Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 5 - Keberanian

Dengan wajah yang kusut, langkah yang malas, dan tubuh yang masih lemas ia berjalan keluar mencari Ris yang tadinya tak dapat ia temukan di dalam bunkernya, jika instingnya benar maka Ris sedang berada di atap di mana Aleena membawanya saat itu, langitnya berwarna putih bersih yang membuat seluruh benteng terpias warna bersih yang terang tanpa angin besar yang meniup seperti biasa.

Matanya menatap ke arah atap dan benar saja seperti apa yang dia perkiraan, matanya menangkap sedikit kepala dan rambut coklat Ris di atas sedang duduk entah merenung apa.

Senyuman tersirat di wajah Aleena ketika sampai di atas ia mendapati Ris sedang mengagumi warna langit biru yang sangat indah dan jarang terjadi ketika seluruh awan menjadi bentuk bagaikan ombak.

“Sepertinya ini sudah menjadi spot terbaikmu,” ucap Aleena membuyarkan lamunan Ris, kepalanya menoleh ke arah Aleena di belakang dan tersenyum lebar dengan binar-binar di matanya.

“Aku tidak tahu mau ke mana lagi,” balasnya terkekeh pelan masih tersenyum malu.

“Akupun begitu, tak ada satu tempat lain yang ingin kukunjungi,” ucap Aleena mendapat lirikan kecil dari Ris.

“Apa yang kau fikirkan?” tanya Ris begitu prihatin.

Aleena terdiam sejenak, memilah kata apa yang benar-benar mencerminkan perasaannya kala kegundahan yang meranakan dirinya. “Kebebasan,” nadanya berat dan serak yang merdu.

"Kebebasan apa?" Ris masih bingung. "Bukankah menjadi yang diselamatkan adalah kebebasan dari pahitnya dunia luar?"

Aleena menjadi tergagap. "H-hanya saja, kita harus melakukan sesuatu di sini." Ia menjadi bingung juga.

“Apa kau bosan di sini?” tanya Ris kembali menatap Aleena, keningnya mengerut kecil seraya heran dengan jawabannya tadi.

“Ini adalah rumah,” gumam Aleena.

Ris menggeser kepalanya dan matanya membesar. “Sepertinya ada yang mencarimu,” tutur Ris ketika ia menatap ke arah bawah, seorang lelaki berdiri di bawah menatap tempat kedua wanita itu, menengadahkan kepalanya menatap mereka dengan tatapan senang.

Aleena mengintip ke arah bawah, tangannya ia tekan menahan tubuhnya yang condong ke depan dan melihat sosok lelaki kemarin dari ujung atap.

“Bolehkah aku ke atas?” pekiknya, suaranya masih sama berat dan serak seperti ingatan pendengaran Aleena yang sedang membalas tersenyum manis dan mengangguk mengizinkannya.

Pria itu mulai hilang dan menuju arah bangunan mereka, dari arah tangga mulai terdengar suara langkah kaki yang besar. “Hi semua, apa aku mengganggu kalian di sini?” gubrisnya sesaat sampai di atas, keempat bola mata hanya menatap lelaki itu yang sedikit terengah-engah sampai di atas.

“Tidak sama sekali,” balas ramah Aleena sambil tersenyum.

“Sebaiknya aku kembali, aku ingin membersihkan tubuhku,” tutur Ris di sela-sela diamnya mereka berdua, ia tahu pasti untuk tidak mengganggu mereka di atas sana dan memberikan sedikit waktu untuk Aleena mengobrol dengan lelaki itu.

“Aku tidak pernah tahu namamu,” tuturnya ramah, tatapannya tidak pernah lepas dari mata hijau Aleena.

“Aleena Sharlon,” singkat Aleena.

“Aleena. Aku Yura Korbin,” balasnya tanpa ada jabatan tangan.

“Yura. Salam kenal,” Aleena tersenyum kecil.

“Di sini sangat indah” tuturnya, matanya menjelajah seisi langit dan menerawang sepanjang hutan di depan mereka.

“Aku tahu, aku selalu di sini”

“Kau selalu di sini?” tanyanya santai.

“Sering, aku jarang melihat grup lain ke sini. Apa yang membuatmu datang ke sini?” tanya Aleena penasaran, setidaknya ia ingin tahu apa yang membuat lelaki di depannya datang tanpa alasan.

Wilayah para Bunkers berada di tengah-tengah wilayah The Fort yang dikelilingi tempat penjagaan, mereka aman di sana dan itulah mengapa cukup sepi di daerah situ.

“Entahlah, aku bosan di sana,” jawab Yura menggidikkan bahu.

“Menarik,” gumam Aleena.

Alis mata Yura menaik ke atas bersamaan, meminta secara detail maksud kata Aleena. “Maksudmu?”

“Kufikir hanya aku saja yang merasa bosan di sini,” dengus Aleena tertawa pelan.

“Kau benar, di sini sangat membosankan. Aku bahkan muak mendengar para Tent yang kelaparan meminta makanan,” balasnya bercanda renyah, Aleena terkekeh geli.

"Mungkin semua orang juga merasakan seperti yang kita rasakan. Hanya saja mereka adalah spesies paling pandai memendam perasaan," ujar Ridcloss itu.

"Kita hidup diatur, sebuah bayaran bagi mereka karena terselamatkan," kata Aleena mendecak sinis.

"Mungkin ada yang lebih buruk untuk menembus nyawa dibanding ini," gumam Yura membayangkan.

"Kau fikir masih ada orang lain di luar?" Aleena semakin lama merasa resah.

Yura meliriknya. "Menurutku?" alis pirangnya terangkat, "masih ada. Kita tinggal di kota kecil dan masih ada kota-kota lain, besar kemungkinan masih banyak pengembara. Namun di kota sini? Ini pusat para makhluk itu tinggal." Katanya dingin.

"Aku rasa kita sendirian." Gumam Aleena.

Sekemudian mata Yura menjadi tajam dan ganas ketika manik matanya bertemu bayangan hitam dari bawah di tengah hutan. Tubuhnya menegang dan Aleena terlupakan, seketika tangannya memegang pundak Aleena dan menggesernya cepat dan melihat sosok berjalan di tengah hutan yang membuat tubuhnya semakin kikuk dan panik.

“Molk,” desisnya menggebu melihat satu sosok mayat hidup yang berjalan pelan ke arah dinding tinggi The Fort. Kaki kanannya berjalan pelan menyeret kaki kiri miliknya, bajunya terkoyak-koyak tak karuan dengan tambahan noda hitam yang sudah mengering lama.

Kulitnya terluka sangat parah, urat-urat yang menjalar di tiap tubuh timbul terlihat jelas berwarna hitam lebam di sekujur tubuh. Kakinya yang menyeret dedaunan terdengar serak, dan ia tetap maju menatap dinding besi di depan.

“Kita harus memanggil para Tent," tutur Yura panik, seketika tubuhnya ingin berlari namun dihentikan oleh terpakunya tubuh Aleena. Aleena terlalu terkejut dengan penampakan mengerikan di bawah, hingga kaki dan tangannya tak bergerak dan mematung.

"Aleena!" pekik Yura yang akan turun ke tangga.

Aleena kembali bergeming, ia menatap Molk yang sedari tadi mendekat dan lolos dari penjagaan Tent dari pinggir dewala. Tegukan saliva keras mengalir pada tenggorokan Aleena, peluh dingin dan sakit kepala yang menyerang membuatnya mual.

"Aleena! Kita harus pergi memanggil Tent," ucap Yura kembali mengingatkan dan tanpa segan menggenggam pergelangan tangannya bermaksud menggiringnya pergi.

“Berikan pisaumu!” titah Aleena tak kalah panik.

“Apa- apa yang akan kau lakukan?" nada Yura meninggi beberapa oktaf, keningnya mengkerut dan jantungnya bergebu-gebu panik melihat satu Molk hampir sampai pada benteng mereka.   

“Berikan!” teriakan Aleena tak kalah tegas dengan rasa yakin.

Yura mengambil sakunya dan menarik gagang pisau yang terselip di saku belakang celananya seakan telah dihipnotis oleh Aleena untuk menuruti tiap kata, ia tak punya pilihan lagi selain memberikan pisaunya agar Aleena tak memberikan tatapan bengis. Akhirnya Yura memutuskan pergi berlari ketakutan mencari beberapa Tent untuk memusnahkan Molk itu.

Dengan sigap Aleena mencari cara, otaknya menangkap satu ide yang jika berhasil akan menolong bentengnya, matanya menangkap dahan sebesar 3 ruas jarinya yang rindang sehingga dengan mudahnya Aleena mendapatkan dahan keras pohon itu, dengan kuat dan cepat ia menggoyang-goyangkan dahannya ke kanan dan ke kiri, matanya sesekali melihat ke bawah memastikan jika Molk itu masih berada cukup jauh, hingga terdengar bunyi retakan kayu yang memisahkannya dari dahan lainnya. Dahannya cukup keras sesuai harapan dari Aleena.

Tubuhnya kini harus bergerak cepat di balik getaran tangan dan detakan cepat jantungnya. Aliran darah meningkatkan adrenali, aliran di darahnya memopang kekuatan tersendiri yang tak pernah Aleena rasakan sebelumnya saat ia merasakan ketakutan dan panik seperti kala itu.

Pisau yang ia dapatkan ia gunakan untuk mengiris ujung dahan menjadi runcingan yang tajam dan membuat dahan itu layaknya sebuah tombak dengan laras yang tak terlalu panjang. Dari pada melempar pisau ke Molk dan pastinya tak kena, lebih baik membuat senjata versi besar.

Nafasnya terengah-engah cemas masih mengiris ujung tombak yang sedikit demi sediki teriris terbentuk runcing yang tajam di ujung dahannya. Ternyata tak secepat apa yang Aleena kira untuk membuat ujung dahan tajam dengan pisau ditambah kekuatan Aleena yang hanya 4% saja, lemah.

Jantungnya seperti dentuman yang mendebarkan, seraya meyakinkan hatinya untuk yakin dan berani. Tangannya memerah karena kuatnya genggaman di pisau berusaha sekuat mungkin untuk membuat ujungnya cukup tajam.

Ketika Aleena melirik Molk di bawah mendadak Molk meraung keras seperti geraman aneh yang berbeda dari biasanya, tepat saat ia menatap Aleena di atas sana. Kepala Molk mendangak terus-terusan menatap Aleena yang ia lihat sebagai santapan sarapan. Tubuh Aleena bergegas bangun dan dengan cepat berdiri di ujung atap memegang tombak buatannya, mata hijaunya fokus pada sosok zombie yang kian lama kian mendekat, seketika mata Aleena dan mata Molk itu bertemu dan mengobarkan semangat Aleena kian dalam untuk membunuhnya, matanya masih membidik cermat sasaran.

Ketika keyakinan dalam hatinya telah penuh dengan ayunan tangan kanan yang kuat ia melemparkan tombak ke arah Molk tersebut.

Tombak yang terbang cepat sesuai dengan kekuatan maksimal Aleena tiba-tiba sampai tepat pada dada bagian kanan, jantungnya. Tubuhnya masih berdiri tegak dan mulut menjijikkannya masih bergerak meraung-raung tak jelas, dan seketika tubuhnya roboh perlahan dengan tombak dari kayu yang masih menancap.

Aleena puas dan lega bukan main melihat Molk itu jatuh mati di bawah sana. Dendamnya kini terbalaskan untuk sementara dan seketika langkah kaki yang terdengar sangat banyak sampai di belakang Aleena, 5 orang Tent dengan gesit berdiri menatap jajaran hutan, sebagian membawa busur dan tombak mencari sosok Molk yang menjadi kewajiban mereka untuk dimusnahkan dengan cepat.

“Di mana dia?” tanya seorang Tent.

Lalu saat mereka mengintip dari ujung atap, mereka geger melihat Molk itu roboh dengan kayu yang tembus di jantungnya. "Apa yang terjadi?" desisnya Tent lain tak percaya.

Kelimanya serempak bersejajar menatap ke bawah dengan dingin. Mengingat bukan seorang Tent yang membunuh melainkan Bunker's yang dilindungi, membuat mereka acap geram.

"Apa kau membunuhnya?" desis seorang Tent terdengar tak percaya dari intonasinya yang lambat.

“Aku- aku membunuhnya?” tanya Aleena pelan dan gugup melihat mata para Tent yang menatap dirinya saat ini. Seakan ia tak menyadari apa yang ia lakukan, seperti bukan dirinya yang menombak Molk itu.

“Kau! Ini bukan tanggung jawabmu,  kau seharusnya turun dan pergi ke bunkermu! Apa kau melupakan peraturan?” maki Tent pada sosok Aleena, rasa prihatinnya kini hilang dimakan dengan kepanikan yang merasuki tubuh.

"Itu tindakan yang ceroboh, bukan berani," pekik Tent lainnya masih sabar dan nadanya tak setinggi pria yang membawa panah di genggamannya yang erat.

"Setidaknya itu hanya satu Molk," balas Aleena masih sabar menghadapi para pria yang ukuran badannya jelas lebih sehat dan kuat darinya dilihat dari otot yang timbul dari balik seragam berwarna hijau tua.

"Satu Molk bisa memicu Molk lainnya," putus Tent.

"Mereka akan kembali lagi, bagaimana?" desis pria lain kini berdiskusi dengan pria lainnya.

"Apa dia sempat menggeram?" gumamnya sendiri. "Masalahnya, kemungkinan nanti sore atau malam mereka mulai sampai di hutan bila dia sudah bersuara." Ia cemas.

"Belum banyak Tent yang berjaga," tambah pria lain memberi info.

"Ah, kita harus memberitahu Dan," gerutu pria lain dan dibalas anggukan pria lain yang setuju.

“Kau! Ikut aku,” rampas seseorang meremas pergelangan tangan kanan Aleena dan menyeretnya ke bawah, Aleena tak dapat berbuat apa-apa, dia baru sadar jika perbuatannya tak seharusnya ia lakukan.

Ini merupakan kewajiban para Tent bukan seorang Bunker’s sepertinya. Jantung Aleena terasa berhenti diiringi keringat yang bercucuran di pelipis seraya berjalan menuju bagian Nest, tangannya masih menggantung dipegangi oleh tubuh kekar para Tent.

Tubuhnya begitu dingin karena kegugupan yang ia rasakan, matanya berat menahan air mata. Tenggorokannya sakit berusaha meneguk saliva yang sekeras karang lautan. Semuanya salah di benak Aleena, tapi merupakan tindakan yang sangat benar di dalam hati terdalam Aleena.

Bila diingatnya lagi apa yang ia lakukan jelas-jelas tak ia prediksi sama sekali, hal itu otomatis terlintas di kepalanya. Kini ia mulai berurusan dengan hal lain, ketegasan.

*****

-Cast di media untuk Yura Korbin yang seorang Ridcloss . Kalau pernah nonton The Maze Runner pasti tau kan dia? Hmm tiba-tiba teingat Dead Cure.

-Vote dan komentar would be nice guys!

-Add to your library would be so nice, All the love - M.D

31/5/15

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro