Part 47 - Yang Tertinggal (1)
Sinar mentari yang cerah tembus melewati beberapa ventilasi kayu perpustakaan, cahayanya menghidupkan kembali struktur perpustakaan terbuat dari kayu beraroma hutan di setiap mentari pagi menyongsong. Sinar tersebut menerangi rak-rak buku di lantai atas, membersihkan aroma buku yang pekat serta menampilkan ribuan jenis dan judul buku yang tersusun rapi di dalam rak-rak yang masih rapi.
Di lantai bawah hanya tersisa 40 orang yang selamat dari tragedi malam melelahkan kemarin, kini mereka masih tertidur pulas berhamburan di berbagai tempat dengan posisi nyaman. Ada yang tidur di dekat tungku perapian utama, ada beberapa yang nyaman dengan posisi duduk dengan punggung yang bersandar dinding rak. Sisanya berserakan di lantai, melihat di mana mereka merasa senyaman dan setenang mungkin, kesedihan yang dirasakan membuat lelah setiap jiwa, kesedihan itu menjadi benih kantuk, hingga mereka semua tertidur bersamaan.
Beberapa dari mereka memiliki selimut yang menutupi tubuh dari dinginnya malam, dan sisanya membiarkan kulit mereka meresap oksigen ke titik pori-pori yang tegang. Mengistirahatkan dan merilekskan semua tubuh dengan tidur yang sangat pulas.
Bahkan Gustavo masih tertidur dengan pulas di atas sebuah kursi belajar dengan sebuah buku di atas kedua pahanya, rupanya ia menghabiskan malamnya untuk mendongengkan dirinya sendiri sampai terlelap dalam tidur. Ia dipenuhi luka di wajah seperti luka robek yang panjang dan butuh bantuan seorang Orvos, begitu pula semua orang.
Di lain sisi rambut coklat panjang wanita itu terurai menutupi tangan kanan yang ia lipat tuk menyangga kepalanya ketika tertidur, tubuh jenjangnya tengkurap setelah berubah-ubah posisi. Namun satu tangan kirinya terulur panjang mengarah pada tangan seorang pria yang juga terulur dari sisi berseberangan. Tangan Skylar ikut terulur, namun kini tak bersentuhan dengan sedikit jarak renggang di tengahnya. Skylar tertidur dengan posisi paling nyaman baginya, tangan kiri yang ia lipat menumpu ke belakang kepala. Sebelumnya kedua tangan Sky dan Lena saling menggenggam erat di kala kantuk datang dan mimpi menjemput. Hangat mentransferkan dari setiap genggaman menenangkan setelah lelahnya berusaha, setelah energi terkuras habis-habisan.
Udara segar menyengat setiap hidung, dan mereka tak pernah merasakan aroma udara sesegar hari ini walaupun perpustakaan berada di tengah kota yang terjangkit banyak virus Mepis, namun kali ini udara begitu sejuk dan nyaman. Suasana hening tanpa kericuhan sedikit pun semakin mempernyenyak semua orang, tak ada yang terbangun baik sengaja maupun tak sengaja.
Suara kicauan burung mendadak terdengar bersama kepakan sayap mungil yang menggema di dalam perpustakaan, bahkan ketika kedua kaki kecil itu mendarat masih dapat terdengar ke seantero perpustakaan. Entah dari mana burung gereja itu datang, tak ada sedikit ruangan yang terbuka di perpustakaan itu, bahkan ventilasi tak muat dengan ukuran tubuh burung sekecil itu.
Kicauan burung itu terdengar sekali dan kepakan sayapnya membangungkan Aleena, burung kecil berbulu coklat itu terbang ke rak paling tinggi di lantai atas dan mematuk-matukkan paruhnya ke kayu mencari sarapan, rayap. Aleena membuka matanya, rambut yang berhamburan bergerak seiring kepala Aleena mencari cahaya terang pagi hari.
Ia menegedipkan kedua mata bergantian secara teratur, menetralisir cahaya yang masuk ke iris hijau indahnya. Suara burung merdu itu benar-benar membangunkannya sendirian, tak ada orang lagi yang terbangun selain dirinya karena kehadiran burung gereja yang entah-berantah datang dari mana asalnya.
Aleena menegakkan tubuhnya, ia menoleh perlahan memperhatikan sejenak sekitarnya begitu tenang dan sangat tentram dalam sejenak perasaan. Ia melihat Azzura tertidur nyaman di atas sofa panjang, mengulurkan kaki lelah kecilnya di atas sana. Sedangkan sekumpulan pria tengah sejajar tidur tanpa keributan.
Hingga matanya menatap satu makhluk tertampan yang pernah ia lihat, alis tebal dan rahang tegasnya menarik satu garis yang rapi di wajahnya yang tampan. Ia sangat kelelahan seperti semua orang, tangannya masih terulur tak bergerak sekecil pun. Bahkan Aleena fikir semua orang seperti mati suri, tak ada kehidupan sekecil apapun di dalam perpustakaan selain burung gereja yang masuk.
Aleena mencoba berdiri untuk meregangkan tubuhnya sedikit, baru saja ia berdiri bunyi tulang-tulang tubuhnya sahut-menyahut berteriak 'ah' dengan nyaman. Aleena tak pernah merasasakan nikmat bangun pagi senyaman kali ini, ia perlahan berjalan melewati hamburan orang-orang yang masih tidur dengan nyenyak.
Ketika ia berjalan ia tak sengaja melihat pintu yang terbuka di sebelah kanan, dan ia sangat yakin burung itu pastilah masuk dari pintu utama, namun siapa yang membuka dan bagaimana? Dia pelan-pelan menuju pintu dan mengintip keluar, cahaya yang mulus, terang-menderang dan sepoi angin membasuh wajahnya bagai dibasuh dengan angin suci. Dia melangkahkan satu kakinya keluar, dan ia begitu terpana dengan langit di pagi hari yang begitu asrinya. Itu langit yang dirindukannya, langit yang sering ia tatap ketika ada di The Fort, sekarang giliran Aleena yang merasakan rindu rumah setengah mati. Perlahan-lahan ia naik ke atas dan benar saja, mentari sedang dalam proses keluar dari ujung cakrawala timur. Langitnya bagai terkuas cat merah yang terlukis indah, awannya tipis terbentang lebar.

Ia berjalan lagi pelan tanpa sepatunya dan tanpa busur, semua tubuhnya begitu ringan tanpa benda apapun yang terpasang di tubuh. Ia melipat kedua tangan di depan perut begitu ringan dan segar saat ia keluar. Dan saat itulah matanya mendapatkan Julius di depannya sedang berdiri menghadap jalanan raya yang panjang.
Dari keheningannya Aleena melihat kesedihan yang dirasakan pria baik tersebut. Merasa simpati, ia mendekati Julius, kaki telanjangnya yang menendang bebatuan kecil menyebabkan suara yang membuat suatu kebisingan yang mengganggu lamunan pria tersebut, dan Julius pun berbalik memeriksa siapa yang mendekatinya.
Ketika mereka bertatapan Julius kembali berbalik dan menatap hampa jalanan panjang tersebut. Aleena mensejajarkan tubuhnya pada Julius dan kini mereka bersebelahan dan menatap objek yang sama. Keheningan berlangsung cukup lama bagi mereka yang tak ingin berucap apapun
"I'm sorry ... tentang apa yang terjadi pada mereka," bisik Aleena memulai dengan ragu.
Julius terdiam cukup lama mendengarkan dengan berat hati, hingga tarikan nafas terdengar dari hidung mancungnya. "Itu bahkan bukan kesalahanmu Aleena," balasnya menegarkan diri, walau pun ia terkena tekanan batin ia masih bisa menyembunyikan dengan baik dengan menjawab sangat ramah, ketika ia menjawab pun kepalanya mendangak ke langit pagi hari yang indah.
Aleena terdiam tak dapat berucap, ia sudah meminta maaf, jika memperlanjut topik pastinya akan semakin membuat Julius ditelan kesedihan mentah-mentah. Saat itulah Aleena hanya dapat menemani Julius di luar sambil menatap jalanan lurus tanpa kelok di depan, jauh di ujung jalanan terlihat hilang karena kabut yang menutupi, membuat batasan pemandangan jalan.
"Kita sudah berteman sejak aku berlatih untuk menjadi Savagery," tambah Julius sendiri, Aleena menoleh dan tak dapat melakukan apa-apa selain mendengarkan curahan seorang pria.
"Kita berlatih bersama untuk menjadi Savagery, posisi itu adalah peringkat yang kami berlima incar sejak kali pertama berteman, kita tahu resikonya tapi kita tetap berjuang untuk meraih pangkat Savagery. Luka, keringat, patah tulang, ketakutan, kita jalanin bersama selama 5 tahun lebih di sana. Walau pada akhirnya hanya aku yang dipilih, dan mereka tak dapat lolos dari pangkat Tent," curhatnya cukup tenang.
"Aku fikir saat melakukan tugas Savagery dengan keluar dari benteng untuk mencari apapun di luar sana akan menjadi meriah bersama mereka. Tapi ternyata tidak, tanpa mereka aku cukup kesulitan di luar, aku kerja keras sendiri, aku berdarah sendirian, aku mengelap keringat sendirian, ini cukup sulit aku terima," tambahnya menoleh pada Aleena menyunggingkan senyuman pahit.
"Aku ingin mundur pada suatu hari dari posisi Savagery, aku menceritakan unek-unekku pada mereka, tetapi nereka bilang padaku ketika aku ingin mundur. 'Kita 'OK' tidak menjadi Savagery, tapi kita tidak 'OK' bila kau tidak lagi berhasrat di posisimu, ini yang kita mau, salah satu dari kita harus menjadi Savagery dan menghentikan kekacauan ini, sisanya akan mendorongmu untuk maju', itu sebenarnya Aslan yang bilang," kembali Julius tersenyum pahit menerawang awan.
Aleena cukup terkejut dengan pengakuan seorang Savagery tentang cerita-cerita di balik kesuksesan dan kekuatan kelompok itu. Ia hanya mengira Julius cukup mudah untuk direkrut karena postur fisik dan keuletannya dia menggunakan senjata dan otak, dan ternyata ia sama dengan yang lain, dengan melalui kejatuhan dan keterpurukan dengan berbagai macam hal, dan lagi sebuah kutipan yang Aleena fikirkan adalah 'menghentikan kekacauan ini', mereka punya misi yang sama dengan Aleena sejak dahulu, dan mungkin mereka cukup putus asa karena tidak terselesaikannya 'misi' mereka.
Aleena tahu hanya dialah kunci berhentinya semua itu, menganggap semua orang mungkin saja memiliki harapan dan misi yang sama untuk menghentikan awal kehancuran ini berasal. Aleena tahu apa itu dan Aleena tahu bagaimana itu, kini ia harus menambahkan sebuah tujuan lagi dari tujuan-tujuan lainnya sebagai poin pendorong hatinya untuk melakukan 'tindakan' tersebut, yaitu mengabulkan impian dan harapan setiap orang yang memiliki misi dan mimpi yang sama dengannya 'menghentikan kekacauan ini'.
"Kematiannya bukan salahmu, tapi itu sudah takdir mereka, mereka menemui takdir mereka, mereka tak ingin menghindar, mereka sudah cukup berusaha. Aku bangga menjadi satu dari mereka, mungkin ini sebabnya hanya aku yang menjadi Savagery 5 dari kita, untuk ini," ujar Julius dan nadanya terdengar bergetar kali ini.
Aleena menatap Julius dengan membara. "Ya ... untuk melindungi yang terkuat, agar yang terkuat itu dapat melindungi yang lain lagi, dan orang-orang yang akan melindungi akan terinspirasi lagi olehmu Julius untuk melindungi yang lain, sampai kita semua akan saling melindungi satu sama lain, ini lingkaran kehidupan yang sebenarnya," titah Aleena tanpa gentar dan berapi-api menyemangati Julius.
Julius tersentuh dengan ucapan Aleena, hatinya merasa cair kembali mendengar kalimat motivasi dari bibir Aleena di sampingnya. Hingga ia menatap Aleena cukup lama dan teringat akan sebuah hal, wajahnya sudah begitu dewasa dan berubah beberapa derajat dari kali pertama kali bertemu, di saat itulah ingatan Julius kembali.
Oh my god, bisiknya dalam hati.
Aku ingat sekarang, tempat ini, tambahnya.
Julius meneguk satu saliva dan mencoba setenang mungkin memberitahu Aleena sesuatu. "Aleena, kau tahu reruntuhan gedung di depan sana?" tanya Julius.
Aleena melihat lurus dan tak perlu mencari reruntuhan gedung yang mana lagi, karena satu-satunya gedung yang runtuh di jejeran pinggir jalan raya itu hanya ada satu buah. Gedung yang lain tidak runtuh seperti gedung yang dimaksud, yang lain masih kokoh berdiri dengan debu usang dan jalaran tanaman liar dari jendela luar. Aleena mengangguk memperhatikan seksama gedung tersebut, mungkin Julius ingin menunjukkan sesuatu apakah ada Ghroan, Dommed, Molk, atau apapun yang membuat nada Julius berbisik penuh misteri seperti tadi.
Julius mengamati wajah Aleena teduh. "Itulah tempat di mana aku menemukanmu," bisik Julius mencoba tuk tenang.
Aleena menoleh pada Julius kaget, Aleena menoleh lagi ke reruntuhan gedung tersebut dengan hati yang berdebar kencang. Itu adalah tempat yang selama ini Aleena ingin temui dan hal yang paling misterius yang pernah Aleena fikirkan selama ini, ia berada dari luar dan selamat sendirian. Julius bilang sendiri pada Aleena bila dia memiliki foto keluarganya sendiri, tentu saja fikiran dan harapannya itu tak pernah padam sampai kapan pun.
Jika sebelumnya Aleena hanya ditinggalkan oleh keluarganya, dan Julius menenemukan Aleena di sana sedang terduduk menangis ketakutan. Itu seperti memberi jutaan voltase listrik ke hati wanita itu, ia seperti melihat rumah aslinya, tempat di mana ia pertama kali di temukan sebelum berada di dalam The Fort. Andaikan saja Aleena masih mengingat sedetik pun kejadian sebelum di dalam The Fort.

Aleena berjalan sendirian di pinggir jalan raya tanpa Julius, langkah kakinya yang terseret membuat beberapa batu-batu kecil berbunyi terseret. Hijau matanya tak dapat berpaling dari reruntuhan bangunan yang berada 1 meter di depannya, hingga langkahnya terhenti di depan bekas gedung. Keningnya terlipat memperhatikan tempatnya, bagaimana hancur lebur gedung di hadapannya. Ia mengimajinasikan sendiri dirinya dahulu duduk dengan beton yang masih tersangga membentuk sebuah atap kecil.
Nafasnya menjadi sangat berat dan tenggorokannya kembali tercekik semakin lama ia memandangi tempat itu, ia mencoba mendengarkan dirinya dan tak menangis di sana seperti dahulu ia ditemukan.
"Di mana kalian?" bisiknya bergetar.
Ia teringat kedua orangtua dan kakak perempuannya, apakah memang benar mereka meninggalkan Aleena sendirian di sini? Apakah ada hal-hal lain yang tak diketahui Julius sebelumnya? Apakah memang mereka meninggalkan Aleena sendirian di sini dalam tanda kutip 'kematian'? Apakah memang hanya Aleena sendirian yang berhasil hidup?
Wajah wanita itu berpaling ke jalanan lurus jauh di depan, menatap sendu jalanan dengan kabut debu di penghujung jalanan sana. Menatap penuh pertanyaan dan harapan, apakah masih ada keluarganya? Apa sebenarnya ada tragedi sebelumnya?
Kini pertanyaan di benaknya semakin banyak dan semakin sulit tuk mendapatkan sebuah jawaban. Namun ia memilih untuk kembali ke perpustakaan agar tidak dimakan bulat-bulat oleh kesedihan seperti yang dialami Julius sebelumnya. Aleena membuka jaket hitamnya dan membiarkan tubuhnya dibalut oleh sehelai kaus tanktop hitam yang memperlihatkan otot kecil dan kulit putih pucat. Ia mengambil sebuah batang besi di dekatnya sepanjang 1 meter dan menusukkan ke jaket hitam di pucuk besi dan mengikatnya agar menjadi bagaikan bendera. Ketika ia sudah melilitkannya ia kemudian menancapkan batang besi ke tanah lebih dalam.
Kobaran angin deras menggerakan jaket hitamnya bagaikan bendera, alasan dia sederhana menancapkan benda itu dengan jaketnya, memberi tanda bila masih ada orang di sini apabila suatu saat keajaiban membawa segerombolan orang selamat lainnya yang berpapakan dan melihat jaket tersebut. Mereka akan tahu bila pastinya ada orang di sana, memberi tanda bila Aleena ada di sana, dan mereka harus segera mencarinya. Aleena menitipkan harapan di sana, membelai besi tersebut dengan harapan yang begitu besarnya lalu ia berpaling dan berjalan kembali ke perpustakaan.
Sesampai di dalam perpustakaan ia menuju sebuah bilik kamar mandi dan membersihkan tubuh, air yang cukup dingin itu mengalir melewati pucuk rambut, mengalir deras membasuh pundak mulusnya dan mengenai seluruh jengkal tubuhnya yang sangat lelah. Ia mencoba bernafas di balik air yang turun ke belakang kepala, mencoba berfikir jernih sejenak dengan suara air mengalir, dan anehnya mengingatkan dia tentang laut.
Semua keringat dan kotoran tebal di tubuh putih itu turun dan lepas, mempercerah kembali kulit Aleena orang terakhir yang mandi. Ia menghabiskan waktu lama di dalam bilik kamar mandi perpustakaan dengan berfikir tenang dan menyegarkan kepalanya yang panas. Setelahnya ia berjalan sendirian mencari baju pengganti jaket hitam miliknya dan menemukan jaket jeans yang pas di tubuhnya, jaket itu cukup hangat dikenakan. Kini ia terlihat seperti orang dari kota, bukan dari The Fort, seragamnya sendiri berbeda dari yang lain.
Ia berjalan menuju ke aula tuk membaur dengan yang lain, di aula kesibukan lain menunggu Donny yang terlihat kewalahan menjadi seorang Orvos, dibantu dengan beberapa Tent dan Cadance untuk membersihkan luka-luka orang. Mereka sengaja tidak membersihkan luka mereka beberapa menit setelah sampai di perpustakaan, mereka mementingkan untuk memejamkan mata dahulu lalu luka-luka yang tersebar selanjutnya.
Para Tent yang memiliki luka di manapun berada mendapatkan pengobatan nyaman dari ahlinya, membersihkan dengan alkohol, memberi obat, dan menutupinya dengan perban. Tak luput dari Gustavo yang terlihat bersama dengan seorang pria Tent ahli dalam pengobatan, sementara ia masih menunggu sesi tersebut selesai ia mencoba mendatangi Gustavo.
Aleena menatap lekat-lekat mimik pria tersebut, sebuah alkohol yang disiram dalam sebuah kapas menempel dan membasuh luka di wajah yang panjang. Tak ada ekspresi menjanjikan seperti meringis kesakitan, hanya datar dengan rahang yang ia gigit keras menahan pedihnya efek menyakitkan tersebut. Aleena berdiri dan menyilangkan kedua tangan di depan dada, memperhatikan cara Gustavo diperlakukan layaknya pasien. Pria itu mendapatkan perban di sepanjang luka di wajah, dan hilanglah sudah separuh kulit di wajahnya tertutup perban.
"Oke selesai," ujar pria tersebut dan merapikan peralatannya. Namun belum selesai ia memasukkan semua peralatan tersebut dalam box, Gustavo yang mencoba berdiri tiba-tiba meringis kesakitan ketika ia menggerakkan pergelangan atas saat akan bangkit.
Aleena yang melihat itu mendatanginya lebih dekat dan pria tersebut menanyakan apa yang terjadi? Di mana yang sakit?
"Di belakangku," sahutnya dalam nada yang menahan kesakitan yang disembunyikan.
Tent yang memeriksanya mengangkat kotak peralatan dan berpaling ke belakang Gustavo. "Aku mencium darah," ia mencium dari belakang dan disusul Aleena yang mendekat ke belakang tubuh dengan raut menyelidik.
Tanpa permintaan izin resmi pun pria itu mengangkat kaus hijau ketat milik Gustavo dari belakang, ketika kaus itu mulai menampilkan tubuh belakang bagian bawah dan semakin naik erangan yang ditahan masih terdengar. Tarikan baju itu semakin mengangkat kaus tersebut yang seperti terlekat, hingga mereka berdua melihat luka membusuk di punggung Gustavo dengan darah hitam yang sudah mengering, menampilkan gumpalan daging yang terbuka sebesar telapak tangannya sendiri.
Aleena menutup mulut dan hidungnya, ketika aroma menyengat dan tidak menikmatkan hidung itu menyambar. Perasaan jijik ketika melihat luka Gustavo tak terelak, Gustavo hanya dapat menahan erangan sakitnya ditambah giginya yang bergemelutuk lemas. Luka yang ia dapat ketika ledakan bertubi-tubi saat masih di gedung WHO.
"Ini sudah infeksi, kau harus rutin meminum serum Artmemorum agar mengurangi infeksinya selagi menutup luka besar." Jelas pria tersebut sembari merobek kausnya perlahan, mengobatinya untuk kedua kali dan kali ini lebih teliti.
Sesudah proses itu hanya Aleena dan Gustavo duduk di sana, terdiam selagi Aleena membantu dengan memberikan obat pada punggung telanjang Gustavo, berhadapan dengan lekukan tubuh pria itu sungguh membuat kata-kata tak tercapai, tubuh Gustavo itu ditutupi oleh otot-otot yang tak terlalu menonjol bagaikan biragawan. Aleena cukup yakin perbuatannya akan memberikan sedikit pemahaman positif tentang dirinya, dan terus mengingatkan Gustavo bila perjanjian mereka tak akan terlupakan.
"Apakah senjatanya baik-baik saja?" tanya Aleena setelah berpindah ke depan Gustavo.
Gustavo memainkan rahangnya tanpa menatap Aleena yang menunggu. "Masih bagus," singkatnya.
"Entah apa yang sedang kau rencanakan, tapi seharusnya strategimu nanti berjalan lancar," gumam Aleena menatap Gustavo di susul dengan bangkitnya Aleena meninggalkan Gustavo tanpa kata-kata lanjutan lagi, percakapan yang melebihi dari kata singkat. Gustavo hanya menghela nafas penat, jauh dalam lubuk hatinya sudah terangkai beberapa taktik yang masih dalam prosedur perbaikan, entah apa yang terjadi dan bagaimana setelah itu terjadi sudah merupakan tanggung jawab dirinya. Ia tak bisa lari ke mana-mana.
Hari menjelang malam dan sudah beberapa jam mereka memutuskan untuk beristirahat di perpustakaan teraman, memberikan kesempatan pada serum untuk menyembuhkan luka-luka dan memberikan energi kembali. Aleena duduk berdua dengan Azzura di depan perapian, tempat satu-satunya untuk kedua wanita di sana untuk berbincang.
"Di mana jaket hitammu?" tanya Azzura.
Aleena menatap mata coklat Azzura. "Aku-" Aleena mencari kalimat, "membuangnya."
"Kau membuangnya? Menurutmu warna itu tidak cocok padamu?" guyon Azzura.
Aleena menggeleng dengan senyuman. "Bukan, ku rasa aku mulai bosan dengan sesuatu yang berhubungan dengan The Fort," ujarnya santai, tanpa tahu kalimat itu mengikis senyuman Azzura.
"Apa kau tidak merindukan hal itu? Bahkan walaupun akan selalu menghabiskan waktu seumur hidup di dalam bunker aku tidak keberatan jika aku tahu hal ini terjadi," titah Azzura sinis. Menyadari cara berbicara Azzura yang melenceng Aleena menjadi tak enak hati dan segera memperbaiki sebelum pertengkaran antar sahabat itu berlajut ke ronde selanjutnya.
"Aku berjanji akan membawamu pulang dengan selamat," ujar Aleena singkat dengan membangkitkan dirinya dan meninggalkan dengan teratur. Aleena cukup mebdetail singkat, sahabatnya terkadang membuat sebuah tekanan batin tersendiri terutama janji Aleena pada dirinya sendiri untuk memulangkan Azzura dalam keadaan utuh dan sehat.
Cadance tengah disibukkan dengan puluhan lembar kertas yang ia dapatkan dari gedung WHO, duduk menyendiri di suatu bilik di dalam perpustakaan di lantai dua dengan kacamata yang tergantung di atas hidung mancungnya, membaca dengan serius bait demi bait informasi yang ia dapat. Alat tulisnya terus menulis berbagai macam kalimat dan lingkaran di kertas-kertas tersebut, tiap kali sebuah hasil yang ia dapat ia tulis kembali ke sebuah kertas.
Ia sangatlah fokus satu harian itu, hingga dari kegelapan Aleena datang membawa secangkir teh panas yang ia buat di dapur, hebat mengingat persediaan di dalam perpustakaan itu tidak hanya sekedar susunan buku saja. Aleena menaruh cangkir tersebut di meja Cadance dan menatap secara seksama, menumpahkan fokusnya pada tumpukan kertas-kertas untuk mencari jawaban.
"Terima kasih," gumam Cadance tanpa menatap Aleena.
"Aku melihat Gustavo ke sini sebelumnya, apa yang dia bilang?" tanya Aleena penasaran.
"Dia menanyakan perkembangan tentang benda ini," Cadance menunjuk semua kerjaannya, "dan dia bilang untuk tetap fokus pada ini, untuk beberapa hari ke depan kita akan tinggal di sini sampai aku selesai menemukan hasil tentang serum tersebut," jelas Cadance.
Tentu saja Cadance terlihat fokus, kini ia memegang beban semua orang, tanggal dan hari keberangkatan mereka tergantung seberapa cekatan Cadance menyelesaikan teka-teki tentang serum dari gedung WHO, bila Cadance berhasil memecahkan semuanya dalam 1 minggu ke depan maka akan lebih cepat.
Cadance menghela nafas. "Aku harap Will di sini," keluhnya.
"Santailah Cadance, fokuskan dirimu, kita sabar menunggu," sahut Aleena dengan lengkungan senyum kecil di sudut bibir kanannya, dan ia berlenggok pergi meninggalkan wanita itu untuk bekerja lagi.
Jadi untuk beberapa hari ke depan perpustakaan akan menjadi tempat tinggal mereka, Gustavo mengambil keputusan tentu saja menengok ke belakang bagaimana kondisi semua orang yang masih dalam proses pemulihan, dan berjaga-jaga untuk mempersiapkan persediaan amunisi dan senjata. Malam datang dan aktivitas yang terlihat dari masing-masing individu adalah membaca, dari lantai bawah dan lantai kedua. Berbagai jenis bacaan mereka buka dan mereka selesaikan, luasnya perpustakaan memberikan jaminan tak terbatas buku-buku berbagai jenis masalah. Bagi Aleena membaca adalah hal yang terkadang menyenangkan dan terkadang membosankan bagi wanita dengan mood yang labil, ia memutuskan berkeliaran di perpustakaan.
"Seth," panggil Aleena ketika melihat pria itu sedang mengambil buku, "kau lihat Skylar?" rupanya Aleena berkeliaran menyusuri setiap sudut perpustakaan mencari Skylar.
"Ku kira dia di lantai 2."
"Baiklah." Aleena bergegas mencari tangga dan menyisir lantai kedua. Cukup membingungkan Aleena dengan letak jajaran rak buku yang tersusun berlapis-lapis dan bebaris-baris, menemukan satu orang di antara ribuan rak tidaklah mudah. Aleena menghabiskan banyak menit hanya untuk mencari Skylar dengan lentera, perpustakaan itu seperti labirin tak berujung dan gelap, benar-benar memusingkan kepala karena sangat rumit. Aleena terhenti ketika ia melewati satu lorong rak dengan cahaya lilin yang menerangi di ujung rak tersebut, dan matanya melihat Skylar yang tak bergeming membelakangi dirinya.
Aleena hendak memanggilnya dan bertanya ada apa, hingga ketika ia sadar di bagian mana ia masuk, tertera sebuah kertas di rak paling depan tertulis 'History'. Di saat itu pula Aleena sadar ke mana ini berlanjut, tempat ayah Skylar menemukan The Fort.
Aleena berjalan pelan-pelan menghampiri Skylar, sentuhan pelan di pundaknya membuat Skylar berbalik dan menatap mata hijau Aleena dengan syahdu. Aleena membalas menatap Skylar lembut hingga ia memeluk Skylar untuk memberikan ketenangan dari apa yang ia rasakan. Tentu saja ia pasti merindukan keluarganya, terutama Bianca.
Keduanya duduk berhadapan dengan punggung menyender di rak berbeda, kedua kaki mereka bersentuhan bersama-sama. Aleena hanya dapat memperhatikan bentuk wajah Skylar yang sedang membaca buku, pria yang sedang membaca dengan serius ketampanannya berkali-kali lipat dan luar biasa begitu menyejukkan mata.
"Mungkin ayahku dahulu duduk seperti ini ketika membaca buku penemuannya," gumam Skylar. "Tanpa seorang wanita tentu saja," tambahnya membuat Aleena tersenyum memperlihatkan deretan giginya.
"Ayahku begitu sangat berjasa ... aku tak bisa membayangkan jika ayahku tidak menemukan bagian ini dan buku itu," jelas Skylar, suaranya mulai parau.
"Ku fikir bukan tentang menemukan tempat ini atau tidak, aku yakin bila itu adalah garis takdir ayahmu. Seperti sekarang ini, kita berdua menemukan tempat ini, setidaknya tidak habis satu hari bukan? Aku yakin itu benar-benar takdir ketika ayahmu mengambil satu buku itu dan membaca paragraf tentang benteng tersebut. Dan ini takdirmu untuk menemukan perpustakaan dan melihat kembali di mana ayahmu berada sebelumnya." Aleena menjelaskan penuh dengan ketenangan di antara ratusan buku yang mengelilingi mereka berdua.
Skylar kembali menghela nafas dan menundukkan kepalanya. "Menurutmu ... bisakah kita merubah takdir?"
Dalam hati Aleena tentu saja ia ingin sekali merubah takdirnya, hidup tidak bersama energi di dalam tubuhnya dan kematiannya saat bersama anak-anak cantik dan tampan, bukan tenggelam di lautan. Aleena menggeleng ragu kepalanya, berharap Skylar tak melihat keraguan yang pahit. Aleena tak dapat menahan tangisannya, hingga ia menumpahkan semuanya di saat itu juga di hadapan Skylar. Bagaimanapun caranya menghilangkan panah-panah di hatinya, tetap tidak akan meninggalkan rasa sakit terdalamnya. Skylar ikut sedih melihat Aleena yang meneteskan air mata, ia memajukan dirinya dan memeluk tubuh lemas Aleena dalam dekapan besarnya. Harum rambut Aleena menusuk hidung Skylar, dan ia mencium pucuk kepala Aleena.
"Kau aman bersamaku," gumam Skylar yang suaranya redam di sela-sela ribuan helai rambut coklat Aleena.
"Apapun yang terjadi nanti A, aku selalu ingin melihatmu bahagia," ujar Skylar pelan.
"Tidak perduli bagaimana keadaanmu atau keadaanku, aku ingin ... aku ingin kita berdua bahagia di tengah bencana ini," tambah Skylar.
"Dan aku ingin kau selalu menerima takdirmu Sky," sahut Aleena di dalam pelukan Skylar. Skylar terdiam dan menyimpan saran wanita itu, kini malam mereka begitu dingin dengan sesuatu yang tak dapat terlihat.
Hari-hari berlalu bersama segelincir cuaca yang berubah-ubah, tinggalnya mereka di perpustakaan tak mengundang makhluk apapun yang menyerang ke dalam sana. Kondisi semakin membaik dengan obat-obatan dan serum yang cukup, pasokan makanan yang masih dapat dikonsumsi dapat diambil dari dapur perpustakaan. Tumpukan buku yang sudah habis dibaca semakin meninggi, dan luka-luka yang masih menyengat kulit perlahan menutup dan membaik. Cadance sudah berusaha lebih dari kata maksimal untuk menyimpulkan hasil yang akan ia serahkan pada Gustavo dan yang lain. Kelopak matanya menghitam dan berkantung karena kelebihan kafein dan kurang tidur, beberapa buku yang ia ambil dari macam-macam rak di perpustakaan bergelempangan di bawah kakinya setelah selesai ia baca saat mencari jawaban satu per satu kalimat rumit ahli penelitian.
Gustavo duduk di atas tumpukan buku dengan kaki yang melebar, sedangkan Aleena yang bersama Azzura bersandar di rak buku menyilangkan kedua tangan di depan dada. Seth, Dan, Yura, Wolf, Julius, Skylar, dan Donny berdiri berkelompok di sudut berbeda.
Cadance dari lantai atas turun dengan membawa 2 lembar kertas, wajahnya masam dan menatap kumpulan orang di bawah yang sudah menunggunya. Ia sampai di lantai bawah dan dengan santai melemparkan lembaran itu pada pangkuan Gustavo, dan pria itu pun mengambilnya.
"Itu belum selesai," ujar Cadance.
"Apa maksudmu 'itu belum selesai' ?" tanya Gustavo mengerut.
"Serum itu adalah zat yang belum sempurna sepenuhnya. Dipakai atau tidak dipakai tidak ada efeknya sama sekali karena serum itu belum jadi, atau masih dalam tahap pembuatan," jelas Cadance.
Helaan nafas dan tatapan terkejut terpampang pada semuanya mendengar penjelasan itu, yang mereka kita serum sempurna itu adalah salah satu obat atau racun untuk membunuh sarang Dommed, ternyata salah. Bahkan melenceng dari dugaan, serum tersebut tidak sempurna.
"Mereka membuat serum itu untuk satu tujuan yang sama dengan kita, mereka sudah tahu tentang bencana ini sebelum kita dan mereka tahu ke mana mereka harus menuju. Tapi ... mereka terhalang tentang sesuatu yang belum dapat mereka dapatkan, jawaban," jelas Cadance yang mampu mencekik setiap tenggorokan.
"Dan apa itu?" tanya Gustavo sembari menelaah lembaran di tangannya.
"Reagen yang dicari tidak ada."
"Apa itu Reagen?" tanya Gustavo.
"Bahan yang dipakai di reaksi kimia, biasa dipakai untuk mengetes darah," ujar Cadance
"Mereka membutuhkan Reakton, bahan yang bekerja di suatu reaksi kimia. Mereka melakukan uji laboratorium menemukan pelengkap tersebut, berbagai macam bahan gagal dan tidak cocok, berbagai cara mereka tempuh untuk mencari reakton apa yang di maksudkan," Cadance menghela nafas. "Tapi mereka didahului dengan serangan dari Ghroan sebelum mereka mencari apa reaktonnya," nada Cadance rendah mengutip kalimat terakhir.
"Ku rasa kita menghadapi makhluk terpandai, mereka tahu apa yang akan mereka hadapi dan mereka mulai melakukan genjatan senjata. Mereka ingin membuat dunia baru, dan setiap organisme di dunia ini akan melakukan hal yang sama untuk menciptakan dunia sendiri, itu adalah pemusnahan," tambah Cadance mencoba meramal.
"Jika makhluk itu tahu tentang pekerjaan manusia sebelumnya, bagaimana mereka tahu serum itu? Mereka makhluk buas, bukan makhluk fantasy yang memiliki kekuatan pembaca fikiran," sahut Wolf yang diduga baru saja membaca novel fantasy.
"Makhluk seperti itu sudah pasti di kodratkan memiliki ikatan, ketika satu dari mereka dijerat dan dijadikan percobaan, yang lain akan tahu karena mereka berkomunikasi. Untuk echinodermata berkomunikasi dengan hormon melalui air adalah salah satu jenis komunikasi terefektif dan terjenius oleh binatang laut manapun. Hidup di darat mungkin adalah kelemahan mereka, tetapi ketika mereka berada atau bahkan menyentuh air saja pun mereka dapat mengirimkan gelombang komunikasi pada makhluk lainnya yang juga berada di dalam air."
"Ditambah pertumbuhan dan evolusi makhluk ini sangat menakjubkan dan mengerikan membangun benteng pertahanan mereka pada bidang pasukan, mereka dikendalikan oleh satu makhluk berevolusi paling buruk, mendapatkan kekaguman dalam beradaptasi dan mendapatkan 'spechless' dalam penyerangan."
"Sadar ancaman di hadapan, makhluk mana yang tidak menyerang dan mempertahankan? Dommed bukan makhluk bodoh, mereka juga berfikir, mereka ingin kehidupan, mereka juga serakah."
Tak ada satupun suara yang keluar dari para pendengar, keheningan tersebut tak terpecah dan menjadi sebuah pemikiran berat bagi mereka yang memiliki beban termasuk Aleena sendiri yang hanya dapat menyembunyikan kegundahan hatinya. Cadance memijat kening kepalanya yang terasa berat, mengusap wajahnya dan menatap Dan yang menatap datar tanpa ekspresi harapan besar sedikit pun, ia hanya pasrah karena tidak mengerti apapun.
"Mereka tahu tujuan mereka dalam pembuatan serum, The Dropprunus adalah tujuannya. Kalau begitu mereka pasti tahu lokasinya," tukas Wolf lagi.
"Tak ada satu kata pun tentang Locmez dan lokasinya di satu dari puluhan kertas yang aku baca, percayalah." Cadance mengacak pinggang frustasi.
"Jadi bagaimana kita ke sana dan menemukan benda itu di tengah lautan luas?" titah Yura, dan keheningan tetap terjaga tanpa ada yang membalas pertanyaannya.
Gustavo menaruh lembaran kertasnya dan mencari pemandangan lain selain tulisan acak Cadance yang menuliskan komposisi rumit dari serum tersebut. Iris matanya menatap lemari usang di lantai atas, namun fikirannya menjelajah ke dimensi yang lain mencari celah untuk bernafas. Suara langkah kaki yang pergi terdengar yang berasal dari langkah Aleena, semua kepala menatap kepergian Aleena meninggalkan aura dingin yang tersisa.
Pergi dari sana dengan rasa kecewa Aleena menghabiskan kesendiriannya di luar dalam beberapa jam, menghirup udara kotor dan menatap kerusakan kota yang baginya kini sebagai keindahan tersendiri bagi kalbunya, seindah apapun pemandangan yang ia lihat tak ada yang seindah ukiran acak bangunan runtuh dan jalaran tanaman yang melilit gedung-gedung. Itulah tempat yang dahulu pernah dicintai, itulah tempat yang dahulu sangat indah, semuanya berakhir dengan keindahan dari sisi yang lain, dari sisi yang pahit.
Hembusan angin sore mengibarkan rambut coklat terurainya di saat ia duduk di ujung batu besar yang tinggi, pandangan yang mengarah pada jalanan lurus tak berkelok tanpa ingin melayangkan pemikirannya untuk kembali dihantam dengan kenyataan pahit sebelumnya. Sinar matahari menyalakan kembali mata hijau wanita itu, sembari ia memeluk kedua kaki hangatnya bersamaan, ia dapat mendengar angin yang berbisik, ia dapat merasakan angin yang menari-nari di sekitar karena kesunyian.
Tatapannya menjadi kosong, dadanya terbakar dan kehilangan minat untuk kembali. Serum yang menjadi harapan satu-satunya kini sia-sia sudah, ia sadar tak ada yang dapat menggantikan takdirnya sebagaimana dan berupa apapun itu, ketika masa mudanya perlahan menjadi pudar dan menjadi keriput karena masa depan yang sudah terukir jelas, Aleena semakin tak bersemangat.
"Mereka akan kembali berjalan pagi nanti," suara bariton di belakang Aleena terdengar, tanpa tengokan apapun Aleena mengenali suara itu.
"Cadance bukan sang penentu takdir," tambah Skylar pelan. "Masih ada banyak kemungkinan di jalan kita ini berubah, asal kau masih ingin berjalan maju," ujar Skylar pelan berdiri di belakang Aleena.
"Hal yang menghambat kita sebenarnya adalah masa lalu, ketika kau menengok masa lalu sebagai sebuah tujuan lalu apa yang akan membuatmu maju selain melihat masa depan?" Skylar duduk di kanan Aleena.
Bagi Aleena setiap kalimat apapun pasti tidak akan berperan jauh dari apa kendala yang ia hadapi, walaupun Aleena tahu sendiri jika mereka bilang seperti itu hanya sebatas saran, tanpa tahu apa yang Aleena hadapi kecuali bagi Gustavo yang mengetahui seorang. Hanya mendengarkan dan menyimak angin lalu di sekeliling kota tersebut Aleena masih menatap redup kejauhan. Setiap tarikan nafas yang masuk, bagaikan aroma debu yang menusuk, tak ada kesegaran sebutir pun yang masuk, tak ada sisi semangat di mana pun, kecuali ketika ia mendangak dan melihat satu-satunya pemandangan alami yang tak berubah, langit.
Langit di sore itu sedang terpoles begitu rapi, memberikan waktu untuk orang yang menatapnya merasakan keindahan dan bagaimana lemasnya tubuh ketika melihat awan yang membentuk totol-totol putih kecil seperti kapas yang terbentang di sepanjang langit dengan latar langit berwarna biru kemerahan.
Skylar menghela nafas kasar. "Lihatlah langitnya ... sangat indah," bahkan Skylar sadar keindahan alam tersebut.
"Hal yang tak pernah berubah," sambar Aleena dalam nada lemah dibuai keindahan tersebut.
"Ku harap kita seperti itu, tak pernah berubah," deru Skylar dalam penghayatannya.
Skylar merasakan remasan di tangan kirinya, Aleena menyisipkan lengan kanannya masuk di sela-sela tangan kiri pria itu dan memeluk lengan besar itu, kepalanya jatuh ke pundak lebar Skylar tanpa suara apa pun. Aleena tak bergeming di sandaran itu, namun Skylar merasakan 3 kupu-kupu yang masih hidup di perutnya berterbangan dalam gelap, ia masih dapat mencium aroma rambut coklat wanita itu, bau tandus masih menyisakan aroma mint menyejukkan.
Sembari mereka berdua masih menjadikan momen-momen itu sebagai salah satu memori terindah, Gustavo yang berada di dalam perpustakaan tengah selesai mengobrol dengan Cadance dan Dan, percakapan yang cukup singkat sebenarnya jika Gustavo yang mengutarakan. Di saat semua orang tertidur malam itu, hanya Gustavo yang tengah terjaga di depan perapian yang redup, sembari ia terbangun dan menjaga api agar tak padam dengan membakar buku-buku berbau kotoran rayap, ia hanya terfikiran satu orang yang ia rindukan.
Mata hazel, rambut bergelombang pirang yang tak mulus dan lebat. Ris adalah satu-satunya wanita yang membuat Gustavo tak dapat tidur bahkan memimpikannya saja begitu sulit. Setiap kali ia menyebutkan nama Ris, di saat itulah wajah anaknya Ria terbayang. Ada apa dengan kehidupannya? Ris dan Ria begitu mirip, nama atau fisiknya sekalipun, sengaja atau tidak sengaja, dan sangat sulit membayangkan ketika kehilangan mereka berdua. Gustavo membasuh wajahnya, bulu-bulu kasar di wajah bagian bawahnya mulai mengganggu dan sangat gatal dirasakan.
Gustavo tahu atau memiliki insting bodoh yang seharusnya tak ia fikirkan, tapi tetap aja ia bisa menebak apa yang akan menimpa Ris dan orang-orang di Tarnom sana ketika mereka mulai melakukan misi terakhir nanti. Ketika itu terjadi, tanggung jawabnya bukan lari dan melindungi Ris bermil-mil jauhnya di sana, ia bertanggung jawab dengan regunya di situ dan membiarkan Ris bertahan sendiri dan berlindung. Sekali lagi, kehilangan Ris adalah masa lalu yang terulang kembali, masa lalu yang merangkak dari dasar dan kembali jatuh ke dasar.
Tiba mentari di hari Selasa yang redup, tertutup lapisan awan kelabu yang tipis. Semilir angin terkadang bertiup sedemikian cepat, membumbung luas aroma buku dan kayu ke setiap batang hidung para mantan penghuni The Fort yang tengah bersiap-siap. Gustavo membuka pintu utama dan cahaya redup menembus ke dalam, terpaan angin pun menerbangkan baju dan rambutnya, kini bulu-bulu tajam di wajahnya tak lagi mengganggu karena sudah ia cukur, menjadikan wajahnya semakin segar dan lebih muda, itu selalu berhasil.
Mereka mulai keluar dari perpustakaan secara tertib, tanpa suara gaduh bagaikan burung yang berterbangan keluar dari sangkarnya. Namun Skylar masih terdiam di dalam sana, mendangakkan kepalanya dan menghirup banyak-banyak udara buku dan kayu semampu paru-parunya menyerap agar teringat aromanya. Senjatanya bergantung di kaki kanan, sentuhan lembut di tangan terasa dan sela-sela jemari miliknya terisi oleh jemari putih yang pas mengisi.
"Kau akan kembali lagi ke sini," ujar Aleena. "Kau ingat jalan ke sini kan?" tanya Aleena dengan senyuman manisnya yang mendapat tolehan Skylar.
Skylar menatap rekat-rekat wajah cantik wanita itu dan ia tersenyum lebar. "Aku tak akan pernah melupakan tempat ini," balas Skylar yakin.
Ciuman singkat mendarat di bibir Skylar dari bibir tipis dan merah Aleena, ia tersenyum dan membalas menciumnya kembali.
"Siap menyelesaikannya?" tanya Aleena cukup percaya diri.
"As long as you with me," kekeh Skylar, dan mereka berjalan keluar. Beberapa orang mengembalikan susunan batu dan rangkaian besi untuk menuntupi pintu masuk perpustakaan, menjaga agat tetap utuh sampai kapanpun tanpa Molk yang memasuki ataupun Ghroan.
Mereka mulai berjalan menuju ke lautan, semakin jauh mereka dengan perpustakaan semakin gelap awan yang terpapar. Dalam keheningan mereka berjalan lagi mendekatkan diri pada arah pantai tiba-tiba saja terdengar suara teriakan yang menggema. Langkah mereka terhenti bersamaan dan menatap rekan satu sama lain, teriakan kali ini bukan seperti yang biasa mereka dengar selama ini. Teriakan yang bukan berasal dari Gemirix atau pun Dommed -makhluk di luar yang satu-satunya dapat mengeluarkan suara-. Suara tersebut mungkin samar-samar namun semakin lama mereka mendengarkan seksama teriakan itu adalah suara yang dijeritkan bersamaan membentuk gelombang riuh dari kejauhan.
Mereka masih tak dapat menebak apa itu, namun ini adalah hal yang Gustavo hindari ketika ia keluar. "Molk," ujarnya dingin.
Tahu bila Molk berkeliaran di daerah sekitar mereka, langkah kaki mulai menjadi ringan dan mengendap-endap, senjata mulai tegak dan butiran keringat dingin bercucuran. Julius dan Gustavo berada di posisi paling depan terus mendempetkan punggungnya pada puing-puing batu yang rubuh, menyembunyikan diri di belakangnya bila saja ada Molk yang berdiri linglung dan meraup-raup udara tanpa maksud yang jelas.
Molk tentu adalah bahaya yang tidak boleh mereka sepelekan, walaupun Molk juga salah satu santapan dari Ghroan, tapi jelas saja rantai makanan bagi Molk tetap berjalan dan menjadi petinggi di rantai makanan. Ketika regu Gustavo melihat celah kosong tanpa batu yang menghalangi mereka berlari kecil-kecilan untuk ke persembunyian yang lain, berusaha pergerakan mereka tak terlihat dari Molk di mana pun mereka bersembunyi. Seth berjalan pelan-pelan paling belakang, dan nasib buruk yang datang tanpa permisi pun sampai ketika sebuah batu besar terjatuh akibat sentuhan tangan Seth. Batu itu jatuh dari ketinggian 1 meter, suara jatuhnya besar dan menggetarkan tanah.
Rombongan orang di depannya bersamaan menoleh ke belakang menatap dengan ukuran bola mata yang sama, tatapan membunuh. Seth membeku, batu itu bukannya berhenti membuat suara malah menggelundung terus-menerus dan menabrak batu lain, merubuhkan batu lainnya lagi dan menggelundungkan batu yang lain. Seperti sebuah kartu yang jatuh menimpa kartu berdiri di belakangnya dan terulang lagi sampai kartu yang belakang. Suara batu yang ribut itu tak berhenti sampai ujung, namun dalam beberapa detik seterusnya tak ada kelanjutan suara apapun lagi dari batunya.
Seth membuka mulutnya kaget, dan orang-orang di depannya masih menatapnya dengan kecaman, terutama tatapan Gustavo yang sudah berarti menembaknya. Mereka meneguk ludah bersamaan, untuk beberapa detik mereka terdiam tanpa suara seperti orang yang kehilangan otak yang jatuh ke tanah.
Cadance menggeleng pasrah. "Shit," umpatnya.
Teriakan yang tadi mereka dengar menjerit kembali dan mereka bersahutan, lengkingan buruk yang dapat dibayangkan apa yang akan mendatangi mereka dan menyapa dengan senyuman bahagia.
"Lari," gumam Gustavo, "LARI!!" kini ia memekik.
Mereka tak ingin lagi berjinjit dan mengendap-endap, mereka sudah ketahuan dan saatnya berlari maraton. Mereka berlari dan di saat itu pula Molk melihat lari mencincing kumpulan makanan lezat yang terkocar-kacir, ia berteriak dan menggeretakkan giginya berulang kali dan mulai berlari sangat cepat.
"Shit! mereka memanggil yang lain!" pekik Yura yang berkeringat dingin.
"Aku tahu bodoh!" pekik Wolf yang menganggap Yura yang mengingatkan hal buruk itu bukan ide yang bagus.
"Zura!" Aleena menarik Azzura untuk berada di depannya dan berlari lebih mendahuluinya.
Hingga tiba-tiba dari depan Gustavo dan Julius disapa oleh Molk yang datang tiba-tiba dengan gigi yang menggeretak dan wajah yang hancur.
"Arrghghh! Wow ..." pekik Gustavo dan langsung menembaki mereka. Julius menggunakan cara manual dengan menghantamkan batu dari tangannya ke kepala Molk hingga ceceran darah keluar dari kepalanya dan menampilkan daging busuk berwarna hitam di lubang kepalanya.
Teriakan kecil-kecilan terngiang di sekitar mereka, tembakan membabi buta terus dilancarkan di setiap sudut agar para Molk tak memanggil kawanan yang lain. Kini mereka berlarian melewati jalan lurus penuh dengan beton besar yang harus mereka lompati atau mereka langkahi, tentu saja rintangan itu menyulitkan untuk menjauh dari kejaran para Molk yang bergerombol di belakang.
Semua tangan dan senjata mengarah ke belakang dan membidik kepala Molk, menembaki mereka sampai terjatuh dan meminimkan jumlah Molk yang mengejar, namun berapa kali pun mereka menyisihkan amunisi tuk menghabisi Molk, makhluk itu tetap datang karena mendengar panggilan.
"Zura .. Zura .. keep running, keep running!" perintah Aleena di belakang wanita itu, nafasnya laju dan matanya mulai berair.

Azzura tentu saja tahu apa yang harus ia lakukan, namun batu yang selalu ia langkahi pasti lebih tinggi dan susah ia capai, melambatkan perjalanannya. Ia mungkin salah satu wanita yang paling panik di regu itu dengan suara yang keluar karena berusaha. Dan mengeluarkan sebuah pistol dari saku senjatanya, mengarahkannya pada gerombolan Molk, setiap pelatuk yang ia tarik mengenai anggota tubuh Molk dari kaki, tangan, kepala dan jantung, terkadang mereka roboh dan terkadang tetap berlarian mencincing. Mereka tiba pada sebuah jalanan cukup lebar, mobil-mobil usang berserakan di kanan dan kiri sisi jalan.
"Terus berlari! Kita butuh tempat yang tinggi agar mereka tak mengikuti kita!" Jerit Gustavo yang menembaki sekelompok makhluk mengerikan di belakang.

Aleena menatap jalanan itu seperti tak asing lagi, ini seperti sebuah Déjà vu (lagi) dan ia benar-benar mengingat di mana dia berada. Untuk meyakinkan benaknya lagi jika ia pernah di sana, ia mencari sebuah gedung di bagian kiri dan ia melihat gedung yang di maksud, gedung di mana ia mencari letak jembatan Napoleon dari atapnya dengan memanjat tangga di sisi gedung. Tanahnya bukan berupa pasir, melainkan kerikil-kerikil sebesar kelereng yang saat itu menyulitkannya tuk bergerak ketika jatuh dari ketinggian yang tinggi.

Ia menyempatkan menoleh ke arah Molk yang menjerit histeris dengan berbagai suara yang memompa adrenalinya. Pemandangan Molk berlari ke arahnya pun seperti pernah terjadi sebelumnya bagi Aleena.
"Kanan !! Ambil kanan!" Jerit Aleena mendadak ketika melihat pertigaan.
"Apa rencanamu?" tanya Skylar di sela-sela pelarian mereka.
"Aku pernah ke sini sebelumnya!" pekik Aleena dan melirik ke bangunan yang ia pernah naiki sebelumnya. "Ini seperti mimpi!" tambahnya susah payah.
"Apa maksudmu!?" pekik Skylar mengerut tak jelas.
Ini mungkin waktu yang kurang tepat bagi Aleena untuk menjelaskan masalah Déjà vu yang ia alami sekarang ini. Gustavo berlari ke kanan sesuai perintah Aleena tanpa mau bertanya atau pun membengkang dari perintah wanita tersebut. Dari sisi belakang, Aleena melihat sebuah rumah sederhana di kiri dengan pagar putih kayu yang masih utuh. Rumah itu tempat pertama kali Aleena bangun dalam alam bawah sadarnya, ia tahu ada apa di dalam rumah tersebut dan yang Aleena inginkan menyelamatkan 39 orang lainnya masuk ke dalam rumah kecil itu.
Namun belum sempat Aleena memerintahkan untuk berhenti dan mengunjungi rumah yang ia curigai adalah kediaman Locmez, para kelompoknya malah melewati rumah itu dan terus berlari lurus menuju ujung jalanan.
"Hey! Tunggu! Tunggu!" pekik Aleena mencoba menghentikan, dan terdengar mustahil untuk berhenti dan berbalik lagi.
"Apa kau bercanda! Tetap lari! Kita akan mencari tempat yang lain!" pekik Gustavo.
Ia menembakkan pelurunya ke Molk bersama yang lain, menghilangkan beberapa Molk yang sudah mulai membuat keributan dengan suara bising.
"Gus! Itu buntu!" pekik Cadance ketika matanya menatap jauh ke depan di saat yang lain menatap ke belakang.
Gustavo menoleh ke depan dan mendapati sebuah rumah semacam gudang, pintu depan gudang tersebut sedikit turun dengan jalanannya dan tembok setinggi 3 meter di kanan dan di kiri membuat jarak masuknya semakin sempit.
Apakah aku tahu tempat ini? Batin Aleena ragu-ragu dan ia terdiam sambil berlari.
"MASUK! MASUK! CEPAT!" mereka turun menuju pintu ulin tebal dengan buru-buru, suara melengking para Molk semakin mendekat dan mengejar. Gustavo kembali menjadi orang terakhir yang masuk dan berusaha menyamakan waktu yang tepat dari ditutupnya pintu tersebut bersamaan Molk yang sampai dan hampir menggapai baju seragamnya.
Gustavo menutup pintu yang terdorong kuat-kuat oleh kekuatan Molk yang menumpuk dari luar, kaca yang ada di pintu tersebut menjiplak darah-darah hitam dari wajah Molk yang menempel dan terjepit ulah segerombol Molk yang berdatangan dan saling menghimpit. Di dalam dengan sekuat tenaga mereka menahan pintu agar tak terbuka, sisanya menunggu di belakang karena tak menemukan tempat tersisa untuk membantu menahan dorongan para Molk. Erangan pria dan teriakan perintah tuk menahannya terus berkumandan, yang tak memiliki aktivitas mencari apapun untuk dapat menahan pintu dan menguncinya.
"Tidak ada apapun di sini!" pekik beberapa orang yang mencari apapun di dalam ruangan gelap yang kosong.
"Kita tak bisa ke mana-mana! Tak ada apapun di dalam sini! Kita harus keluar!" saran seorang pria yang tak menemukan benda apapun dan kebuntuan.
"Mustahil, mereka banyak dan semakin bertambah!" erang Gustavo, "Seth! Tembaki mereka!" pekiknya pada Seth. Seth mengambil senjata Savagerynya, memecahkan kaca di pintu dan mengarahkan pada puluhan kepala yang berada di hadapan moncong senjata itu.
Mulailah ia membantai puluhan kepala dari jendela yang hanya Seth yang mampu sampai, genderang senjata yang terus memanen banyak kepala Molk terus berdengung dan membuat tumpukan Molk di depan pintu. Pintu tersebut semakin terdobrak keras ketika gerombolan Molk datang lagi dan membuat pintu itu terbuka dan rusak.
"SETH! Kill that bastard!" jerit Skylar muak.
"I'm tryin'!! they are still fucking coming!" cemoohnya mulai kelelahan.
Di belakang, Aleena masih terdiam dan kepalanya mulai sakit, batinnya terus berargumen dan saling bertentangan tentang satu hal yang membuatnya dibuai mabuk kepala.
Apakah aku tahu ini?
Aku fikir aku tahu tempat ini ...
Aku fikir aku pernah pengalami sekarang ini ... tapi apa
Batinnya, ia merasakan hal yang aneh di dalam sana seakan alam bawah sadar dan alam nyatanya tak ingin bersatu dan memberikan jawaban dari apa yang Aleena ingin tahu. Aleena tak mengalami Déjà vu di dalam ruangan tersebut, tapi perasaan yang lain mengatakan bila ia sebenarnya pernah berada di sana dan melakukan sesuatu, ia pernah di sana dan menyusuri tempat itu. Namun yang jelas ia tak meraskan sensasi Déjà vu yang selalu memberikan satu langkah ke depan untuk menyelamatkan banyak orang.
Fikirannya mulai membuat frutasi dan dibuat ragu-ragu, dengan semua teriakan dan genderang senjata yang menjadi sebuah frekuensi nada redup di telinga membuat ia semakin dirundung fikiran memuakkan karena tak ada jawaban dari pengetahuannya. Semua gerakan menjadi begitu lamban di fikiran, begitu pula dengan mulut yang bergerak pelan ketika berteriak dan mengerang.
Aku pernah ke sini yang seharusnya tidak ...
Aku tak tahu ...
Aku merasakannya, aku pernah ke sini dan melakukan sesuatu ...
Aku tinggal
Dan mereka pergi
Aku tak apa-apa, aku bertahan, karena tak ada Molk lagi
Iya, seperti itu ...
Begitulah batinnya, seperti ia memberikan jawaban sendiri. Semakin lama ia mengolah jawaban tersebut ia perlahan menemukan sebuah hasil akhir yang akan membuat gelengan kepala kompak. Namun ia tahu ia akan selamat, ia tahu jika dirinya akan tak apa-apa karena itu dia percaya jawaban dari hatinya tersebut. Lagi pula hal yang sedang terjadi ini adalah nyata, bukan alam bawah sadarnya yang dapat hilang dan dapat bangun kapan pun.
Seth yang menembaki Molk itu semakin lama semakin kesulitan dengan habisnya amunisi, namun Molk yang terus berdatangan membuat beban dari luar semakin besar dan membuat pintu terbuka jika tak ditahan. Aleena menatap sendu kumpulan rekannya yang sudah berusaha, menatap mereka semakin lama membuat hatinya tesayat, dan ketika sebuah hati tersayat maka benih kebijakan muncul.
"Ada sebuah ruangan aman di sekitar sini," ujar Aleena dalam ketegangan.
"Cadance! Ini sesuatu yang aku fikir pernah aku lihat sebelumnya, mengerti maksudku? Kita masih bisa selamat dari sini," ujarnya pada Cadance.
"Gus! Gustavo!!" panggilnya lancang, "Kau berjanji padaku," ungkap Aleena menatap tajam abu-abu mata Gustavo.
Dalam satu kalimat itu pun Gustavo tahu ke mana Aleena menuju, ia pasti menginginkan sebuah hal atau sesuatu yang ingin ia lakukan yang bertentangan. Meminta Gustavo sendiri untuk membuat orang menuruti semua perkatannya. Gustavo terdiam menatap Aleena, dan sebuah gelengan kecil tercipta di kepalanya.
"Apa ide gilamu? Kita tak bisa ke mana-mana," elaknya.
"Tidak, kalian bisa! Di balik pintu itu kalian akan menemukan sebuah jalan untuk ke sebuah ruangan. Aku akan menemuimu," perintah Aleena cukup tenang.
Gustavo terdiam mencerna kalimat Aleena, walau ia cukup terkejut dan sekali lagi ia dapat menebak ke mana arah tujuan pembicaraan Aleena dan apa yang ingin ia lakukan, adalah tetap tinggal dan mengerjakannya sendirian. Ia melihat Aleena mengambil senjatanya sendiri, dan menatap kembali Gustavo meminta dengan serius tentang keinginannya tersebut. Aleena cukup lama menunggu Gustavo memberikan kata-kata jawabannya, hingga Gustavo menatap Cadance di belakang Aleena.
"Semuanya, masuk ke dalam pintu tersebut. Dan, Julius, dan Seth tuntun mereka," suruh Gustavo.
Seth menghentikan tembakannya dan membiarkan pintu itu ditahan oleh Gustavo dan 5 orang lainnya, sisanya menuju keluar dari ruangan tersebut dan berlari lebih jauh masuk ke dalam gudang yang mereka temui. Azzura menengok mencari sesosok wanita yang ia tunggu kehadirannya, namun Aleena sudah menatapnya sedari tadi yakin bila Azzura akan mencarinya.
"Ayo Lena," ajaknya.
Aleena terdiam, menatapnya penuh kesedihan dan raut yang menandakan ketidakhadirannya ia nanti. Tanpa langkah maju atau gelengan apapun Aleena hanya berdiri menatap Azzura di dekat pintu, memahami kembali sorot mata coklat yang dimiliki sahabatnya.
"Aku akan kembali-"
"TIDAK!! LENA! KAU BERJANJI!"
"Tidak! Kau yang berjanji padaku untuk mematuhi perintahku dan kemauanku," sahut Aleena dan mendapatkan perhatian Skylar ketika mendengar kata 'janji'.
"Tidak di saat ini!" genangan air mata mulai terlihat dan nada Azzura mulai bergetar.
"Aku akan kembali," ujar Aleena lemah.
"Apa yang kau bicarakan?" sela Skylar yang meninggalkan pintu yang ditahan oleh Gustavo dan 4 orang sisanya.
Aleena menoleh pada Skylar, satu-satunya orang yang akan paling sulit ia yakinkan bila ia 'tak apa-apa' ketika sendirian di dalam ruangan tersebut dan menghadapi kesulitan dengan tangannya sendirian. Itulah mengapa dia membutuhkan janji Gustavo dari awal.
"Gus! Sekarang!" Aleena menghiraukan Skylar.
"Tidak!" Skylar menarik kasar kedua pundak Aleena agar menghadap wajahnya, "Jangan bertingkah bodoh, kau ikut!" Skylar menarik lengan Aleena untuk keluar.
Aleena menarik tangannya, menatap mata merah Skylar yang sudah membuka lebar karena amarah. Tak ada rencana apapun bagi Aleena selain bungkam dan tak menjelaskan satu hal apapun, ia menyerahkan penjelasan pada Gustavo. Gustavo menatap Skylar dingin, dan berpaling pada Wolf, dan 3 orang yang tengah menjaga pintu dari dobrakan Molk yang meraung-raung. Aleena membuang wajahnya dari Skylar dan membalas tatapan Gustavo, seperti bermain telepati bersamanya. Perlahan langkah Aleena mundur dengan teratur, mendekatkan tubuhnya di dekat pintu dan menahan pintunya dengan punggung.
"Skylar ayo," ujar Gustavo menarik tangannya.
Skylar melepaskan dengan amarah. "LEPAS! ALEENA AYO!!! JANGAN MEMBUATKU MARAH!" Aleena hanya dapat menahan tangisan dan ketakutannya mendengar jeritan besar Skylar yang tak pernah ia dengarkan sebelumnya atau mungkin yang tak akan pernah.
"Skylar, kita tak punya banyak waktu! Semuanya keluar!" perintah Gustavo.
Wolf terkejut dengan perintah tersebut, ia menoleh pada sosok wanita di samping tengah menyandarkan punggungnya pada pintu dan menahannya sendirian. Sedangkan ia menatap Gustavo sudah memberikan kecaman bertubi-tubi dari pandangan dinginnya pada yang lain, Wolf tak punya pilihan lain. Ia tetap ingin di sana dan membantu, lelaki mana yang membiarkan wanita merasakan kesulitan sendirian tanpa ada rasa iba dan kasihan sedikit pun?
Tak ada, Wolf merasakannya, Gustavo merasakannya dan Skylar tak merelakannya. Gustavo masih terdiam berusaha menyelesaikan apa yang sedang terjadi, Skylar rintangan terberat dalam hal memisahkan dirinya dari Aleena. Salah satu tugas terberat Gustavo yang diberikan Aleena.
"Sky please, aku akan kembali," ujar Aleena kini angkat bicara penuh kelemahan tak rela melihat Skylar bergenang air mata.
"Tidak!! Kau akan mati!!" elak Skylar tak akan ingin meninggalkan Aleena.
"Aku tahu ini bodoh, tapi aku melihat takdirku sendiri, aku tahu ini akan terjadi tapi aku tahu apa yang akan aku lakukan selanjutnya sendirian, aku bisa melakukannya jika tanpa kalian. Aku tak bisa merubahnya Sky, aku tak bisa. Satu-satunya yang dapat merubahnya jika kau terus maju dan tak menengok ke belakang, jangan pernah menengok ke belakang!" Aleena bersusah payah menjelaskan, menjernihkan fikiran sambil menahan dobrakan kuat 30 Molk lebih di luar.
"Tidak!! Aku-"
"Sky ... Aku mohon, kau berjanji dan aku sudah berjanji!! Aku akan kembali aku janji! Aku tahu apa yang akan aku lakukan tanpa kalian! Tapi kalian harus pergi," kembali Aleena meyakinkan dengan separuh nada yang tersisa di tenggorokannya, menengok ke sisa orang-orang yang masih di dalam bersama Azzura di ambang daun pintu.
"Aku akan kembali aku janji," deru Aleena parau, nadanya terdengar serius dan sangat menjanjikan.
Wolf, Gustavo dan orang-orang lainnya menatap dengan hampa mata hijau wanita itu. Entah apakah mereka akan mengikuti kemauan wanita itu atau mengabaikannya. Dalam logika tentu saja terdengar sangat mustahil, tapi Aleena orang yang berbeda dan sudah mengalami serangkaian aktivitas abnormal selama ia hidup. Membiarkannya sendirian di sana dan menahan pintu yang didorong lebih dari 30 Molk, manusia mana yang tidak meragukannya? Manusia mana yang percaya dia akan selamat sendirian? Tak ada.
"PERGI!!" Aleena menjerit histeris dan mengambil senjata milik Wolf di sampingnya tanpa izin.
"SEKARANG! ATAU SEMUANYA BERAKHIR!!" jerit Aleena mulai emosi menunggu begitu lama.
"Skylar," panggil Gustavo ragu.
Gustavo sudah berjalan dengan tenang ke arah ambang pintu, mendekati Azzura yang bercucuran air mata mendengar percakapan dan jeritan Aleena sedari tadi.
"Pergi Wolf, aku akan menemuimu di dalam sebuah ruangan hari ini atau besok," bisik Aleena menoleh pada Wolf yang sudah berwajah masam.
Aleena berbalik ke arah pintu, mengangkat satu senjatanya ke jendela yang tinggi tanpa bisa ia lihat seutuhnya apa yang ada di luar. Ia menembaki apapun di luar, memanen kembali kepala Molk, sampai ratusan amunisi yang ada di senjata Wolf habis tak bersisa. Setelah habis Aleena mulai menaruh senjata itu di sela-sela batang besi sebagai kunci sementara yang ia tahu akan lepas sewaktu-waktu.
"Kau bisa pergi," ujar Aleena yakin.
Wolf mengangguk dan mengirimkan sinyal telepati 'semoga beruntung, aku menunggumu'. Ia berpaling dan menuju pintu bersama rekan lainnya, senjata kuat itu perlahan mulai renggang dan melepaskan beberapa material ketika terdobrak keras.
Aleena menatap Skylar yang masih membeku di depannya. "Aku akan kembali, percaya padaku," ungkapnya pelan.
"Jaga Azzura ... Ini tak memakan waktu lama sampai aku menemuimu di ruangan lain, aku melihatnya," tambah Aleena melirik Azzura yang sudah dipegang Gustavo.
"Jika kau tak kembali?" pekik Skylar dingin menahan getaran suaranya.
"Aku akan tertinggal," senyuman kecil mampu Aleena suguhkan untuk terakhir kalinya.
"Kau berjanji akan kembali," ingat Skylar lagi, kini sepertinya Aleena berhasil meluluhkan dan meyakinkan Skylar ia akan kembali.
"Aku berjanji, sumpah," balas Aleena cepat, dan ia melirik Azzura lagi.
"Ini bukan akhir hayatku, aku akan kembali. Terus berlari dan jangan menengok ke belakang, inginkan aku di sisimu dan aku akan berada di sana sampai akhir hayatmu," ujar Aleena pada Azzura, kini air matanya mulai menggenang.
Skylar mendekatkan wajahnya ke Aleena dan mengulum bibirnya penuh kasih sayang, Aleena membalas dan kembali mencium bibir bawahnya.
"Aku mencintaimu," bisik Skylar ketika kening mereka menyatu tanpa ruang.
"Aku mencintaimu Skylar Phoenix," gumam Aleena dan kembali mencium bibir Skylar.
Dorongan kuat dari belakang Aleena terasa di punggungnya menghentikan ciumannya dan membuat Gustavo harus bertindak cepat, membawa anak buahnya sejauh mungkin dari ruangan yang akan dipenuhi kumpulan Molk.
"Pergi! Ini akan sebentar saja!" Aleena memutar tubuhnya ke hadapan pintu. Di belakangnya Skylar masih menatap pelan-pelan tubuh Aleena, hingga ia menghilang dari balik pintu yang tertutup.
Ketika Aleena sadar ia sudah sendirian di dalam ruangan kecil dengan Molk yang mencoba masuk dan berbaur bersamanya, di saat itulah Aleena memejamkan matanya. Telapak tangannya ia tempelkan ke pintu yang bergetar karena dorongan dan cakaran Molk. Kunci pintunya kembali bergerak dan rusak, membuat celah di pinggir pintu hingga tangan Molk berjajar masuk dan meraup-raup udara di dalam.
Aleena mulai merasakannya, seperti energi itu mulai mengembalikan tenaga di dalam tubuhnya, ia seperti merasakan sebuah aliran air di dalam tubuhnya yang menjalar dari bagian kepala, tubuh, paha, dan kaki secara bertahap. Hingga kepingan gambar kecil pun muncul saat ia memejamkan matanya, itulah di saat ia pertama kali mendapatkan penglihatan The Dropprunus.
Dari pucuk sumber energi itu mengeluarkan gelembung-gelembung kecil berwarna biru terang seperti warna energi, benda itu sangat tinggi dan ramping dibandingkan dengan gunungan di sekelilingnya. Terlihat seperti gunung berapi yang kurus dan sangat tinggi.
Ternyata tak hanya The Dropprunus yang ada di dalam lautan sana, melainkan sumber kehidupan bagi Ghroan lainnya berupa sarang, makanan, dan tempat berkembang biak. Banyak sekali benda yang mengelilingi The Dropprunus, di sekelilingnya terdapat banyak lagi seperti gunung berapi kurus dan panjang lainnya berwarna biru cerah di bawah air gelap sana namun tidak mengeluarkan gelembung di pucuknya seperti The Dropprunus, benda itu merupakan pemopang atau konduktor agar The Dropprunus masih bekerja.
Aleena memasuki alam fikiran Dommed, dan makhluk itu tak tahu jika Aleena berhasil melakukan hal yang sama dengan perbuatannya dahulu.
Mata Aleena terbuka, iris matanya dalam beberapa detik memunculkan warna biru cerah yang kemudian menghilang dan menggantikannya dengan warna hijau asli mata Aleena. Ia dengan tenang mundur dan mengambil senjata yang ia miliki dan mulai menembaki semua Molk di luar dengan ketajaman indra penglihatannya.
Aleena menembaki Molk yang akan menggeram memanggil kawanannya dahulu dibanding Molk yang diam. Ketajaman penglihatannya membuahkan hasil perlahan, walau pun beberapa Molk masih ada yang berdatangan dan mendobrak pintu semakin kencang dan meregangkan pintu mengukir celah 5 cm di sisi pintu.
Aleena semakin jeli menembaki kepala 30 Molk yang semakin bertambah, mensortir Molk mana yang akan menggeram. Matanya tak berkedip ketika menarik pelatuknya secara cekatan dan sangat tepat ke arah kepala yang terlihat di luar. Dorongan lebih keras semakin membuat pintu itu rusak dan lebar, teriakan Molk yang mendebarkan membuat Aleena semakin dikejar waktu dan meningkatkan adrenalinya, dan mendadak pintu yang tertahan senjata Wolf terbuka lebar dan terbanting dengan keras. Aleena mengerjit kaget dengan kedatangan sisa-sisa Molk dan rubuhnya tumpukan puluhan mayat di depannya dan jatuh ke dalam.
*****
-Jangan lupa tarik nafas dulu hehehe. Sama vote dan komennya juga boleh ;p
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro