang menatapnya lebih tajam. Ia berdiri menyandarkan bahu kanannya di samping pintu Afdeling 1 yang sebelumnya tak Aleena lihat sosoknya tadi.
"Bukankah ini perlakuan spesial dari kami? Aku mengutus diriku sendiri untuk mengawasimu Aleena Sharlon, sang The Bunker's," bibir tebalnya masih meringis menarik bibir kanannya ke atas tersenyum geli.
Sebenarnya Dan baru saja dari Afdeling 2 saat itu, dan ia melihat Aleena sebagai spot keberuntungan ketika ia akan pulang. Ia mampir sejenak untuk menegurnya.
"Aku kagum dengan rasa curiga dan berontakmu," ia berdiri tegak dan berjalan ke arah Aleena yang masih mematung hingga jarak mereka tak lebih dari 2 meter.
"Masuklah dan berfikir lebih jernih," Dan tersenyum lepas, kepalanya menunduk sedikit mengamati Aleena yang pendek.
Aleena tak kalah sadis, mata hijaunya tak kalah tajam menatap murka dan kesal sosok Upper berbaju merah maroon itu. Kemudian ia berpaling pergi, menghentak-hentakan kakinya keras ke tanah, kebebasannya hilang dan ia harus kembali ke dalam bunker tak ikhlas.
Hukuman ini membuatnya marah dan ingin mengacak-acak wajah licik Dan Upper itu. Ia bersumpah untuk membalasnya dan semua Upper suatu saat nanti. Baik dari urusan pribadi maupun mengenai peraturan lelucon mereka.
*****
-Vote dan komentar selalu ditunggu ya, please tinggalkan tanda baca dengan menyentuh tanda bintang hingga berwarna orange hehehe .
-Di media itu cast untuk Azzura teman satu bunkernya Aleena
-Add to your library would be so nice, All the love - M.D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro