Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 50 - Yang Terakhir (2)

Kapal yang mengapung mendadak bergetar dan terguncang dengan keras bagai dihantam sebuah karang. Semua orang mulai terjatuh dan menghantam dinding keras. Gustavo yang sedang menombak sebuah Grayden terjatuh pada lantai kapal yang dingin, Skylar yang berlari di kapal dan tiba-tiba ia goyah dan jatuh. Ghroan-ghroan lainnya terpental beberapa meter karena guncangan yang menyebabkan semua orang terhambur.

"Gus!!?" panggil seorang pria ingin mencari tahu apa yang telah mereka tubruk. Gustavo dengan cepat menuju pinggir kapal, memeriksa ke laut. Iris abu-abunya membelalak ketika sebuah cahaya terang berbinar dari bawah, yang tak ia kira bahwa makhluk ini akan datang padanya.

"Gemirix! Dommed! Ke ruang persenjataan!" jerit Gustavo bersimbah keringat dingin.

"Ayo! Ayo!" semua orang berteriak sambung-menyambung untuk mundur ke ruang persenjataan. Melihat seorang pria yang terjatuh akan dihancurkan Ghroan yang melompat, buru-buru Gustavo menarik kerah baju pria tersebut, dan alhasil Ghroan tersebut menghantamkan dirinya pada dinding di belakang.

Gustavo masuk ke ruang persenjataan yang begitu riuh, berbagai teriakan meminta banyak benda dan amunisi terus terdengar. Ia mengambil sebuah senjata berwarna putih yang bergelantungan, mengokangnya dan berlari lagi ke luar.

Ia menemukan sosok Seth yang sendirian mengambil sebuah Tinshield, atau dikenal dengan amunisi yang berisi bahan kimia.

"Seth!" panggil Gustavo. "Di mana Skylar?" tanyanya mulai gelisah.

"Dia pergi entah ke mana," pekik Seth sambil mengambil lagi Tinshield, sebuah hantaman keras di kapal kembali membuat mereka hampir jatuh dan harus menjaga keseimbangan.

Seth berlari dengan rasa cemas tentang kapal yang bisa karam sewaktu-waktu seperti kapal milik Locmez dahulu, yang disebabkan oleh Dommed pula.

Gemirix mulai masuk ke dalam kapal, menyerang dengan ganas, penuh kebrutalan dan begitu cepat. Setiap orang yang akan menghancurkannya terlalu lamban, sehingga mereka tumbang dan tewas karena serangan duri dari Gemirix.

Mencoba membunuh makhluk itu seperti membunuh 20 Ghroan sekaligus, butuh waktu yang lama. Dan kali ini Gemirix datang dalam jumlah yang banyak, membuatnya sekarat sangat sulit apalagi tubuhnya yang cepat dan selalu menghindari peluru.

Mereka menembaki Gemirix sampai cahaya di dalam tubuhnya habis, banyak teriakan melengking hebat keluar dari tiap mulut, menerima siksa tusukan duri Gemirix yang sangat beracun, membakar kulit dan merobek-robek saraf.

Kapal kembali bergetar keras dihantam Dommed yang ada di bawah kapal.

"Pemanah, tombak! Tombak dia di bawah dan buat dia sekarat! Cepat!" pekik Gustavo. Semua orang berlari mencari posisi persiapan. Beberapa pemanah mulai mengambil anak panah besi dan melesatkannya ke air saat tentakel-tentakel Dommed terangkat dan jauh dari air.

Tembakkan pun melayang dengan kuat, tanpa bisa melihat wajah Dommed yang harusnya menjadi titik kelemahannya.

Merasakan hunusan benda tajam di tubuhnya, Dommed mulai menyerang, kaki-kaki besarnya menjalar ke atas, menuju rombongan pria-pria di ujung kapal. Secara brutal ia menggerakkan kakinya di atas kepala setiap orang dan semuanya terlempar dengan sadis ke bawah laut bersama teriakan kesakitan terakhir kali. Tak semuanya, ada beberapa yang lincah dan dengan sigap menunduk refleks dan berlari menghindari maut.

Kaki lainnya mulai menghantam dengan buih amarah ke sisi lainnya, setiap jiwa yang lengah tak melihatnya hilang terbawa arus di bawah laut.

Sisi kapal yang hanya selebar tiga meter terasa sangat penuh dengan banyaknya bangkai Ghroan dan mayat rekan-rekan Skylar yang mati mengenaskan. Ia berlari mengarah pada tangga dengan cepat, melebihi kecepatan maximalnya hanya untuk menemui Aleena di tempat ia dilindungi. Dengan rasa gugup dan cemas tak karuan ia membuka pintu dan tampaklah dua wanita terdiam dengan kilat mata ketakutan.

Skylar tertegun dalam detik-detik kecemasan. "Di mana Aleena?" desisnya, bergetar nada Skylar mengingat banyaknya hal yang bisa terjadi di dalam kapal.

"Apa maksudmu 'di mana'? dia bersamamu!" pekik Azzura dengan perasaan yang tak jauh berbeda dibanding Skylar. Ia berdiri dan suara rintihan mengerikan lainnya terus terdengar di luar.

"Shit." Skylar menggenggam erat senjatanya. Seketika darah yang mengalir di kakinya seolah terhenti, membuat kakinya lemas sembari ia menahan tangis, mencoba tuk tetap tak limbung karena kapal yang terus bergetar.

"Dia pergi," gumam Cadance yang tahu apa yang sedang terjadi. Bukan kali ini saja ia terkecoh dan menyebabkan Aleena kabur dengan sendirinya.

"Tidak," suara tak berdaya Azzura terlepas dengan tubuhnya yang sempoyongan lemas.

"Aku seharusnya tahu," gumam Cadance. Skylar tak bisa berbicara apa-apa, tak banyak yang bisa ia lakukukan selain menunduk tanpa arti. Air mata kecewa dan kehilangan Azzura terus lolos. Mereka tak tahu di mana dan sedang apa Aleena, bagaimana dia merencanakan hal tesebut dan mengapa?

"Mengapa dia pergi?" rintihan lemas Azzura terdengar bersama butir-butir air matanya. Cadance mengolah momen-momen yang sudah terjadi beberapa bulan yang lalu, Aleena pernah mengatakan tentang The Dropprunus dan niatnya untuk menghancurkan. Sontak Cadance ikut shock menyadari Aleena tak main-main dengan niat awalnya yang sempat diragukan Cadance jika Aleena mau melakukannya.

Pencitraan Aleena selama ini berhasil membuat Cadance menyadari sudah berapa lama Aleena memikirkannya, ketika semua orang terpaku pada hal lain Aleena masih setia pada niat utamanya.

"Dia akan menghancurkan The Dropprunus," gumam Cadance. Azzura menatap Cadance penuh keterkejutan. Ia tahu ke mana itu akan berakhir, karena menghancurkan artinya sesuatu yang berakhir. Mendadak Skylar berdiri dengan wajah dingin dan bengis penuh murka kehilangan kendali. Cadance mengikuti arah Skylar, dan ia ragu untuk keluar dan menyaksikan darah yang berceceran.

Dengan tarikan nafas pasti Cadance mengambil katananya. "Tunggu di sini," suruhnya pada Azzura.

Skylar berjalan sangat cepat, tujuannya hanya mengarah pada satu hal. Sedangkan Cadance terus terhuyung-huyung dan panik menyerang saat kawasan pembantaian tepat di depan matanya. Tiap langkah Skylar bagai batu panas yang terus mengeluarkan uap, amarahnya tak terbendung. Ia menuju satu tempat, ruang kendali kapal di mana Julius dan Dan mempertahankan posisi.

Ia menangkap satu wajah yang berada tepat dihadapannya, Gustavo yang tengah membantai Gemirix seorang diri. Kepalan tangan Skylar menguat dan keras, hingga sebuah hantaman telak pada tulang rahang Gustavo membuatnya jatuh dengan rasa sakit yang luar biasa.

"Bajingan!" jerit Skylar. Julius yang melihat perkelahian tesebut bergegas keluar bersamaan dengan Dan.

"Skylar! Stop!" tegur Julius heran, namun terlambat karena Skylar yang mencekik kerah Gustavo kembali menghantarkan beberapa pukulan keras yang tak terelakkan.

"Skylar!" jerit suara bariton Julius, ia menarik bahu Skylar keras, namun saat lelaki marah kekuatan mereka terlalu kuat untuk dikalahkan. Skylar terus memukul Gustavo yang pasrah dan juga bingung.

Terus terang saja, Gustavo menyadari ini akan terjadi sejak awal. Skylar yang pergi adalah mencari Aleena, dan satu-satunya biang keladi di balik ini semua adalah dirinya, selalu Gustavo.

Batin dan mental Gustavo memang ikhlas merasakan sakitnya saat ia dihantam bertubi-tubi, seperti merasakan balasan ratusan orang yang dendam mati padanya.

Ketika membuat janji pada Aleena ia tahu jika Skylar akan memahami, mengetahui dan menyadari di mana Aleena. Di saat itu juga Gustavo tahu dirinya akan menjadi korban pelampiasan amukan Skylar, entah dia nantinya sekarat atau tombak bersarang di jantungnya.

"Kau bajingan busuk! Kau tidak ada gunanya!! Kau tak ada harapan!!" jeritan Skylar terus terang mengalahkan lengkingan suara Gemirix, mendengung dan sangat tajam mengikis hati.

"Skylar! Berhenti! ada apa dengan mu?" berkali-kali Julius menghindarkan Gustavo dari hantaman maut Skylar.

"Lepaskan! Akan kubunuh pengkhianat satu ini!" jerit Skylar dengan genangan air mata yang membuat matanya berkaca-kaca sambil memukuli Gustavo yang sudah babak belur, mengeluarkan darah segar di hidung dan pipi yang bengkak. Tubuh Skylar terseret ke belakang karena tarikan Julius.

"AKAN KUBUNUH KAU PENIPU!!" keringat Skylar bercucuran, tetapi tak mengalahkan cucurah darah di hidung Gustavo dan matanya yang juga agak lebam.

"Kau membunuhnya!" Skylar menjerit perih. "Kau membunuh Aleena!!" tangisannya tak terbendung, Cadance di saat itu pula muncul di belakang. Terbelalak saat perkelahian itu sudah selesai, terutama melihat siapa yang kalah dan babak belur.

"Kau bisa menyelamatkannya!! kau bisa ... tapi kau membiarkannya!! Kau tahu dia tak akan selamat! Dan kau tetap saja seperti itu!" irisan kalimatnya menyayat hati Skylar, menjerit penuh emosi, nafas terbuang banyak dan siksa air matanya bercampur keringat dingin.

"Aku membiarkannya untuk mu!" ujar Gustavo penuh kelemahan yang tegas.

"Untuk kesengsaraanku?!!" jerit Skylar tak lelahnya, terus melampiaskan gejolak amarah dengan cara yang lain. Pundaknya masih dicengram keras oleh Julius, bahkan Julius masih dapat merasakan tubuh Skylar ingin selalu maju ke arah Gustavo di bawah.

"Semua yang kau lakukan hanyalah membiarkan orang terluka! Kau membiarkan mereka terluka hanya untuk mu! Hanya untuk mu! Dan embel-embel dibaliknya hanya untuk melindungi kita semua!!"

"Bukan!" Gustavo merespon cepat karena baginya kalimat melantur Skylar tidak benar sama sekali.

"Kau pembohong busuk! Lihatlah ke belakang! Ini semua adalah rencanamu! Kalian telah termakan muslihat pria ini!" jerit Skylar menatap Gustavo begitu keji dan intimidasi. Tiba-tiba ia terisak, tubuhnya lemas ketika dipegang Julius, lututnya menghantam lantai dan tubuhnya bergetar ketika menangis. "Sekarang aku kehilangannya ... aku tak bisa melihatnya lagi ... aku tak akan pernah menyatakan perasaanku." Skylar menangis lemah.

"Aku mencintainya, walau aku tahu ia selalu ada dalam bahaya, tapi itulah mengapa aku ingin bersamanya! Aku ingin menjaganya," suara Skylar parau, jati diri seorang prajurit yang kuat ini seakan sirna ketika menghadapi soal hati dan rasa.

Cadance yang mendengar terus menahan gejolak simpati dan harunya, ia tahu kalimat itu adalah rintihan tertulus seorang Skylar yang terlepas dari hati tanpa ada dusta senoda pun, ia menyadari jika perasaan Skylar lebih dari nyata dan begitu besar. Jika Skylar tahu akan seperti ini, tentunya ia akan memberitahukan Aleena. Satu hal tentang keinginan yang ia rahasiakan, rasa manis itu menjadi pahit dan Aleena yang meninggalkannya adalah tamparan telak di hidupnya. Ingin mengatakan perasaan, tetapi rasanya belum siap. Tetapi ketika siap, rasanya sudah terlambat.

"Maaf aku melakukan ini," gumam Gustavo penuh rasa pahit. "Tapi dia yang harus melakukannya sendiri. Kau tak bisa mengindari hal ini Skylar," tambahnya mencoba menjelaskan situasi, dengan rasa berusaha menjadi kuat.

Skylar tahu dengan apa yang ada di tubuh Aleena, dan kini ia menjadi gundah, bingung dan tersesat. Terbesit di benaknya, seharusnya ia tidak jauh cinta dengan Aleena, jadi dia tak hancur.

"Setidaknya kau memberitahuku!" jerit Skylar menggelegar.

Gustavo menatapnya dingin. "Apakah kau mau menerimanya ketika aku memberitahumu?" tanya Gustavo sarkatik.

Skylar termenung, tentu saja ia akan menolak.

"Aku lelah," gerutu Gustavo. "Aku lelah hidup seperti ini, aku ingin berubah ... tapi aku tak bisa merubah keadaan dunia saat ini," jelas Gustavo yang lemah. Cadance, Julius, Dan hanya dapat menyimak penuh luka dan rasa pedih yang sama.

"Semua ingin berubah, tapi aku tahu apa yang harus dirubah terlebih dahulu. Karena jika kita tak merubahnya, we always be hopeless. Itulah kita sejak dahulu, kita tak ada harapan lagi," tambah Gustavo. Cadance, Julius serta beberapa orang lagi yang berada di sekitar sana mematung penuh khidmat dalam pidatonya kali ini, semuanya yang diucapkan Gustavo benar, mereka tak memiliki harapan.

"Dia bisa merubah kita, Aleena adalah kuncinya, itu sudah nasibnya," lirih Gustavo.

Julius pun sontak teringat pertama kali ia menemukan Aleena di bawah reruntuhan itu, entah apa yang ia pikirkan saat itu untuk membiarkannya kemudian membawanya lagi, ia sadar nasib dan keberuntungan Aleena juga campur tangannya, membuatnya ikut merasa salah besar.

Mendadak kapal mereka terguncang kembali dengan tubuh yang terhempas.

"Arrhhh," jerit kekagetan semua orang yang hampir terpental. Julius dan yang lainnya berpaling pada perdebatan ini. Dalam diamnya yang cukup lama Skylar terus saja menunduk perih, menyembunyikan wajahnya.

"Kita harus kembali," desis Skylar seperti gumaman kecil. "Kita harus menyusul dia," usul Skylar membuat Gustavo terkejut.

Untuk apa pula mereka menyusul Aleena, belum lagi bagaimana kondisi saat ini yang terjadi, begitu batin Gustavo dan Cadance.

"Skylar kita tidak bisa," elak Cadance hati-hati. "Tak ada gunanya," tambahnya ironi.

"Aku tak perduli!" pekik Skylar, kepalanya mulai buntu dan tak mencerna banyak hal dengan matang.

Tiba-tiba Skylar berdiri dan berlari menuju setir kapal, Gustavo yang di dekat sana langsung melancarkan gerakan refleks dengan memegang kaki Skylar, membuat Skylar terhenti dan jatuh dengan wajah terlebih dahulu. Gustavo tak membiarkan Skylar menghentikan rencana Aleena, setidaknya sampai Aleena berhasil menghancurkan The Dropprunus.[]

Tarnom

Jauh di ujung belantara, ratusan Ghroan mulai sampai pada kota. Kelabunya langit seakan menyertai kedatangan makhluk buas menuju tempat satu-satunya sebagai tujuan utama melenyapkan setiap orang, Tarnom. Jauh dari pertolongan yang megah dan dalam keadaan yang terlalu rapuh untuk bertahan dan melawan serangan.

Seorang pria yang memiliki kuasa penuh pada sisa yang tertinggal bergerak menuju keluar gedung setelah didapatnya kabar tentang pergerakan dari timur. Mereka tak tahu tentang serangan ini, belum ada persiapan, dan terlalu dini untuk melawan ratusan makhluk buas tersebut.

Kilat matanya menajam pada arah timur, semilir angin yang berhembus membawa aroma busuk yang tajam. Kedua matanya melebar dan ia langsung berlari, meninggalkan debu yang terbang di tanah.

"Semuanya!! Mereka datang!!" jeritannya menggemparkan setiap penjuru. Suara berat seraknya mendengung sampai pada lantai di atas, jantung yang berdetak normal berubah menjadi detakan cepat dan rasa panik, para pria yang tadinya duduk bersantai kini berhamburan bagai gasing mencari senjata dan perlengkapan lainnya.

Belum semua bersiap tiba-tiba genderang senjata terdengar bertubi-tubi bersamaan teriakan nama Ghroan. Ghroan telah sampai pada pagar luar Tarnom yang tak tinggi.

"Bakar mereka! Buat blockade!" jerit seorang pria berseragam serba hitam. Dengan cepat tanggap semua orang mulai mengambil senjata yang telah terisi dengan bahan bakar, mereka menyiramnya dalam radius 7 meter lebih, membuat pola lingkaran agar menutupi seluruh Tarnom. Saat bahan bakar telah tumpah dan bergenang, seorang pria mulai melemparkan batang korek api pada satu titik, dalam beberapa detik saja api dengan cepat merambat mengelilingi Tarnom. Lingkaran api tersebut berkobar dahsyat, dan Ghroan yang berada di sekitar sana ludes terbakar.

Namun api tak dapat bertahan terlalu lama, mereka menggunakannya hanya untuk meluangkan waktu agar bersiap tempur. "Ayo! Ayo!!" jerit seorang pria bertubuh besar menuntun semua pria yang keluar dan mencari posisi. Pagar tralis yang berlubang-lubang adalah celah mudah Ghroan untuk masuk dengan memanjatnya.

Kobaran api besar itu bukanlah pertahanan yang kuat, segerombolan Ghroan tanpa diduga dapat melintas walau dalam keadaan sekarat dan luka bakar yang menyertai api yang masih melambung tinggi membentuk bagai tembok api yang tinggi.

"Mereka hidup! Mereka hidup!" jerit pria lain yang terlihat terus membidik sasaran Ghroan dan menghujaninya dengan peluru yang tersisa. Semua yang mendengar terkejut dan kembali menembaki Ghroan. Semakin sulit mereka menangani tanpa ada perbandingan yang adil antara Ghroan, persenjataan, dan pasukan yang berjaga. Sehingga membuat Ghroan lebih mendominasi dan memojokkan Tarnom dalam ambang kehancuran.

"Dash!! Mereka masuk! Kita butuh lebih banyak orang! Cepat!" jarit seorang pria yang berjaga di dekat pintu gedung, bersembunyi di balik kerangka pilar yang setengah hancur karena tembakan senjata.

Di dalam semua pria dari berbagai kalangan diharuskan ikut bertempur, Tent, Orvos, Ridcloss, Savagery ataupun pria paruh baya dituntut untuk bisa menembak Ghroan dan mampu melindungi dan mempertahankan Tarnom.

Lemahnya Tarnom tidak menjadi jaminan aman mereka, Ghroan mulai memanjat pagar, sebagian terjatuh karena tembakan peluru yang semakin lama terkikis mulai habis. "Arrrrggggh!" teriakan kesakitan semua pria telah terdengar bergantian dengan oktaf yang berbeda-beda yang artinya satu Ghroan berhasil lolos, lolongan kesakitan lainnya muncul kembali dan menjadi nada seram yang membuat tiap jantung sakit seperti tersiram air cuka yang perih.

Ghroan mulai masuk ke dalam gedung. "Jaga di dalam! Jaga di dalam! Jaga setiap lantai, bawa beberapa amunisi dan cepat!!" perintah tersebut menggema dan dikerjakan dengan cepat sebelum Ghroan masuk lebih dalam.

Gorden yang terbang memperlihatkan pemandangan mengerikan dari jendela, kobaran api besar yang menyala bagaikan lilin raksasa dan ribuan makhluk terus mengantarkan luka pada tiap orang, setiap detik dan menit yang berlalu. Ris dan Bianca menatap takut di luar, mereka tak pernah melihat makhluk-makhluk itu datang dengan dendam nyata.

"Ris! Jauhi jendela!" suara pekikan Anastasia membuat Ris terkejut dan acap mundur dengan anggun. Di saat Anastasia masih mendengar dengan jeli apa yang terjadi di balik pintu. Mendadak suara genderang senjata mulai berbunyi dari dalam gedung.

"Ana!" Ris memanggil, ketakutan dan sangat gelisah bersamaan dengan Bianca. Berdua menahan tangis dan gemetar tubuh yang luar biasa, serta menghilangkan setiap macam fikiran aneh.

"Sssshh ... sshshhh tak apa." Anastasia mencoba menenangkan keduanya, bahkan walau dirinya tak tenang.

"Aku takut ... aku ingin Skylar," ujar seorang gadis ketakutan yang merindukan kakak yang sudah berminggu-minggu tak ia lihat. Mendengarnya Anastasia datang penuh kehangatan dan kepahaman. Ia memegang pundak keduanya dan membelai mereka semua bagai seorang ibu beranak dua.

"Kita tak akan terluka, kita bisa bertahan," sebuah motivasi, tapi tak cukup kuat memastikannya pada Ris dan Bianca ketika dirinya pun juga takut bahkan ragu.

"Tidak ... kau tidak mengerti," elak Ris penuh ironi, air matanya menggenang berusaha tak menangis. "Siapa yang akan menyelamatkan kita di saat para penyelamat itu pergi, siapa??" sahut Ris, ia teringat penolongnya bahkan merindukan Gustavo, dan kali ini ia begitu menginginkan pria itu tengah melindunginya.

Anastasia memandang penuh cemas. "Kita harus percaya," sahutnya lirih.

"Pada apa?" nada Ris bergetar.

"Pada harapan," ia menatap satu per satu gadis kecil di depannya.

Simbahan darah dan tumpukan jenazah yang tergeletak hancur bertebaran, satu tubuh seorang pria tua tergeletak bersimbah darah dan bercak lendir hitam di seluruh wajahnya, mata tuan Robinson terbuka dengan garis air mata yang turun dari pipi kirinya. Menyisakan mereka yang bertahan dengan susah payah. Kurangnya bala bantuan membuat mereka mundur dan mendekati jurang keputusasaan, kematian itu semakin dekat dan terus mengejar.

Perlawanan dan pengorbanan itu kini terasa cepat berlangsung, tapi terasa lamban seakan bergerak sangat lambat. Semua orang mundur, masuk ke gedung dan menaiki tangga menghindari ratusan Ghroan yang terus berdatangan. Tak ada harapan, ataukah sudah tergaris dalam telapak tangan masing-masing? Mereka tahu tak dapat selamat, tak dapat bertahan lebih lama, dan akan terpojok dengan maut yang terus mendempet.

Beberapa wanita yang lengah kini mulai menjadi korban. Kamar yang tak terkunci dengan mudah terdobrak oleh kawanan Ghroan, menghancurkan raga mereka sampai tak bernyawa. Jarit tangis dan perpisahan semakin sering terjadi. Genggaman hangat setiap tangan terlalu erat untuk dilepaskan, menanamkan rasa cinta dan sayang yang dalam selama hidup.

Kamar Anastasia terdobrak keras, membuat ranjang yang menghalanginya bergeser kecil. Anastasia, Ris dan Bianca panik. Bercucuran air mata terakhir kali, itulah akhirnya, apakah takdir akan seperti ini? Mati tanpa perlawanan, dengan rasa takut yang membara bukannya keberanian?

Mereka saling bertatapan untuk terakhir kalinya, bahwa perjalanan ini adalah bagian tersulit untuk diterima.[]

Sebuah perkelahian sengit antara Gustavo dan Skylar tak terbendung lagi untuk kedua kalinya. Berdua saling menyerang dan bertahan. Gustavo melempar tubuh Skylar agar tak menuju ruang kemudi di depannya. Pria muda itu terlempar jauh karena mengerikannya kekuatan Gustavo.

Mencoba melawan balik Skylar mengambil tongkat tombak di sampingnya dan langsung mengarahkan pada dada bidang Gustavo yang refleks menghindar. Sudah diduga, Skylar akan membunuhnya tanpa ragu bahkan tanpa rasa bersalah sekali pun, hari itu juga.

Perkelahian demi sebuah kemudi kapal tengah berlangsung menegangkan bersama dengan usaha pria yang lain di sisi kapal jauh sedang membunuh Gemirix dengan susah payah. Tak sadar bila 3 kaki Dommed mengayun, menghancurkan atap ruang kendali.

Gustavo terbelalak, namun belum sempat ia mencerna kaki Dommed mengambil kaki kiri Gustavo dan kaki kanan Skylar bersamaan. "Arrrrrghhh!" pekik mereka berdua merasakan racun Dommed menyengat kaki berdua dengan tragis. Mencari benda apapun untuk bertahan agar tak tertarik oleh Dommed ke laut, namun tidak ada apa-apa.

"ARRRGGH SHIT!" jerit mereka berdua. Skylar terangkat lebih dahulu tiga meter di atas lantai, ia merogoh mencari senjata tapi ia tak bisa menemukannya.

Cadance berlari penuh kekuatan, mengeluarkan katana. Desingan terdengar dan dengan cepat ia menebaskan pedang ke kaki yang melilit kaki Gustavo. Tajam katana ditambah kekuatan Cadance tak diragukan dengan mudah mencincang tentakel Dommed dan putus. Sebelum ia juga membawa Skylar dengan sekuat tenaga ia mengayunkan katana ke atas dan memotong kaki Dommed.

Darah hitam pekat mengalir deras, mengguyur Cadace yang di bawah kakinya yang menggeliyat hingga ia mengenai perut Cadance dan untuk kedua kalinya ia terbang beberapa meter ke belakang. Serum yang tersimpan di sakunya menggelinding ke arah lain. Nafasnya terpingkal-pingkal hebat, jantungnya terpacu membalap setelah tindakannya tadi.

Wajah dan semua tubuhnya kini kotor dengan darah dan lendir Dommed yang tak beracun, berbau sangat busuk. Cadance mengernyit jijik pada tubuhnya, dan cepat ia menyadari sesuatu yang telah hilang, dan itu adalah serum dari WHO.

Ia meraih botol tersebut dengan panik, memandangnya penuh ngeri ditambah tangannya yang berlumuran darah. Mendadak ia terdiam dalam sebuah keterkejutan, ia baru saja menyadari sebuah hal.

Darah dan Serum.

Semuanya berkaitan, dan ia mengerti, ia memahami teka-teki itu.

"GUS!!" panggil Cadance sangat terburu-buru. "Kita harus menyusul Aleena!!" pekiknya kalang kabut dan terburu-buru sebelum terlambat. Mendengar kalimat Cadance, Skylar berseru, dan menyadari Cadance telah memahami suatu hal yang terasa seperti berita baik.

"Serum ini! Ini serum yang memiliki arti!" pekik Cadance.

"Apa artinya?" tanya Gustavo bingung.

"Ingat apa yang aku jelaskan padamu di perpustakaan tentang bahan yang belum lengkap pada serum ini? Reagen. Reagen yang dicari tidak ada!" jelas Cadance.

"Reagen, Reakton! Mereka butuh Reakton atau bahan yang bekerja pada kimia, pada bahan ini! Bahan itu bukan lain ialah darah. Darah yang kumaksud adalah darah Dommed dan energinya!" jelas Cadance tak sabaran.

Gustavo mengangguk paham. "Aleena punya keduanya," jelas Gustavo menyadari kesamaan.

"Dia punya energi dan dia terkoneksi pada Dommed, tapi sebagaian energi pada Aleena sudah ada bersama Dommed," suara Gustavo menjadi pudar, bagai ironi yang tertelan.

Cadance membelalak tentang itu. "Apa! Kau tak pernah berbicara tentang hal itu!!" pekiknya marah.

"Tidak! Selama Aleena masih memiliki energi itu ia akan tetap mati! Dia harus melepaskan semua maka mungkin ada kesempatan ia bisa bebas," jelas Gustavo lagi menatap sekelilingnya.

"Jadi energi itu harus dimiliki Dommed seutuhnya, maka Aleena bisa selamat?" pasti Cadance.

"Dimiliki atau melepaskan seutuhnya," tambah Gustavo.

"Membiarkan Dommed mengambilnya juga membunuh Aleena! Dan ketika ia mendapatkan seluruh energi dan mengaktifkannya di The Dropprunus kita akan mati!" nada Skylar melonjak tinggi, tak setuju dengan semua susunan.

Semua terdiam, kejadian aneh di sekitar perlahan menjadi panduan dalam mencari ketenangan yang hakiki. Semua terasa aneh, apa yang akan diputuskan dan apa yang akan dikerjakan begitu sulit disimpulkan. Cadance menatap harap Gustavo, agar ia menemukan ide apapun.

"Gus, kita hanya butuh darah Aleena." Cadance membantu sedikit mengingatkan. Tatatapan Skylar beralih pada Gustavo, menatap penuh intimidasi dan harapan yang besar. Terbesit kecil sebuah ide gila, tetapi mungkin saja berhasil.

"Kita tak memiliki amunisi banyak dan pasukan lagi untuk bertahan bila diserang," gumam Gustavo.

"Aku rela mati ... aku rela mati demi menyelamatkannya," sahut Skylar penuh ketegasan yakin. "Dan aku tidak perduli dengan kalian! Tapi aku rela mati untuknya, karena dia juga rela demi mati demi diriku ... demi kalian ... demi semuanya!" kalimat Skylar bagaikan lambang penyatu kesepakatan, membuat Cadance dan Gustavo saling pandang-memandang bertelepati.

Gustavo menarik satu nafas kecil. "Kita butuh Julius," gumamnya.

Sebuah senyuman bahagia miring terlukis pada bibir Cadance, dengan bergegas ia sendiri mencari Julius, dan mengejar waktu. Iris gelap mata Skylar menatap dingin Gustavo yang mulai pergi untuk melukai Dommed dan menjauhkannya dari kapal. Gustavo mencari senjata andalan untuk memusnahkan makhluk terkutuk tersebut, Vurwapens. Dan ia harus pandai-pandai mengingat jumlah amunisi Vurwapens tak banyak.[]

Sekoci terapung dalam hamparan biru yang bergulung tanpa henti. Deruan angin mampu melambungkan tubuh Aleena di atas sekoci, dengan jantungnya yang mengetahui saat tepat untuk berdebar, di saat itulah mata hijaunya menatap erat ke bawah lautan. Dari sekoci, ia bisa menebak cahaya apa yang ada di bawah laut. Cahaya yang beredar di berbagai tempat, terutama satu hal yang terekspos karena perbedaannya, satu-satunya objek lebih besar dan bercahaya lebih terang. Ia menarik kepalanya tak ingin berlama-lama menatap objek tujuannya.

Nafasnya mulai sulit dengan kedua matanya yang tertutup berfikir dan menimbangi. Denyut nadinya membuat jemari bergetar ketakutan. Mendadak dari dasar laut bayangan hitam melayang dengan cepat menuju arah Aleena. Dengan rasa gelisah dan insting melindungi diri, ia dengan cepat mengambil The Ogre yang siap dengan beberapa panah besarnya.

Ghroan tersebut meloncat bagaikan ikan terbang, dan Aleena yang mengambil busur dengan cepat memposisikan tubuhnya terbaring dan mengarahkan anak panah pada tubuh Ghroan. Panahnya terlepas dan menusuk tubuh Ghroan, jatuh ke sekoci dan tenggelam ke lautan bebas. Busurnya kembali ia taruh, mempersiapkan lagi beberapa panah jika saja ada Ghroan yang ingin menyapanya kembali.

Mencerna sejenak, Ghroan begitu banyak di bawah sana, tidak semua pasukan Ghroan pergi untuk menghancurkan Tarnom dan kapal di belakang sana. Masih banyak yang berada di sekitar The Dropprunus, pusat kehidupan mereka. Bahkan Aleena masih ragu apakah Dommed pergi atau masih di bawah sana menunggu dirinya datang.

Dalam satu tarikan nafas Aleena mencari senjata, serum, dan bawaan penting lainnya yang telah disediakan. Satu per satu ia kaitkan di celana, dari serum Plyntserum, Slyctserum, peledaknya dan lain-lain hingga bobot tubuhnya terasa begitu berat karena semua bawaan. Takut ia akan tenggelam karena terlalu berat, ia memastikan kembali kedalaman, menghitung ulang lama nafasnya, namun berat membantunya meluncur dengan cepat, tak perlu ia cemaskan ulang.

Lokasi yang dituju tak terlalu dalam, sejauh 12 meter ke dasar laut dan ia bertemu dengan The Dropprunus, objek yang harus dihancurkan agar semuanya terbebas dari teror makhluk tersebut. Sesekali Aleena mengingat alur rencana jika sudah menyelam, strategi yang bagaimana jika serangan mendadak tiba-tiba menghampirinya.

"Haruskah aku mati demi mereka?" sebuah pertanyaan emosional terlontar sejenak.

"Inikah akhirnya?" tambah Aleena haru. "Akulah harapan satu-satunya?" desahan sesak membuat kepalanya mengulang memori-memori dan kenangan dahulu. Tentang The Fort dan setiap detail usaha dalam pencapaian besar, orang-orang di sana, setiap korban berjatuhan dari serangan-serangan di The Fort, perjalanan pertama dan yang terakhir. Pengorbanan Wolf dan Yura agar dirinya sampai dan menuntaskan apa yang sudah dimulai.

Rekan baik Julius yang meninggalkannya demi memperjuangkan orang lain agar maju dan juga menuntaskan apa yang dimulai. Setiap percakapan siang malam yang terucap sampai detik ini, rasa suka duka setiap saat yang terus mengalun merdu pada setiap memori masing-masing jiwa.

Harapan itu seolah memang tak nyata, sebenih, sebutir, setitik atau sedikit apapun itu mereka tak memilikinya. Rasa yang Aleena pendam selama ini hanyalah perwakilan terhadap harapan pada semua warga The Fort. Semua yang hidup masih memiliki waktu untuk hidup, dan ia mencoba merasakan kepasrahan yang diderita setiap orang.

Sekali lagi dan untuk terakhir kali Aleena mendangak, menatap awan tebal bergantung di samudra biru di atas sana. Lukisan terindah untuk mengobati luka di dada, untuk mengingat detail terpenting sepanjang hidupnya, untuk mengingat rumah. Di belakang pundaknya ia sadar banyak orang dalam keadaan berbahaya, mendekati ajal dan terutama Ris, Bianca, Will dan semua orang di Tarnom.

Bahkan mengingat wajah tampan Skylar yang akan terluka saja Aleena tak sanggup. Ia mengulum bibirnya, mencari keyakinan lagi dan sisa kebaranian pada dalam lubuk hatinya. Dia yakin ketakutan adalah keberanian dalam arti yang lain.

"Aku siap," sebuah gumaman yakin pada diri sendiri terlepas. Dengan serangkaian serangan yang tiap detik menambah korban, Tarnom dan di kapal, Aleena akan menghentikannya.
Aleena menarik nafas panjang dan suara cipratan air terdengar saat ia menenggelamkan diri.[]

Julius sudah memegang kendali, kapal yang ia kendalikan melesat laju meninggalkan Ghroan dan Dommed yang berhasil dilukai Gustavo, menggiring Dommed untuk menuju The Dropprunus dalam keadaan sekarat dan luka di sekujur tubuhnya. Terkadang Gemirix dan Ghroan masih mampu mengikuti, dan melompat ke dalam kapal. Menindak lanjuti serangan tersebut sisa 30-an orang ini bersiap di pinggir kapal dengan senjata.

Hanya 39 orang yang terisa, mengejar waktu dan begitu gentingnya. Mustahil menyusul ke arah Aleena yang sudah tenggelam, dalam jauhnya dari harapan yang tersisa.[]

Tarnom juga diserbu di saat yang sama, mereka pasrah. Will yang kelelahan menembaki Ghroan dengan amunisi yang habis terpojok dalam kengerian. Bianca, Anastasia, dan Ris terus melantunkan doa, tatkala ia tetap berusaha mempertahankan pintu yang terus terdobrak.[]

Aleena tenggelam secara cepat dibantu oleh beratnya benda yang ia bawa. Ratusan Ghroan berkeliaran di dasar yang masih dapat terlihat oleh kelopak mata Aleena yang menyipit. Mendadak Ghroan yang melihat kedatangan Aleena melesat ke arah Aleena bagaikan lumba-lumba yang mulus saat berenang. Terkesiap dengan apa yang datang, Aleena mengambil serum untuk melindungi diri.

Dirogohnya berbagai macam benda dan ia mendapatkan serum Plyntserum. Dengan gerakan berat di bawah air, cepat dan berhati-hati ia memasukkan serum pada tempat amunisi senjata, menguncinya dan langsung ia membidik arah datangnya Ghroan. Serum yang terlepaskan melesat bagai petir yang menembus air. Warna serum yang bercampur padu dengan air berubah menjadi keputihan dan ketika Ghroan mendekat, mereka pergi menjauh setelah mengecap rasa lain dari airnya. Hingga Ghroan itu menjauh dan tak ada di depan Aleena.

Ia kembali berenang dengan cepat, mengisi lagi senjata dengan serum. Kumpulan Ghroan yang bergosip menghalangi jalan Aleena dan memaksanya menggunakan serum lagi. Ia menarik pelatuk, hingga serum itu membuat Ghroan bubar, memberi ruang gerak bagi Aleena yang terburu-buru. Terus-menerus ia menggoyangkan kakinya agar tenggelam lebih jauh ke dasar.

Nafasnya mulai tercekik, dan ia tersedak dengan air yang mulai masuk dari hidungnya. Ia tak tahan lagi, dan naik bukan opsi brilian. Gelembung udara mengambang ke atas kepala, dan ia tak bisa mengontrol kerja paru-parunya. Mendadak suara besar dan sangat bising membuat Aleena cepat-cepat menoleh. Ia tahu apa yang bisa membuat suara sebesar dan mendengung seperti itu. Dengan laju ia kembali berenang mendekati sebuah gundukan setinggi tiga meter, mengeluarkan cahaya benderang.

Semakin jauh tubuhnya hingga ke dasar semakin jelas apa yang ada di sekitarnya. Lokasi tempat tinggal makhluk-makhluk buas yang sudah meneror dari berabad-abad silam. Setiap detail, gundukan-gundukan pilar yang bercahaya, dan banyaknya, percis dengan potret gambar Locmez yang pernah ia lihat.

Dan dalam ketegangan dan keterkejutan, iris mata hijaunya menatap objek megah yang tenggelam dalam perasingan dunia. Kapal Locmez dahulu, yang bahkan besarnya dua kali lipat dari kapal Julius. Semua sisi kapal terselimuti lumut hijau yang tebal, menjadikan tempat hunian nyaman bagi Ghroan.

Lengah karena pemandangan mencengangkan, Aleena tak sadar Ghroan sudah berada tiga meter di dekatnya. Mata Aleena melebar, dalam kepanikan ia mencari senjatanya tapi terlalu lambat bagi Aleena sehingga Ghroan melukai lengannya, merobek pakaian Aleena. Darah merah melayang di sekitar Aleena dan terus ia tahan sakit luar biasa tersebut.

Aleena menembakkan amunisi di sekitarnya sehingga Ghroan-ghroan yang menyerangnya pergi tak mau mengunjungi. Setidaknya dengan luka beracun yang membuat Aleena terinfeksi ini akhirnya ia dapat merasakan kesakitan semua korban akibat Ghroan.

Jika meneteskan air mata itu bisa, maka Aleena akan melakukannya dalam kelemahan yang tiada tara. Racunnya mulai menjalar dan menyebar, membuat Aleena lemah. Sebelum memang melumpuhkan, Aleena mencoba menuju The Dropprunus.

Darah yang masih keluar memancing lagi Ghroan-ghroan untuk datang, namun tangan yang terluka menyulitkannya mengambil serum untuk mengusir. Dengan pasrah ia mengambil satu-satunya serum Slyctserum. Ia menembakkannya pada air dan kembali, Ghroan merasakan dampak yang kali ini berbeda. Ghroan nampak kejang-kejang luar biasa, sebagian dari mereka tak tahan sehingga mati mengambang. Beberapa lagi mulai merasakan racun yang merusak saraf, menjadikannya liar tak terkendali, bergerak tanpa kendali dan berhamburan melesat bagaikan lebah.

Keberadaan Aleena di tengah hamburnya Ghroan yang meliar membuatnya tak dapat berkutik, Ghroan yang menggila itu membuat Aleena terjebak sampai ia melukai Aleena, dengan duri-duri tajam hitamnya mengenai beberapa tubuh Aleena. Ghroan mulai menyerang Ghroan lain membunuh satu sama lain. Tanpa diduga kericuhan Ghroan yang bagaikan lebah itu kembali menggoreskan luka di wajah Aleena di pipi kanan. Empat buah goresan panjang dan dalam membuat wajah cantiknya menjadi rusak.

Mungkin Aleena tak sempat berfikir, baiknya serum itu dipakai ketika Ghroan dalam kerumunan yang banyak, sehingga ketika ia menembaknya, Ghroan akan menyerang masing-masing dari mereka secara masal, bukannya seperti saat itu, saat Ghroan di dekat Aleena.

Aleena kembali meringis dalam kesakitan luar biasa, belum lagi nafasnya mulai tercekik. Terbesit di benaknya ia akan gagal, mengenai luka yang sudah melumpuhkan dan racun yang sudah bersarang di dalam tubuhnya adalah alasan utama yang tak terelakkan lagi. Dalam kelemahan, mendadak tubuh Aleena seperti tenggelam, pasrah akan jatuh tubuhnya pada dasar air.

Ia ketakutan, namun teringat apa yang membuatnya menjadi pribadi yang berani sampai saat ini, yaitu ketakutan serta orang-orang yang mencari harapan. Tubuhnya kembali terangkat, mencari sisa-sisa kekuatan yang ada, demi semua orang yang ia cintai.

Sesuai yang Gustavo berikan padanya Aleena mengambil sebuah alat di saku. Dalam kepastian dan siap mental Aleena mendekatkan diri pada The Dropprunus. Ini kali pertama ia menatap rekat dari dekat benda itu, cahaya di dalamnya bagai maha karya yang terbentuk dari batuan asteroid yang jatuh mencium bumi, menjadikannya perpaduan elemen yang sangat langka, bahkan terlihat begitu fantasi.

Dengungan aneh dalam benda itu membuat kepala Aleena ikut mendengung bagai mesin, cahaya terang anehnya mencerahkan wajah terluka Aleena yang mengeluarkan darah segar tiap detiknya, ia membayangkan dalam-dalam bila inilah akhir dari masa-masa Ghroan.

Secara cepat ia memasukkan tangannya menembus lapisan lembab hangat dari cahaya biru, terasa aneh dan begitu asing. The Dropprunus yang selama ini tak pernah ditemukan bagaikan sebuah titik koneksi antara dirinya, Dommed, dan organisme Ghroan lainnya yang saling mengikat. Ia lepaskan alat peledaknya di dalam The Dropprunus dan berenang menjauh.

Hitam telaga membalut keresahan yang ada, ia semakin jauh pergi untuk terakhir kalinya, untuk meledakkan The Dropprunus. Aleena menatap kemegahan setiap memori yang telah ia capai, membatin jika ia mencintai semua orang sebelum ia pergi untuk selamanya, dan menemui akhir hayatnya.

Ia mengambil tombol di saku untuk meledakkannya, namun tiba-tiba saja tubuh Aleena terhantam sesuatu yang berat dan kuat. Membuatnya tersedak dan mengerjap kaget hingga kedua matanya membesar tanpa berkedip, terasa seperti menerima selongsong peluru di belakang dan tembus ke jantung.

Tubuh lemasnya mulai terayun ke dasar, matanya menjadi kosong tak ada kehidupan. Paru-parunya tak bekerja begitu pula jantungnya yang tidak berfungsi sedemikian rupa. Dommed yang harus kembali untuk menyembuhkan dirinya adalah bom waktu yang tidak tepat, sekaligus ia berhasil menyelamatkan pusat kehidupannya.

Tombol pada genggaman Aleena pergi tenggelam bersamanya, jatuh dalam kesunyian alam bawah bersama Aleena. Jatuh di sebelah kanan tangan yang tergeletak lemah, di atas bebatuan kecil bagai kerikil.

Tak ada gelembung yang keluar dari bibir Aleena, seakan menyudahi semuanya sebelum semuanya selesai.[]

Ghroan mulai membunuh banyak orang di Tarnom, inilah akhir dari semua kisah, mereka hidup tanpa harapan dan akan selalu hidup tanpa ada harapan. Dalam sebuah momen, suara genderang senjata menderu begitu banyaknya. Bagai suara deras rintikan hujan yang mengguyur datang dari arah luar.

Bantuan yang tak diduga-duga mendadak saja datang untuk Tarnom ketika sisa-sisa prajurit dan orang-orang selamat di The Fort yang dahulu memutuskan tinggal akhirnya muncul menyelamatkan dari balik hutan. Berpuluh-puluh pasukan melancarkan serangan pada ratusan Ghroan yang mengepung. Beberapa prajurit melemparkan banyak racun dari serum, melemparkan granat hingga semua Ghroan mati dalam skala yang banyak.

Matilda terus berteriak agar melindungi mereka yang ada di dalam. Anggotanya pun mulai menembaki ratusan Ghroan yang menguasai gedung Tarnom. Satu per satu mereka menghujani Ghroan dengan peluru penuh dendam dan benci.

"Kill them all!!" jerit Matilda yang memutuskan untuk keluar. Membantu orang-orang terdahulunya yang ia yakini dalam masalah sangat besar.

Dan dalam beberapa menit saja Matilda, Rowan, dan anak buah lainnya mengambil kemerdekaan mereka yang tadinya telah hilang, mengangkat tinggi-tinggi bendera kebangsaan The Fort, menunjukkan pada dunia bila mereka masihlah mampu berdiri kuat di bawah siksa dunia.[]

Kapal Julius semakin mendekat, di saat itu juga Skylar dan setiap orang berdiri menatap terpaku akan sebuah sekoci tanpa penghuni, mengambang penuh pertanyaan. Azzura berlari hingga ia menutup mulut dengan tangannya saat ia sadar apa yang ia lihat begitu pula Skylar.

"Tidak!!" getirnya emosional.

"Cadance! serumnya!" ia meminta serumnya dan Cadance memberikannya.

Dengan penuh kepercayaan dan harapan yang begitu besarnya dengan cepat Skylar melemparkan serum yang telah terbuka, hingga ia mencium permukaan air, tenggelam ke dasar dengan airnya yang lepas dari dalam dan menghujani setiap pelosok daerah Ghroan.

Mendadak serum tersebut berubah menjadi buih-buih bagaikan soda di dalam airnya dan bukan lagi cairan serum.[]

Ribuan klip memori terulang dengan begitu cepatnya, setiap keindahan dan kesedihan tak larut dalam keterpurukan seberapa berat pun itu. Terbesit kembali setiap senyuman yang tulus, dari Aleena, Azzura, Skylar, Ris, Bianca, Cadance, Will, Donny, Seth, Wolf, Yura, Robinson, Julius bahkan Gustavo dan setiap orang yang pernah Aleena lihat. Hingga semuanya gelap bagi Aleena, tidak apa pun yang ia lihat, ia rasa.

Hanya senyuman tuluslah yang mengisahkan awal dan akhir. Harapan adalah takdir yang menanti, dan berharap tidak akan membuat terluka. Menyerah yang membuat terluka dan tak memiliki harapan.

Bebatuan di bawah Aleena yang tersusun rapi perlahan berubah, rongga-rongga dari celah batu yang tersusun rapi perlahan terisi dengan cahaya berwarna biru yang menyala, menerangi seluruh batuan. Mengalir terus hingga setiap dasar laut menjadi terang karena sinarnya, cahaya yang meresap pada rongga-rongga bebatuan kerikil halus mulai menjalar lebih jauh, dan berakhir pada The Dropprunus.

The Dropprunus mengeluarkan kilau cahaya yang lebih cerah lagi di saat bersamaan ketika ia mendapatkan kembali energi yang hilang itu, dan dalam kesadaran yang datang secara muslihat, tangannya bergerak meraih tombol di dekat tangan kanannya. Lembut, dan penuh penghayatan. Walau matanya terpejam tapi seakan harapan dan takdir lah yang menggerakkan tangannya. Ia menakan tombol tersebut dan kedipan tiga kali lampu di alat dalam The Dropprunus, dan pada bunyi terakhir, alat tersebut meledak begitu besar.

The Dropprunus yang berdiri kokoh terburai bagaikan butiran pasir, meledakkan benda tersebut. Cahaya yang ada di dalamnya sontak padam. Angin ledakan di bawah sana menerpa bagai topan, pilar-pilar gundukan lainnya terhempas dan rubuh, Ghroan-ghroan yang berada di sana terambung jauh dan tak terkecuali Dommed dan Aleena.[]

Dari kapal baru saja mereka melemparkan serum tersebut dan mendadak kapal mereka terhuyung dan terhantam lebih keras dari biasanya, air yang menyimbur bagaikan air mancur membasahi lantai kapal dan tubuh semua orang. Semilir angin deras pun menjalar entah dari mana dan menerbangkan semua orang.

Gelombang angin tersebut bergerak terus sampai terasa hingga Tarnom, mereka merasakan gelombang udara panas dan aneh yang menyengat kulit.

Gustavo perlahan berdiri dekat pada pinggir kapal, ia tahu aksinya terlambat, mereka belum sempat menyelamatkan Alrena, diikuti dengan semua orang yang membentuk baris memanjang pada setiap pinggir kapal. Mencari jawaban tentang pertanyaan di setiap jiwa.

Skylar menegukkan saliva pahit ketika sesosok makhluk muncul ke atas, tubuh pucat dan besarnya mengapung dan tak bernyawa, menjawab satu pertanyaan.

Dommed telah mati.

Tak ada sorakan, selebrasi, gerutuan dan apapun yang dapat menggambarkan momen mengharukan dan mengerikan itu. Semua terlalu kaget, shock, emosional, terharu dan bahagia. Setiap langkah yang tercipta memiliki hasil, dari setiap darah pengorbanan selama ini terlalu sulit digambarkan setiap jiwa.

Tetesan air mata mengalir pelan di pipi Azzura, ia mengerti satu hal dan ia mengambil hikmah tersendiri. Sahabatnya telah tiada, tak akan pernah muncul lagi untuk memperlihatkan wajahnya tuk terakhir kali, untuk menyimpulkan senyum tulus dan sapuan hangat pelukannya, canda tawa suka maupun duka.

Bagi Skylar, ia menyadari betapa bodoh terhadap tindakannya yang terlambat. Semuanya belum selesai sampai Aleena sudah meledakkan The Dropprunus sendiri, dan semuanya sudah terlambat baginya.

Ia tidak patut lebih dari siapa pun untuk menerima hal tersebut, tapi di sisi lain semua orang patut mendapatkan hasil terakhir kali ini, hasil yang diinginkan ayahnya sejak dahulu.

Cukup berat menerima bila seseorang akhirnya mengorbankan diri untuk yang terakhir kalinya, terutama mengingat siapa orang tersebut. Dan setiap rasa terus terserap baik-baik, merasakan keberhasilan dan kesuksesan. Tak akan melakukan aksi serang atau pun bertahan lagi, dan semuanya telah usai dalam keheningan yang tercipta.

Fase selanjutnya masih menunggu mereka, dan terus menunggu.

Dengan jawaban yang harus dijawab.

Dan kesuksesan yang harus diceritakan.

*****

Please listen to the song of Battle Cry - Imagine Dragons.
Cuman lagu itu yang cocok .

EPILOG >>>>>>



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro