Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 44 - Kota Kedua

Suara besi yang bersentuhan dengan sesama jenis terus menderu di sepanjang lantai dasar, banyaknya orang-orang yang akan mempertaruhkan nyawa di luar disibukkan dengan peralatan masing-masing. Setiap langkah menumbuhkan perasaan cemas, memperlihatkan kesiapan yang belum terlalu matang secara menyeluruh.

Namun dedikasi yang diberi tak cuma-cuma, mereka melakukannya juga demi satu alasan. Alasan yang sama ditujukan oleh seorang wanita dari inti ini semua. Semua percaya padanya, semua orang yang mengikuti bertaruh hingga tetes darah terakhir sampai ajal menyentuh masing-masing.

Dari lantai atas ia memandang dingin dengan kerutan samar rombongan kelompoknya di lantai bawah, seperti menekan satu per satu balok piano yang melantunkan simfoni yang menegangkan. Mata hijau sebersih gelas kacanya tak pernah mengedip menatap orang-orang di bawah, kerumunan itu seperti sebuah ransel bagi Aleena. Setiap ia membawanya beban yang ia rasakan semakin berat, satu demi satu menjadi pemberat yang tetap harus ia bawa.

Aleena menarik satu tarikan nafas panjang dan matanya tertutup, beberapa detik kemudian ia menghembuskan kembali dari bibir merah tipisnya. Azzura perlahan datang dari balik gelap ruangan di belakang Aleena, ia menatap tajam pundak Aleena yang bergerak saat bernafas.

"Kau masih bisa merubah keputusanmu," gumam Aleena mengetahui Azzura di belakangnya berdiri bagaikan bayangan, tanpa suara dan tanpa gerakan.

"Sampai akhir hayat," gumam Azzura dingin.

Aleena yang mendengar hanya dapat meneguk satu saliva ketegangan, dengan teratur ia berbalik dan menatap cemas Azzura yang terlihat cukup siap dengan sebuah pisau yang ia selipkan di samping saku celananya. Benda itu pun dilirik Aleena sekilas dan berpaling menuju mata coklat sahabatnya itu.

"Aku harap kau tak pernah menggunakannya," ujar Aleena dingin.

"Aku harus bila terjadi sesuatu terhadapmu," balas Azzura nyaman.

"Tetap berada di belakangku, jangan pergi selangkah lebih jauh," ujar Aleena dan acap berlenggok pergi, Azzura pun mengekori ia pergi.

Setiap langkah dan dentuman kaki itu bagaikan genderang yang menggetarkan jantung, ini saatnya mereka keluar. Meninggalkan beberapa orang di sini sendirian dan menunggu keajaiban terjadi, musnahnya organisme Ghroan.

Aleena menuruni tangganya cepat dan tak dapat memalingkan perhatiannya dengan 57 orang yang akan membantunya. Ia mendapatkan dua pasang mata yang tak asing, mata abu-abu tajam dan selalu dingin membalas tatapan setiap orang. Aleena menyadari apa makna apa yang tersirat di pasang-pasang mata, sebuah intuisi yang Aleena pahami.

"Connor, kau mengambil alih Tarnom," ujar Gustavo pada pria di kanannya.

Connor hanya mengangguk patuh. "Apakah ini akan menjadi sangat lama?" tanyanya gelisah.

"Ini akan menjadi perjalanan yang cukup singkat dan berat," sahut Gustavo sambil memasukkan beberapa senjata di ranselnya.

"Pastikan mereka siap siaga 2x24 jam, serangan dapat datang kapan saja. Patikan Tent yang bertugas di menara mengawasi 360 derajat, bunuh setiap makhluk yang mendekat," perintah Gustavo pada orang yang ia beri kepercayaan kali ini.

"Aku tenggelam dalam lautan kesiapan," gumam Connor berapi-api.

"Bagus, gudang senjata harus sepenuhnya siap untuk di gunakan. Dan jangan lupakan satu hal ini, bila tempat ini terserang dalam skala besar dan kalian kewalahan, tembakan cahaya itu setinggi mungkin," balas Gustavo kembali dan mengangkat ranselnya sendiri.

"Aku harap aku tak akan melakukan itu," balas Connor cukup percaya diri.

"Jaga dirimu," tambah Connor pada Gustavo dan dibalas anggukan kecilnya.

Setiap orang yang ikut sudah mulai menuju pintu utama di pagi yang tak terlalu cerah untuk dikagumi, banyak para Bunker's, Upper, Ridcloss, Orvos dan orang-orang yang tak ikut hanya dapat meratapi kepergian para pejuang itu. Hanya sebuah doa dan harapan yang terpanjat di setiap hati masing-masing bila mereka akan baik-baik saja.

Di lantai empat seorang gadis hanya dapat menatap sedih kepergian seorang pria, entah mengapa ia tak pernah merasakan kesedihan saat kepergian pria itu. Sembari Ris hanya dapat berdiri dengan rangkulan Anastasia di sampingnya, ia tak luput menatap pucuk kepala Gustavo.

Merasakan tatapan itu tembus hingga hatinya Gustavo pun melirik ke atas pada gadis kecil yang menatapnya sedih, seteguk saliva memerihkan hatinya entah mengapa. Gustavo merasakan perasaan itu kembali, perasaan gelisah luar biasa pada seseorang yang akan ia tinggalkan. Selama puluhan tahun ia tak pernah menjabah perasaan itu, kali ini ketika menatap mata hazel seorang Ris ia begitu terpuruk.

Ris satu-satunya orang yang dapat memberikan perasaan damai pada pria penuh luka di memori itu, seorang gadis kecil yang mengingatkannya pada anak perempuan sebelum ia pergi meninggalkan Gustavo di puing kerusakan helikopter saat itu.

Sembari mereka sudah mulai berjalan di rerumputan, pintu gerbang pun terbuka untuk para orang-orang yang akan keluar. Terlihat seperti terusir dari tempat tinggal mereka sendiri, membawa perbekalan yang banyak dan senjata untuk bertahan hidup.

"Kau tak akan keberatan bila aku ikut bukan?" sambaran suara wanita yang tak asing mengejutkan Aleena yang berjalan dengan tenang.

Aleena mengerjit kaget. "Cadance!!" matanya membulat nanar. "Apa yang kau lakukan? Mengapa kau ikut?! Kau harus tinggal;" pekik Aleena tak ingin keberadaan Cadance menjadi salah satu kelompok tersebut.

"Kau ingin mengusir seorang wanita dewasa? Aleena, Gustavo memilihku. Aku ingin benar-benar memulai dan mengakhiri," ujar Cadance santai.

Aleena kembali terkejut. "Gustavo memerintahkanmu ha?" tanya Aleena tersenyum sinis.

"Kau butuh wanita ini," sahut Cadance berbangga diri.

Aleena tak dapat mengelak kembali, ini keputusan Gustavo dan ia tak bisa menyeret kembali wanita itu ke belakang dan menempatkannya di atas kasur bersama tungku perapian itu. Ia melirik apa yang sudah di persiapkan Cadance, sebuah senjata yang sama dengan yang lainnya telah terikat di samping celana coklat ketatnya.

"Kau hanya perlu kembali dengan utuh," desis Aleena dingin.

Rombongan itu terhenti oleh Gustavo. "Kita akan melewati jalan kembali sebelumnya, tak mengambil jalanmu Skylar terlalu berbahaya dan akan bertemu danau itu kembali," jelas Gustavo menghadap semua orang.

"Ada sebuah supermarket nanti, aku ingin semuanya beristirahat di sana," balas Aleena memberi saran.

"Tentu, jika tidak ada halangan," ujar Gustavo dingin.

Aleena kembali menatap Gustavo tajam, intuisinya menjelaskan perjanjian yang Aleena berikan sebelumnya. Bila Gustavo mengacaukannya, Aleena tak akan segan-segan membawakan Dommed untuk tidur di samping Gustavo dan melilitnya erat-erat.

"Aku ingin semuanya tahu, bila ada beberapa dari kita yang tersesat dan terpisah dari rombongan aku ingin kalian melakukan sesuatu. Aku ingin kalian bersiul, bersiullah dengan pelan dan membaur dengan angin. Ketika angin berhembus kencang aku ingin kalian bersiul, angin akan membawa suara itu sejauh mungkin berdasarkan kecepatan anginnya."

"Bila ada orang yang mendengarkannya balaslah dengan siulan yang lain, bila tak ada yang menjawab tunggulah angin berhembus ke arah yang lain dan lanjutkan bersiul. Arah angin menentukan ke mana siulan itu akan terbawa, siulan yang pelan tidak akan membuat Molk mendengarnya," jelas Aleena pada rombongan itu semua.

"Baiklah," sahut Gustavo. "Tinggalkan ketakutan kalian, kita akan mulai ke arah pantai," balas Gustavo pada semua orang.

Semuanya mulai berintegrasi demi kesiapan yang matang, beberapa dari mereka sudah mengambil senjata dan memegangnya erat. Aleena hanya terus mengikuti sembari ia terus menggiring Azzura tuk lebih dekat dan berada di posisi depan. Skylar cukup berada di belakang dengan Seth, Yura, Wolf, Julius, Donny, Dan, Cadance dan beberapa orang lainnya.[]

Jam bertemu jam dan mereka mulai menembus kota untuk menuju sisi kota lainnya, mengikuti rute yang di ambil Aleena sebelumnya mereka memutuskan untuk mencari supermarket sebagai patokan sampainya mereka.

Setelah menemui supermarket kemudian mereka akan mencari beberapa jalan untuk menuju jembatan Napoleon. Sebuah danau yang beresiko besar bagi keselamatan semua orang menuntun mereka untuk mencari jalan lain agar sampai di jembatan.

Memungkinkan perjalanan akan lebih memakan waktu yang lebih lama, karena mereka harus mencari jalan memutar untuk sampai ke jembatan Napoleon. Jembatan yang sudah rusak setelah bencana ratusan tahun silam.

Perang antar negara yang memecahkan kerukunan yang dijalin antar satu sama lain menimbulkan serangan dan timbal-balik dari masing-masing Negara. Kerusuhan yang mematikan ribuan orang setiap detiknya adalah salah satu cara memusnahkan umat manusia dari muka bumi, tanpa disadari masing-masing pihak.

Jembatan tak sepenuhnya hancur, tak semuanya rapuh. Sebagian dari bagiannya masih kokoh dan menyangga jembatan itu untuk tidak tergeletak di dasar sungai yang sangat dalam di bawahnya, sungai Little Wind. Besi-besi menggantung warna merahnya masih terus berdiri terpasang dengan baik, hanya jalanan yang beberapa memiliki lubang kasat mata.

Lubang sebesar mobil sedan yang menampakkan permukaan keruh air sungai Little Wind. Reruntuhan dari besi bangunan yang hancur beberapa karena ledakan dari serangan udara pun sebagian berserakan dan menimbun beberapa mobil yang saat itu berhadapan dengan kemacetan terparah.

Besi seberat puluhan ton bagaikan meteor yang jatuh ke bumi dan menyebabkan kerusuhan semakin tak terkendali, jatuhnya dunia sedang ada di depan mata. Terkadang hal itu terbesit di kepala Aleena, bagaimana bisa dia atau generasi sebelumnya selamat dari bencana yang melanda seperti itu.

Di setiap sisi memunculkan banyak cerita tentang tragedi-tragedi yang sedang berkelangsungan, tidak ada satu daerah pun yang tak mengalami bencana. Semuanya mencoba menimbangi tentang apa yang sedang terjadi dan bagaimana untuk lolos dari semua ini?

Tetapi bagaimana pun Aleena mencoba tuk menerka, serum yang menyerap memori ingatannya dahulu sudah merenggut kenangan itu. Tak hanya Aleena, setiap orang tak memiliki kenangan baik atau buruk dari masa lalu.

Wanita di Gloetik itu hanya menyerahkan secuil kebaikan yang tak ikhlasnya pada seorang pria beruntung saja, Gustavo. Ia membiarkan memorinya terus bergeliyang di kepalanya, perlahan melukai hatinya dari kenangan buruk tersebut.

Sempat terbesit di hati Gustavo, mengapa Matilda tidak mengangkat dan menghilangkan setitik memori kelamnya agar ia tak merasakan luka mendalam yang selalu terus terngiang di ambang tidurnya? Kenangan itu selalu membuat pria bengis dan dingin tersebut menjadi ketakutan, dia seperti orang gila setiap malam.

Memikirkan bagaimana istri dan anaknya meninggal di depan kedua bola matanya sendiri, bagaimana tragisnya, bagaimana detailnya, dan ia tak akan pernah bisa menghapus bagaimana mimik kesakitan kedua orang yang begitu ia cintai.

Bukan lain adalah ketakutan yang menjadikan Gustavo menjadi seorang pemberani, terkuat, tertegas, dan setiap kali ia merasakannya ketakutan ia dituntut untuk menjadi yang terkuat. Karena menjadi seorang suami dan ayah dan melepas begitu saja kepergian istri dan anak, itu adalah binatang. Dia mungkin tidak dapat menjabah bagaimana rasanya menjadi seseorang yang rendah hati, murah senyum, pemaaf, dan pria yang manis.

Perjalanan semuanya menjadi lebih berat ketika satu per satu, mereka mulai menjelajahi rintangan yang menghadang, seperti sebuah batu beson yang menghalangi jalanan seperti yang Aleena lalui sebelumnya. Semuanya harus mulai memanjat, namun dengan adanya bekal tali yang membantu semuanya menjadi lebih mudah untuk dilewati.

Setelahnya mereka menemui sebuah hutan yang terlihat berantakan, dan tempat itu juga sebelumnya dilalui Aleena. Banyak batang-batang besar yang harus mereka langkahi, yang mereka tak tahu Aleena berusaha menghindari kejatuhan batang-batang pohon itu sebelumnya ketika badai berkecamuk.

Untuk seorang Aleena tatapannya hanya sekedar datar pada sekitarannya, tempat yang tidak asing ini hampir saja menjadi tempat persemayaman terakhirnya. Suara gesekan daun kering yang mereka pijak terus berbunyi, memberikan hutan itu semakin bergema dengan aktivitas 118 kaki yang berjalan.

Hingga semuanya mulai menemui sebuah jurang terjal, di penghujungnya ada sebuah sungai, suara gemuruh air sungai yang mengalir begitu sangat menggugah telinga yang tak pernah mendengar aliran sungai sebelumnya.

Pancaran sinar mentari yang menembus pohonnya semakin membuat refleksi air sungainya begitu jernih, begitu indah. Perlahan guguran daun berjatuhan dan semakin membuat pemandangan begitu elok di lihat, namun tetap saja tempat itu menjadi mimpi buruk bila cuaca sangat mengerikan.

Secara bersamaan mereka mulai turun di jurang terjalnya, daun kering yang menutupi daun yang basah membuat licin ketika sepatu boot menahan bobot tubuh. Membuat beberapa orang terkejut-kejut ketika mereka terpeleset dan menghantamkan bokong mereka ke tanah. Semuanya mulai berjatuhan karena licin, termasuk Aleena yang tak dapat mengeremkan posisi tubuhnya yang miring.

"Berhati-hatilah," gumam Aleena pada Azzura yang mencoba menyeimbangkan tubuhnya.

"Wuuww," gumam Azzura saat dirinya hampir terpeleset.

Skylar yang ikut berusaha untuk tak jatuh ke dalam jurang dalam itu melirik Aleena yang tengah menggenggam tangan Azzura dan membantunya perlahan-lahan. Skylar sendiri menggunakan tombak yang ia pegang untuk menahan tubuhnya dan tak terperosot laju.

Sembari satu per satu orang sudah berada di dasar jurang dan berpapasan dengan sungai, mereka menunggu yang lain untuk sampai. Menengok ke belakang dan mencoba menghitung beberapa dari mereka, semuanya masih lengkap dan sehat.

"Apakah sungainya dalam?" selidik Wolf angkat bicara.

"Mungkin dangkal, tapi coba mungkin kita bisa mengeceknya dahulu," sahut Aleena ragu-ragu.

Dari kejadian sebelumnya di mana ia terseret puluhan meter di hulu sungai, ia tak dapat menerka berapa ketinggian sungai tersebut. Satu hal yang pasti kakinya tak dapat menginjak dasar sungai karena ia terus bergerak dan berkubik-kubik air terus bertambah, dangkal atau tinggi tidak terbesit di kepala Aleena sedetik pun sebelumnya.

"Seth," panggil Gustavo pada satu-sataunya pria yang memiliki postur tubuh lebih tinggi dari semuanya.

Seth tak bergeming, rasanya ingin kabur begitu saja ketika pria itu memanggil namanya dan menjadikannya bahan percobaan. Bila memang dangkal mungkin Seth akan mau, namun sungai ini memiliki lebar enam meter lebih dan cukup meragukan.

Airnya tak terlalu jernih, karena aliran sungainya tak begitu tenang dan di banjiri air bercampur lumpur dan kotoran bekas hujan dari daerah yang lebih tinggi, membuat pasir-pasir dan lumpur di bawah ikut terangkat.

"Okay," ujar Seth menggidikkan bahunya pasrah.

Ia memasukkan kakinya di sungai dan airnya sangat dingin walau pun panas matahari memaparkannya. "Oh sial, ini dingin," gumamnya.

Perlahan-lahan kaki jenjang itu mengambil satu langkah panjang di bawah air, merasakan bebatuan keras yang ia rasakan, semoga saja yang ia injak bukan sebuah Ghroan yang sedang tidur atau biawak beracun yang berkeliaran di hutan dan sejenisnya. Hanya hal itu yang Seth cemaskan beberapa menit silam setelah ia melewati setengah lebar sungainya.

Dari air yang hanya sampai pada pahanya sekarang menjadi sepinggang Seth, sembari mulai ke tengah ia semakin tenggelam dan menemukan dasar yang lebih dalam. Membuatnya langsung tenggelam sampai leher dan menyentuh dagu.

Semua yang melihat akrobatik dalam air itu hanya tegang dan was-was, bila langkah selanjutnya semakin dalam maka mereka akan kesulitan melawan arus dan berenang. Belum lagi dagu Seth sama saja dengan kening setiap orang, dan pastinya ketika mereka berada di posisi itu otomatis mereka akan berjalan di bawah air.

Semakin lama semakin cepat langkah Seth dan dasar sungainya semakin dangkal ketika ia mencapai dua meter sebelum ujung sungai lainnya. Kakinya mulai menghempas-hempaskan air dari celananya yang terasa lebih berat dan kini ia mulai menoleh pada semua orang, kedua tangannya terangkat sebagai hasil pencapaiannya.

"Seth bahkan hampir tenggelam," ujar Skylar di belakang.

"Gus!! lemparkan saja tali dan kalian lewati sungai ini dengan tali itu," pekik Seth dari ujung sungai.

"Keluarkan talinya," suruhnya pada Zedd yang membawa tali mujur yang terus membantu mereka.

Zedd mulai menggeledah ransel hitamnya dan mengeluarkan tali perak yang tergulung, mengambil alih sendiri dan mulai mengulurkan beberapa talinya.

"Seth! Tangkap," ujar pria itu memberi sebuah aba-aba kesiapan untuk menangkap tali tersebut.

"Datang padaku baby," balas Seth bersiap-siap dengan semangat.

"Tangkap!" dengan sekuat tenaga ia memutar-mutar tali tersebut layaknya koboi, dan melemparkannya pada Seth yang menunggu dengan kedua tangan yang terbuka.

Tali itu melambung jauh hingga berhenti di tengah arus sungainya, membawa tali itu hanyut dan membuat gelabakan pria dan beberapa orang lainnya.

"Woww! Woowoo! Tangkap! Tangkap cepat!" pekik semua orang panik, takutnya tali buatan para Upper itu hilang dan menyusahkan perjalanan mereka lagi.

Zedd mulai mengambil gulungan tali yang ada di tanah dan mulai menariknya, sebagian dari yang lain hanya dapat menggantungkan tangan di pinggang masing-masing akan kegagalan tersebut. Bila mereka tak dapat memberikan tali itu pada Seth, mau bagaimana lagi? Berenang dan menghanyutkan beberapa orang?

"Angin di sini deras, aku tak dapat mencapai Seth. Terlalu jauh dari kemampuanku melontarkan," ujar asisten Gustavo memberikan alasannya.

"Jadi bagaimana? Mencari jalan memutar lagi?" sahut pria lain di belakang.

"Tidak bisa, satu hari lagi kita habiskan lebih lama," balas pria lainnya.

"Jadi kita harus melewati sungai dalam ini? Bagaikan seekor zebra yang dengan mudah melewatinya?" sahut pria lain yang mulai memanaskan berdebatan ini.

"Kau ingin bergabung dengan mayat tenggelam? Silahkan," tukas pria lainnya memberi api yang semakin memeriahkan debat tersebut.

Azzura yang tak terbiasa dengan pekikan dan adu pendapat itu hanya dapat menyimak dan membenahi detakan jantungnya yang terasa berdebar, apakah ia akan melihat pertarungan tinju sebentar lagi? Entahlah, dia hanya merasa gemetar tak pernah merasakan aura ketegasan pria-pria seperti ini.

"Cukup!!" jerit Gustavo melerai dan menjahit telak bibir mereka semua. Tak ada suara apa pun, bahkan gerakan sekecil apa pun karena gentar.

"Mungkin kita bisa mencari bagian sungai yang lain yang kemungkinan lebih dangkal," saran Gustavo.

"Ayo," balas Gustavo.

Aleena terhenti ketika tubuh Seth yang ikut bergerak di seberang sana memperlihatkan sebuah pohon besar di belakang tubuhnya. Tak terlihat dari kilasan mata Aleena sebelumnya ada sebuah pohon yang menumbuhkan beberapa buah-buahan yang bagaikan biji kenari versi besar. Namun juga menumbuhkan beberapa ide di otak kanan Aleena.

"Tunggu!" pekik Aleena.

Ia mengambil anak panahnya perlahan, mendatangi Zedd yang memegang untaian tali tersebut di tangannya. Semua mata melirik wanita itu, dan mulai menanyakan apa yang akan ia lakukan. Aleena mulai mengambil ujung tali tersebut, melilitkannya di anak panah hitam yang cukup berat dan panjang itu.

"Apa yang kau lakukan?" gubris asisten Gustavo pada tindakannya yang belum dapat ia terka.

"Jika memang lemparanmu tak dapat mengalahkan arus angin, tebaklah apa yang lebih laju dari pada kecepatan angin?" gumam Aleena sambil sibuk melilitkan talinya lebih erat di anak panah.

Tak ada jawaban dan Aleena menjawab sendiri. "Busur," balasnya menatap santai semua orang.

Aleena mulai berdiri kembali ke posisi semula, berada di seberang dan sejajar dengan letak pohon besar tersebut. Semua orang sudah mengamati Aleena yang mulai menarik anak panahnya di busur, ia terlihat menggenggam sangat kuat terlihat dari giginya yang rapat menahan agar panahnya tak melontar terlebih dahulu dan menghanyutkan semua tali ke sungai.

Aleena semakin menarik kuat anak panah dan membuat bunyi talinya melengking kecil, sambil membidik sasarannya dan menghela nafas. Mendadak anak panah itu terbang laju tanpa semua orang perhitungkan, melesat kuat dan membawa tali itu hingga menancap dalam tubuh pohonnya.

"Seth! Ikat kuat ke tubuh pohonnya! dan kita lakukan hal yang sama ke pohon itu." Aleena menunjuk pohon besar di belakang mereka.

"Dan kita akan menyeberangi dengan jembatan seuntai tali itu," tambah Aleena dan mendapat anggukan takjub pada ide briliannya.

Setelah mengikat tali ke setiap sisi pohon semua sudah mulai menyeberangi sungai, menahan setiap tubuh untuk bergelantungan bagaikan orangutan di atas tali. Dingin yang menyengat kulit terus mengiris ke pori-pori, lengan yang berotot kini mulai digunakan untuk menyeberangi sungai tersebut.

Seth yang sudah sampai mulai mengulur tangannya kepada masing-masing individu yang sampai, termasuk Azzura yang begitu terlihat ketakutan dari mimik wajahnya.

"Kau tak apa?" tanya Aleena kembali.

"Kau selalu menanyakan hal itu setelah melalui beberapa hal Lena," Azzura terkekeh, "tapi aku baik-baik saja," tambahnya.

Namun Aleena tahu ia tidak baik-baik saja, karena bibirnya mulai menggigil kedingingan dan tubuhnya bergetar. Untung saja perjalanan mereka bertemu dengan senja dan mengharuskan mereka mengunjungi beberapa rumah untuk menghangatkan diri dan beristirahat.

Keesokannya mereka mulai berjalan lagi dan kali ini cuaca mulai tak bersahabat, awan kelabunya mulai membentuk gumpalan tebal. Namun belum menandakan air yang turun dan angin yang berhembus, mereka mulai lebih cepat mengingat Dommed bisa sembuh kapan saja dan mulai mengutus Ghroan berbagai jenisnya mencari jejak-jejak manusia.

Perjalanan mereka sangat menguras banyak tenaga, terlebih mereka hanya berjalan kaki. Seperti berada di zaman purba yang melakukan aktivitas tanpa bantuan kendaraan, hanya berjalan kaki yang membuat panas telapak.

Setelah melewati ribuan rumah-rumah kosong dan berhamburan kini mereka disuguhkan dengan pemandangan indah dan luar biasa besarnya, jembatan Napoleon. Merahnya mencolok dan masih utuh seperti sedia kala, besarnya tak terhingga. Panjangnya luar biasa yang menghubungkan kota mereka dengan kota lainnya.

"Inikah Napoleon?" gubris Wolf bergumam kagum.

Tak hanya Wolf, semua orang yang belum melihat jembatan itu dari dekat hanya dapat menatap nanar dan manik-manik mata yang kagum.

Gustavo mulai berjalan sendiri menuju jalanan di jembatan Napoleon, ia melihat lebih jauh ke dalam dan begitu banyaknya mobil tersusun. Dari kilasan matanya ia dapat melihat sebuah besi yang menjatuhi barisan mobil, meremukkannya dan menutupi jalan.

Dua puluh meter setelahnya ada sebuah lubang yang begitu besar memenuhi jalanan itu, memutus hubungan jalanan dan memutus jalan untuk Gustavo. Gustavo mengerti ia tak dapat melewati itu, dan mulai mendatangi semua orang yang menunggu di bawah.

"Kita tak bisa melewati jembatan, itu sangat sangat hancur," tuturnya dingin.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Cadance, ia mulai melihat ke segala arah mencari kemungkinan adanya jalan lain, namun satu-satunya jalan penghubung kota mereka dan kota seberangnya hanya jembatan itu.

"Oh man, kita tak bisa menyeberangi sungai ini seperti sebelumnya," gumam pria lain begitu pasrah pada jauhnya sungai yang kini mereka temukan.

Salah seorang pria mencoba mendekati pinggir sungai yang tenang, airnya begitu keruh seperti tertumpah jutaan ton coklat. Mereka tak dapat melihat apa-apa di bawah airnya, meresahkan semuanya akan apa yang ada tinggal di bawah sungai ini. Seketika satu orang ingin menyentuh air dengan tangan, bermaksud untuk membasuh tangan yang kering dan kotor namun Cadance berteriak.

"Jangan sentuh airnya!" pekik Cadance.

Pria itu menarik kembali tangannya, "Apa? Ada apa?" tanyanya heran.

"Sungai itu sangat beracun, limbah industri kimia yang bocor membuat sungai ini menjadi keruh dan sangat merusak. Satu tetes mengenai kulitmu, itu mungkin akan membakar kulitmu," jelas Cadance.

Semua orang begitu shock mendengarnya, hampir saja mereka merendamkan kaki-kaki panas itu untuk didinginkan. Maka semua orang mulai menatap Cadance dan Gustavo bergantian, menunggu keputusan lain di jalan buntu lainnya.

"Ini sudah jelas bagi kami yang mempelajari dunia luar sejak lama," jelas Cadance menceritakan bagaimana ia bisa tahu, bukan hanya sekedar membual.

"Tapi aku ingat ..." gumamnya sambil mengingat. "Ada sebuah, sebuah dermaga kecil di sekitar sini atau sebuah tempat wisata! Yah! Mereka mengajak semua orang untuk melihat-lihat kota dengan kapal!" ujar Cadance bersemangat.

"Kapal?" tanya Skylar menatap Cadance sipit.

"Mungkin di sekitar sini, jika ada sebuah kapal saja masih bisa digunakan kita selamat. Tapi aku yakin ada yang masih hidup," ujar Cadance mulai bergebu-gebu.

"Tapi .. tidak ada dermaga di sini," ujar pria yang sedari tadi sudah mengamati sekitar sungai.

"Tentu saja pasti ada di sekitar sungai, kita harus berpencar," ujar Cadance.

"Ya semuanya mulai menyebar! Cari sebuah kapal!" pekik Gustavo pada semua orang.

Mereka mulai menyebar dan mencari lebih dalam ke kota yang mungkin saja menutupi sebuah kapal di balik gedung-gedung, pohon-pohon, dan reruntuhan. Namun tak kunjung mereka temukan sebuah kapal, hingga seorang pria yang memeriksa di bagian kanan jembatan Napoleon berteriak.

"Guys! aku menemukannya!" pekiknya gembira mampu didengar semua orang.

"Tarik kapal itu, bersamaan," ujar Gustavo dan menaruh semua peralatannya di tanah. Diekori semua orang.

Aleena, Cadance, dan Azzura hanya dapat melihat mereka menarik dengan kerja sama yang baik untuk kapal itu hingga menyentuh air kembali, di lain sisi Aleena terus mengamati jembatan panjang dan mengamati lebih jauh lagi jembatannya. Terdengar begitu sunyi, namun beberapa menit kemudian ia seperti mendengar suara lainnya.

Entah apakah hanya suara burung yang bertengger dan membuat gaduh di mobil, atau apa pun yang bersembunyi dibalik kabut yang menyelimuti jembatan itu. Aleena semakin terbawa hanyut dengan pandangannya, matanya bak elang yang sangat tajam menelusuri sampai titik lubang sekecil pun.

Ia menelan salivanya, bila ada Ghroan yang bersembunyi di atas jembatan sana mungkin Aleena harus mencemaskan semua orang terutama Azzura yang belum terlalu mahir dengan senjata jenis apa pun. Belum lagi sungai sangat keruh itu bisa saja menyembunyikan jenis Ghroan lain, walau pun setenang apa pun itu.

"Lena," panggilan lembut Azzura mampu membuat tubuh Aleena terlompat kaget.

Azzura menunggu Aleena tenang. "Mereka sudah siap dengan kapalnya," tutur Azzura memberitahu.

"Oh baiklah," balas Aleena, memincingkan matanya pada wajah Azzura.

"Apa?" tanya Azzura tak nyaman, sembari semua orang di belakang mulai dinaikkan di kapal.

"Apa kau yakin bisa melakukan ini?" pasti Aleena kembali.

Azzura terkekeh. "Aleena, sampai sejauh ini kau meragukanku? Aku melewati rintangan yang sama dengan semua orang dan mengapa kau masih memandangku seperti dahulu? Aku lebih berani sekarang dengan sebuah pisau ini," jelas Azzura sambil menepuk-nepuk saku celananya yang terbenam pisau di dalamnya.

"Ingat! Lakukan apa yang aku bilang, apa pun yang terjadi dan bagaimana pun posisiku dan kondisiku saat itu, kau harus melakukan apa yang aku ucapkan baik sengaja mau pun tak sengaja. Jika kau tidak menuruti apa yang aku perintahkan aku akan begitu sangat sangat sangat .... Menyesal ... b-bila kau sudah datang di hidupku," tutur Aleena tegas memilih sedikit kata-kata kejamnya.

Azzura mendengus. "Betapa kejamnya kau," sahut Azzura dengan senyuman pahitnya.

"Aku bisa begitu sangat kejam jika ini berhubungan dengan keadaan sahabatku sendiri," balas Aleena tulus.

Azzura tertawa lebar, membuat wajahnya begitu manis dan menularkannya pada Aleena yang ikut tersenyum lebar.

"Ayo," gumam Aleena mengajak Azzura. "Aku tetap berharap kau tak akan menggunakan senjata itu kapan pun."[]

Beberapa orang yang sedari tadi sudah mengutak-atik mesin kapal itu terus berusaha maksimal menghidupkan kapal dan membawa semuanya sampai pada kota labuhan terakhir. Sebuah pantai yang menunggu di ujung kota sana, dan sebuah makhluk yang menunggu kedatangan energi itu.

"Apakah bahan bakarnya masih ada? Aku tidak mau terdampar di tengah-tengah zat beracun ini," gumam Cadance resah.

Julius yang merupakan salah satu teknisi yang menangani mesin tersebut menuju sebuah tempat bahan bakar, ia memutar sebuah penutupnya dan mengedipkan satu matanya tuk melihat ke dalam tong bahan bakarnya.

"Cukup untuk berwisata dua kali," balasnya santai.

Aleena yang masih mengasingkan diri di sisi kapal lainnya terus mendangak dan memperhatikan jembatan yang ditutupi kabut tersebut, sepertinya ia mendengar lebih jelas dari siapa pun, atau dia memiliki indra yang buruk dari semuanya.

"A," panggil Skylar dan kembali mengejutkan Aleena.

"Mengapa kau selalu terkejut berlebihan ketika orang memanggilmu?" gurau Skylar dengan senyuman lebar khasnya.

"Oh Sky ... aku hanya- hanya tak terbiasa," dusta Aleena dengan senyuman miringnya.

"Oh benarkah? Jadi orang harus berteriak untuk tak mengejutkanmu?" gurau Skylar mencairkan suasana tegang.

Aleena tertawa dan memperlihatkan deretan giginya. "Kau selalu mengejutkanku Sky," balas Aleena memutar bola matanya.

"Jangan takut," balas Skylar sambil membelai pipi kanan Aleena.

Wajah Aleena semakin berubah menjadi masam pada Skylar. "Ingatlah perjanjian kita," gumam Aleena dingin.

Skylar mencerna perkataanya, dan kini ia tak main-main untuk serius pada perjanjian yang dibuatnya pada Aleena, janji yang harus pria taati.

"Aku harap itu akan pernah terjadi," balas Skylar menatap iris mata hijau tersebut.

Skylar dengan teratur memeluk tubuh Aleena dan membenamkan wajahnya di samping leher Aleena, ia memeluknya begitu erat dan tak akan pernah berubah seperti rasa dahulu. Rasa sayang yang luar biasa, diikuti rasa takut kehilangan yang besar. Hingga ia melepaskan pelukannya dan sempat mendaratkan sebuah kecupan di pipi kanan Aleena.

Mendadak mereka mendegarkan sebuah mesin yang berbunyi, kapal mereka mulai beroperasi dan akan mulai bergerak. Julius yang terlihat memiliki bercak-bercak hitam di tangannya mulai keluar dari ruangan mesin dengan semua awak yang lain. Mereka sudah siap dengan perjalanan menuju sisi kota lain.

Dalam perjalanan mereka hanya terdiam tanpa suara yang terdengar, pandangan mereka hanya menuju sekeliling. Menatap gedung-gedung pencakar langit di kota seberang, mengamati kehancuran kota Ronely, menatap gelombang di permukaan sungai, dan menengadah pada pahatan jembatan yang sangat besar di atas mereka.

Jembatan itu cukup dekat dengan posisi mereka, hingga semuanya dapat melihat beberapa mobil yang berhenti dan besi-besi yang berjatuhan. Aleena mulai merasakan detakan jantungnya meningkat, dan rasa cemasnya mulai datang.

Ini sepertinya salah, suara kapal yang cukup keras mungkin mengundang beberapa makhluk untuk datang memeriksa. Bila mereka datang di tengah-tengah perjalanan dan merusak kapal, semuanya akan berantakan. Aleena mulai berdiri dari tempatnya ia duduk di samping Azzura, matanya mulai memincing pada sekitarnya.

Sesuatu membuatnya resah dan belum diketahui banyak orang, ia mulai berdiri di pinggir kapal dan menatap air sungai. Namun seberapa fokusnya ia melihat apa yang ada di dalam air sungai itu, ia tak dapat mengetahui apa yang ada di bawah sana, mengikutinya atau tidak.

Belum lagi gelombang yang tercipta karena laju kapal itu terus merusak pandangan Aleena, membuatnya semakin cemas dan mulai panik.

Hingga ia mendadak melihat bayangan hitam di bawah yang sepertinya akan timbul dan menerkam Aleena, dan ia mengambil anah panahnya cepat-cepat.

Aleena yang mengambil anak panahnya itu membuat semua orang menjadi tegang, dan beberapa mulai berdiri. Sebagian dari mereka pun mulai merasakan hal aneh yang sepertinya telah mengawasi, semuanya mulai berdiri membatin resah dengan keringat dingin yang mulai keluar.

Aleena tercekik air ludahnya sendiri, ia sepertinya melihat bayangan hitam yang hampir timbul dan seperti bergerak. Perlahan ia mengambil busurnya di tangan kiri di mana anak panahnya sudah berada di genggaman tangan kanan.

"Hentikan kapalnya!" pekik Aleena pada sebuah ruangan kecil di mana seorang pria mengemudikannya.

"Hentikan! Kapalanya!" ulangnya lebih tegas.

Gustavo yang berada di kokpit itu melihat Aleena yang sedang mengamati sungai dan ikut meresahkan, ia memberi perintah tuk mematikan kapalnya. Skylar yang juga berada di dalam kokpit ikut keluar dan mendatangi Aleena cepat.

"Apa yang kau lihat?" tanya Gustavo mulai was-was.

Semua orang sudah mulai menegangkan senjata masing-masing, berdiri tegang di pinggir kapal dan sekitarnya sembari menunggu balasan Aleena yang masih mengamati dasar sungai.

Belum Aleena balas tiba-tiba suara dari tabrakan di bawah air membuat goyah kapal dan membuat semua orang hilang keseimbangan.

"Ghroan," gumam Aleena langsung.

Seketika mereka mendengar kalimat itu setiap orang langsung mengokang senjata, suaranya sambung-menyambung dan beberapa pria mulai mencari posisi berjaga masing-masing tanpa perintah lagi. Bagi Cadance dia mulai menarik sebuah katana tajam yang sepertinya sudah berpindah kesetiannya, desingan katananya bunyi serontak dengan kokangan senjata semua orang.

"Dasar bajingan kecil," gumam Gustavo melirik keji sekitarnya.

Ia mulai masuk ke kokpit dan mulai mengambil senjatanya, selagi mereka menunggu kemunculan Ghroan yang ada di bawah air. Beberapa mulai mengarahkan senjata ke air, mencoba mencari bayangan hitam yang muncul di bawah air yang sangat keruh.

Keadaan menjadi begitu sunyi kala mereka menunggu, hanya tegukan saliva setiap jiwa yang menunggu waktu yang tepat untuk pembunuhan masal kali ini. Aleena sendiri tengah menaruh anak panahnya di tali busur, mendengarkan sejenak apa yang ia rasakan.

Namun bukan air sungai yang kini membuatnya cemas, ia mendengarkan lebih jelas di atas yang tepatnya sebuah jembatan berada di sisi atas mereka.

Mendadak sebuah Ghroan meloncat dari pinggir jembatan menuju kapal, namun kecepatan tangan Aleena yang melepaskan anak panah membuat Ghroan itu mati tertancap anak panah sebelum sampai di sisi kapal.

Ghroan itu jatuh di atas sungai dan tenggelam, hingga beberapa Ghroan mulai berdatangan dari sisi jembatan dan mulai terbang bagaikan sebuah bola yang dilempar.

"DI ATAS!!" jerit seorang pria.

Aleena mulai mengambil anak panah dan mulai melepaskannya pada setiap Ghroan yang meloncat. Setiap bidikannya tepat sasaran pada empat Ghroan yang satu per satu loncat, bagi semua orang yang mulai melihat kedatangan dari sisi jembatan mulai melepaskan tembakan dan itu malah menambah banyak Ghroan terundang akibat suara bisingnya.

Aleena menarik anak panah lagi hingga sebuah Ghroan jenis Glox datang dari dalam air dan melompat menuju arah Azzura, ia refleks mendorong Azzura dan membuatnya terguling berkali-kali agar Glox itu tak merenggut nyawa kawannya.

"ZURA! MASUK DALAM KOKPIT! SEKARANG!!" jerit Aleena besar, dan dituruti Azzura mengingat perjanjiannya.

Glox yang sudah berada di atas kapal mulai dibunuh Aleena dengan anak panah yang ia lepaskan pada makhluk itu, menembusnya dalam dan membunuhnya. Semakin lama para Ghroan dari jenis Grayden, Gaver, dan Glox mulai bermunculan dari jembatan mau pun di bawah air.

Semua orang mulai memperlihatkan kemampuan masing-masing dalam membunuh Ghroan, baik dari Cadance yang sekali-kali mengiris Glox yang lompat dari air, dan kembali menyeburkan makhluk itu sebelum ia menyentuh kapal.

Semua pria yang dibagi menjadi dua tugas, tugas untuk membunuh di bagian jembatan dan di dalam air mulai membunuh banyak Ghroan yang datang. Gustavo memilih yang cukup pada jangkauannya, yang berada di dalam air. Ia terus menembakkan amunisi ke setiap Glox yang melompat bagaikan sebuah ikan lele.

Sedangkan pengguna busur yaitu Aleena terus melepaskan busur biasa pada Ghroan yang datang dari sisi jembatan, terkadang Ghroan yang lolos itu hampir mengiris tubuh Aleena saat sampai di dalam kapal setelah melompat, namun tombak yang datang dari Yura dan Wolf menyelamatkan wanita itu.

Dan dan Donny pun ikut melucuti semua makhluk walau pun mereka bukan seorang Tent seutuhnya, namun keahlian mereka diacungi jempol untuk tak membiarkan satu jenis Ghroan pun lolos. Saat hanya Azzura dan pengemudi kapal yang bersembunyi di balik kokpit terkunci itu dan menatap kengerian serangan di luar, sebuah teriakan terdengar dari luar.

"Kemudikan kapalnya!!" jerit Gustavo masih sibuk dengan bisnisnya.

Pria pengemudi kapal itu mulai menghidupkan mesin, mendorong maju sebuah gagang kendali dan mulai mencari arah berlabuh. Hingga tiba-tiba kaca yang berada di samping mereka terpecahkan dengan sebuah Grayden kecil yang masuk. Pecahan beling itu membuat Azzura bertekuk lutut dan bersembunyi di belakang.

"Aaaah!!" teriak Azzura melihat Grayden yang berada di satu ruangan dengannya. Ia mulai merangkak ke bawah sebuah meja dan dengan sebuah kayu meja di hadapannya.

Pria yang mengemudikan tersebut mengerjit kaget dengan kedatangan Grayden tiba-tiba, ia mencoba mencari pistol yang ada di dekat kemudi. Namun gerakannya lamban sampai Grayden itu melompat dan mengoyak seluruh tubuh pria itu.

"RAAAAAGGGH! TOLONG!!"

Pria itu jatuh dengan lengkingan teriakan besarnya, dan gambaran yang jelas bagi Azzura membuat wanita itu semakin panik dan mundur. Dinding yang menghalanginya tak dapat membuatnya ke mana-mana lagi, jantungnya sudah berdebar cepat melihat penyiksaan makhluk tersebut di depan matanya.

Genangan air matanya pun terukir saat ia tahu pria di hadapannya tak dapat lagi selamat, namun yang tak kalah membuatnya panik saat Grayden mulai mendekati Azzura. Azzura gelabakan mencari letak pisau di sakunya, tangannya begitu bergetar dan lemah tak mampu merogoh pisau itu.

Hingga Grayden itu mulai menngelundung ke arah Azzura. "Arrhhhhhhhh!!!" jeritnya ketakutan.

Matanya yang mengawasi gerakan Grayden terbelalak ketika sebuah tombak terbang dan menusuk tubuhnya, lendir hitam di tubuhnya keluar dan mengalir ke kaki Azzura, bibirnya bergetar dan ia tak dapat menarik nafas.

"Tetap di dalam!" perintah Yura yang menyelamatkan wanita itu.

Yura kembali menutup pintu dan menjaga di depannya, ia kini mengambil senjatanya dan mencari Ghroan yang berkeliaran begitu banyak. Jumlah makhluk itu semakin banyak berdatangan, semuanya merasa kewalahan dan amunisi belum terisi lagi.

"Mengapa kapalnya tidak jalan?!" jerit Gustavo.

"Dia mati!" teriak Yura dan membuat Gustavo kaget.

"Yura! Bawa kita ke daratan! Ambil alih kemudinya!" jerit Gustavo yang mulai panik.

Yura dengan cepat membuka pintu dan menuju tempat kemudinya, tubuhnya mencari beberapa tombol yang memungkinkan akan menggerakkan kapal dan menjauh dari tempat kejadian perkara mengerikan ini.

"Arggh! Apa yang harus aku lakukan," pekiknya sendiri menggeram emosi. "Azzura bantu aku," sosor Yura pada wanita di belakangnya.

"Kau hanya mandorong benda itu ke depan dan mengemudikan, itu yang pria ini lakukan," balas Azzura bergetar, tak tahan melihat mayat dan Grayden di depannya.

Yura mengikuti apa yang diarahkan Azzura, dan perlahan ia mendorongnya dan kapal pun bergerak cepat. Aleena yang sedang membidik seekor Ghroan yang ingin melompat dari jembatan pun di kagetkan dengan pergerakkan kapal yang begitu mendadak.

Tubuhnya goyah dan hampir tercebur dari pinggir kapal, hingga ia menahan tubuhnya dan memegangi sisi kapalnya. Namun Ghroan yang lepas dari bidikannya sampai di kapal dan durinya tanpa sengaja mengiris punggung telapak tangan kanan Aleena.

"Aagh," ringisnya kecil.

Darah yang mengalir dari tiga goresan itu keluar, namun sesegera di hapus Aleena tuk menghilangkan bekasnya. Sembari kapal mulai berjalan dengan cepat, kerumanan Ghroan yang tertinggal di belakang masih mengejar, melompat dari air berulang kali.

Semuanya mulai mengarahkan senjata dan membidik ke arah belakang, sembari Aleena masih terdiam dan mengamati Ghroan yang berjatuhan dari jembatan mencoba menaiki kapal.

Semakin lama mereka melewati sungai, semakin habis Ghroan yang ada di bagian sana. Hanya beberapa orang yang masih cukup was-was mengamati sebagian tempat.[]

Saat tujuan yang dicapai akhirnya terjamah berkat Yura, satu per satu semuanya mulai turun dari kapal, menginjakkan untuk pertama kali pada kota kedua yang menjadi tempat terakhir. Kota Sekai, di mana semua hal pentingnya berada di kota ini. Aleena yang masih menyembunyikan luka itu terus was-was dengan luka yang di deritanya, virus Mepis yang ada di tubuh Ghroan sudah pasti dapat menginfeksi Aleena beberapa jam lagi.

Merubahnya menjadi seorang Molk atau Fast Molk, namun tak ada yang berbeda dari kondisi secara menyeluruh. Tubuhnya tidak panas, dingin atau menggigil, tak mual, dan gejala-gejala adanya virus Mepis.

Mungkin energi di tubuhnya mengebalkan fisiknya dari virus Mepis sebanyak apa pun.

"Ayo," seorang pria di bawah mengulurkan tangan kanannya bermaksud membantu Aleena turun.

"Tidak, aku bisa sendiri," balas Aleena dingin.

Sengaja ia tak mengulurukan tangan kanannya dan meraih tangan pria yang membantunya, bila semuanya melihat lukanya entah apa yang semuanya akan lakukan selain membunuh Aleena sebelum menjadi Molk.

"Jadi ke mana kita selanjutnya?" tutur Cadance.

"Langsung ke arah pantai," sahut Gustavo.

"Tidak!" pekik Aleena menyela.

"Ada satu tempat yang ingin aku kunjungi sebelum kita menuju pantai," gumam Aleena.

"Apa yang ingin kau lakukan?" gubris Cadance.

"Pertama, kita tak tahu di mana letak The Dropprunus karena lautan begitu luas. Kau tak mungkin mendapatkan letak sarang di bawah laut itu dengan sekilas saja. Kedua, aku benar-benar ingin mengunjungi gedung WHO, ada sesuatu yang ingin aku ketahui," ujar Aleena menjelaskan.

"WHO?" gubris Cadance. "Terbesit di kepalaku juga sebelumnya untuk mengunjungi gedung misterius itu," tambahnya.

"Jadi aku ingin ke gedung WHO, selanjutnya kita harus mencari titik lokasi di mana sarang itu berada. Dan satu-satunya orang yang pernah melihat sarang itu hanya Locmez, dia orang yang mengambil foto sarangnya dan ia mencatat titik koordinatnya," tutur Aleena lagi.

"Bagaimana kita mencari alamat Locmez?" gubris Dan.

"Apakah di secarcik surat itu tidak ada alamat atau ... info tentangnya Cadance?" tanya Aleena.

"Tidak, hanya tanda tangan dan namanya," sahut Cadance kurang bersemangat.

"Bagaimana kita mencari keberadaan Locmez dan petanya di kota luas ini?" pekik Dan.

"Sebenarnya ... ada sebuah rumah yang menurut dugaanku adalah milik Locmez, tapi bila memang bukan, tidak ada salahnya juga memeriksa. Mungkin kita dapat menemukan info Locmez juga saat di gedung WHO," gumam Aleena memberi ide.

"Tak ada salahnya mencoba," gumam Gustavo dingin, dan sekilas matanya mengarah pada tangan kanan Aleena yang selalu ia sembunyikan.

Aleena yang melihat arah tatapan mata Gustavo hanya dapat mengulum bibir dan kembali menyembunyikannya, bila memang Gustavo sudah curiga akan semakin bahaya bagi Aleena.

"Mungkin kita harus beristirahat, akan senja sebentar lagi, amunisi kita sudah mulai habis dan tenaga kita sangat butuh stamina," gumam Gustavo kembali.

"Baiklah," ujar semua pria menuruti dengan semangat, mereka semua memang begitu kelelahan dan terkuras tenaga dan emosi.

Seorang pria yang berjalan dengan wanita di belakang Aleena mendadak membuat jantung Aleena merasa lega, hingga ia langsung memeluk Azzura dengan erat. Yura yang sedari tadi menjaganya hanya dapat menatap teduh pemandangan tersebut, termasuk Skylar yang melihat emosional Aleena yang tinggi. Ia sangat ketakutan bila sahabatnya terluka, atau bahkan menangis.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Aleena lagi.

"Yah," kata Azzura ragu.

"Bagus, kau harus istirahat," tambah Aleena lagi menatap Azzura.

Ia menggandeng Azzura dan menuntunnya tuk mengekori ke mana Gustavo memilih tempat peristirahatan, namun pandangan Aleena melirik Skylar yang menatapnya sedari tadi. Aleena menatapnya dengan senyuman kecil akan makna tersirat bila dia tak apa-apa sejauh ini, dan harapannya selalu begitu.

*****

-Terimakasih untuk setia membaca, semoga part ini berkesan. Bentar lagi end kok ceritanya :')

-Jangan lupa selalu dukung cerita The Fortlessdengan cara
1.Vote
2. Komen
3. Share

-Oh iya, bagi kalian yang sedang mencari cerita-cerita baru lain coba deh ke lapaknya my SMA friend in crime Safira96 dengan ceritanya LOVE DRUNK di cek ya ;)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro