Part 48 - Yang Tertinggal (2)
Tiga puluh sembilan orang yang diselamatkan Aleena terus masuk lebih dalam ke ruang gelap, ruangan yang mereka lewati terus mengeluarkan bau karat dan bau yang tak terjelaskan. Bau itu seperti bau obat-obatan seperti yang di rumah sakit, terkadang aroma debu dan karat pun ikut merayap di dinding dan celahnya.
Skylar terus menatap arah belakangnya penuh harap bila Aleena di belakang sana sedang baik-baik saja dan mampu menghadapi sesuai yang wanita itu katakan. Julius yang membuka pintu lainnya kembali menemukan ruangan baru lain, kosong tanpa ada apapun selain box kayu yang berjajar di setiap sudut ruangan.
Untaian kabel yang tak terpakai pun terlilit di atap dan terjatuh ke lantai, seperti rumah yang lain ala kadarnya; telah rusak dan hancur. Mereka tak tahu di manakah mereka berada, rumah siapa atau gudang apakah yang sedang mereka telusuri. Bangunan tersebut mungkin tidak berlantai banyak dan menjulang tinggi ke langit, namun satu hal yang pasti, bangunan misterius itu sangat lebar dan luas, dibatasi sekat batu-bata yang terlapisi semen abu-abu.

Langkah sepatu yang terus berbunyi bersahutan dalam kesunyian, sudah cukup lama mereka membuka pintu dan melewati ruangan kosong lainnya. Terbesit di perkiraan jika bangunan ini sudah ditinggalkan karena tidak ada satupun barang-barang yang masih tersisa. Mungkin salah satu gudang perusahaan yang bangkrut, atau sengaja dikosongkan karena migrasi pemilik dan pekerjanya.
Suara benda terjatuh dan terseret pun tiba-tiba terdengar dari sisi ruang lainnya, membuat Julius dan regu di belakangnya menghentikan langkah kaki dan mengangkat senjata perlahan-lahan.
Gustavo berada di posisi paling belakang dan ia tak dapat membantu Julius di depan, dengan pasukan lebih dari 20 yang bersamanya keberadaan mereka di dalam dapat terkondisikan dengan baik dengan pertahanan dan kemujuran yang layak. Julius melangkahkan satu kakinya tuk membuka pintu di depan dan mengintip ke ruang selanjutnya di mana asal suara itu muncul. Tidak adanya jendela mendorong Julius agar membuka pintu sendirian.
Gagang besi peraknya ia tarik perlahan menghasilkan suara besi, ia menarik pelan-pelan pintu ke arahnya dan suara karat engselnya pun berdecit panjang. Perlahan ia menarik pintu kayu di depan, lalu mendadak pintu itu terdobrak dari depan dan menghantam Julius sampai mendempet ke dinding, teriakan Molk yang berjibun datang membuat jantung lepas dan bergelantungan. Ternyata Molk itu sudah lama berada di sana dalam keadaan tidak aktif, sampai kelompok itu mengaktifkannya.
Skylar menarik lengah Azzura dan membawanya ke tempat yang cukup aman, mengingat Aleena akan memprioritaskan sahabatnya bila ada penyerangan, maka Skylar akan melakukan hal yang sama.
Timbunan beberapa Molk mulai bertambah, dan beberapa Molk mulai berlari ke arah Azzura dan Skylar. Azzura membelalakkan matanya tegang, dan Skylar hanya mengambil belati dari pisau milik Azzura, berdiri, dan ia menancapkan pisau ke kepala Molk.
Ia memilih manual, peluru yang ada mungkin bila beruntung akan dibutuhkan suatu saat nanti.
Barisan di depan mundur dengan cepat ketika Molk dengan ranggas masuk ke ruangan mereka, peluru yang melesat menghujani tubuh para Molk yang masuk melewati pintu selebar satu meter. Julius yang tergencet berusaha melarikan diri, ketika satu Molk menghampirinya ia dengan cepat menarik senjatanya dan menghatamkan ke kepala Molk. Makhluk itu terhuyung-huyung ke belakang belum mati, sampai Julius menembak kepalanya saat ia datang padanya lagi.
Puluhan peluru yang menembus masing-masing kepala Molk terus bergenderang, beruntung Molk yang berada di dalam gudang itu tak mengeluarkan geraman. Jadi dalam beberapa menit saja 20 Molk sisa itu menumpuk di ruangan dan membusuk.
"Selesai," ujar Wolf enteng dengan nafas yang tak karuan. "Mari cari tempat yang jauh dari tempat ini," saran Wolf sembari membantu mengangkat tubuh Julius.
Skylar tak bergeming bersama Gustavo dan Azzura di belakang, selagi mereka kembali menempuh ruangan demi ruangan yang asing, mereka terus memikirkan seorang wanita jauh di belakang sana.[]
Pintu yang ia tahan terbuka lebar dan menampilkan lapisan tumpukan mayat Molk yang terbunuh karena Seth dan sisanya yang masih hidup berteriak menghampiri Aleena. Ia mundur dengan cepat mengayunkan senjatanya pada Molk, ia membidik kepala dan melepaskan pelurunya dengan cukup gemetaran. Suara teriakan itu mengganggu ketenangan Aleena dan membuyarkan konsentrasi, ia semakin mundur dengan cepat ketika Molk terus berdatangan dari arah luar.
Aleena semakin mempercepat tembakannya pada Molk yang jaraknya semakin lama mendekati batas kenyamanannya, satu meter di hapadannya. Tubuh Aleena tanpa ia ketahui terpojok dan menempel pada dinding, fokusnya hilang dan lupa menarik pelatuknya sampai dua Molk datang dan hampir mencakar wajahnya. Aleena menunduk cepat dan menghindar ke kanan, Molk itu mengikutinya dan dengan cepat Aleena menampar wajah makhluk itu dengan senjatanya.
"Arrgh!" erangnya ketika memukul wajah makhluk di depannya.
Kejaran Molk semakin lama semakin merepotkannya, Molk dari luar terus berdatangan walau kuantitasnya tak sebanyak awal. Hanya dua atau tiga Molk yang datang, tanpa tahu kapan Molk itu berhenti datang pada Aleena di luar sana.
Nafas Aleena sudah terburu-buru dan jantungnya begitu berdebar ketakutan, itu tidak ada dalam penglihatannya dan Aleena tersesat di antara menebak atau percaya. Kini kejar-kejaran berlangsung ketika Aleena terus menghindari 4 Molk di dalam tanpa bisa ia bunuh terlebih dahulu. Langkahnya zig-zag dan sangat cepat menghindari gigitan dan cakaran Molk.
Ia berbalik melihat 4 Molk berjajar di belakangnya mengejar, Aleena terjatuh dan di saat itu juga ia berteriak pelan. Molk itu membungkuk dan akan memakan Aleena, namun ia dengan kuat menahan ke empat makhluk di depannya dengan senjata berlaras panjang. Tidak ada orang lain lagi yang dapat menolongnya, tidak ada pahlawan yang datang dan mendengar teriakan permohonan bantuan. Semuanya ada di tangan Aleena, ia tetap harus befikir cemerlang agar ide apapun muncul.
Ia dengan kuat menendang satu kaki Molk, membuatnya terjatuh dan dengan cepat ia menandang tubuh Molk yang lainnya agar ia dapat berdiri. Ketika ia sudah berdiri dengan cepat ia mengarahkan senjatanya pada satu Molk yang tersungkur di bawah, menembak kepalanya dari belakang dan terjatuh. Molk lainnya ia tembak di bagian perut hanya untuk menghentikan sejenak lalu beralih ke kepala. Wajah Aleena dilumuri cipratan darah busuk berwarna merah kehitaman, mengalir bagaikan keringat di pipi kanan dan di lehernya.
Bau anyir pun tak segan-segan membunuh hidungnya, banyaknya mayat Molk yang begitu menjijikkan tidak dapat membuat Aleena k emana-mana. Satu Molk berteriak dari luar dan berlari menuju Aleena dan dengan cepat ia mengarahkan senjatanya dan menarik pelatuk, namun tanpa disadari pelurunya habis dan ia lumpuh tanpa senjata.
Kakinya terangkat dan menendang tubuh Molk yang datang, membanting makhluk tersebut jatuh. Senjatanya ia pukulkan ke kepala makhluk itu sampai darah bercucuran dan kepala makhluk itu hancur dengan organ di dalamnya nampak begitu menjijikkan. Tiga Molk datang bersamaan dari luar lagi dan dengan cepat Aleena mengambil senjata cadangan, ia ambil anak panah hitam di keranjang belakang dan menarik dengan cepat di tali busur. Anak panah itu melesat ke kepala satu Molk, satu panah lagi ia ambil dengan cepat dan di lepaskan ke dua Molk sekaligus.
Baru saja ia menggunakan tiga anak panahnya, tak ada kehadiran Molk dalam beberapa saat tidak membuat Aleena lengah begitu saja tanpa mempersiapkan satu anak panahnya di depan tali busur. Dalam beberapa detik ia dapat memulihkan nafas beratnya, sembari menunggu kedatangan Molk dari luar. Iris matanya menatap ke luar dengan waspada, dan ajaibnya tak ada Molk lagi yang datang, ia menoleh ke sekeliling dan menatap tumpukan Molk, memastikan jika semuanya sudah mati.
Satu saliva ia telan sembari ia membuang nafas dari bibirnya teratur, satu Molk datang lagi tiba-tiba dan berlari menghampiri Aleena yang langsung dihampiri oleh anak panah yang melayang ke kening Molk dan menghambrukkan tubuhnya di antara bangkai lain.
Aleena memijat kepalanya, sekali lagi ia masih merasa bingung tentang kejadian saat itu. Perasaannya mengatakan jika ia pernah mengalami hal itu, tapi ia ragu dan tidak dapat mengingat lagi detail seperti apa kejadiannya seperti Déjà Vu yang dihapus dan Aleena masih mencoba menyelesaikan kepingan keraguan yang ia fikirkan.
Ia terduduk di antara tumpukan bangkai akibat kelelahan, saat ia kebingungan dia sebenarnya tahu tak ada lagi Molk nantinya. Memastikan itu benar Aleena memperlama lagi istirahatnya di tengah kumpulan mayat dan bau anyir, dan benar saja tidak ada lagi Molk yang datang.
Dikembalikannya satu anak panah di belakang keranjang sembari mengulur kedua kaki di depan 2 Molk yang wajahnya menghadap sepatu Aleena, matanya membulat lebar dengan lubang kepala yang menghiasi kening, tanpa rasa takut pun kali ini Aleena berani menatap makhluk tersebut dalam-dalam.
Penggalan kepingan memori pun teringat saat pertama kali ia menatap Molk di atap saat itu, tak pernah terduga yang dahulu Molk begitu ia takuti kini makhluk itu bukan apa-apa selain pelampiasan ketakutan yang sebenarnya.
Tiga jam terlewati sejak Aleena terdiam menjernihkan isi fikirannya, sudah saatnya ia harus mulai berjalan lagi sebelum senja datang dan digantikan oleh waktu berkeliaran para Ghroan. Kakinya mulai melangkah menuju pintu-pintu yang ada di belakang, menelusuri setiap ruangan baru tanpa tahu ke mana ia tuju. Aleena hanya terdiam dalam keraguan, ragu ia pernah ke sana dan ragu ia tak tahu tempat itu. Sembari ia berjalan melewati setiap ruang di dalam gudang itu ia menemui satu pintu kayu yang terbuka.
Di dalam ruangan itu menampilkan puluhan Molk terbaring tanpa nyawa bersimbah darah, Aleena yakin Skylar dan yang lainnya bertemu kawanan Molk yang dahulu manusia bersembunyi di gudang tersebut. Langkah demi langkah ia lewati tubuh mayat itu, bahkan Aleena melihat beberapa kepala yang lepas dari tubuhnya sudah berguling. Pasti itu adalah ulah dari Gustavo yang suka hal dramatis yang terjadi pada Molk. Aleena membuka pintu lainnya lagi, lagi, lagi dan lagi sampai ia tahu gudang itu benar-benarlah luas dan sangat melelahkan.
"Gudang apa yang luasnya begitu besar?" gerutunya.
Mendadak kakinya terhenti ketika ia melihat satu pintu kayu usang bersama kaca segi empat yang tertera di pintu. Sekilas memang tidak ada yang spesial, tapi sekali lagi perasaannya mengatakan hal yang tak bisa ia jelaskan sendiri, ia seperti pernah membuka pintu tersebut. Aleena menghela nafas dan tiba-tiba saja dari arah kanan pergerakan tak terduga membuat jantungnya melompat kaget saat satu Molk berjalan menyeret kaki kanan.
Kepalanya dilumuri dengan darah dan pakaiannya usang dan penuh sobekan, mengetahui Molk terluka dan tua seperti itu tidak begitu mengancam, Aleena bernafas lega dan berpaling ke pintu lagi.
Molk itu menyeret kakinya menuju sisi Aleena yang hanya cuek dengan kedatangan makhluk yang semakin dekat dengannya. Ia mengambil satu anak panahnya dan melesatkannya ke kepala Molk, pucuk tajam anak panahnya muncul di belakang kepala dengan darah dan sedikit daging yang terkoyak hingga Molk itu rubuh. Setelah selesai Aleena dengan santai membuka pintu di depan dan kembali menutupnya, kepalanya mengeksplorasi ruangan yang di penuhi tumpukan box kayu yang tinggi bagaikan dinding.
Semeraut ia berjalan tanpa arah ia kemudian mengambil arah kiri, hingga ia terbelalak ketika mendapati 3 orang pria sedang berdiri mengelilingi satu box kayu setinggi pinggang mereka. Para pria itu tak mengetahui kedatangan Aleena yang mematung di sana, penuh kelegaan dan keheningan yang tentram. Perasaan campur aduk yang tak terbayangkan, mungkin bukan Déjà Vu yang sedang Aleena cari sebelumnya sampai mengatur segala hal dan keputusan agar dapat menuju sampai ruangan itu, melainkan kepercayaan pada kata hatinya.
Mata Julius menangkap bayangan Aleena dan ia sangat kaget bukan kepala, disusul dengan tolehan Gustavo dan Dan yang tak dapat berkata-kata. Aleena mendatangi mereka dan mengangkat satu alisnya dingin, iris hijaunya mengkilat ketika bertatapan pada Gustavo yang sudah membeku dalam keterkejutan.
"Sudah kubilang ... aku akan kembali," imbuh Aleena dengan senyum masam.
"Ba-bagaimana?" Julius terbata-bata tak karuan, sebelumnya baru saja Gustavo menceritakan perihal Aleena yang tertinggal jauh di ruangan awal sana.
"Lupakan pertanyaan bodoh," elak Gustavo ingin menuju satu topik yang serius terlihat dari wajahnya. "Kau tahu tempat ini? Karena kau sepertinya yakin tentang tempat ini semua," tanya Gustavo menyelidik.
"Apa?" Aleena masih tak mengerti.
"Kau benar-benar tak pernah ke sini bukan Sharlon?" kini Dan angkat bicara.
"Tidak, kenapa?" singkat Aleena ingin mendengar basa-basi, karena mimik 3 pria di depannya sangatlah penuh makna yang besar.
"Kita di tempat Locmez," ujar Gustavo.
Aleena tak kuasa menahan ledakan jantungnya, mulutnya terbuka membentuk lubang kecil dan matanya mengunci manik abu-abu Gustavo.
"Bagaimana kau tahu? Ini hanya gudang yang kosong," elak Aleena masih tak percaya.
"Gedung kosong karena sudah ditinggalkan, sebelumnya? Ini adalah pusat pekerjaan Locmez mencari sarang Dommed," jelas Dan berapi-api.
"Kau akan terkesima ketika melihat apa yang ada di ruang selanjutnya," tambah Julius.
"Apa? Ada apa?" tanya Aleena.
Gustavo mengeluarkan selembar kertas besar dan membuka lipatannya hingga membentuk lagi kertas yang lebih besar. "Ini yang kita cari," singkatnya dingin.
Aleena tergesa-gesa mendekati box kayu dan manatap penuh binar bahagia. "Petanya," sebuah senyuman berkembang besar di bibir tipis wanita itu.
"Tidak semua harta karun Locmez bawa, tapi dia menyisakan beberap," tukas Dan. "Tapi ... masalah sebenarnya hanya satu," nada Dan menjadi rendah dan ia menatap Julius.
"Apa itu?" Aleena mendangak pada sosok tinggi Dan.
"Kita butuh kapal, tapi bagaimana kau mengeluarkan kapal dari ruangan ini?" bahu Dan bergerak santai.
Ketika mendengarkan Aleena sudah penasaran apa yang dibicarakan hingga ia memutuskan tuk menuju ruang selanjutnya yang dibatasi satu pintu besi.
Ketika ia membukanya aura dingin yang mencekam tiba-tiba saja ia rasakan, bulu kuduknya berdiri dan tak mau turun lagi akibat terpana dengan apa yang ia lihat. Sebuah kapal sedang berlabuh di dalam ruangan yang begitu besarnya.
Aleena mendangak tinggi agar ujung kapal sanggup ia lirik.
Kapal karat yang berwarna biru putih bertuliskan YEZOL-OCMEZ berlabuh tanpa air di dalam ruangan tersebut, puluhan tali yang diikatkan di sisi kapal berbaris agar menyeimbangkan kapal. Kapal itu sudah tertinggal sangat lama karena tak dapat digunakan kembali dan menjadi sarang binatang apapun untuk hidup di dalamnya. Karat mulai menggerogoti sisi kapal dan rantai kapal yang ditinggalkan.
"Oh my god." Aleena menggeleng bingung, begitu besarnya kapal itu tak mungkin bisa didorong oleh 30 orang pun sekaligus bahkan 30 gajah sekaligus.
Mendadak dari belakang 2 teriakan menggema dan disusul dengan pelukan seorang gadis dan pria yang menunggu gilirannya. "Oh my god! Aleena kau selamat, bagaimana bisa? Astaga ... kau tak apa? tak terluka? Sialan kau! Mengapa kau melakukan itu, kau gadis bodoh yang aku sayangi!" Azzura mengumpat dibalik leher Aleena tanpa tangisan, hanya getaran tubuhnya saja yang dirasakan Aleena.
"Aku ingin menyalamatkanmu, sudah kubilang." Aleena memberikan senyuman tulus pada Azzura.
Azzura melepas dengan sisa kebahagiaan dan bergantian pada pria yang sudah mengantri. "Damn you Al!" umpatnya dan langsung saja ia mencium bibir Aleena, melumatnya lagi dan menciuminya posesif.
"Aku baru saja bersekongkol dengan Azzura untuk kembali menyelamatkanmu," entah mengapa Skylar tak meneteskan air mata pula, malah tersenyum aneh.
"No you don't," kekeh Aleena dan ia kembali dipeluk oleh Skylar begitu erat. "Jangan kembali demi orang yang membalas dendam," tambah Aleena dengan cengiran jahil.
"Demi tuhan kau benar-benar tidak apa-apa bukan?" Azzura kembali memastikan, karena ia tahu sendiri Aleena pandai menyembunyikan luka sebesar apapun.
"Aku masih bisa berdansa," guyon Aleena, perasaannya begitu sangat bahagia ketika tersambut begitu meriah dan hangat oleh dua orang terkasihnya. Dari kejauhan ia mendapat sorotan mata dan senyuman kecil kelegaan dari Wolf yang dibalas dengan senyuman keberhasilan Aleena.
"Jadi." Aleena menatap Skylar. "Apa yang direncanakan Gustavo?" tanyanya.
"Kita belum tahu, sesampai di sini dia menyuruh orang-orang untuk mencari segala macam kebutuhan di dalam kapal tersebut, tapi ketika aku melihat Dan kembali bersama selembar kertas dan mendatangi Gustavo pencariannya dihentikannya, ditambah tak tersisa banyak di kapal ini yang bisa di'adopsi'. Entah ada apa, mereka belum keluar dari ruangan itu dengan Julius," jelas Azzura perlahan.
Aleena mengangguk mengerti, rupanya belum ada yang tahu jika mereka sedang berada di gudang milik Locmez dan apa yang dibawa Dan adalah harta karun yang sebelumnya disangka hilang. Perlahan 3 pria yang mendekam dalam suatu ruangan tersendiri keluar beriringan, memasang ekspresi datar seperti biasa sembari menatap kegiatan pria-pria lainnya.
Dan,Gustavo dan Julius mendatangi Aleena, Skylar dan Azzura yang kebetulan berdekatan. "Kita tetap harus ke pantai," ujar Gustavo mulai berdiskusi.
"Ya tapi bagaimana dengan kapalnya?" gumam Skylar.
"Kurasa kita bisa menemukan kapal lain, di pantai sana pasti ada sebuah pelabuhan atau dermaga yang memiliki puluhan kapal yang masih layak digunakan," jelas Julius.
"Ini hanya opsi sementara," tambahnya.
"Dan apa rencana cadangannya?" sahut Aleena.
"Kembali dan merakit kapal sendiri," ujar Gustavo skeptis.
"Itu tidak mungkin!" Aleena menggeram kesal.
"Lebih baik daripada menyeret kapal itu," sambar Gustavo. "Hanya beberapa mil dari pantai, ayo kita keluar dari gudang ini sebelum malam," tambahnya.
"Aku ragu jika di luar aman," gerutu Aleena waspada.
"Molk?" tanya Dan.
"Ya, kufikir daerah ini adalah kawasan para Molk," ujar Aleena mengerut.
"Kita tak bisa tinggal di gudang ini walau satu malam pun, banyak jendela dan pintu terbuka yang memungkinkan Ghroan masuk atau bahkan Molk," sela Julius.
Semuanya terdiam, saling memandang satu sama lain menunggu datangnya argumen lainnya. Gustavo masih mencari jalan sendiri sembari memandangi kapal berkarat yang usang, ia menarik nafas besar dan menghembuskannya. Aleena tahu arti helaan itu, penat dan bimbang, sudah bukan kejutan lagi jika perjalanan ini membuat otak Gustavo berjalan lamban seiring kurangnya istirahat dan tingkat setres yang tinggi.
Suara langkah kaki yang berlari datang dari entah berantah, 3 orang yang berlarian itu memandang lingkaran Gustavo dan yang lainnya dengan panik dan wajah yang mulai pucat. Cadance, Wolf dan Yura rupanya berkeliaran sedari tadi dan sebab itulah Aleena tak dapat menemukan rambut pirang milik Cadance itu.
Nafas Cadance terbuang banyak sembari berlari menuju pada Gustavo. "Mereka datang!" pekiknya ketika sampai.
"Apa?" Gustavo dan yang lainnya mengerut bingung bersamaan.
"Kita baru saja di luar gudang pabrik ini dan banyak sekali Molk berkeliaran," tukas Wolf masih mengatur nafasnya.
"Are you kidding me?" desis Julius.
"Bagaimana bisa mereka di sana?" pekik Aleena.
"Para Molk itu masih cukup jauh dari sini, jika kita cepat bergegas keluar, kita bisa jauh dari Molk itu," gugus Yura memberi saran.
"Seberapa jauh?" sahut Gustavo.
"Tidak terlalu jauh, tidak terlalu dekat. Kita harus pergi sekarang atau tidak sama sekali," sahut Yura bergelagat begitu gelisah.
"Gus, itu Molk yang sangat banyak, kita bisa terperangkap," tukas Cadance menambahi.
"Julius kumpulkan semua orang dan amunisi, Dan kau ambil apapun yang dapat menjadi pendukung peta itu di dalam kapal, Skylar kau keluar bersama Yura dan Wolf memantau Molk dan cari jalan manapun yang dapat kita lalui untuk menjauhi sekelompok Molk itu. Aleena, Cadance dan Azzura tolonglah jangan memperlambat, usahakan untuk membantu apapun yang terjadi," setiap deretan perintah Gustavo yang terlontar langsung dijalankan oleh mereka yang disuruh.
"Aku tak mengerti maksudmu," ucap Cadance yang belum mengerti tugasnya.
Gustavo mengambil katananya yang mengeluarkan suara desingan tajam. "Maksudku ikut membantai mereka," ia memberikannya pada Cadance dan langsung pergi.
"Come on guys! persiapkan senjata kalian," pekik Gustavo di belakang 3 wanita yang masih terbelenggu.
Cadance menatap kagum katana itu kembali setelah terpisah cukup lama. "Aku tak terlalu terlatih sebagai Tent," keluh Cadance.
"Tak apa, semua orang adalah pemberani dalam cara mereka sendiri," sahut Aleena begitu percaya diri, ia mengumpulkan kembali adrenali dan kepercayaan dirinya dalam beertahan hidup di kota mengerikan tersebut. Entah kelelahan dan rintangan macam apa yang akan ia lalui nantinya, ia tetap harus menunggu apapun yang akan terjadi.
Mereka bertiga berlarian mengikuti arah para pria berlarian menuju tempat berkumpul, suara puluhan sepatu yang berlarian di lantai membuat alunan nada yang mendebarkan jantung. Molk yang berkumpul sedang kelaparan rupanya mengarah pada tujuan di mana regu Gustavo dan lainnya sedang mengistirahatkan kaki dalam beberapa jam yang singkat itu.
Skylar, Yura dan Wolf masih menelaah rombongan Molk dalam jumlah banyak sedang meluncur ke arah mereka, mencari strategi dan menyusunnya sematang dan serapi mungkin untuk meloloskan diri. Saran demi saran mereka gumamkan, strategi demi strategi mereka kaitan bersama sehingga membuat suatu keputusan yang masih kekurangan ide. Suara langkah kaki yang banyak berdatangan dari arah belakang mereka, dan para pria sudah mengangkat senjata dan tiap mata mencari keberadaan ancaman itu.
"Jadi bagaimana?" tanya Gustavo pada 3 pria yang asik berdiskusi gundah sembari bersembunyi di balik dinding penghalang.
"Ada sebuah jalan di depan, tak ada pelindung yang menyembunyikan kita. Itu satu-satunya jalan yang aman dan yang tersedia. Jalan yang lain tertutupan reruntuhan, memanjat reruntuhan itu kita tidak dapat lolos dari kejaran mereka. Ada satu jalan yang terbuka dan mengarah pada taman kecil, tapi itu satu blok di depan lebih dekat dengan kelompok Molk," jelas Skylar menoleh pada Gustavo.
"Tak ada pilihan banyak," gumam Seth di sebelah Gustavo merengut cemas.
"Ke mana jalanan di depan menuju?" tanya Gustavo.
"Semacam taman, lalu ada pepohonan dan ada gedung-gedung lagi di belakangnya," ujar Skylar. Ia yang berada cukup tinggi agar dapat melihat sekeliling, ia turun perlahan dan bergabung.
"Molk akan cepat mengejar kita setelah melewati jalanan di depan, jadi kalian harus berlari lagi. Jika jarak mereka cukup jauh, kau bisa membunuhnya. Tapi prioritaskan berlari, karena aku ingin ke gedung sana dan berlindung," jelas Gustavo pada semua orang.
"Tapi para Molk akan memanggil kawanannya lagi jika kita tak membunuh," seorang pria merespon.
Gustavo menghela nafas kepasrahan. "Kita tak punya pilihan, amunisi kita mulai kurang," ia tertunduk, merasakan firasat buruk yang selalu ia benci di saat-saat sekarang. Ia selalu berharap semua pandangan buruknya keliru, selalu ia bilang pada dirinya sendiri 'tidak, tidak, dan tidak'.
"Kau berada di sini demi satu alasan, begitupula aku. Apapun yang terjadi berhari-hari sebelumnya adalah hari terburuk dan kita melewatinya. Mereka yang gugur adalah kenangan yang akan menjadi bara api kita, mereka mati tidak sia-sia, mereka mati agar kita dapat sampai di sini. Jika kalian menghargainya, sekali lagi aku meminta, maukah kalian bersamaku menghentikan ini? Aku ingin menghentikan ini sejak dahulu, dan aku yakin kalian juga, mereka yang tiada juga. Ingat sajalah janjimu itu ketika kau dalam keadaan terendah, ucapkan janji itu di dalam hatimu bagaikan api yang membara dan membesar! Aku tidak takut, karena ketakutanku sudah membunuh banyak perasaan, kau mengikutiku dan menyelesaikannya atau tidak sama sekali."
Pidato indah Gustavo itu membuat banyak orang tercekik, membelalak, merenung, melamun, teringat rumah, teringat sahabat yang gugur dan melihat masa depan yang cerah. Gustavo yang dingin itu kini memberikan kobaran jiwa seorang prajurit, tidak hanya pandai dalam betempur Gustavo memiliki jiwa seorang motivator. Sisi motivasi itulah yang sangat langka, muncul di kala ia memikirkan seseorang yang ia sayangi, muncul saat ia lupa menjaga imagenya.
"I'm ready," satu sahutan terdengar yakin dan begitu siap, dari bibir Aleena sendiri.
Mendengar suara wanita yang begitu yakin, semua orang mulai bersemangat dan yakin. Mereka menatap Gustavo dengan manik percaya diri dan membara, anggukan demi anggukan mereka layangkan sebagai tanda kesiapan. Semua orang memegang senjata penuh amunisi mereka, menunggu pergerakan Gustavo untuk memulai.
Azzura meremas lengan Aleena dan menatapnya. "Kita akan baik-baik saja," ucapnya tanpa suara.
Aleena tersenyum tulus. "Tidak diragukan lagi," ucap Aleena tanpa suara pula.
Gustavo berjalan perlahan menuruni tumpukan batu dan masih bersembunyi di balik dinding beton sampai pada batasan dinding itu berakhir ia berhenti dan mengintip ke kanan. Mata elangnya menangkap ratusan Molk yang masih berjalan menyeret kaki dan meraup-raup udara, menggigit-gigit udara sambil menatap penuh kekosongan.
Gustavo menelan salivanya dan menatap ujung jalan yang akan ia tuju, mencari petak yang akan ia pijak agar mulus ketika berlari menghindar. Ia cemas, Molk sama banyak dan ia mengkhawatirkan semua rombongannya di belakang.
Ia menoleh ke balakang yang dipenuhi banyak orang menunggu, hanya anggukan yang terlihat dan itu artinya saatnya berlari. Gustavo mulai berlari melangkahi jalan dan disusul banyak orang di belakang, langkah yang begitu laju menghasilkan suara berisik dari gesekan sepatu, aroma daging segar yang tertiup angin menuju arah kelompok Molk. Molk itu menoleh cepat dengan tatapan aneh, mengigit-gigit udara dan menggeram tanda memanggil kawanannya. Ia tak memiliki 2 mata, namun penciumannya masihlah liar dan rasa lapar kembali memuncak.
Molk itu berlarian dan diikuti Molk lainnya, berteriak histeris dan menggeram memanggil yang lain. Tanpa diketahui Gustavo dan lainnya, Molk di sana bukan hanya sekedar Molk, melainkan Fast Molk yang berbaur mencari makanan. Fast Molk berlari lebih laju dan meloncat-loncat, dibandingkan larian Molk yang biasa. Mendengar teriakan Molk yang menggema sepenjuru kota, Gustavo dan lainnya yakin mereka sudah berada dalam perlombaan lari dengan Molk.
"Ayo! Tetap berlari!!" pekik Gustavo melewati bebatuan yang berhambur di jalanan kota.
Aleena menoleh ke belakang ketika mendengar suara lengkingan Molk, Molk yang melompat itu mendarat pada sebuah batu dengan posisi menjongkok dan menatap kelompok Gustavo yang berlari.
"Gus! Itu Fast Molk!!" jerit Aleena menyadarinya dahulu.
Gustavo menoleh cepat. "Lari! Lari!" perintahnya sembari ia mengambil senjatanya dan mengarahkan pada satu dari beberapa Fast Molk.
Fast Molk tersebut melompat dan berlari menuju arah pria yang berada paling belakang, dan dalam satu kali loncatan Fast Molk tersebut sudah berada di atas punggung pria tersebut dan menyeretnya, menghambat lari pria itu.
"HAAARRRGGGHHHHH!!!!"
Suara teriakan kesakitan pria itu menggema dan membuat semua jantung berdebar ketakutan, Fast Molk itu memakan daging punggung dan pucuk kepala pria itu dengan rakus tanpa henti-hentinya, bahkan walaupun teriakan kesakitan pria itu berhenti mereka masih berkumpul untuk makan siang.
Fast Molk sisanya mulai mengejar lagi, dan genderang senjata terlepas dari arah Gustavo yang mengarahkan pada Fast Molk itu. Beberapa pelurunya lepas akibat lincahnya makhluk yang tak mau diam, namun ketika Gustavo mengenai tubuh Fast Molk dengan senjata, ia mulai lemah namun belum mati.
Sembari berlari menyusuri jalanan dan menuju sebuah taman kecil semua orang merasa lemas ketika mereka dihadapkan dengan gambaran sebuah tembok beton yang membatasi wilayah taman dan jalan seberang. Tembok setinggi tiga meter yang menghalangi jalan keluar tak terlihat dari pantauan Skylar dan kawan-kawan sebelumnya.
"Shit, bagaimana kita melewatinya?" pekik Aleena.
Kejaran Fast Molk semakin mendekat dan para kumpulan Molk yang berdatangan mulai berteriak. Di samping itu para pengelana terus mengolah akal agar mencari tahu bagaimana cara melewati dinding beton tersebut tanpa mau bertemu makhluk yang mengejar. Banyak wahana permainan yang tersebar, namun tidak ada satupun yang dapat membantu mulusnya perjalanan untuk melewati tembok tiga meter tersebut.
"Panjat! Bahu membahu! Cepat!" pekik Gustavo dan dimengerti mereka. Delapan dari mereka berjongkok mengorbankan bahu mereka tuk dapat diinjak bagi mereka yang akan melewati tembok. Gustavo mencari ide kembali agar mereka yang membantu rekan lainnya dapat selamat dari kejaran Fast Molk.
Dengan terburu-buru ia menuju sebuah wahana permainan di mana diperuntukkan untuk memanjat dari tiang besi ke be besi lainnya, permainan itu berada tepat di sebelah tembok. Gustavo memanjatnya dan sampai pada puncak permainan, ia berdiri dan membidik satu per satu Fast Molk yang mendekat pada regu mereka yang masih berusaha menyelamatkan diri.
Ia menembakkan banyak peluru dari spot terbagus, sembari beberapa orang lainnya masih berusaha menghindari kejaran Fast Molk di taman bagian lainnya. Skylar yang tadinya menembaki Fast Molk kini harus berlari kencang menghindari Molk bersama Seth dan 2 pria lainnya.
Nafas terburu dengan cepat dan kejar-kejaran itu benar-benar membunuh jantung yang berdebar sangat cepat. Skylar menoleh ke belakang ketika ia melihat satu Fast Molk mengarah padanya, di hadapannya terdapat sebuah ayunan dan ia terus mengarah pada permainan itu.
Ketika ia sampai dengan cepat ia berbalik dan menangkap ayunan tersebut, ia menariknya dengan kuat kemudian ia menghempaskannya begitu kuat mengarah pada satu Fast Molk yang mengejar dirinya. Hingga pinggir ayunan itu menghantam telak wajah Fast Molk hingga ia mati karena kepala yang pecah.
Seth yang terhalang ayunan membuat dirinya jauh di belakang, dan menjadi santapan empuk bagi satu Fast Molk yang mengejarnya di belakang, kausnya tertarik dan ia tersungkur di belakang dengan Molk yang akan memakannya.
Tiba-tiba Molk itu terjatuh dengan lubang di kepalanya setelah nyawanya diselamatkan dengan Aleena yang berada di spot terbagus bersama Gustavo. Ia menembaki berbarengan bersama Gustavo di sana, sembari mereka menunggu semuanya selamat.
Amunisi yang semakin menipis membuat Aleena dan Gustavo harus pintar-pintar menghemat, mengeluarkan semua amunisi pada Molk yang masih berdatangan sangat tidak mungkin dan mereka harus segera pergi lagi. Molk yang berdatangan mulai mendekati tembok, Gustavo tak dapat menyia-nyiakan amunisi pada puluhan Molk yang datang.
"Come on! Bergegas!" jeritnya pada mereka yang masih melompati tembok termasuk Skylar dan Seth. "Ayo pergi!" tambahnya pada Aleena di atas sana.
Gustavo langsung menuju pinggir besi yang begitu dekat dengan tembok, alhasil dalam satu lompatan besar ia dapat lompat dengan mendaratkan dua kaki sekaligus dengan sedikit membungkuk agar ia tak mengalami cedera kaki serius ketika jatuh dari ketinggian tersebut. Diikuti Aleena yang sedikit ragu untuk melompat, dalam satu kali lompatan ia mendarat dengan kedua kaki dan hampir membentur tanah, sedikit bantuan datang dari Gustavo.
"Ayo!! Naik!" Gustavo berteriak dari seberang tembok pada orang-orang yang masih di sebelah. Namun mereka lelah, dan teriakan menjerit masih sambung-menyambung di balik tembok itu.
Gustavo hanya dapat mendengar dengan miris dan hati yang terluka, ia harus menyusul yang lain dan berlari menuju kota selanjutnya. Gustavo berlari dan diekori Aleena yang hanya dapat menahan luka kembali. Ia berlarian menyusuri pepohonan rindang bersama yang lain, suara desiran daunnya terdengar akibat pijakan kaki yang orang-orang yang terburu-buru sebelum Molk menembus tembok tersebut, dan tanpa terduga mereka masih dikejar dengan kawanan Fast Molk.
"Tetap berlari, sedikit lagi kita sampai!!" terdengar info dari arah depan berasal dari Julius.
"Gus!" pekik Aleena dengan intonasi memberi kode setelah ia menoleh kebelakang. Gustavo yang menoleh terlena akan kejaran Fast Molk lainnya, mereka datang dalam jumlah banyak dan kali ini Gustavo benar-benar tidak dapat membuang amunisinya.
Mereka sampai pada jalanan kota, gedung-gedung yang masih berdiri dengan usang hanyalah beberapa dan sisanya hanya sebuah perumahan yang berdebu dan lapuk. Jauh di depan ada sebuah pepohonan kelapa yang rindang terhampar luas mengelilingi daerah tersebut.
"Pantainya!" jerit seseorang.
"Pantainya! Aku melihat pantainya! Di depan! Setelah pepohonan!" jerit seorang pria yang entah bagaimana bisa menerawang apa yang tertutup di balik jejeran pohon kelapa yang lebat.
Semua yang mendengar tak kuasa menahan lega dan emosi yang tak karuan, terutama Aleena yang entah mengapa jantungnya berdebar keras seperdetik ketika mereka mengoarkan tentang pantai yang ada di dekat mereka.
"Tetap lari! Tetap lari!" jerit Gustavo dan ia kembali menoleh ke belakang, rimbunan pohon yang berada di belakangnya bergerak dan menampilkan banyak sekali Fast Molk yang berteriak melengking, yang merupakan spot jantung semua orang.
"Gus! Aku melihat kapal! Aku melihat kapal!" jerit seorang pria lagi begitu heboh dan riangnya.
"Ayo ayo!! Menuju kapal! Sebelum Fast Molk itu mendapatkan kita dahulu!" pekik Gustavo.
Mereka masuk di area perkebunan kelapa, dengan pohon kelapa yang berjejeran dan beberapanya tumbang. Sepoi angin pantai sudah terasa begitu deras menerpa kulit, semua baju berterbangan dan semua rambut berkibar melawan arah angin.
"Jangan berhenti! Skylar! Jangan berhenti!" jerit Julius yang melirik Skylar yang mencoba tuk menembaki beberapa Molk. Situasi mereka begitu sangat mepet, tak ada jarak renggang untuk melakukan apapun, dan mereka harus cepat ke pantai.
Aleena yang begitu kelelahan tak sanggup dengan beratnya senjata yang ia pegang, semakin lama kedua kakinya terasa sudah lepas dari tulang yang menyambung.
"Arrrghhh!!" teriak Aleena dan ia tersungkur dengan Molk tiba-tiba berada di punggungnya.
Semua yang ada di depannya terlebih dahulu berlari tanpa sempat berbalik dan menolong Aleena yang nyawanya sudah di ujung tanduk, hingga sebuah tombak terlempar dan melesat di tubuh Fast Molk berasal dari Wolf yang kebetulan berada lebih dekat dengan Aleena dan kembali tuk menolongnya.
"Ayo!!" Wolf membantu Aleena bangkit dan menarik lengannya, baru saja ia mengambil Aleena mereka berdua dikejutkan dengan 2 Fast Molk yang mendarat di punggung Wolf dan membuatnya jatuh sendirian.
"OH MY GOD WOLF!!" jerit Aleena ketakutan.
"Aleena pergi ... arrrghhh!!!!" jeritan kesakitannya menggema ke gendang telinga Aleena, tak mampu memberikan salam perpisahan. Aleena terpaksa meninggalkan dengan rasa sakit yang luar biasa di hatinya. Tenggorokannya tercekik luar biasa ketika ia harus meninggalkan kawan yang menolongnya dan melihat ketragisan ia mati.
Genangan air menetes dan bayangan lelaki itu menghantuinya sepanjang ia berlari, ia terisak di kala berlari. Kawan yang membantunya sejak di The Fort masih menjerit di belakang sana, mencoba membunuh tumpukan Fast Molk, ia terus berteriak melengking, terdengar samlai telinga Aleena.
Nafas Aleena terpingkal-pingkal mennagis, mendengar suara Wolf menjerit kesakitan saat setiap inci tubuhnya dimiliki makhluk di belakangnya, hingga suara itu tak ada lagi.
Bibir Aleena bergetar, ia panik dan menyadari Wolf telah tiada di depan mata kepalanya sendiri, seharusnya Aleena bisa melakukan hal lain, namun takdir sudah berkata lain ketika menjemput Wolf. Beberapa dari rombongan Aleena sudah menginjak pasir pantai dan mulai menuju arah kapal yang berlabuh, mereka harus berenang untuk dapat menjangkau kapal yang terambang di atas lautan yang mereka cari sedari dulu.
Aleena berada paling terakhir katena Molk sebelumnya, ia belum menyentuh pasir lembut pantai dan masih berada di tanah keras dilapisi dedaunan kelapa karena hal yang barusan ia terima.
"Aleena! Cepat! Mereka sudah berada di kapal!" jerit Yura yang ada di depannya, ia mungkin tidak tahu apa yang sudah terjadi pada Wolf teman baru dan teman baiknya.
Aleena semakin bergenang air mata ketika harus teringat beban tersebut, melihat temannya sendiri mati dan tidak memiliki waktu istirahat sejenak untuk mengingat kenangan mereka berdua. Semuanya begitu cepat dan begitu membuat Aleena kebingungan, mengapa semua yang menimpanya sangat berat dan selalu bersangkutan dengan kematian. Apakah tidak ada jalan lainnya selain kematian?
"NOO!!!" jerit Aleena begitu berat dan bergetar.
Mata Aleena terbelalak, dengan nyamannya ia menatap Yura di depan tiba-tiba satu Fast Molk melompat dan mendarat di punggung Yura dari entah berantah. Aleena bergetar hebat dan air matanya bergenang lebih banyak, dengan cepat ia mengambil anak panahnya dan melepaskannya ke arah Fast Molk yang sudah membuat Yura berteriak keras.
Aleena berlari menuju arah Yura secepat kilat, belum selesai Yura berteriak kesakitan dengan luka di lehernya tiba-tiba 2 Fast Molk datang pada arah Yura dan kembali mengoyak kulit putih miliknya.
"Jangan!! Pergi!! Aaarrrghhh!!" Aleena tak kuasa menahan lukanya, ia heran mengapa tidak ada Molk yang melukai Aleena, melainkan melukai orang lain. Aleena kembali melepaskan anak panah satu demi satu pada Molk yang menindih semua tubuh Yura.
Aleena sampai dan ia langsung mendorong tubuh Molk dari tubuh Yura. "YURA BANGUN!!!" tangannya bergetar hebat bersama busur yang ia genggam ketika darah di sekujur wajah dan leher Yura mengalir begitu deras dan menampilkan daging miliknya. Aleena menggeram tak kuasa menahan amarah dan emosi yang mengalir begitu menyayat hatinya.
"DEMI TUHAB!! YURA BANGUN!! JANGAN KAU!!"
"Aleena pergi!" ucap Yura begitu berusaha.
Semuanya terasa begitu lambat bagi Aleena, semua daun yang menari-nari dan Fast Molk yang melewati dirinya berjalan lamban.
"Kau- bisa- mati..." kembali Yura berusaha berbicara setengah mati.
"BANGUN YURA!! BANGUN!!
"Aleena please!" kata Yura, berusaha.
"STOP!! KAMU AKAN SELAMAT!! BANGUN YURAA!!" Aleena memekik emosi, menggabungkan tangannya di milik Yura, meneteskan air mata di balik mata merahnya.
"Aku mencintaimu Al, tapi kau harus kau pergi! Sekarang!" Yura menatap mata Aleena, kemudian melirik arah belakangnya dengan kumpulan Molk yang memekik.
Aleena tak dapat berkata apapun, apakah ia harus menyelamatkan nyawa Yura? Apakah ia harus diam di sana dan menyerah? Apakah dia harus berlari dan meninggalkan Yura kawan baiknya termakan oleh makhluk yang paling ia benci. Kepingan memori saat bersama dengan Yura terbesit di kepala Aleena, di saat itu terjadi Fast Molk yang berada di belakang Aleena hampir menerkamnya sampai tangan Yura terangkat dan menembakkan pelurunya ke arah kepala, menyelamatakan Aleena.
"Go!!!" Yura memekik emosi kali ini dan mata kirinya meneteskan satu air mata yang jatuh ke tanah.
Aleena berdiri ketika mendengar suara teriakan banyak Fast Molk dan Molk begitu banyak dari belakang, dan ia memutuskan berlari, meninggalkan Yura yang tergeletak di belakangnya.
Aleena begitu tersiksa, ia bahkan menutup telinganya rapat-rapat sembari berlari dan menangis histeris, tak mau mendengar suara teriakan kesakitan Yura.
Dan akhirnya menyentuh pasir lembut pantainya di akhir tenaganya. Ia masih dapat melihat beberapa orang berenang menuju kapal, hanya dirinyalah yang tertinggal jauh di belakang. Berpacu dengan waktu dan kecaman yang mengejar di belakang, Aleena berusaha lebih laju berlari dan menyelamatkan diri ke air.
Ia menangis tersedu-sedu, menyerah pada permainan alam. Di lain sisi Julius mulai memainkan jemari terampil untuk menyalakan kapal besar tersebut, mengerahkan dan memerintah orang lain untuk memeriksa kelengkapan untuk menuju tempat The Dropprunus yang jauh di depan, memastikan bahan bakar masih tersedia pulang dan pergi.
"Aleena!!" seseorang berteriak dari atas kapal dan mata gelapnya membelalak ketika banyak Molk yang berada di belakangnya, sudah di pastikan Aleena tak dapat lepas dari kejaran tersebut. Hingga tiba-tiba dari arah dan entah berantah segerombolan Ghroan datang menggelinding dan membunuh semua Molk. Kedua makhluk tersebut bertarung dan memperebutkan satu sama lain, namun sama seperti biasanya yang selalu menang adalah Ghroan.
Aleena menyeburkan diri ke air asin dan berenang tergesa-gesa menuju kapal yang mengapung, ia mendengar suara mesin kapal yang menyala dan jangkar yang terangkat. Sebuah pelampung terlempar dari atas dengan sosok Gustavo yang memegang tali putihnya, Aleena menggenggamnya sekuat tenaga.
Dan ia sampai di atas dengan keadaan basah kuyub sama dengan semua orang, Skylar mendaratkan pelukan menghangatkan dan Aleena hanya terdiam dalam kebisuan yang mengekangnya. Kedua mata hijaunya tak dapat berpaling dari daratan dan mengingatkan kematian Wolf dan Yura. Dua pria yang membantunya sekaligus teman sejati, banyak kenangan yang tercipta dari mereka berdua.
Ia menuju pinggir kapal dengan menggenggam pagar pembatas, menatap penuh ironi dan kepahitan. Nafasnya keras dan genangan air matanya masih terus keluar. Manik hijaunya masih menerawang daratan yang semakin menjauh, langit yang semakin gelap dan makhluk-makhluk yang memakan tubuh Wolf dan Yura.
Setidaknya hal yang ingin Aleena lakukan adalah mengubur mereka dengan damai, bukan menyaksikan luka yang diderita mereka dan melepaskan kedua pria tersebut untuk dimakan dengan makhluk buas di sana.
Semua kematian di daratan sana membuat Aleena tak dapat berkedip, melamunkan semua perjalanan melelahkan sampai pada titik di mana ia berada. Satu langkah menuju akhir. Pertempuran selanjutnya tak bisa dibayangkan, berapa banyak lagi amunisi dan orang-orang yang harus dikerahkan, dan penyebab apa saja nanti ketika ia memulai.
Selamat tinggal daratan, dan mereka kini berada di lautan.
****
-Lama tak jumpa, how are you all? good huh? hope so, oke setiap part yang lama di publish pasti ada aja alasannya ya wkwk. Cuma sekedar sharing dan yaaa curhat aja gitu kan, jadi karena minggu-minggu menulisku terhambat karena uts dan kuliah, dosennya cerewet banget :p
-Dont forget to vote this part, dan jangan lupa sedikit kritik saran atau komentar tentang bagian ini.
#RipWolfdanYura :( :( :( :( :( aku menangis guys. Aku menangisss kembali baca part ini suwer :'((
-All the love - M.D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro