Part 45 - Perpustakaan (1)
Suara bergeser dan mendengung yang terus didengar mereka sangatlah mengganggu, di saat mereka harus waspada maksimal semuanya pun terus menengok ke mana pun di mana suara seperti benda terjatuh atau tergeser sesuatu terus berbunyi.
Entah darimanakah suara itu berasal, apakah dari suara burung-burung yang mencari tempat tinggal, ataukah hanya seekor kijang dan hewan-hewan lainnya yang mengaruk sampah, atau suara mesin-mesin dari sebuah gedung yang masih aktif dan mendengung bagaikan lebah.
Di kota kedua ini mereka ditegangkan dengan suara aneh di balik gedung pencakar langit yang tak terhitung berapa banyak. Berbeda dari kota asal, di sini begitu sangat tertutup dengan gedung pencakar langit yang bertebaran di mana-mana. Bekas kota metropolitan yang meninggalkan kehancuran lebih parah, gedungnya beberapa hancur seperti patah terbelah menjadi dua.
Ada sebuah gedung begitu mencolok, mereka menyebutnya dahulu dengan tiga serangkai. Berjajar dengan desain yang berbeda satu sama lain, gedung di kiri bertema abu-abu gelap, gedung tengah bertema abu-abu terang, dan gedung yang kanan berwarna putih.
Namun yang kini terlihat gedung di bagian kanan dan kirinya hambruk ke sisi gedung tengah, sehingga membuatnya tersangkut dan membentuk segitiga dengan garis tengah. Adapun gedung lain juga memiliki bentuk yang utuh, namun sebuah lubang besar menghiasi di tengah-tengah gedung seperti sebuah donat.
Semuanya hancur tak bersisa, tanpa kehidupan dan tak berpenghuni. Harapan untuk melihat orang yang selamat di kota lain perlahan sirna, mungkin memang hanya mereka yang beruntung dapat hidup dan mendapatkan The Fort yang melindungi mereka dari serangan makhluk-makhluk berbahaya.
Aleena membelai pelan punggung lengannya yang ia tutupi dengan lengan bajunya, rasanya semakin sakit dan menimbulkan pusing yang membuat matanya rabun. Kepalanya berputar dan ia terus mengedip cepat agar ia tak jatuh karena pandangannya mulai hancur.
Walau tak ada satu orang pun yang tahu tentang apa yang dialami Aleena, ia bersusah payah untuk menutupi sakitnya. Ia tak ingin membebani semua orang lagi, tak ingin memperlambat lagi perjalanannya. Karena tujuannya hampir sampai, hanya melewati beberapa liku.
Cadance menoleh cepat pada arah suara yang ia dengar, hanya dia yang begitu gelisah dengan suara benda yang jatuh di sekitarnya. Ia takut bila itu adalah makhluk yang mengincarnya, setidaknya bila memang itu Ghroan yang ia harapkan makhluk itu tak menyerang mereka diam-diam.
"Apa hanya perasaanku saja, atau kita sedang dibuntuti," gumam Cadance mengeluarkan keresahan yang sedari tadi ia pendam.
"Apa maksudmu? Jangan takuti semua orang," desah Dan.
"Tidak, aku memang merasakan hal ini. Suara yang selalu kita dengar tanpa wujudnya, apa arti semua itu?" pekik Cadance dalam nada yang tenang.
"Mungkin suara itu membuat sebuah ilusi di kepalamu, membuatmu pusing dan gelisah," sahut Dan.
"Bukan, aku hanya merasa kota ini sangat aneh. Udaranya dan anginnya tidak segar," ujar Cadance masih melanjutkan perjalanan mereka dengan langkah kaki sekuatnya.
"Ini mungkin karena virus Mepis di sini lebih banyak kadarnya di udara," sahut Dan terdengar professional.
Gustavo, Skylar dan beberapa orang yang berjalan di belakang hanya dapat menyimak perkalimat yang dilontarkan. Ikut berada di tengah-tengah berdebatan itu semakin membuat resah saja, belum lagi suara-suara aneh di sekitar mereka membuat waspada setiap saat.
"Aku hanya berharap tidak bertemu Gemirix," ujar Cadance.
"Gemirix sangat langka, sangat jarang terlihat, mungkin kita masih memiliki kesempatan untuk tak bertemu makhluk itu," tutur Julius.
Mereka sampai di sebuah jalan setapak, hanya ada jurang dan hutan di sebelah dan terdapat sebuah terowongan panjang yang gelap gulita. Sebuah gedung yang roboh membuat sebagian sisi terowongan tertutup reruntuhan betonnya.
Beton menutupi setengah jalan terowongan dan bagian yang besar menumpuk di bagian atas terowongan, menunggu untuk jatuh menggelundung ke bawah.
"Apa kau yakin kita lewat sini untuk ke gedung WHO?" bisik Skylar pada Aleena di depannya.
"Aleena," pekik Skylar tak mendapatkan jawaban sedari tadi.
"Ha? Apa?" tanya Aleena parau, rupanya ia tak menyimak apa yang ditanyakan Skylar. Ia tak mendengarkan semua orang, yang ia dengarkan hanya detakan jantungnya yang semakin lama semakin berdebar keras. Skylar menatap dingin wajah Aleena yang kusut, membisu dan menunggu.
Untuk lokasi yang dimaksud pasti lebih jauh ke dalam, gedung di pertengahan kota bahkan lebih banyak dan tersusun lebih banyak dari pada petak vas bunga.
"Ya tentu," balas Aleena sangat lemah.
Gustavo masih meneliti Aleena lebih dalam, tingkah anak itu sangat janggal dan membuatnya semakin penasaran. Tentu saja ia mudah menebak apa pun, namun sekali lagi ia hanya diam dan tak ingin ikut campur pada masalah wanita itu.
Perjalanan berlanjut kembali, hingga semuanya serentak menoleh pada sebuah gerakan besar di bawah jurang dan di balik pohonnya, suara aneh bergemuruh di balik dedaunan lebat. Mata mereka menjadi tajam menatap hutan lebat di bawah mencari lagi suara yang sudah menghilang namun kapan pun dapat muncul.
Aleena mengambil satu anak panahnya, walau pun kepalanya sangat pusing dan pandangannya mengabur ia mencoba tuk fokus pada serangan yang akan datang. Setiap orang mulai mengambil senjatanya masing-masing dan mengokang, setiap tombak yang sebagian dibawa menjadi tegang di arahkan ke bagian di mana mereka dapat muncul kapan saja.
Aleena menaruh anak panah di busurnya dan menariknya kuat, hanya dia yang siap melucuti makhluk-makhluk yang belum terlihat sama sekali. Mata hijaunya masih mengasah ke balik hutan rimba tersebut, pergerakan daun yang menghilang tak membuat Aleena menaruh anak panahnya kembali ke sarang.
Tanpa basa-basi ia melepaskan anak panahnya ke arah bawah, dan mendadak sebuah suara seperti benda jatuh terdengar. Padahal tak ada yang melihat apa-apa di balik hutan lebat tersebut, namun Aleena dapat mengenai sesuatu. Hingga pada detik itu juga semua Ghroan keluar dari hutan dan menggelinding di berbagai arah untuk naik.
"Ghroan!" teriakan bariton suara pria terdengar menyeluruh.
Senjata pun mulai menghabisi Ghroan sampai mati sebelum mereka naik ke jalanan mereka, Aleena sendiri masih diam dan mendorong Azzura tuk masuk ke dalam terowongan.
"Ke terowongan Zu!" pekik Aleena melotot.
"Lari!" pekik seorang pria mulai berlarian dahulu menuju ke terowongan.
Setiap orangnya menembaki Ghroan yang masih menggelundung naik sambil mencoba menghindari serangan kali ini. Aleena yang begitu pusing kali ini tak dapat menahannya sama sekali, tubuhnya goyah dan hampir rubuh namun kakinya masih sanggup menahan tubuhnya tuk tetap tak menyentuh tanah.
Aleena perlahan hambruk namun cekatan lututnya menahan tubuhnya untuk tetap tegak, ia terduduk di tengah-tengah kepanikan dan Ghroan yang mengikuti. Di saat yang lain masih sibuk berlari ia masih terpusing dan tak tahu harus apa yang ia dahulukan.
Apakah ia harus menyusul berlari, ikut membunuh koloni Ghroan, atau mencoba untuk menyadarkan dirinya dahulu. Pilihannya pasti menyadarkan fikirannya dahulu agar tidak goyah, mata hijaunya mendapati satu Ghroan yang menuju ke arahnya dengan cepat.
Tanpa harus bertanya-tanya lagi ia mengambil anak panah dengan lemah, menaruh di busur, menariknya dan mengarahkan pada Ghroan tersebut. Terlihat ia sedikit menunggu dan memperbaiki fokusnya pada makhluk yang ia bidik.
Aleena melepaskan anak panahnya dan terkejutnya anak panah itu lepas dan terbang di sisi kanan Ghroan, tak seperti biasanya yang selalu tepat sasaran. Pandangannya mulai kabur dan wajah mulusnya kini berubah menjadi pucat pasi.
Aleena mengambil satu anak panah kembali dan melambungkannya pada Ghroan tersebut dan kini ia mengenainya, ia mulai bangkit dengan bantuan busur yang ia tancapkan di atas tanah. Namun baru saja ia berbalik pandangannya mulai kabur dan gelap.
Aleena terjatuh pingsan sebelum menyusul orang-orang yang sudah berada di dalam terowongan, hingga Azzura yang sudah sampai di dalam terowongan menyadari kawannya hilang. Ia berbalik cepat dan menemukan seonggok manusia tergeletak lemah di tengah-tengah jalan.
Mata Azzura memerah. "Aleena!!" jeritnya histeris.
"Semuanya! Lari ke dalam terowongan!" jerit Gustavo mendapatkan sebuah ide untuk menghalau para Ghroan.
Skylar yang baru sadar Aleena pingsan lagi di tengah jalan terkejut dan mulai berlari sesuai arahnya, ia dengan cepat menuju Aleena dan menggendongnya. Sembari busurnya dibawakan oleh Seth yang ikut berlari menuju terowongan gelap tersebut.
"LARI!!! KE TEROWONGAN!"
Di saat semuanya mulai berlarian Gustavo berada paling belakang dengan sekumpulan Ghroan jenis Grayden dan Glox mengejar di belakang. Gustavo berlari sekuat tenaga sambil menengok ke belakang, ia melirik bebatuan yang berada di pinggir terowongan sangat curam dan dapat berjatuhan.
Gustavo mengarahkan senjatanya pada bebatuan tersebut, menembakinya sangat lama hingga permukaannya terkikis dan melepaskan bebatuan-bebatuan kecil yang menghalangi jatuhnya batu yang besar. Saat batu itu terlepas suara gemuruh besar mulai terdengar bagaikan longsor dan saat itu juga batu beton di atas terowongan mereka mulai berjatuhan.
Sebelum beton menutup jalan masuk terowongan semua harus sudah berada di dalam, jika tidak ingin terjebak bersama puluhan Ghroan yang kelaparan. Gustavo yang di belakang memperlaju larinya agar tubuhnya tak ikut terhempas batu yang jatuh dan menggelindingkannya sampai ke bawah jarang.
Gustavo berusaha melewati terowongan dan di momen yang mengerikan sebuah batu sebesar mobil masih jatuh, dan ajaibnya terbang di atas kepala Gustavo. Bebatuan kecil seperti kerikil bagai hujan mengenai semua tubuh Gustavo sembari ia melewati jalanan masuk terowongan. Ia dengan lincah menghindar sana sini, menunduk dan reflek yang cekatan terhadap puluhan beton yang menggelundung.
Bebatuannya masih longsor, hingga pada akhirnya sebuah batu besar berhenti di tengah-tengah jalanan terowongan, waktu yang tepat harus sesuai dengan perhitungan. Bila batunya tidak menutup jalannya maka Ghroan akan ikut masuk di dalam terowongan gelap. Membaur dengan puluhan orang di tengah-tengah kegelapan tanpa bisa mengetahui di mana letak Ghroan tersebut.
Gustavo masih berlari kencang hingga ia sampai di bawah terowongan yang sudah mulai menggelap dengan suara gemuruh yang masih berlangsung.
Semua yang di dalam hanya memandangi jalan masuk tertutup batu dan perlahan cahaya mulai pudar dan habis, sampai batu terakhir menutupi jalan masuk cahaya dan membuat terowongannya bagaikan gua yang gelap. Gustavo begitu terengah-engah bersamaan dengan semuanya dan menyalakan sebuah senter.
Ia menyoroti semua yang di depannya sangat kelelahan, menarik nafas dan membuangnya tak teratur, hingga sorotannya beralih pada Aleena yang ditidurkan oleh Skylar di tanah.
"Ada apa dengannya?" tanya Gustavo mendatanginya.
"Dia pucat," ujar Seth yang memandangi sambil berdiri.
"Gus, kita butuh istirahat sebentar," ujar Skylar, matanya berbinar memohon sangat pada pria itu. Melihat kondisi Aleena sangat membingungkan dan butuh pengobatan Orvos, tindakan secepatnya harus diambil Skylar.
Gustavo menimbangi sebentar, namun setiap menit yang mereka punya sangat berarti. Semakin cepat mereka bergerak semakin cepat mereka mengakhiri perjalanan dan mengurangi resiko berkurangnya orang-orang yang ikut.
Mata abu-abunya tajam menatap wajah pucat Aleena, ia melirik kecil ke bagian tangannya yang masih tertutup dan ia tahu sekarang. Sembari Azzura masih menutupi mulutnya dengan tangan cukup terguncang melihat Aleena pingsan di susul elusan menenangkan dari Cadance, semuanya menunggu keputusan Gustavo.
"Tidak di sini," gumam Gustavo, "Kita harus keluar dari lubang neraka ini," ujarnya dingin.
"Baiklah," gumam Skylar dan mengangkat Aleena kembali tuk berjalan melewati terowongan gelap gulita tersebut.
Semuanya mulai berjalan dengan pencahayaan seadanya dari beberapa senter terang, mengikuti panjangnya terowongan sampai melihat cahaya di ujungnya. Mereka sampai pada bagian terowongan yang lain, terang hijau dari lumut menyapa semua.
Lalu mencari tempat yang cukup aman dan terhindar dari kawasan lintasan para Ghroan atau Molk di kota tersebut.[]
Bagaikan sebuah badai yang bergemuruh di telinga, suaranya sangat berat dan bising membuat pendengaran sangat terganggu. Tak hanya sekedar pendengaran, namun jantung berdetak cepat tak tahu apa yang sedang terjadi. Seperti dibawa lari dengan kereta api, kanan dan kiri terlewati sangat cepat tanpa bisa melihat jelas pemandangan apa.
Namun itu pun bukan pemandangan, hanya warna hitam yang lewat sangat cepat dengan suara kerasnya yang semakin mengganggu. Warna hitam itu perlahan menjadi klip-klip yang memperlihatkan sebuah penglihatan.
Dari ia berlarian bersama yang lain, dan berubah menjadi sebuah jembatan Napoleon, dan beberapa klip lainnya dari perjalanan sebelumnya. Ditambah sebuah gedung WHO, dan sebuah rumah dengan ruang rahasia yang pernah Aleena temui sebelumnya.
Klip itu bergantian berurutan, tanpa mengapa bisa terbayang sendiri seperti itu. Semuanya sesuai dengan apa yang Aleena lihat dan apa yang sudah Aleena alami. Namun semakin lama gambaran yang bergerak laju itu perlahan berubah arah, kini ia semakin menanjak naik bagaikan berada di sebuah roler coaster yang siap untuk jatuh.
Dan ketika gambaran itu jatuh sangat cepat gambaran itu membuat tekanan batin tersendiri bagi Aleena yang bermimpi, seperti ia ingin dijatuhkan dan terasa nyata. Tubuhnya sangat takut dan bergetar ketika gambaran itu terus menukik tajam turun dan sangat cepat, penglihatan itu terus meluncur jauh sampai warna itu seperti pecah dan berhamburan bagaikan debu.
Suaranya pun bagaikan debu yang dibawa terbang angin, namun beberapa partikel debunya berubah menjadi bagian-bagian yang tak dapat dijelaskan. Menyatu menjadi sebuah gambaran dan semakin memperlihatkan sosok apa yang tergambar.
Sebuah wajah Dommed yang mengerikan dengan mata yang tak pernah Aleena lupakan tersebut terbuat dan mendekat dengan sangat cepat. Sangat cepat dengan diakhiri suara lengkingan keras mengilukan gendang telinga.
Di saat itu juga Aleena terbangun, matanya terbuka lebar dengan tubuh yang sangat lemah ketakutan dengan mimpi buruknya. Nafasnya memburu cepat dan tak perlu beradaptasi lagi dengan pencahayaan yang sangat redup. Sejenak ia masih mengira-ngira di mana ia berada, ruangan gelap dan sendirian.
Ruangan yang sangat kecil dan mungkin hanya dapat diletakkan sebuah kasur kingbed dan satu lemari saja. Semuanya hitam dan berbau karat, terdengar beberapa kali sebuah tetesan air yang jatuh ke lantai besi karatnya.
Hanya ada sebuah pintu jeruji yang tertutup dan tembok-tembok dengan banyaknya coretan berwarna hitam dan merah. Tulisan dengan berbagai macam jenis dari kumpulan nama-nama, angka-angka yang dicoret, beberapa kutipan kalimat, kalimat-kalimat tak beraturan yang lain.
Seperti sebuah papan tulis raksasa yang permanen, semuanya penuh dengan coretan luapan hidup, Aleena sendiri mengamati hanya langit-langit yang sangat gelap. Ia tertidur di lantai dengan sebuah selimut dan lentera di kanannya yang menemaninya.
Cukup membuat takut ruangan yang sangat gelap di dalam, baik di luar. Ia tak habis fikir mengapa mereka membawa Aleena ke ruangan tersebut. Ia memijat keningnya yang berat dan terhenti ketika sadar tangannya sudah di balut dengan perban putih.
Itu artinya mereka sudah tahu tentang luka tersebut, tiga luka goresan yang sudah kental akan goresan dan duri Ghroan. Mungkin mereka mengunci dibalik jeruji tersebut akan maksud bila mereka takut Aleena akan berubah menjadi Molk, mengantisipasi bila sewaktu-waktu Aleena dapat menggigit leher seseorang ketika tidur.
Aleena menghela nafas berat, namun satu-satunya yang ingin ia temui hanya Cadance. Ia ingin menceritakan beberapa hal yang menurutnya ganjil atau mungkin memang sudah dapat tertebak akibat kecerobohannya.
Ia mencoba tuk bangkit dengan pelan, rambutnya pun berantakan tak terkuncir dan matanya memiliki kantung hitam membuatnya memang seperti orang yang terjangkit penyakit dan virus. Ia mendekati diri ke jeruji dan ia terbelalak dengan gelapnya di luar, tentu saja Aleena takut. Kegelapan sebelumnya tak pernah segelap ruangan tersebut, mungkin prasangkanya dikurung memang benar.
Namun ketika ia memegang pintu jeruji anehnya tak terkunci, dengan mudah pintu itu terbuka dan mengeluarkan suara decitan engsel karatnya. Aleena berbalik dan mengambil lenteranya, mungkin ia harus memberanikan diri keluar dan menemui yang lain. Namun sekali ia takut gelap, ia tetap takut.
Pelan-pelan ia menerangi kegelapan dengan lentera seadanya, kini ia sadar dengan sekelilingnya. Banyak pintu jeruji yang berderet sama seperti ruangannya. Itu adalah ruangan penjara, memanjang penuh dengan pintu jeruji sebanyak 30 buah, untungnya sudah tak ada satu pun tersangka yang meninggalkan tengkorak di dalam ruang masing-masing.
Hanya saja Aleena semakin takut dengan gelapnya di depan, ia tak dapat melihat sedikit pun apa yang ada di depannya. Kehendaknya ingin tetap di dalam sana terkurung, mungkin ia tak harus ke luar dan mengorbankan jantungnya lagi. Mata mengantuknya masih mengamati gelap, namun mendadak penglihatannya seperti melihat sebuah Molk yang berlari ke arahnya dengan tangan yang terulur ke depan.
Aleena menelan bulat-bulat salivanya dan mundur dengan panik hingga ia menubruk pintu yang ia buka dan berbunyi keras. Matanya sangat merah dan begitu ketakutan, nafasnya cepat hingga dari jarak yang jauh sebuah cahaya mendekatinya dan muncul dengan seseorang sedang berjalan, itu adalah Cadance.
"Aleena?" panggilnya memastikan suara besi yang ia dengar tadi bukan berasal dari sel jeruji mana pun selain milik Aleena.
"Cadance," panggil Aleena parau dan mendekatkan dirinya pada Cadance.
Aleena membuang nafas jengah lagi. "Apakah semua orang tahu tentang luka ini sekarang?" tanya Aleena.
"Semuanya mulai cemas dengan kondisimu," sahut Cadance datar.
"Aku hanya- aku tak bisa berubah," sahut Aleena lagi dengan deruan nafas panjang di akhir.
"Dua dari kami mungkin akan percaya dengan gugusanmu, bersikaplah normal lalu mereka akan tenang," balas Cadance kembali.
"Terima kasih," gumam Aleena sinis memutar bola matanya. "Di mana yang lain?"
"Mereka tidur, mereka sangat lelah dua hari mencari tempat yang aman," balas Cadance santai.
"Tunggu- apa!" pekik Aleena terbelalak
"Tidak mungkin Cadance," desis Aleena lagi.
"Oh ya, kau pingsan lagi selama dua hari karena obatnya, tenanglah," sahut Cadance.
"Aku tak bisa tenang Cadance, aku- aku tak sengaja melihatkan semuanya," ujar Aleena ragu, nadanya penuh penyesalan dan kekecewaan mendalam.
"Apa maksudmu?" tanya Cadance dengan tempo yang mulai naik.
"Aku tak bisa mengendalikannya, dia mengetahui aku sedang mengincar The Dropprunus dan kita dalam perjalanan ke sana," jelas Aleena menunduk sesal.
"Tidak Aleena! Tidak ... tidak, Sial!" gumam Cadance memekik kesal.
"Kau tidak bisa melakukan itu! Kau membahayakan kita sekarang!" pekik Cadance lagi geram.
"Aku- aku tak bisa menahannya, aku tak dapat menghalanginya! Aku dalam keadaan dan posisi yang rentan dan aku sangat lemah. Aku tak bisa mengatur semuanya di alam bawah sadarku dan di bawah pengaruh obat dan tubuhku sangat lemas," balas Aleena cepat dengan pembelaannya.
Cadance mengacak rambutnya dan berputar sendiri terlihat kacau dan pusing, ia membasuh wajahnya dan menghela nafas jengah. Penjelasan Aleena mungkin masuk akal dan tak dapat disalahkan, lagipula dia memang sedang lemah dan tak ada yang bisa disalahkan kali ini.
"Maafkan aku," ujar Aleena parau dan terdengar sangat menyesal.
"Tidak apa-apa Aleena," ia memaafkan. "Apa saja yang kau lihat?" tanya Cadance dingin.
"Beberapa rute yang kita lewati, jembatan, kematian Ghroan, gedung WHO, dan aku melihat wajahnya, mata kristalnya," balas Aleena mencoba merinci beberapa yang ia ingat.
"Sial, dia tahu kita akan ke gedung WHO," balas Cadance semakin pusing.
Aleena hanya terus-menerus merasa kecewa pada dirinya sendiri, ia dalam ketidaksengajaan dan ketidakmampuannya membuat semua perjalanan memiliki lubang jatuh yang dapat mejerumuskan ke dalam. Mencelakai beberapa orang dan memperlambat tujuan terakhir.
"Aku selalu melihat Dommed ke gedung WHO pula, menuju ruangan utama di lantai teratas dan berusaha masuk. Menurutmu apa yang dia cari di sana? Mengapa dia menuju ke tempat yang sama? Ke ruangan dengan serum tersebut," ujar Aleena merantai beberapa potongan ganjil lainnya.
"Aku belum bisa memberi jawaban final sebelum aku mendapatkan serum dan petunjuk kegunaanya, setelah aku mengetahui awal dan akhir pembuatan serum itu pasti ada jawaban," gumam Cadance tenang.
"Apa menurutmu serum itu berhubungan dengan sarang The Dropprunus?" tanya Aleena ragu.
"Untuk menonaktifkannya? Terdengar mustahil, tapi masih tidak dapat diterka kembali," sahut Cadance pelan.
"Aku tak bisa membayangkan akan bagaimana akhirnya," bisik Aleena parau.
"Semuanya pasti dapat selesai, punya jawaban, punya titik akhir dan puncaknya," ujar Cadance pelan.
"Ingat, kita harus mencari peta itu juga," gumam Aleena dengan keyakinan yang mantap.
Walau dari kegelapan yang mendominasi di sekitar, Cadance tetap dapat melihat sorot mata tajam berair milik Aleena tersebut. Warna hijaunya penuh harapan dalam, manik matanya mengeluarkan gambaran cemas di matanya. Semua perasaan dapat terlihat dari mata hijau cantik Aleena, terbaca jelas oleh Cadance.
Cadance hanya mengangguk, sesungguhnya tempat dan bagaimana ia mendapatkan hal tersebut begitu di luar nalar. Tak mungkin mengobrak-abrik satu per satu rumah di kota untuk mencari lokasi tempat tinggal Locmez, belum tentu pula Locmez adalah penghuni kota tersebut.
Mencari keberadaan tempat persinggahan Locmez masa lalu lebih sukar dibandingkan mencari gedung WHO, asingnya mereka terhadap kota tersebut tak mampu membendung rasa bingung untuk mencari peta yang dicari.
Terlalu lama menunggu, semakin cepat pasukan makhluk di luar melakukan serangan besar-besaran. Dommed tahu ke mana Aleena menuju dan apa yang diincar, dan tahap apa yang akan mereka temui terus berkeliaran di kepala menunggu tuk dicerna.[]
Perjalanan berlangsung kembali, dan kali ini yang mereka hadapi adalah jalan buntu. Berkali-kali mencari jalan baru hanyalah sebuah reruntuhan yang menjadi patokan akhir sebuah jalan, memanjat tak ada gunanya dan tali terlalu pendek untuk meraih ujung betonnya. Memutar mengkali lipatkan waktu perjalanan setiap saat, mencari setiap celah agar dapat dilewati pun tak ada gunanya.
Beberapa orang sembari berjalan mereka meneguk air segar tuk menyegarkan tenggorokan yang mudah kering juga bibir, lidah yang kaku. Ion yang terus hilang membuat lemas dan semakin menyulitkan perjalanan dan menyulitkan tuk menemukan solusi terbaik.
Berjam-jam ditempuh semua, sudah berhari-hari lamanya mereka berjalan dari Tarnom, mereka merindukan tempat itu dan termasuk The Fort. Rindu udara segar dan harmonisnya tempat itu, tenangnya tempat itu tanpa kerusuhan dan perceraian. Kini tempat itu tak terdengar lagi kabarnya, begitu pula dengan yang menempati tempat itu.
Gustavo memutuskan tuk memanjat untuk kesekian kali ke sebuah gedung yang cukup tinggi. Ia masuk ke dalam apartemen tersebut untuk menuju atap. Ketika ia berada di atas hal yang ia cari adalah sebuah gedung di antara puluhan gedung lebih tinggi lainnya.
Hal yang sama selalu ia lakukan, berputar 360 derajat dan menajamkan pandangan mencari letak gedung WHO yang sama sekali tak terlihat. Gustavo perlu tahu di mana gedungnya walau pun ia tak pernah menjamah tempat tersebut.
Seperti deskripsi Aleena, sebuah gedung kaca abu-abu dengan sebuah tulisan utuh yang besar bertuliskan WHO di pucuk gedung. Namun tetap saja Gustavo belum mendapatkan gedung yang mendekati rincian tersebut. Sesama gedung menjulang tinggi tentu menghalangi beberapa pemandangan lain, menyulitkan Gustavo tuk menerawang lebih jauh.
Hingga ketika ia melihat sebuah gedung dengan kaca tebal di bagian selatan, fikirannya mulai ramai dengan beberapa prediksi. Tanpa sengaja ia melihat sebuah gedung di belakang gedung dari kaca tersebut, kacanya yang terawang dari tempat sisi Gustavo mampu ia tembus, menampilkan sebuah tulisan WHO di pucuk gedung tersebut.
Gedung di belakang gedung kaca tersebut cukup jauh, namun lebih baik dari pada ia tak mendapatkan sama sekali satu hari ini. Lebih baik ada hasil dari pada kosong sama sekali, melakukan perjalanan lagi yang melelahkan.
Ia mulai turun dan menuju orang-orang yang menunggu di bawah sembari mengistirahatkan kaki dan menjulurkannya. Hingga sosok Gustavo muncul dari dalam apartemen tersebut dengan wajah semangatnya, walau bagaimana pun ekspresi yang menggambarkan semua perasaanya tetap saja datar dan dingin.
"Ayo, aku melihatnya!" pekiknya cukup riang.
Semua orang bangkit terkejut. "Kau menemukannya?" gubris Julius ikut senang.
"Beberapa mil ke selatan, mungkin kita dapat sampai sebelum senja," tambah Gustavo.
Aleena yang mendengar dan tengah melihat semua orang di depannya mulai berdiri ikut mengekori, ia menyendiri dan mengasingkan dirinya sendiri. Duduk berada paling belakang bagaikan seorang anak kecil pemalu yang tak ditemani siapa pun.
Kesendiriannya melainkan di sengaja, perjalanan yang ia sadari semakin dekat dengan akhir yang sudah terpandang jelas di kalbunya semakin menguras perasaan sesak di dadanya. Rasanya semakin dekat ia dengan tujuan, semakin mengecil ruang tuk bernafas dan membuatnya sering tercekik di menit-menit tertentu.
Aleena bediri sendiri dengan sepatu boot yang menginjak bebatuan kecil-kecil bagaikan kerikil di tanah, sekilas Azzura menoleh ke belakang tuk melihat Aleena sendirian dan di saat itu juga mata mereka bertemu. Dari mata Aleena terkilas bila ia tak apa-apa dan hanya butuh waktu sendiri tuk memulihkan kondisinya yang masih tak stabil.
Aleena menunduk menatap kedua kakinya yang siap menempuh perjalanan lagi, hingga ia menoleh pada satu objek yang akhir-akhir ini terus berwajah murung dan tak ceria seperti biasanya. Senyuman mengembang bagaikan bunga baru mekar tersebut seperti keindahan yang langka kali ini, sulit tuk didapatkan.
Aleena tahu bila sesuatu yang langka pastilah ada penyebabnya, mencari jawaban dari pergerakan Skylar dari belakang ia tak kunjung mendapatkannya. Mengolah pengertian dari mimik wajahnya ia hanya dapat merasakan kesedihan.
Ia memajukan tubuhnya tuk berada di sisi kanan Skylar yang berjalan, Skylar melirik sejenak siapa di sebelahnya hingga ia tahu itu adalah Aleena. Satu-satunya wanita yang mengenakan seragam hitam tersebut mulai mempelajari wajah tegas Skylar dan memperhatikan dengan cemas.
"Ini bukan Sky yang cerah," sahut Aleena mencoba memberi siraman ramai.
Skylar tertawa kecil. "Sepertinya ini adalah Sky yang kelabu,'" sahut Skylar berat.
Tak sanggup melihat senyuman palsu Skylar, Aleena menahan tangannya dan menghentikan perjalanan mereka bedua. Membiarkan semua orang jauh lebih dulu jalan dan membiarkan kedua insan mengadakan rapat mendadak.
"Jangan menghindar, hadapi," balas Aleena merdu.
Skylar menghela nafas kasar, dan menatap kedua bola mata hijau Aleena lama. "Aku hanya merasakan hal-hal buruk akan terjadi. Dan itu selalu terngiang di benakku, seberapa usahanya aku membayangkan keajaiban dan kebaikan di setiap perjalanan tetap saja tak dapat kurasakan titik kepercayaan di dalamnya," jelas Skylar parau.
"Sky ... jangan bilang seperti itu. Semuanya akan baik-baik saja, kita saling menjaga dan aku tak menginginkan sebutir pun fikiran keburukan terngiang di kepalamu," sahut Aleena sembari membelai rambut gelap di akhir kalimat.
"Kau baik, tapi kita tetap tidak dapat menduga takdir nanti, bukan kita yang mengatur," ujar Skylar penuh kesedihan di nadanya.
"Aku mendengar suara nyanyian hatiku sendiri, dan aku mendapatkan satu bait berbunyi 'Dia yang mengatur akan sejalan dengan perkiraan yang kita mau' aku selalu memantapkan diriku untuk tetap percaya, walau sulit dan aku tak tahu bagaimana untuk merasakannya," ujar Aleena penuh tindihan harapan di matanya.
Skylar menghela nafas kembali. "Entahlah Aleena, aku ... aku takut terjadi hal-hal buruk di sekeliling kita dan jauh di sana. Aku merindukan Bianca, aku rindu adikku, aku rindu rumah kita, The Fort, aku merasakan banyak perubahan, tapi aku tak dapat menutupi perasaan rindu ini," tambah Skylar kini begitu khawatir.
Aleena meraih kedua tangan Skylar dan meyakinkannya. "Dia akan baik-baik saja selama kau berfikiran positif ke depan dan apa yang kau inginkan selanjutnya. Setelah ini selesai, kau bisa kembali dan memeluknya erat dengan perasaan lega tersebut. Ayahmu dan Ibumu akan sangat bangga dengan pencapaianmu setinggi ini."
Dalih Aleena pada Skylar tentu saja mencekik lehernya dan memeras hatinya sendiri, walau ia tahu sendiri ia tak akan ada di sana melihat bagaimana Skylar memeluk adik perempuannya tersebut. Namun senyuman ketenangan Aleena menutupi dustanya, berharap Skylar akan memiliki rasa percaya pada semuanya.
Hingga pada akahirnya nanti bila waktu itu tiba, Skylar bisa merantai semua kalimat Aleena sebelum dan sesudah. Apa maksud yang ia berikan selama ini, percaya dan berusaha.
"Aku tak melakukan apa pun," elak Skylar tertunduk.
Aleena mengangkat wajahnya. "Kau melakukan sesuatu Skylar, kau akan mengetahuinya," sahut Aleena tersenyum manis.
"Dan kau penuntunku, sebelum dan sesudah," tambah Skylar menatap dalam hijau mata Aleena.
Aleena kembali merasakan sesak dada, dan ia hanya sanggup membalas dengan anggukan dan senyuman seperti biasanya.
"Kau akan pulang dan menemui adikmu yang tengah menunggu kedatangan kakak lelakinya," sahut Aleena lagi mengulangi kutipan yang harus dipercaya Skylar.
"Dan apa selanjutnya?" ujar Skylar dengan senyuman kecilnya.
"Apa?"
"Aku tidak ingin memberitahukan saat ini, rahasia." Gumamnya pelan.
"Hmmm, kau mulai berkimestri ha?" goda Aleena. "Sial Sky, sekarang kau membuatku penasaran dengan hal itu," kekeh Aleena lagi.
Skylar hanya tertawa. "Ayo, susul mereka," Skylar menggiring Aleena kembali dan berjalan bersamaan.[]
Semuanya mulai berjalan cepat seperti sebuah perlombaan, melompati reruntuhan dan bebatuan dan melewati segala macam benda dan sampah yang berserakan di jalanan sempit. Satu-satunya yang mereka kejar adalah waktu, cahaya mulai turun dan berjalan dengan cepat akan memperkecil konsekuensi. Dari pagi dan mereka bertemu sore, perjalanan yang melelahkan lagi.
Suara langkah mereka kini bagaikan langkah prajurit yang sedang berjalan di tempat, serempak dan sama rata. Ini adalah olahraga favorit mereka berlarian kecil mengejar waktu, juga olahraga untuk jantung yang berdetak cepat dan bahkan ikut berkeringatan karena rasa gelisah yang mengejar.
Saat itu datang ketika mereka melihat di depan, sebuah pagar cukup besar berwarna putih kotor yang menjadi gerbang masuk gedung WHO. Jalanan masuk mereka hanya beberapa meter hingga sampai pada sebuah air mancur dan gedung menjulang 15 lantai.
"Ayo," ujar Gustavo melangkah awal di depan.
Semua orang menoleh ke setiap rekan di sampingnya, menyiratkan makna 'kau siap? Aku sudah siap'. Aleena mendekatkan dirinya pada Azzura kembali dan menarik pergelangan tangannya, membuat wanita itu sedikit terlonjak kaget.
"Peraturan sebelumnya masih sama, jangan! Pergi! Lebih! Jauh! Dan turuti! Kata-kataku!" tekan Aleena tegas.
Azzura hanya mengangguk dan mereka mulai berlarian masuk ke dalam, busur The Ogre itu digenggam Aleena dalam cengkraman kuat. Busur di keranjang belakangnya terus berbunyi sembari ia berlari masuk ke dalam.
Air mancur tersebut mati dan meninggalkan guguran daun dan beberapa sampah yang tergeletak di tengah kolam kosongnya. Patung yang terpahat terlihat terkupas di beberapa sisi dan menghilangkan desain awalnya. Mereka berdiri di sana, bagi Aleena tempatnya ia berdiri begitu sama dengan penglihatan di bawah alam sadarnya waktu lalu.
Ia mendangakkan kepala ke puncak gedung memperhatikan tulisan WHO, dan ia dapat menerawang ke dalam kehancuran gedung tersebut. Aneh, ia fikir apa yang tergambar di alam bawah sadarnya akan berbeda dengan kenyataan, namun ini begitu sama sedetail dengan puing kaca dan lampu gantung yang jatuh.
Kecemasan menyelimuti Aleena ketika ia sadar di alam bawah sadarnya ia bertemu Gemirix, tentu saja ia tak ingin merasakan kepahitan tersebut. Namun ia sadar itu tak mungkin terjadi karena ia bersama rombongan orang pembawa senjata yang dapat membantai makhluk tersebut.
"Hey," panggil Gustavo besar, "Kau tahu apa yang harus kau lakukan?" sahutnya dingin.
"Aku harus ke atas, tapi pintu itu terkunci," balas Aleena cemas.
"Bagaimana kau tahu itu terkunci? Melihat saja belum," cemooh Gustavo.
"Aku- ... aku- pokoknya aku tahu okay? Dan aku tak tahu bagaimana cara membuka pintu itu, listriknya mati dan entah bagaimana sistem kunci pintu itu masih aktif," jelas Aleena mendapatkan pandangan datar semua orang.
"Itu pasti sistem sensor," ujar Julius.
"Apa?" balas Aleena dan Gustavo bersamaan.
"Sensor, kau hanya bisa membuka pintu itu dengan satu-satunya kunci atau bisa dibilang satu-satunya DNA yang memiliki kecocokan yang sama dengan layar di pintunya. Kau menempelkan tanganmu, dan pintu itu terbuka. Sebuah penemuan agar jaminan rahasia sebuah ruangan aman dan tak dapat dimasuki," jelas Julius yang benar-benar mengerti semua hal tentang mesin dan teknologi.
"Tidak lagi," sahut Gustavo angkuh.
"Bisakah kau meretasnya?" lempar Gustavo.
"Aku mungkin bisa, tapi tanpa listrik mana mungkin," balas Julius santai menggerakkan bahunya.
"Gedung ini pasti memiliki sebuah ruangan dengan cadangan listriknya atau generator, kemungkinan di lantai bawah. Aku ingin beberapa dari kalian ke bawah, menyalakan sistem tenaga bantuan, lepas semua kabel yang tak diperlukan, retas sistem sensor pintu atas, dan nyalakan tenaga listriknya, aku akan ke atas," barisan perintah Gustavo pun diiyakan semua.
Julius memilih beberapa Tent yang mahir dalam pekerjaan tentang listrik dan mekanik lainnya dengan jumlah sembilan orang. Sedangkan sisanya akan menjaga di berbagai sisi dan lantai untuk berjaga-jaga sedangkan Aleena dan Gustavo akan meluncur ke lantai paling atas bersama beberapa yang lain.
"Azzura, ikuti Julius," suruh Aleena dan lagi-lagi mendorong jauh tubuh Azzura mengikuti Julius ke bawah tanah.
"Apa? Tidak, aku harus ke atas, bagaimana bila terjadi apa-apa?" kecohnya tak setuju.
"Kau akan aman di bawah sana, dan bila ada apa pun itu jangan pergi jauh dari Julius," ujar Aleena kembali.
"Kau berjanji padaku," tambahnya mengingatkan kembali.
Azzura hanya terdiam pasrah, dan di anggap sebagai sebuah jawaban 'iya'.
"Julius, jaga dia," bisik Aleena ketika berbalik dan menghadap Julius.
Di saat yang bersamaan semuanya mulai berpencar, Julius menarik Azzura dan menyeretnya ikut masuk mencari tangga untuk ke bawah tanah bersama barisan pengikutnya. Sedangkan satu per satu orang mulai menaiki tangga dan berdiam di lantai dan menyisir beberapa ruangan yang ditinggal usang.
"Ayo!" desis Gustavo yang masih memiliki tenaga.
"Sial," sahut Cadance yang sangat terengah-engah berpegangan pada pinggir besi tangga. "Aku tak kuat lagi," desah wanita itu terhenti, Skylar dan kawan-kawan yang ada di belakangnya pun ikut terhenti.
"Ayolah Cadance," sahut Skylar parau di belakangnya mencoba mentransferkan sedikit energi dalam rohaninya.
"Tidak, aku tidak bisa. Aku akan menjaga di lantai selanjutnya," sahutnya menyerah.
"Anggap saja olahraga Cadance, aku membutuhkanmu di atas nanti," sahut Aleena di depan Cadance.
"Aku sudah cukup kuat dan berotot di bagian rahangku, ada Gustavo dan Donny nanti," elak Cadance masih terengah-engah.
"Ayo!! Kita sudah harus di atas ketika Julius mengaktifkan generatornya!" pekik Gustavo yang berada 10 langkah di atas mereka.
Aleena yang masih menatap Cadance hanya mengangkat kedua alisnya ketika suara pria itu membuat mood semua orang berubah suasana.
"Ayo!" Aleena menarik tangan Cadance dan menyeretnya lebih naik.
Satu per satu lantai mereka lewati dan setiap lantai satu orang akan menjaga dan menelusuri tiap ruangan mencari segala sesuatu yang penting atau yang berhubungan dengan Locmez. Barisan orang panjangnya di tangga perlahan menipis dan semakin sedikit setiap lantai tersisir, menyisakan enam orang saja yang akan menuju lantai 15 di paling atas.
Aleena yang berubah posisi menjadi di belakang bersama Skylar hanya dapat merasakan remasan di pinggangnya dari tangan Skylar yang menuntunnya untuk naik. Di setiap menit selalu Skylar semangati wanita itu, menanyakan bagaimana keadaannya dan kondisinya sampai saat itu juga. Tak pernah terlupakan di benaknya tentang bagaimana keadaan seorang wanita yang ia lindungi.
Skylar begitu sangat dewasa dan baik hati, dan Aleena adalah wanita yang penyayang dan murah hati. Masing-masing ikut saling berkorban dan saling menjaga satu sama lain, mungkin pribadi itu sudah tertanam sejak mereka berada di The Fort, karena menjaga satu sama lain adalah prioritas di benteng mereka dahulu.
Di lain lantai Julius masih mengotak-atik mesin-mesin di bawah sana, ia menaruh senter di mulutnya dan tangannya mahir melepas dan menyambungkan kabel berwarna-warni dan berbagai bentuk dengan setiap fungsi. Ruangan bawah tanah begitu gelap dan satu-satunya sisi yang terang hanya satu meter dari sinar senter setiap orang menyala. Azzura hanya dapat memperhatikan dengan takut kumpulan pria yang semuanya begitu sibuk, hanya dirinya lah patung figura di ruangan bawah sana.
Bunyi detakan jam seperti terngiang di gendang telinganya, menyadari betapa lamanya ia di bawah sana dengan berusaha bersama yang lain. Mesin yang mati selama bertahun-tahun mustahil dinyalakan dalam sekejap mata, membutuhkan alih-alih pematik dan ahli tangan lainnya.
Hingga saat Julius menjepitkan sebuah penghantar listrik berwarna merah listrik pun keluar dan menyengat tangannya saat itu juga, membuat Julius terkejut. Lampu-lampu menyala dan semua dengungan mesin terdengar.
Setiap lampu yang masih utuh di berbagai lantai menyala, mengeluarkan sinar putih yang bersih dan menampakan kehancuran lebih detail kembali. Tanpa terduga sebuah alarm melengking berbunyi berulang kali dari gedung mereka, dan suaranya menggelegar luar biasa tak kalah seperti yang ada di The Fort sebelumnya.
Julius yang tak tahu apa itu menoleh pada yang lainnya. "Hey! Apa itu! Matikan!" ujarnya panik.
Semua orang di bawah mulai gelabakan berlarian mencari tombol apapun yang membuat sensor alarm gedung tersebut itu mati.
"Aku tak bisa menemukannya!!" pekik seorang pria yang sudah berlarian ke berbagai sisi mencari kabel untuk memutus arus alarm tersebut.
"Terus cari!" jerit Julius ikut menghambur ke mana pun.
Gustavo yang berada dua lantai sampai menuju puncaknya terkaget luar biasa ketika alarm nyaringnya berbunyi begitu pula yang lainnya.
"Apa-apaan! Mengapa alarmnya berbunyi!" pekik Gustavo cemas.
"Julius," gumam Skylar menengok ke bawah tangga.
"Cepat Gustavo!" sahut Aleena.
Gustavo langsung mempercepat langkahnya walau tulang di masa berumurnya sudah mulai tak sanggup menampung kesakitan lagi. Aleena berlari dan diikuti Cadance, Skylar, dan Donny.
Tiba-tiba lampu kembali mati bersama alarmnya, gelap gulita pun menerjang dan Gustavo melirik ke luar sebuah jendela kaca. Matahari sore sudah hampir menghilang dan kegelapan sudah mulai menyebar berada di ufuk timur langit.
"Kita kehabisan waktu," gumam Gustavo sendiri.
"Apa?" tanya Aleena.
"Tak ada," gumamnya lagi. "Ayo!" Gustavo kembali berlari melewati puluhan tangga keramik abu-abunya.
Tiba mereka di lantai teratas dengan nafas yang terpingkal-pingkal dan nyaris kehabisan ruang untuk bernafas, paru-paru terasa hilang dan tak ada ruang untuk menyimpan oksigen di dada. Aleena berjalan di koridor lantai atas dan gambarannya begitu jelas dengan apa yang ia dapatkan sebelumnya. Namun alarm berhenti dan lampu-lampu ikut mati, listrik tak ada karena Julius menonaktifkan sistem listrik, agar alarm yang berbunyi mati, listrik harus tetap mati, sebaliknya, bila listrik menyala maka akan mengundang apa pun dari luar.
Tembok batunya roboh dan langit-langitnya beberapa runtuh menghalangi jalanan menuju sebuah pintu besi yang terkunci. Aleena menggeser sebuah batu kecil dengan kakinya, dan kini mata hijaunya menatap pintu tertutup di depan.
Adrenalinya tinggi entah mengapa, fikirannya terus bertanya-tanya mengapa Dommed menuju lantai percis di mana Aleena berada. Mengapa ia ingin masuk ke dalam? Objek utama di dalam ruangan tersebut tentu saja serum yang pernah ia lihat.
Namun kembali ke kesimpulan yang ia buat dahulu bersama Will dan Cadance, sebuah serum tak mungkin membunuh semua koloni tersebut. Belum lagi serum itu kandungannya tak terjelaskan dan isinya sedikit dibadingkan jumlah jutaan makhluk yang harus dimusnahkan.
"Listriknya harus menyala untuk membuka pintu ini, jadi bagaimana?" tanya Cadance.
"Listriknya harus kembali menyala," sahut Gustavo meraba permukaan dingin pintu besi yang tertutup.
"Tapi alarmnya akan segera menyala bersamaan," sahut Cadance kembali.
"Di saat itu kau harus mengambil apa pun yang berharga di dalam ketika pintu itu terbuka, jika listrik mati sebelum kau keluar maka aku tak bertanggung jawab lagi," tambah Gustavo menengok Aleena tajam.
"Kau hanya harus mengambil serum, laporan pembuatannya, dan berkas-berkas lainnya," tambah Donny di belakang.
Mendadak suara lengkingan tajam terdengar dari bawah disusul dengan suara tembakan peluru dan teriakan samar-samar yang tak terjelaskan. Gustavo dan yang lainnya berlari menuju ke tangga lagi untuk mendengar ke bawah apa yang terjadi.
Namun bagi Gustavo teriakan tersebut tak mudah ia lupakan dan bahkan tak berubah sama sekali, teriakan makhluk yang membunuh istri dan anaknya di depan matanya sekaligus, perubah hidupnya. Nafas Gustavo menjadi begitu berat dan matanya bergelinang dengan api membara.
Aleena sendiri menarik satu anak panahnya dan bersiap-siap, Skylar mengambil senjata miliknya begitu pun Donny.
"Gemirix!" jerit kecil di bawah dengan genderang senjata yang terus berbunyi.
"Listriknya harus menyala sebelum dia ke atas sini!" jerit Aleena.
"Untunglah itu bukan Dommed," ujar Cadance.
"Dua Gemirix itu sama saja dengan satu Dommed, bagaimana bila yang datang ada delapan buah!" pekik Aleena tak tenang.
"Kau di sini aku turun," sahut Gustavo dari ujung tangga.
"Gus!!" jerit Skylar.
"Aku akan ke bawah menyalakan listrik! Jangan pergi dari tempatmu berada dan lindungi lantai ini!!" pekik Gustavo memberanikan diri turun ke bawah sendirian.
Langkahnya terdengar sangat cepat di bawah sana menuruni lantai demi lantai lagi, ia baru saja sampai dan kini ia harus turun kembali tuk satu misi, membalaskan dendam. Tak sedetik pun ia berfikir untuk memaafkan perbuatan makhluk liar tersebut, benar-benar merubah Gustavo ketika bertemu Gemirix, kobaran api balas dendam itu berkecamuk dahsyatnya.
"Donny kau jaga di tangga," ujar Aleena ikut tegang.
Donny menarik nafas. "Okay," sahutnya dan yang lain mulai berlari ke arah pintu.
"Cadance, setelah pintu ini terbuka kau mencari berkas apa pun itu dan aku akan langsung mengambil serumnya," ujar Aleena memberi aba-aba.
Cadance sama halnya mengangguk mengerti.
Aleena mendekati tubuh Skylar yang masih terambang lamunannya, ia sadar bagaimana wajah Skylar tersebut berubah menjadi sebuah ketakutan dan kecemasan. Alis tebalnya hampir menyatu, tenggorokannya terus bergerak menelan saliva tegang.
"Sky, aku ingin kau menjaga pintu ketika aku sudah berada di dalam," Aleena meraup rahang Skylar dalam satu genggaman lengannya, begitu hangat dan menenangkan.
"Itu hal termudah yang pernah kau dapat," tambah Aleena lagi tersenyum pelan.
Skylar mengangguk ragu, Aleena tak ingin berurusan dengan hal itu dan melepaskan tautan tangannya di rahang tegas Skylar.
Cadance menoleh ke jendela kaca di lantai tersebut dan menatap lurus pada sebuah objek berjalan sangat besar. Matanya membelalak besar dan jantungnya berdebar, sekali lagi tangannya bergetar akibat adrenali yang terus muncul di setiap menit.
"Itu Gemirix," tuturnya pelan penuh ketakutan.
Dan dia menoleh pada tiga orang di belakang. "Empat Gemirix."
Semua mata membelalak takut ketika mendengar jenis dan angka yang barusan Cadance bilang. Nafas mereka menjadi berat, mereka membalas tatapan masing-masing dan memikirkan semua orang yang berada di lantai bawah
***
-Hi, longtime not see, maafkan ya karena dinda baru pertama masuk kuliah dan masih berusaha menyempatkan sedikit waktu tuk menulis bagian ini dan selanjutnya.
-Dan walaupun udah lama gak update semoga gak bosan dengan cerita ini hehe.
-Next part akan aku publish kalau vote dan komentarnya rame ya, udah ada di draft kok wkwk ;p
All the love - M.D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro