Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 49 - Yang Terakhir (1)

Masih sebuah pertanyaan bagi Aleena apakah takdir itu?

Definisi takdir yang mana yang sesuai?

Penjelasan dari segi apa takdir itu?

Orang-orang jelas mempertanyakan tentang hal tersebut, dan sebagian lainnya hanya berpasrah dan tak ingin mengetahui. Apakah takdir itu? Apakah ia adalah coretan sebelum kelahiran? Ataukah takdir adalah coretan setelah kelahiran? Bisa jadi, takdir adalah lembaran kosong, di mana setiap detik yang dijalani akan tercoret membuat bait kisah kehidupan.

Ia melamun dalam tatapan yang kosong tak berima, cahaya di kedua manik mata indahnya pudar seolah tenggelam dalam jurang yang dipenuhi rantai besi terkait jarum tajam, dan setiap menitnya lahar panas melelehkan semua benda kuat itu. Seolah tak ingin melakukan apapun selain melamun ia hanya diam sendiri di atas sebuah ranjang 2 tingkat. Ia berada di ranjang atas, menatap layang dan kosong dinding besi yang bergoyang berirama ke kanan dan ke kiri sebab ombak lautan yang mengganas di kala sore.

Tidak ada apapun yang mampu melepaskan lamunan kosong wanita itu, dalam gelapnya ruangan beranjang empat buah yang sedingin pipa besi, ia hanya menatap dinding. Terdapat lebam biru kental di bagian paha, betis, lengan atas, rahang kiri, dan di perut. Di sertai dengan sakit luar biasa di sekujur tubuh, terutama kedua kaki jenjangnya. Semua tulang terasa sangat lembek seperti berubah menjadi kerangka terbuat dari kapas.
Bunyi pintu yang terbuka menampilkan pemuda tinggi dengan luka goresan menodai wajah tampannya masuk untuk ke sekian kalinya. Ternyata Aleena itu masih belum pergi dari tempatnya bersedih di atas sana sejak masuknya ia di dalam kapal kemarin sore.

Skylar menatap iba dan penuh ironi mengenai apa yang sudah terjadi pada teman Aleena dan teman Skylar. Kelompok itu begitu kurang tanpa kedua pemuda itu, karena hanya mereka berdua yang selalu berbagi cerita, mengajak orang lain berbicara, memberi bahan guyonan di saat istirahat. Hanya mereka berdualah yang selalu membantah perintah Gustavo dan malah merubah menjadi bahan ejekan di belakang Gustavo.

Mereka berdua selalu menceritakan kisah perjalanan terakhir dan merubahnya menjadi bahan candaan walaupun semengerikan dan sekejam apapun kisah itu, walau pun korban berjatuhan di kejadian tersebut, mereka selalu punya cara tersendiri untuk merubah perjalanan menjadi tidak begitu kaku dan menegangkan tanpa rasa santai. Tapi kini adalah hari dari kebalikan itu semua, kedua pria yang direnggut nyawanya itu bagaikan sepuluh orang yang hilang dari kawanan, mereka memiliki citra tersendiri dalam regu.

"Al, kau belum makan sejak kemarin," ujar Skylar menurutkan begitu penuk kelembutan di intonasinya.

Aleena tetap diam, tak memandang Skylar atau bahkan melirik sedikitpun. Namun isi di kepalanya merespon setiap orang yang masuk, merespon dengan cara yang berbeda.

"Aku tetap akan mati nanti," batinnya.

Skylar menunggu suara atau gerakan kecil dari Aleena, namun wanita itu terus memeluk kedua kakinya yang ditekuk di atas ranjang sana. Kali ini Skylar menaruh potongan roti hambar di atas sebuah meja, di samping roti lain yang sebelumnya di beri pula oleh Azzura, dan sama halnya belum tersentuh.

Skylar menghembuskan nafas kepasrahan dan berbalik meninggalkan lagi wanita itu untuk sendiri atau apapun yang ingin ia lakukan di atas sana sampai pada hari keberapa pun.

"Keluarlah jika kau ingin kau menghilangkan kejenuhanmu, kapan pun kau siap," entah mengapa Skylar menyarankan hal yang tidak masuk akal dengan mood Aleena kala itu. Skylar menutup pintunya, dan menghilang dari ruangan itu. Aleena melirik kosong ambang pintu tersebut, jika saja ada jendela mungkin bisa ia menatap langit atau apapun yang berlalu lalang di langit sore.

Malam menjelang dan Aleena sudah merebahkan tubuhnya dahulu, menghadap ke dinding menghindari kontak langsung atau tidak langsung dengan banyak orang yang bersamanya. Ia juga harus berbagi ruangan dengan orang-orang lain tentu saja, namun yang berada di dalam sana seolah sadar bila Aleena memilih untuk menjauh dari sekumpulan kegiatan di belakang punggungnya.

Ia meringkuk bagaikan orang kesakitan, namun memang benar ia kesakitan dan lebih tepatnya sakit yang membuat orang lebih pendiam merasakan rasa itu daripada luka fisik sekalipun.

Matanya sudah berkantung dan kepalanya melayang merasakan kapal yang mulai bergerak lebih liar di kala malam. Semua pria yang mengisi setiap ranjang sudah tertidur begitu lelap termasuk dua wanita Cadance dan Azzura yang berada di ranjang tingkat yang sama.

Aleena tetap tak dapat memejamkan matanya dan mengistirahatkan otaknya yang terus kacau memikirkan kesalahan terbesar dalam hidupnya kemarin, membiarkan kedua temannya mati di depan mata kepalanya sendiri. Ditambah klip-klip kenangan yang tersisa, satu-satunya hal yang bisa mengingatkan akan mereka berdua.

Karena ia tahu semua orang telah terlelap tengah malam itu, ia merubah posisi tubuhnya menghadap langit dan ia menghembuskan nafas yang terdengar ke seluruh ruangan.

"Orang yang tidak bisa tidur karena dua hal, itu karena apa yang sedang ia fikirkan dan apa yang sedang ia rasakan," sebuah bisikan kecil terdengar dan mengejutkan Aleena.

Tanpa sadar ia menoleh pada arah suara, ia bahkan lupa jika seharusnya dirinya harus tetap tak menggubris apapun, dan Aleena lepas kali ini. Azzura menatap Aleena dari seberang kasurnya dan mendapati sorot hijau datar Aleena, hanya jarak satu meter yang memisahkan ranjang mereka.

"Kau tak bisa tidur dan tidak akan pernah bisa tidur," bisik Azzura yang tidur di ranjang atas pula. "Kecuali kau memutuskan untuk tidur," tambah Azzura menatap sahabatnya.

Makna 'memutuskan untuk tidur' yang diutarakan Azzura, maksudnya adalah bunuh diri atau apapun yang dapat membuat kedua matamu terpejam sangat lama tanpa memikirkan apapun.

"Sepertinya kau memberikan ide yang bagus." Aleena membalas dalam nada sinis mencerna.

Azzura terdiam dan merasa geli. Keheningan kembali menjadi pengantar tidur, dan tubuh yang bergoyang pada ritme bergantian bagaikan ayunan, bersama menjadi penghantar tidur yang sempurna. Namun tidak bagi Aleena, kepalanya terus di gerogoti dengan pernyataan-pernyataan melantur segala macam, dari apa yang sudah terjadi dan apa yang akan terjadi.

"Walaupun jatuh ditimpa tangga, kalau pandai meniti buih, selamat badan ke seberang," terdengar kembali suara parau Azzura yang akan beranjak bermimpi.

Dan kembali lagi wanita itu suka sekali memberikan kalimat teka-teki peribahasa yang sering di dengar Aleena, ia jelas mengatakan 'Walaupun ditimpa kecelakaan berturut-turut, jika keras kemauan untuk mengerjakan sesuatu yang sukar, niscaya maksud tersampai'.[]

Tiada disangka pagi menjelang, menyongsong sinar baru dan hari yang baru. Matahari timbul dari ujung lainnya, bersama semilir angin laut yang terus bergejolak menghantamkan ombak kecil pada kapal yang dinahkodai Julius.

Dalam ruang kendalinya ia bersama empat orang rekannya terus menatap tanpa berkedip pada tiga buah kertas sama lebarnya beserta sebuah kompas yang masih aktif pada radar kapal. Radar itu memutar searah jarum jam dengan kecepatan yang sama berulang kali, tanpa ada bintik kelipan di radar setiap kali ia berputar menandakan mereka sendirian di laut lepas tersebut.

Gustavo terus mencocokkan peta Locmez yang didapat Dan dengan peta lautan sana, Julius sekedar meneliti di daerah mana kapalnya sedang berlayar dan ikut mencocokkan pada peta Locmez. Sedangkan Dan masih teliti membolak-balikkan kertas Locmez yang tak kunjung ia mengerti.

Coretan-coretan tinta pulpen yang menghiasi peta milik Locmez membuat mata terpelilit, serangkaian garis dan lingkaran hitam di mana-mana, menghiasi setiap jengkal gambar berwarna biru gelap.

"Di mana utaranya?" tanya Dan begitu serius, dan seperti biasa ia terus membasuh wajah dan rambutnya dalam satu kali usapan tangan besarnya ketika berfikir.

"Begini ... lihat bagian ini? Bagian ini sama dengan bagian di peta Locmez, yang mana adalah lautan dalam," Julius mencoba menarik kesimpulan, dengan menggerakkan sebagaimana jemarinya menjelajahi bentuk peta.

"Sekarang kita ada di bagian lautan dalam, jika kita bisa mencari bagian lautan yang dangkal berarti kita sudah memasuki wilayah bagian ini," tambahnya dengan menarik satu garis melintang yang membatasi daerah laut dalam dan laut dangkal, yang membedakan tentu saja warna lebih gelap dan warna yang lebih terang.

"Dia membuat tiga lingkaran di daerah dangkal, dan dua lingkaran di daerah dalam-"

"Ya tapi di mana letak The Dropprunus?" Dan memotong.

"Mungkin lingkaran-lingkaran ini menunjukkan riset yang dilakukan Locmez untuk menuju ke tujuan sebelumnya, ia melingkari ini mungkin saat itu ia menemukan petunjuk yang baru. Setelah itu ia mendapatkan petunjuk baru lagi di daerah sini yang mana lebih jauh dari daratan," jelas Julius menunjuk satu per satu lingkaran di peta yang membingungkan, sembari Gustavo kembali menyimak.

"Jika kita memang kita berada di bagian sini, mengapa kita berada di bagian laut terdalam? Seharusnya kita masih ada di bagian dangkal," Dan kembali mengintrupsi akan lokasi mereka sekarang, di mana ia berspekulasi saat ini mereka berada di bagian dangkal dengan tiga lingkaran di petanya, bukan berada di bagian laut yang dalam.

"Bukan ..." Julius menggeram tak setuju, merasa ia sangat tahu tentang peta dan kapal.

"Bukan, tunggu dulu." Gustavo angkat bicara dan keduanya merekatkan mulut masing-masing.

"Bagaimana ada laut dangkal setelah laut dalam? Di mana-mana lautan luas seterusnya adalah laut dalam bukan?" tanya Gustavo praktis membuat keduanya mengerutkan dahi kebingungan.

"What do you mean?" kerutan dahi Julius masih permanen.

"Tidak ada lautan dangkal kecuali kita mendekati ke daratan, tapi di sini ... tidak ada daratan." Julius menunjuk ke area laut dangkal dengan tiga lingkaran tersebut berdasarkan peta.

Keduanya masih termenung mengulas dan mengolah apa yang di maksud Gustavo, tetapi mereka masih tak kunjung mengerti karena keduanya memiliki penilaian yang berbeda.

Gustavo membalik kedua kertas hingga membuat urutan yang sama, keduanya dimulai dengan lautan terdalam dahulu kemudian menuju laut dangkal.

"Di sini kita berada." Gustavo menunjuk lautan dalam pada peta Locmez, di mana berwarna biru gelap.

"Tapi-" intrupsi Dan kembali dipotong Gustavo yang belum selesai berbicara.

"Kita menuju ke titik ini." Gustavo menunjuk sebuah lingkaran yang berada paling jauh dari lokasi mereka di tempat laut dangkal dengan warna biru lebih terang.

"Tapi bukan disitulah sekarang kita berlayar, dan kita menuju ke area laut dalam ini?" Dan kembali keras kepala.

"Hey!" Gustavo membentak dengan lantang, dan membuat Dan bergidik kaget.

"Kita sudah melewati laut dangkal, di daerah dangkal ini tidak ada daratan begitupula di luar sana yang berarti laut dangkal ini bukanlah tempat kita berada. Ini sarang mereka, Ghroan dan Dommed," ulasan Gustavo membuat mereka terkejut dan melompat mundur perlahan dipenuhi tanda tanya yang masih berendam dalam kepala.

"Mereka membangun kastil di bawah tanah, di mana tanah menjadi terangkat dan membuat lautan yang dalam menjadi dangkal karena sarang mereka di bawah sana. Tidak ada lingkaran lanjutan setelah yang satu ini menandakan berakhirnya pencarian mereka karena mereka telah menemukan letak sarangnya dan letak The Dropprunus tersebut," jelas Gustavo pada Dan dan Julius yang bertengger menatap hamparan lautan cerah menembus kaca jendela depan mereka.

Mereka terdiam sejenak mendalami pemandangan yang tengah terhampar luas dengan air yang bergelombang sepanjang mata memandang, tanpa daratan atau pun kehidupan laut lainnya.

Gustavo melipat rapi kedua peta dan menyimpuni kembali barang-barang di atas meja tersebut, setelah perdebatan yang cukup mendebarkan itu akhirnya mereka menyimpulkan hasil akhir tentang di mana lokasi mereka saat ini dan ke mana mereka akan pergi.

"Jadi, apa rencanamu?" tukas Dan dalam suara keheningan yang berat.

Gustavo meneguk salivanya, hal yang seharusnya diuraikan tersebut harus berakhir dengan pendaman hati semata. Karena rencana yang ia rancang sebenarnya bukanlah bersama Julius maupun Dan, melainkan bersama Aleena.

Berulang kali Gustavo menanyakan kabar wanita itu pada Cadance, namun kabar yang ia dapat hanyalah 'ia masih tidak mau keluar'. Gustavo tentu tidak memaksa, mengingat apa yang terjadi dengan anak buahnya Yura dan Wolf ketika bersama Aleena. Terpukul, pastilah sempat terbesit di hati nurani Gustavo, mereka pejuang muda yang tak patah semangat dan selalu optimis. Tak lepas dari perjuangan panjang menuju ke sini, nama mereka akan tercatat dalam dinding kenangan nantinya.

"Aku akan kembali." Gustavo berpaling, membuka pintu dan meninggalkan kedua pria yang tengah menatap lautan lagi.

Gustavo berlajan menyisiri area kapal, sambil mensurvey keadaan grupnya yang masih duduk bersantai dengan sepoi angin laut menerbangkan semua rambut. Dengan beberapa perintah yang terucap setiap menemui orang-orang khusus ia tetap melangkah menuju satu ruangan, ruangan di mana wanita itu enggan keluar dan hanya ingin menghirup udara kasur dan bau badan pria yang tidur di sana.

Dengan santainya ia membuka pintu dan menutupnya keras, sebuah tatapan tajam mendarat pada manik abu-abu pria itu. Aleena tengah duduk seperti biasa memeluk kedua kaki yang ia tekuk, namun kali ini ia berani menatap tajam dan bengis orang yang masuk khususnya Gustavo.

"Kau bisa saja menyalamatkan mereka," tiba-tiba Aleena melempar sebuah kesalahan pada Gustavo.

"Aku tidak melihat mereka di belakang, dan aku menyelamatkan semua orang dan kau," ujar Gustavo tak kalah dinginnya menatap iris tajam Aleena.

"Kau berbohong." Aleena menggeram keji.

"Aku datang ke sini bukan untuk disalahkan, aku ke sini untuk mendengarkan rencanamu," ujar Gustavo berdiri di depan pintu, menghadang semua orang yang nantinya masuk dan mendengar percakapan rahasia itu.

Aleena mengulum bibirnya dan menguras kembali hatinya. "Aku tak punya rencana," tukas Aleena dingin dan membuang wajahnya.

"Itu buruk, karena kau langsung mati satu meter menyelam saja." Gustavo terdiam lagi dan merasakan aura penolakan Aleena. "Kita masih punya beberapa hari lagi, kita semakin dekat, dan Skylar juga," ia menekankan kata Skylar sebagai umpan.

"Kau tahu aku tidak ingin membahas ini sekarang kan?" Aleena meneguk salivanya dan termakan umpan Gustavo.

"Aku tidak tahu," bahu Gustavo terangkat acuh."Aku ke sini hanya menagih rencanamu, seperti yang kubilang dan seperti yang kau bilang," lanjut Gustavo tenang.

Gustavo selalu membuat semua orang terintimidasi dan terasa terpojokkan, apalagi soal tagih-menagih. Sembari Aleena masih menatap dinding bergoyangnya ia masih memikirkan tindakan yang akan ia lakukan, ia merubah melipat kedua kakinya dan menjernihkan kembali fikirannya yang kacau.

"Apakah ada sekocinya?" tanya Aleena pelan.

"Tiga buah," balas Gustavo cepat tanggap."Semuanya ada, hanya rencanamu yang tidak ada," ujarnya.

"Apakah ada serumnya?" tanya Aleena kembali, mengulur waktu.

Gustavo menghela nafas penat. "Donny memegangnya."

Aleena menghirup udara dan mengeluarkan segera, menahan perih hati dan di sekitar perutnya yang belum diberi makan dan minum dalam beberapa jam sebelumnya. Kedua matanya terpejam, terbesit di kepalanya apa yang sedang di kerjakan Dommed kali ini? Apakah ia mempersiapkan serangan, atau dia tidak menyadari kehadiran Aleena di sana? Laut begitu tenang walaupun di dasar sana kehidupan suram sedang berjalan, tidak ada kehadiran Ghroan apapun atau tanda-tanda Dommed yang membuat semakin penasaran semua orang.

"Beritahu aku ketika sudah dekat," suruh Aleena dan diberi anggukan Gustavo. "dan ... bangunkan aku di tengah malam ini, ketika semua orang sudah terlelap," tambahan itu acap membuat Gustavo terhenti dan bingung sebentar, namun ia kembali lanjut membuka pintu dan membiarkannya sendirian kembali sampai waktu yang di tentukan.

Aleena menghempaskan kepalanya pada bantal, berbicara pada hatinya sendiri apakah ia harus melakukannya? Mengapa semuanya menjadi ragu ketika hampir terlaksana? Mengapa rasa ragu itu tidak dirasakan lebih kuat saat kalimat 'pergi' itu terucap? Dan mengapa semuanya begitu terlambat untuk kesekian kalinya?[]

Sebuah kilatan putih terasa lewat begitu cepat dibalik gelapnya warna, kilatan putih itu kembali menyambar dengan cepat dan serasa menembus ke balik kelopak mata. Terangnya tersorot fokus pada satu arah di bawah pintu ruangan Aleena, ambang tidurnya mulai terganggu dan alam bawah sadarnya mulai menghilang seraya ia mulai bangun dan mencari tahu sinar putih apa itu. Ketika Aleena menoleh pada arah sinar putih itu ia melihat bayangan dua pasang kaki dibalik pintunya tersorot sinar. Ia tahu siapa itu, kepalanya mulai melirik kanan dan kiri memastikan semuanya terlelap termasuk Azzura yang bisa menjadi tak terduga.

Perlahan dan pasti kaki jenjangnya turun melewati tangga ranjang, walaupun membuat ranjang itu bergetar tidak begitulah menggubris orang yang tidur terlelap di bawah sana.

Ia hanya bergerak merubah posisi yang tak akan ia ingat juga saat terbangun nanti. Aleena menghadap pintu dan menatap gagang pintu tersebut, dan ragu yang ia rasakan muncul kembali. Ia menghembuskan nafas kecil dan mulai membuka pintu perlahan.

Semburan angin besar langsung menerbangkan rambut coklat kayu indahnya, tubuhnya menggigil dalam dinginnya malam yang membekukan semua tubuh. Gustavo datang dan memberikan jaket super tebal yang membungkus dari ujung rambut hingga lutut Aleena, rambutnya ia tutup tudung kepala jaket tersebut.

Bintang-bintang di angkasa belum hilang sama sekali, mereka masih hidup di atas dan masih menghidupi langit malam. Sangat indah dan begitu banyak. Aleena tak pernah menatap begitu banyaknya dan menumpuknya ribuan bintik putih menyala di langit gelap seperti itu, biasanya hanya taburan bintang yang beberapa detik kemudian ditutup kabut pekat dari awan. Namun sekarang, benar-benar bersih tanpa penghalang yang membatasi pandangan Aleena menjelajahi hamparan universal langit hitam malam itu.

Melihat milyaran bintang yang saling menumpuk tersebut bagaikan obat sakit hati akutnya, perlahan mulai sembuh dan jernih kembali. Alam memiliki cara unik dan begitu biasa untuk membuat mereka yang ingin sembuh kembali pulih, mereka tetap seperti apa adanya dan membiarkan semua yang menatapnya terpana dengan penilaian masing-masing. Tak perduli apa dan berapa nilainya, mereka tetap hanya menjadi diri sendiri dengan caranya sendiri.

Embun dari nafas di bibir Aleena mulai tersembur bagaikan gunung erupsi, nafasnya terengah-engah terharu. Seharusnya ia melakukan ini sebelumnya seperti Azzura katakan, dan ia seharusnya tidak meremehkan nasihat sahabatnya sendiri walaupun terdengar tak masuk akal.

Gustavo yang dengan jaket super tebalnya hanya berdiri membeku bagaikan pahatan patung rupawan, memasukkan kedua tangannya pada masing-masing saku jaketnya. Kepalanya lurus dan matanya pun tak lepas dari lautan hitam yang bergelombang, tidak ada rembulan yang biasanya menerangi. Rembulan masih jauh dan masih terhambat di sebuah wilayah.

Embun dari bibir Gustavo keluar lebih banyak daripada milik Aleena, ia masih menunggu Aleena jika sudah merasa bosan. Tapi ia tahu jika ia tak akan pernah merasa bosan setelah ia memberi satu lagi kejutan keindahan alam yang langka terlihat.

"Ini waktu yang tepat untuk menatap air lautnya," ujar Gustavo.

Aleena menghela nafas dan embun yang keluar lebih banyak, ia menatap Gustavo yang tak bergeming dan tak melepas tatapannya dari lautan luas. Aleena semakin penasaran, langkah kakinya mencoba seimbang di ambang kapal yang bergoyang selain kakinya yang sudah lama tak berjalan ini seperti kali pertamanya Aleena berjalan bagaikan anak bayi.

Ketika ia mendapat pegangan besinya ia langsung mendapatkan sambaran alam lainnya yang tak kalah indahnya dari atas sana. Mata hijaunya semakin terlihat begitu terang dengan timbulnya plankton-plankton pada malam hari.

Keajaiban malam tersebut disebabkan oleh ribuan plankton bernama Lingulodinium Polyedrum. Plankton yang memiliki kebiasaan rutin memancarkan cahaya biru di malam hari. Kemunculan mereka bagaikan lampu neon yang menerangi semua bagian kapal, walaupun ombak dari kapal tersebut menghempaskan keberadaan keindahan alam itu, mereka tetap tak pergi dan masih saja tetap bergeming di bawah sana.

Bagi Aleena ribuan plankton itu seperti kembaran dari bintang, namun kali ini rasanya begitu dekat dan mudah diraih. Senyuman kecil terpampang di bibirnya tanpa ia sadari, dan Gustavo memperhatikan senyuman tersebut.

"Sangat cantik," begitulah respon Aleena terus bergumam. Ia begitu terpana dengan banyaknya plankton, menerangi laut dengan cahaya biru neon. Ketika ia mendangak cahaya di atas berwarna putih dan begitu jauh, dan ketika ia menunduk cahaya di bawah berwarna biru dan begitu dekat tuk digapai. Semuanya memiliki kekurangan dan kelebihan, tapi pernahkan mereka berpisah keyakinan, Keyakinan untuk mengindahkan dunia? Tidak, mereka sama. Walau warna, bentuk, ukuran, dan jarak yang berbeda tapi semuanya akan sama saat penilaian tak mengukur pola itu semua. Penilaianya hanya satu yaitu, persamaan.

Moodnya hancur ketika warna biru itu mengingatkannya pada sebuah makhluk, Gemirix dan Dommed. Apakah mereka bagian dari keindahan itu juga? Bukan, tentu bukan. Mereka bagian dari ketidakseimbangan alam, dan apapun yang buruk haruslah di musnahkan dan menggantinya dengan keindahan seutuhnya. Aleena menoleh pada Gustavo yang lagi-lagi sudah menatapnya sedari tadi, ia menunduk pelan dan kembali pada manik mata Gustavo yang terang.

"Aku masih harus sendirian ke sana," sahut Aleena parau.

"Kau harus siap," tambah Gustavo. Aleena tak menjawab, ia hanya diam di tempatnya dan berfikir keras.

"Aku ragu," ucap Aleena pelan. "Aku merasa sangat ragu Gus," entah dalam keadaan sadar atau tidak sadar Aleena meluangkan keluh kesahnya pada pria tersebut, mungkin dengan niatan tertentu.

"Keraguan muncul ketika kau merasa takut," balas Gustavo penuh penghayatan. "Apa kau takut?"

Aleena menunduk pilu, menselaraskan nafas yang mulai tak terbiasa dengan cuaca dingin. "Ya ... iya aku sangat takut," sahut Aleena mengakui.

"Mungkin semua orang berfikir aku melakukan atas dasar ketidaksadaran, kebodohan, kenekatan, dan karena aku gila. Tapi, ada dua argumen yang terbesit tiap kala aku beradaptasi dengan situasi sekarang. Yaitu aku harus menuntaskan semuanya dan aku tidak cukup berani untuk menjalankan semuanya. Aku ketakutan, aku tidak berani dan juga tidak bodoh tapi aku ketakutan," Aleena pungkiri jika dia jujur.

"Aku melihat mereka mati, semuanya dari kita masih berada di The Fort dan mereka yang mati di perjalanan sampai sini. Aku melihat mata mereka menatapku dan menatap semua orang, Yura dan Wolf takut. Mata bukanlah sebuah ilusi, kau bisa melihat sampai lebih dalam dari manik mata mereka," genangan air mata mulai muncul membanjiri setengah kelopak matanya, masih ada bayang-bayang wajah Yura dan Wolf  yang terbesit dan membuatnya setengah mati terluka.

Gustavo terdiam sejenak dari dua meter jarak memisahkan, dapat dilihat genangan air mata Aleena yang tentu menyala dibantu cahaya para plankton.

"Aku melihat kematian anak perempuanku, orang yang kuyakini akan menjalani hidup lebih lama bersamaku. Dia dipenuhi ketakutan, dan ketakutan masih menyelimutinya sampai nafas terakhir darinya keluar. Aku membelai rambut panjangnya, aku selalu mengatakan padanya 'maaf' dan akan terus mengatakannya sampai mata anakku terbuka dan tersenyum padaku dan bilang jika dia tak apa-apa. Tapi dia tetap di sana, terdiam memejamkan matanya dengan darah yang mengalir dari kepalanya, tangannya lemah dan tubuhnya mulai memucat. Aku tahu aku sedang mendalami bagaimana kematian itu berlangsung," ungkapnya.

"Dia adalah segalanya, dan dia direnggut dengan hal yang paling aku benci."

"Aku melewatinya, walau aku terluka. Tapi terluka adalah konsekuensi, dan bahagia adalah jaminan," tambah Gustavo.

Aleena menatap iba manik abu-abu Gustavo. "Apa yang membuatmu bertahan sampai sekarang?"

Kembali menghayati Gustavo tertunduk dan memikirkan Lea dan Ria di benaknya, bibirnya tergulung mencoba tegar. Ia mendangak pada langit malam dan menghitung beberapa bintang, seakan ia berharap wajah keduanya dapat terlukis dari bintang-bintang.

"Aku terus mengatakan pada diriku 'Kau harus menolong semua orang'. Itu seperti motivasi, prinsip, idiologi. Karena siapa lagi yang akan mengingatkanmu selain dirimu sendiri?" ungkap Gustavo.

Aleena menghela nafas keras, dan mendatangi lebih dekat Gustavo yang bersender nyaman pada dinding kapal. Aleena berjalan ke hadapannya dan bersender pada pagar besi kapal tersebut. Ia menatap tepat pada mata abu-abu Gustavo tanpa berbicara apapun.

"Tolong aku tentang satu hal," pinta Aleena dan mendapatkan tatapan tajam Gustavo.

"Menyelesaikan ini," ujar Aleena menatap lurus pada manik mata pria itu. Gustavo tak bergeming, hanya menimbangi kalimatnya. Tapi kelemahannya hanya ada satu dan Aleena sudah membuatnya tak dapat menolak permintaanya. Karena Aleena sudah menyisipkan kata 'tolong'.[]

Lautan begitu luar biasa tenangnya, permukaannya diam tanpa gelombang liar dan buas yang sering membuat beberapa kru mabuk laut dalam perjalanan menuju sebuah titik terdekat pada lokasi The Dropprunus. Tak ada satupun orang yang berada di dalam kokpit atau berdiam diri di dalam sebuah ruangan, semuanya tak mau meninggalkan sebuah pemandangan yang membuat bulu kuduk berdiri tegak dengan sengatan dingin yang mengelitik leher.

Semua orang berpegangan pada besi pagar di pinggir kapan hanya untuk menatap sebuah pemandangan lurus, tenggelam dalam lautan biru yang bergejolak. Lautan yang seterang dan sebening kaca dan kau dapat menatap langsung apa yang ada di dalamnya. Sebuah pemandangan luar biasa dengan cahaya biru yang menyala di dasar laut, memberikan cahaya ke sekitarnya.

Mereka melihat cahaya The Dropprunus dari kejauhan, cahayanya menerangi seisi lautan di dalam sana. Tak hanya The Dropprunus, ada pilar-pilar yang berjajar membentuk bagaikan gunung berapi versi mini yang mengeluarkan cahaya biru terang pula. Bila diamati lebih dekat mereka bagaikan lampu larva, cahaya birunya terkadang meredup dan terkadang terang sampai sekitarnya terlihat jelas.

Cekikan tegang terasa di leher setiap orang, bagaimana takjubnya dan takutnya mereka mengamati pemandangan tersebut. Mereka akan pergi ke sana, dan mereka tahu di mana mereka berada saat ini. Kapal yang berlayar tepat berada di atas teritori wilayah Ghroan. Mereka tak dapat menemukan satu makhluk Ghroan pun yang berenang ataupun bergerak, namun mereka dapat merasakan aura menggelitik di bawah air.

Makhluk itu berjalan di dasar laut dan berkembang biak, menunggu kelahiran benih-benih baru yang masih tersimpan di dalam sebuah telur. Telur itu menggantung di masing-masing pilar dan menjalar bagaikan batang pohon. Telur yang tersusun bagaikan daun bertumpuk dan menjadikannya bagai anggur yang belum dipetik, tapi ini adalah anggur raksasa yang ketika menetas akan membawa Grayden -anak Ghroan- ke dunia baru.

"Baiklah," ucap Gustavo tercekik, nadanya sama sekali berubah dan sama rata dengan nada siapa pun yang begitu takut setelah melihat kecelakaan maut di jalan raya.

"Kita tak bisa mendekati daerah ini, Dommed bisa ada di mana saja dan ketika ia melihat kapal kita. Habislah kapal ini terserang kraken," ujar Gustavo dan ia berjalan mencari Julius.

"Julius, bawa kapal ini berada di lautan terdalam, beberapa meter lebih jauh dari batas teritori mereka, kita terlalu dekat dengan sarangnya," perintah Gustavo yang mungkin adalah keputusan terbaik sebelum terlambat, mereka terlalu semangat hingga tak sadar di mana kapal mereka mengapung.

"Dan, aku memberikan mereka padamu. Bawa semuanya ke ruang persenjatan dan racik beberapa serum, bawa Donny bersamamu. Semuanya harus siap dan mereka harus di posisi masing-masing." Gustavo menepuk bahu Dan dengan kuat hingga Dan mengerjit kaget. Ia memenuhi permintaan Gustavo, ia memanggil semua orang dan membawanya ke lantai bawah.

Beberapa orang mulai meracik beberapa serum sesuai dengan apa yang Donny tahu, seperti cara-cara sebelumnya mereka bergantian menangani setiap tugas masing-masing, menggiring beberapa jenis serum dan menaruhnya ke dalam sebuah keranjang yang semakin lama tangan bergerak cepat semakin penuh isi keranjang itu. Mereka tak ingin mengambil resiko kehabisan, dalam benak mungkin inilah akhir dari perjalanan. Mereka menghabiskan semua persediaan yang tersisa, semua yang dihemat dan ala kadarnya.

Dan memeriksa senjata-senjata miliknya, mengisi dengan beberapa amunisi dan mempersiapkan senjata cadangan di samping celana kanan dan kirinya yang ia gantung. Ia memeriksa tempat untuk menaruh serum khusus yang dapat membuat Ghroan mati dalam sekejap dalam jumlah yang banyak. Semua senjatanya berbagai macam dan berbagai variasi, denyut jantungnya meningkat drastis ketika dalam benaknya terfikirkan serangan nanti.

Adrenali semua orang meningkat dan benih-benih keringat dingin mulai menetes melalui keringat, memberikan rasa campur aduk di kulit. Bagaimana menjadi lebih berani? Begitu fikir mereka semua, bagaimana jika mereka gagal tanpa ada pertolongan?

Skylar tengah mengambil sebuah baju perlindungan dengan kain tebal yang juga membalut tubuh setiap orang. Kemudian melapisi lagi dengan baju lainnya, rambut gelapnya menjadi kusut. Kerutan di keningnya tak hilang sama sekali sambil mengurusi apa yang akan ia bawa. Ia muda dan tampan, tapi tidak membedakan jantung yang di miliki, jantungnya berdebar lebih cepat hingga tulang rusuknya pun ikut berdebar.

"Hai nak," sebuah suara menghampirinya dari arah belakang, ia menoleh dan menatap siapa. Ia hanya menghela nafas ketika menatap siapa yang datang dan menyisipkan beberapa serum ke samping celananya untuk persediannya. Gustavo ikut melengkapi diri dengan berbagai persediaan, namun bedanya ia seperti terlihat tak takut sama sekali.

Kedatangan Gustavo merupakan pertama kalinya dalam sejarah, dengan maksud tertentu tanpa diketahui Skylar. Salah satu ide untuk membantu Aleena, Gustavo tidak mungkin berbicara 'Skylar, Aleena pergi sendiri dan kau tinggal sendiri'. Lelaki mana yang meninggalkan wanitanya sendiri tanpa bantuannya?

Perlahan Gustavo menyeimbangkan suasana dengan keadaan Skylar, ia ikut memakai semua perlengkapan dan memposisikan sebaik mungkin menjadi aktor sandiwara. "Kau bawa apa?" tanya Gustavo pintar.

"Semuanya yang muat," ujar Skylar cukup dingin.

"Kau butuh ini," usul Gustavo memberi sebuah serum lain. Skylar mengambil beberapa buah dan mengaitkan lagi di samping celananya. Kini tubuhnya semakin berat dengan senjata yang ia bawa di berbagai area di tubuhnya.

"Kau membawa Vurwapens mu?" tanya Gustavo cukup tenang, tak melupakan siapa dia di mata orang lain.

"Aku tak akan menggunakannya kecuali jika harus, amunisnya tersisa dua buah," ujar Skylar dengan rasa yang cukup bersalah.

"Dua?!" Gustavo memekik terkejut, "Kukira lima," selidik Gustavo.

Skylar mengulum bibirnya, tentu ini kesalahnnya atau mungkin ketidaksengajaan namun ia cukup hebat dalam menutupi semuanya tanpa ada orang yang tahu. "Aku kehilangannya saat kita dikejar Molk, Molk sebelum kita sampai di tempat Locmez." Skylar menunduk malu, apalagi ia mengatakannya pada Gustavo yang siap memecah gendang telinganya.

Gustavo depresi, ia menggigit rahangnya dan meraup udara sebanyak mungkin agar hatinya tidak membara. Ia menghela nafas kesal, namun masalah bisa datang kapan saja dan kau hanya dapat menerima dengan lapang dada dan rasa emosi yang luar biasa. "Tak apa." Gustavo menepuk pundak Skylar.

"Kuharap dua cukup untuk melepas kepala Dommed dari kaki-kakinya," tukas Gustavo optimis. "Dan Skylar, aku memberimu posisi di depan kapal," tambah Gustavo, satu kalimat itu saja yang sesuai dengan naskah.

"Posisi depan?" Skylar terlihat menimbangi posisinya, tapi kuntungan tersendiri baginya untuk berada di bagian depan, ia dapat melihat ke sepenjuru lautan dan membunuh tanpa batas. "Baiklah." Skylar mengangguk.

"Baiklah nak." Gustavo menepuk semangat dan berpaling.

"Gus!" Skylar memanggilnya dengan nada yang tak dapat dipahami Gustavo, ia berbalik dan menatap ragu Skylar. Skylar cukup lama terdiam untuk mengatakan hal aneh ini pada sosok Gustavo, tapi ia tahu hanya dia harapannya.

"Aku mengkhawatirkan dia," ujar Skylar pelan dan cemas. "Ini bukan pertarungannya." Aleena yang di kepalanya tak dapat hilang begitu saja, baru tadi saja ia bertemu dan berkontak mata dengan hijaunya mata wanita itu. Gustavo merasa begitu mual, Skylar menanyakan tentang Aleena dan ia tak tahu ingin menjawab apa.

"Aku tahu bukan kali pertamanya ini dia memegang senjata, tapi dia tidak cocok dengan pertarungan ini. Dia wanita, dan dia harus dilindungi seperti prioritas di The Fort," lanjut Skylar yang sudah malas menunggu Gustavo terdiam lama tanpa merespon.

"Aku harap kau menjaganya juga, tolong lindungi dia dengan berbagai cara," perintah Skylar dengan halus.

Gustavo tercekik, pria keturunan orang yang menemukan tempat tinggal Gustavo dahulu kini meminta tolong. Kalimat tolong kini bekerja untuk meluluhkan Gustavo, tapi kini ia dilema gundah dan bagaimana menyeimbangkan semua itu. Di sisi sekarang Skylar memohon untuk menjaga Aleena agar ia tak terluka, tapi sebenarnya Gustavo sendiri yang menginginkan Aleena mengakhiri semuanya yang artinya berlawanan. Rasanya mengecewakan seseorang seperti menelan ludah orang lain, dan itu benar-benar tak enak.

"Gus, maukah kau membantuku?" pinta Skylar begitu tegas, ia menatap mata abu-abu Gustavo dengan seksama. Gustavo menatap Skylar dengan kosong, namun kepalanya tak berirama dan berputar, membuatnya bingung dan tak tahu merespon apa.

"Tolong, jaga dia," suara Skylar memanjang dengan merdu, memohon amat sangat. Suara Skylar menggema di dalam kepalanya seperti gua yang sahut-menyahut, ia menatap Skylar tak mengerti dan kebingungan. "Please," pinta Skylar sekali lagi, ia mulai cemas karena Gustavo begitu lama merespon.

Skylar membuat Gustavo terpojok, ia cukup memaksa dengan lembut. Gustavo tahu ia tetap akan mengecewakan anak Adam Phoenix dan dia berani menelan ludah orang lain.

Gustavo mengangguk. "Baiklah," ia acap berbalik dan berjalan keluar, setelah ia berada di atas sinar matahari yang menyengat kini membiarkan tubuhnya terpanggang rasa bersalah. Ia menunduk dan aura Gustavo memudar, ia begitu merasa mengecewakan seseorang dan ia sudah berbohong.

Gustavo berjalan melewati sebuah ruangan yang didiami Aleena, ia menoleh hanya untuk memeriksa ke dalam ruangan yang pintunya terbuka. Bukan Aleena yang ia lihat melainkan Cadance yang tengah terduduk dalam kesendirian dengan sebuah benda yang ia genggam, ia menatapnya penuh seksama. Menatapnya seolah ia bisa mengungkap rahasia dari serum tersebut. Serum dari gedung WHO yang masih belum dapat ia ketahui apa kegunaanya seharusnya.

Mungkin Gustavo melupakan benda itu akhir-akhir ini, serum itu jelas jarang terlihat karena selalu di pegang oleh Cadance. Mungkin itulah sebabnya Cadance jarang berbicara, ia membiarkan fikirannya bekerja untuk mengolah isi dari serum tersebut. Cadance tak putus asa dengan serum itu, ia tahu ada sesuatu yang cukup berguna.[]

Aleena dalam diam terus menyembunyikan diri dari kerumunan orang, ia berada di kapal bagian belakang dalam gelap. Tanpa adanya suara, ia hanya memainkan jemari dan termenung dalam mimpi buruk. Hingga sebuah langkah kaki terdengar dari atas kepalanya, dan Gustavo memunculkan diri menatap mata Aleena yang berkaca-kaca ketakutan. Gustavo menyerahkan dua buah senjata yang cukup mudah dibawa Aleena nantinya. Aleena meraih senjata itu dan menaruhnya di dalam sekoci kecil di belakangnya tanpa berkata apa-apa.

"Ketika kau berada di dekatnya -The Dropprunus- masukan benda itu dalamnya dan berenang sejauh yang kau bisa, setelah itu kau tekan tombolnya," ujar Gustavo memberitahu langkah-langkahnya.

Aleena menelan ludahnya dan mengangguk. "Apakah, Skylar tahu di mana aku?" tanya Aleena memastikan kembali.

Gustavo menggeleng. "Aku bilang kau di dalam ruangan bersama Azzura dan Cadance, dan aku bilang pada Azzura kau berada bersama Julius."

Aleena tak mau berbasa-basi lagi, ia sudah melihat pakaian Gustavo begitu lengkap dengan berbagai macam senjata. Ia masuk ke dalam sekoci yang dipenuhi berbagai macam barang yang harus ia bawa ke dekat sarang Ghroan. Gustavo mengambil sebuah tali yang membuat sekoci itu tegantung, dengan perlahan ia melepaskan kaitannya, menahan dengan kuat agar sekoci tak turun dengan laju dan membuat semua orang mendengarnya. Perlahan sekoci turun dari atas kapal dengan Aleena di dalamnya, Gustavo mungkin tak memperhatikan kapal dan air di bawahnya namun lebih pada mata Aleena yang padam cahayanya.

Aleena menoleh pada Gustavo saat sekocinya mencium air tenang. "Thanks," ucapnya tanpa suara. Ia mengambil dayung putih dan mencelupkan ke dalam air, sebelum ia mendayung ia kembali menatap Gustavo kembali.

Ada sebuah rasa pedih yang menyambar lerung hatinya, rasanya begitu berat meninggalkan semuanya. Rasanya begitu hambar seperti racun yang membunuhmu ketika kau mengingat orang yang kau cintai harus kau tinggalkan.

Gustavo terbungkus dalam tenangnya angin, semua penat dan keringat yang ia lalui bersama Aleena yang terlibat sejak kali pertama ia bertemunya terbesit. Kemudian akhirnya ada bayaran yang cukup janggal, perjalanan yang panjang berakhir seperti itu. Kuncinya berada di tangan Aleena, mungkin inilah terakhir kali Gustavo akan menatap Aleena dan mengingatnya seumur hidup. Siapakah yang membuat semuanya kembali normal? Siapakah yang menyelesaikan ini pada akhirnya? Siapakah yang pada akhirnya berkorban demi semua orang? Dan siapa orang yang ia tolong.

Aleena mendayung sekali dengan tenang, namun lajunya kapal yang ia tinggalkan membuat jaraknya menjauh. Ia dapat melihat tubuh Gustavo masih tak bergeming di atas sana, menatap dirinya menjauh. Dayungan demi dayungan ia kerahkan sekuat hatinya bisa, semakin cepat ia mendayung semakin besar jarak antara dirinya terhadap Skylar dan Azzura.

Sambil mendayung ia teringat kepingan memori dari beberapa orang sebelum ia meninggalkan kapal tersebut, ia mengingat bagaimana hangatnya tubuh kecil Azzura dan rambut kasar panjang miliknya yang menggelitik kulit wajah Aleena. Senyuman hangat sahabatnya terus membuat Aleena terngiang lebih dari lelaki manapun. Semua pesannya tak akan ia lupakan, semua saran dan berbagai macam kalimat yang di lanturkan Azzura tak pernah terlupakan sedetikpun.

Senyuman hangat Skylar begitu membuat hatinya pedis, hanya sebuah pelukan hangat yang lama terakhir kali ia di atas sana. Aleena mengingat betul raut wajah Skylar saat ia mengatakan kata 'maaf' dan ia menangis penuh luka. Ia menangis dengan berat dan membuat Skylar kebingungan, hanya kata maaflah yang sanggup terlontar dari bibir Aleena bersama sebuah ciuman hangat dari bibir Skylar.

Yang terakhir.

Mungkin semua hal yang terjadi adalah kepingan terakhir dari hidup Aleena, tak seharunya setiap kenangan apapun terlupakan. Suatu saat akan terbukti seberapa berartinya kenangan sekecil apapun itu. Tak terasa Aleena meneteskan air mata begitu banyak, hidung mancungnya memerah dan ia terisak. Kedua tangannya tak dapat membasuh air mata itu karena memegang dayungnya, jadi ia membiarkan tetesan itu jatuh ke dasar sekocinya. Tangan kirinya mencoba merogoh sesuatu hingga ia mencari Artmemorum, serum yang tidak cocok dengan kekuatan tubuh Aleena. Ia harus meminum serum tersebut karena satu hal.

Dia harus kembali kea lam bawah sadarnya, menjelajah ke ruang tanpa dasar dan tanpa atap. Mencari gambaran dan memasuki alam fikiran Dommed, pemimpin Ghroan. Teguk demi teguk ia minum, ia rasakan sensasi asam dan pahit yang mengaliri tenggorokannya. Sejenak setelah semuanya habis rasanya tidak ada yang berubah di sekujur tubuhnya. Namun beberapa saat kemudian ia merasa pusing, jantungnya berdebar berat dan semua pandangannya mengabur.

Kapal yang berada jauh di belakang Aleena tak tampak lagi pada pandangannya, ia mempersiapkan diri untuk terjatuh atau pingsan. Ia mengambil ancang-ancang, menahan dirinya sendiri dengan memengang pinggiran sekoci dengan erat dan membiarkan kepalanya berputar ke segala arah. Rasanya mual yang luar biasa dan perutnya terkocok, matanya mulai kabur dan semakin lama tubuhnya menegang merasakan sakit yang menggigit.

Aleena tak pingsan, ia menahan sekuat tenaga agar ia tetap sadar tetapi mampu mengendalikannya. Matanya terpejam dan ia menekan kuat agar semuanya menjadi gambaran hitam. Setelah beberapa lama ia mencoba memfokuskan fikiran pada apa yang ia miliki, merasakan seutuhnya setiap jengkal dalam tubuhnya. Membiarkan nafasnya mengambil alih dalam meresapi setiap denyut jantung dan hawa dingin yang menggigiti tubuhnya.

Hingga gambaran itupun akhirnya muncul, sedikit demi sedikit refleksi air yang bergemuruh terdengar di telinga Aleena. Gambaran yang awalnya adalah sketsa biru bagaikan petir yang menyambar kini menjadi sebuah pemandangan yang semakin jelas di benak Aleena. Ia memasuki fikiran Dommed, ia melihat melalui mata Dommed tanpa makhluk itu sadari. Ternyata Dommed tengah menjaga The Dropprunus, ia berdiri mengitari pusat kehidupan tersebut, tahu jika sarang itu menjadi target utama.

Dari pandangan Dommed, Aleena melihat ribuan jenis Ghroan yang terdiam dalam dasar lautan. Berbaris bagaikan prajurit yang siap menyerang sebuah Negara, semua jenisnya bercampur dalam balutan kebengisan yang mengancam. Gemirix yang memiliki sinar biru terang lebih dominan dengan tubuhnya yang bersinar di dalam gelap, wajahnya yang mengerikan mulai mencari banyak pasukan dan ia mengumpulkan bala bantuan lainnya. Grayden, yaitu Ghroan terkecil hanya dapat membantu sebisa mungkin. Glox menyala berwarna merah sama hal dengan Gemirix yang menyala, mereka menggelinding bersamaan menuju daratan.

Apa yang mereka tunggu, dan mengapa mereka belum bergerak? Apakah mereka menunggu sesuatu. Begitulah fikir Aleena. Mendadak semua gambaran menjadi hitam kembali dan Aleena begitu kaget dengan suara yang berada di telinganya menggema, membuat semua tubuhnya merinding dan melemas.

Aleena terhantam sekocinya saat ia terjatuh dan tertidur dengan lemas, ia berteriak ksakitan saat kepalanya terasa diputar bagaikan roda sepeda. Semua klip di kepala Aleena terbesit begitu cepat, delapan gambar pedetik membuat kepalanya sakit dan mual. Ia tak tahu apa yang terjadi, dan mengapa kepalanya menampilkan gambaran yang tak dapat ia ingat.

Gambaran itu berakhir dengan lokasi yang langsung tahu mengapa ia bisa melihat semua kerusakan memorinya. Gambar Tarnom, lokasi dimana 70% orang lain tinggal disana dengan aman dan tentramnya. Dommed merusak kepala Aleena, ia tahu Aleena berada di dekatnya. Ia masuk dan membongkar semua memorinya buruk dan baik tak diperdulikan Dommed. Ia menuju satu hal, Tarnom. Dia menginginkan kematian orang lain.

Aleena membuka matanya cepat dan mengambil nafas baru, ia bangkit dengan mata yang berkaca-kaca dan rasa sakit luar biasa di kepala, perut dan jantungnya. Ia tahu Dommed mengincar sesuatu, ia mengincar barang yang lebih rahasia dan berharga jauh di belakang sana.

"Ris" gumamnya penuh kepahitan.

Aleena menoleh ke belakangnya, menatap penuh cemas dan ironi apa yang berada di belakang sana. Apakah mereka siap? Apakah Gustavo siap dengan kedatangan bencana di bawah sana? Hanya satu yang terbesit di kepala Aleena untuk menyelamatkan mereka secara bersamaan.

Menghancurkan The Dropprunus lebih dahulu.

*****

-THE FINAL PART 1 !!! semoga suka, dan semoga tegang dan semoga teriak dan semoga buat gereget dan semogaaaaaaaaaa siap-siap dengan part terakhir dengan ekspektasi-ekspektasi yang bergeliang di kepala bagaiamana akhirnya nanti :D

-Udah gak terasa mau nyampe bagian terakhir, walaupun masih setengah menuju akhir aku ingin mengucapkan terimakasih banyak atas dukungan berupa saran, komentar, vote ataupun sekedar membaca walaupun satu kalimat di part awal wkekekek. Aku harap aku bisa bertemu kalian semua dan mengucapkan betapa senangnya memiliki reader setia yang menyukai cerita saya.

-Vote dan komentar di tunggu untuk ajang #Wattys2015 :p All the love - Dinda <3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro