Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 41 - Dua Rute

Kini semua orang yang mengikuti langkah besar untuk keluar dari benteng The Fort satu per satu keluar dan menikmati suasana yang baru dan begitu asing. Semilir angin dingin ditambah hujan terus menemani mereka dan menjadi tajuk pemandangan satu-satunya.

Semua orang terperangah tak dapat berucap, semua isi kota telah hancur berserakan, gedung menjulang tinggi kini tak lagi mewah di mana melainkan hanya menjadi sebuah gedung tanpa kaca di makan lumut, debu, dan tumbuhan liarnya. Waktu dan uang yang sebelumnya diluangkan untuk membangun gedung-gedung itu terasa begitu percuma, kemewahan sedetail apa pun kini bukan lagi penakjub mata.

Dari kejauhan terlihat sebuah jembatan berwarna merah yang di sedikit terselimuti kabut di udara, jembatan Napoleon. Sedangkan beberapa bentuk mobil terparkir tak karuan di beberapa sisi jalan. Kota yang sangat sunyi dan begitu mati, tentu saja di balik sunyinya sesuatu terdapat rahasia akan penyebabnya.

Ghroan lebih mendominasi ke seluruh kota di bandingkan dengan Molk, ini di karenakan sebelumnya Ghroan memakan manusia, sisa manusia yang belum mati dan sudah terinfeksi virus Mepis itulah yang mengakibatkan perubahan wujud menjadi Molk, di mana tak begitu banyak di bandingkan dengan Ghroan.

Tentu saja kali ini mereka semua akan menghadapi dengan sebuah makhluk yang cukup berbahaya dan memiliki banyak jenisnya itu, masing-masing jenisnya memiliki keahlian sendiri dan memiliki intelejensi sendiri.

Kini mereka mulai berkumpul dalam satu lingkaran penuh dengan manusia yang tersesat mencari arah tujuan selanjutnya, lagi-lagi ini menuju pada Aleena dan kawan-kawannya yang menentukan. Aleena tak pernah keluar dari benteng dan mengetahui seluk beluk kota, ini bukan 'waktu' miliknya.

"Sekarang ke mana kita?" tanya Seth di samping Skylar yang tengah memegang tombaknya.

"Hanya kalian yang pernah keluar dari benteng yang tahu kota mengerikan ini," sahut Cadance sarkatik.

"Kita harus mengamankan semua orang dahulu," ujar Aleena mengusul.

"Ke mana?" sahut Cadance.

Aleena masih berfikir. "Tempat di mana Ghroan tidak mampu masuk, setidaknya tempat di mana kita dapat menghalau mereka bila datang," ujar Aleena lagi.

Semua orang masih mengeksplorasi ke semua arah, setiap laki-lakinya terus menyisir rambut basah mereka agar tak menutupi wajah tampan masing-masing. Sedangkan Aleena dan semua kaum wanita hanya cukup menahan dinginnya sore dan memimpikan sebuah tempat dengan perapian hangat agar dapat menghangatkan tubuh.

"Ada sebuah atau semacam benteng di bagian utara, aku masih ingat puluhan tahun lalu terakhir kali aku keluar, 1km ke utara," jelas Gustavo mengancungkan telunjuknya ke arah tujuan selanjutnya.

"Apakah tidak ada yang lebih dekat? Aku takut bila 1km itu membutuhkan waktu yang lama, aku sudah merasakan malam akan datang. Kita harus bergegas sebelum malam menjelang, aku tidak mau membiarkan mereka di luar di saat senja atau malam," sahut Aleena menyulut.

"Kau mau jalan tercepat? Kalau begitu berlari adalah mempersingkat waktumu berada di luar sebelum malam," balas Gustavo dingin.

Aleena memutar bola mata jengah dan beralih pada Skylar. "Sky, apa kau tidak pernah melihat tempat aman di sekitar kota di dekat sini?" bisik Aleena.

Skylar menggeleng. "Sayangnya tidak, begitu pula dengan Savagery lainnya," ujar Skylar.

"Kita hanya menuju ke sisi pusat kota dan menelusuri setiap gedung atau pun rumah-rumah, kita tidak pernah berani menuju hutan atau pun jalan lainnya yang tidak ada di peta kami," tambah Skylar menjelaskan sedikit.

Aleena melirik pada sekumpulan pria-pria memakai baju hitam yang berdiri di dekat Skylar tengah menatap Aleena dengan raut datar dan tegas mereka masing-masing. Hembusan nafas pasrahnya terlepas dan ia membalikkan badannya ke seluruh orang-orang yang ada di belakangnya.

"Setiap orang yang memiliki senjata haruslah melindungi setiap sisi rombongan, lalu kita mulai berjalan," saran Aleena dingin dan berpaling, berjalan sendirian ke arah utara seperti yang ditunjuk Gustavo.

"Remember!" tegasnya acap menghentikan langkah semua orang dan menoleh cepat pada Gustavo. "Bunuh setiap Molk yang berkeliaran di sekitar kita dalam perjalanan nanti sebelum mereka memanggil koloni lainnya," jelasnya dingin.

Semua orang hanya membalas dengan helaan nafas berat dan menegangkan senjata masing-masing. Begitu banyak Tent yang ikut keluar dengan harapan yang sama kini mulai menyebar melindungi beberapa orang-orang yang tak memiliki kemampuan fisik yang cukup baik dengan kehidupan keras.

Sembari semua orang masih menyusun beberapa posisi, Aleena telah jalan terlebih dahulu dengan jarak 7 meter jauh dari mereka. Ia menghabiskan banyak waktu untuk menyendiri, fokus pada sebuah pekerjaan selanjutnya yang merupakan misi utamanya.

Seperti bekerja sendiri, ia merasa hanya ialah yang mengatur strategi dan rencana-rencana matang di hari ke depan terhadap apa yang akan ia hadapai. Skylar yang jauh di belakang Aleena memandangi wanita yang menguncir rambutnya itu dengan raut kusut, ragu kehendaknya, apakah ia ingin mendatangi Aleena ataukah tetap membiarkannya berjalan sendiri, karena ia tahu kapan Aleena harus dibiarkan sendiri bersama angan-angan di fikirannya.

Dari 1000 meter jarak yang mereka tempuh barulah 800 meter mereka dapat, ditambah dua jam lagi matahari benar-benar hilang dan bergulir menjadi malam yang kelam. Bahkan semua orang sudah mempercepat langkah dari sebelumnya, namun tujuan mereka belum sampai.

Setiap orang yang berada di belakang hanya dapat memandangi lekuk tubuh Aleena seorang yang jauh di depan sendirian dengan busur yang ia pegang selalu. Sepatunya masih menghempaskan dan mencipratkan bebatuan maupun genangan air di tanah. Tak terkecuali Azzura yang terus memandangi penuh prihatin akan keadaan mental sahabatnya itu.

"Mengapa dia berjalan sendirian, seakan ia diasingkan?" bisik Wolf lagi-lagi mengganggu Yura.

"Mengapa kau selalu ingin tahu?" sahut Yura pelan agar suaranya tak sampai pada laki-laki yang dekat pada Aleena di depannya, sedang berjalan memandangi Aleena terus-menerus.

"Tidak ada salahnya, 'kan?" sahut Wolf mengangkat bahunya, menatap tubuh Aleena dari belakang sembari senjatanya masih ia pegang.

"Mungkin dia sedang memiliki masalah sendiri, orang yang memiliki masalah yang tak dapat dibagi kepada orang-orang 'khusus' biasanya lebih suka menyendiri dan menghindari keramaian," balas Yura mengecilkan volume suaranya.

Tentu suara bising dan berat mereka masih dapat terdengar oleh Skylar di depan yang berpura-pura tak mendengar, ia benar-benar merasa kelam dan tak memiliki kehidupan bahagia ketika melihat Aleena menyendiri dengan kesedihan yang di pendam wanita berambisi berani itu.

Kedua mata gelapnya menjadi layu menatap wanita itu, kakinya merasa malas berjalan hingga ia harus menyeret dan menggeseknya di tanah. Ia tak begitu bersemangat di rundung perasaan ini.

Wolf menghela nafas. "Perempuan memang aneh, ketika kita mendiamkan mereka, mereka marah. Kemudian ketika bertanya pada mereka, mereka pun juga marah," sahut Wolf santai.

"Kita serba salah, dude," tambah Wolf.

Yura kini mengangguk cukup mendukung tanggapan Wolf. "Yah," desahnya.

"She used to be interesting to me," tambah Wolf pelan.

"I know ..." tambah Yura lagi melamun dan tanpa sadar mengeluarkan kalimat itu.

Kerutan besar terukir di kening Skylar, Yura, dan Wolf ketika mereka asik memandangi wanita di depan mereka berhenti tiba-tiba. Sesuatu yang salah tentu saja membuat Aleena berhenti, sampai mereka tahu apa yang dilihat wanita itu ketika ia mengambil anak panah di keranjang miliknya.

Aleena menghentikan kakinya sejajar, ia melihat satu Molk bergerak di balik sebuah rumah kayu di samping pohon rindang di mana patahan dahannya menghancurkan teras depan rumah itu. Ia acap mengambil anak panahnya dan mencoba tak mencolok dengan gerakan tiba-tiba, sebelum Molk itu bersuara dan memanggil kawanannya ke kelompok Aleena lagi.

Ia mengambil anak panahnya, ketika sudah siap ia membidik dengan menarik panahnya. Butuh beberapa detik untuk mencapai target, hingga ia melepaskan anak panah dan melesat menuju Molk. Anak panah itu bersarang di kepala makhluk yang berjalan begitu amburadul, hingga ambruk di samping rumahnya.

Aleena mengulum bibirnya dan menunduk menghela nafas banyak dari mulutnya, ini seperti dirinya yang kelam. Ia dahulu hanya wanita kesepian yang menghabiskan sisa-sisa waktunya tidur di atap dengan sahabatnya pohon rindang, dimanjakan oleh sepoi angin dan lantunan kicauan burung.

Rindu suasana indah itu terus membayangi Aleena, dahulu wanita itu takut dengan Molk. Ketika ia bertemu dengannya pertama kali ia langsung lari ke bawah dan memberi tahu seorang Tent yang berjaga untuk membunuhnya, sembari ia menuju bunker miliknya dan tidur di balik selimutnya.

Kini dia membalik kartu.

Kicauan burung dan angin sepoi itu hilang dan digantikan posisinya menjadi cuaca kali ini. Ia tidak memiliki selimut hangat lagi untuk menghilangkan rasa takut, merinding bercampur dingin badannya. Lalu sekarang ia membunuh Molk, dan melawan pimpinan tertinggi mereka.

Hanya beberapa opsi, kartu itu akan menang melawan kartu-kartu lain.

Atau kalah.

Mereka kini menemukan tempat itu, cukup luas untuk menampung mereka semua. Hanya satu yang mencemaskan Aleena kembali, pagar yang melindungi mereka yang melingkar tak lain terbuat dari besi-besi berlubang, tingginya sama seperti gerbang Sega, tapi tak meyakinkan bila Ghroan atau Molk tak dapat masuk ke dalam.

Aleena menyorong sebuah pintu gerbangnya hingga berbunyi decitan besi yang berkarat, ia memandangi 360 derajat ke setiap arah. Gedungnya memanjang dan hanya dua tingkat, lapangannya besar dan sebuah menara kayu lebih tinggi dari apa pun, mengingatkannya akan Gloetik.

"Kau sebut ini benteng?" tanya Aleena sarkatik.

"Home sweet home," ujar Gustavo dingin.

"Ini tak memungkinkan menghalau serangan mereka. Mereka dapat dengan mudah memanjat dan masuk," sahut Aleena meninggikan nadanya.

"Kami menyebut tempat ini dahulunya Tarnom, sekarang kau anggap saja ini The Fort 2," ujar Gustavo terdengar malas berargumen lagi.

"Apa kau bercanda?" Aleena mendengus frustasi. "Kau bahkan diserang dahulu di sini," ejek Aleena.

"Kau tak tahu apa-apa tentang apa yang kami alami dahulu!" Gustavo memuncak emosi dan menggeram keras, rahangnya keras dan tubuhnya sampai di depan Aleena ingin memberinya pelajaran.

"Ada apa lagi ini?" ujar Cadance seperti seorang ibu yang membela pertengkaran antara anak dan tetangganya.

"Ini bukan tempat yang aku harapkan, ini lebih buruk dari The Fort," sahut Aleena.

"Lihat semua orang di sana, mereka sudah masuk ke dalam," ujar Cadance tinggi menunjuk arah orang-orang yang mulai masuk untuk mengeringkan tubuh.

"Jangan buat mereka kehilangan kepercayaan akan tempat ini karena kau begitu mementingkan dirimu sendiri. Believe me, ini tempat yang cukup bagus dan aman untuk kita. Dia pernah memakai ini untuk berlindung, tak perlu cemas. Sebelumnya ada orang yang pernah menginjakkan kaki dan mempertahankan tempat ini," jelas Cadance mencoba meluruskan masalah.

"Lalu mengapa dia diserang dan meninggalkan tempat ini bila ini aman dari makhluk di luar?" ejek Aleena lagi.

"Kita hanya kekurangan pasukan ketika mereka menyerang," balas Gustavo dingin.

"Sekarang kita memiliki empat kali lipat pasukan keamanan yang akan mengamankan setiap sisi dengan keamanan double, apakah itu kurang cukup Aleena?" sahut Cadance membuat Aleena mengerti.

Aleena diam.

"Percaya padaku, orang-orangmu akan selamat," sahut Cadance menatap teduh. "Asal kau tidak memberi gambaran pada'nya' tempat ini, ingat?" sambungnya.

"Ketika 'dia' ingin mengetahui keberadaanmu, ia akan memasuki fikiranmu lagi dan menerobos dinding sel-sel otakmu, mengobrak-abrik memorimu, dan ketika saat itu kau lengah dalam kondisi mental yang berantakan, ketakutan, atau gelisah, kita mati." Cadance tersenyum pahit.

"Farewell, jika kau bisa merahasiakan tempat kini ini dari The Alpha, maka tidak ada Ghroan yang datang ke sini atau setidaknya koloninya. Kemungkinan hanya beberapa Molk, Fast Molk, atau Ghroan yang sedang lewat yang akan dihadapi," jelas Cadance lagi.

"Kau hanya butuh istirahat untuk memulihkan kondisi psikologismu," ujar Gustavo dingin sedikit menyinggung Aleena.

"Kuharap tungku perapiannya masih ada dengan cadangan kayu atau buku-bukunya, tenang saja ada di semua ruangan," ujar Gustavo dingin dan berjalan pergi.

Kini hanya tinggal Cadance dan Aleena seorang di luar yang semakin gelap, Aleena tak dapat berkata apa-apa dan merasa tak enak masuk ke dalam.

Cadance tersenyum miring. "Dia benar, kau butuh istirahat," balas Cadance. "Tubuh dan otak," tambahnya dan menggiring tubuh Aleena untuk masuk ke dalam.

Perapian yang hangat begitu menyejukkan tubuh Aleena dan setiap orang, hadiah terbaik setelah berhari-hari bergulat dengan kerasnya petualangan. Hujan tak terdengar lagi di tengah malam itu, memberi harapan bila selanjutnya pagi hari tak begitu hujan melainkan menyongsong cahaya matahari yang baru.

Aleena berada sendirian di ruangan kecilnya dengan sebuah bantal yang buruk rupa peninggalan jaman dahulu. Ia menatap kosong api yang berkobar dan menghanguskan kayu di dalam tungku batunya. Di saat semua orang dengan nyamannya memejamkan mata dan bergantian berjaga, ia masih terjaga dan memikirkan langkah selanjutnya.

"Kau harus beristirahat," suara seseorang yang tiba-tiba muncul di ambang pintu, mengejutkan Aleena dan membuatnya menoleh begitu cepat, kemudian ia menghela nafas besar dan melanjutkan lamunannya di depan tungku parapian.

Aleena menggeleng. "Aku tidak bisa," balasnya parau.

"Apa yang menghantuimu selama ini?" tanyanya balik sembari berjalan mendekati Aleena.

"Tidak ada Zura," balas Aleena pelan.

"Kau masih ingin menyembunyikan rahasia dari ku lagi?" tanya Azzura dan duduk di sampingnya membawa sebuah makanan kaleng.

Aleena mendengus kecil dan menggeleng saat kepalanya tertunduk. "Kau tidak mengerti apa yang aku hadapi," bisiknya parau.

"Karena kau tak pernah bercerita, kau harus menyeimbangkan semua kehidupan ini dan berawal dari dirimu sendiri. Ketika kau menghadapi serangan tertekan dalam hatimu kau tak dapat bekerja," sahut Azzura terdengar begitu prihatin.

"Aku melihatmu akhir-akhir ini sejak aku mengetahui apa yang terjadi denganmu," ujar Azzura lagi. "Dan aku tidak melihat Aleena yang dahulu," tambahnya dingin.

Suara retakan kayu yang terbakar api semakin sering mereka dengar, rasa panasnya membuat cerita mereka semakin panjang dan tegang. Azzura begitu prihatin dengan sahabatnya, ia tahu 'benda' yang ada di dalam Aleena sangat buruk bagi manusia sepertinya, itu membuat reaksi yang tak biasanya bagi otak dan syarafnya.

Melihat Aleena yang begitu bekerja keras dengan energi yang ada di dalam tubuhnya sangatlah sengsara walaupun tidak ikut dirasakan.

"Kau harus mengeluarkan benda itu," ujar Azzura rendah. "Dan kembali normal," tambah Azzura.

Aleena menghela nafas begitu berat, air matanya sudah ingin menetes di balik rambut yang ia urai agar kering di depan perapian.

"Please don't be fool," ujar Azzura kini bergetar.

"Apa pun yang ingin kau lakukan, jangan bertindak bodoh layaknya aku tidak tahu," sahut Azzura dingin.

Azzura berdiri secara pelan, menatap Aleena dari atas. Hanya dua perasaan yang dirasakannya untuk Aleena, prihatin dan takut.

"Istirahatlah," ingat Azzura lagi.

"Baiklah ibu," balas Aleena riang dengan menekankan kata 'ibu' dengan bahan guyonan mereka.

Azzura hanya terkekeh kecil dan tersenyum, menuju pintu dan menutupnya rapat agar Aleena dapat mengistirahatkan sejenak tubuhnya yang mulai remuk.

Cukup menyenangkan atas kunjungan Azzura, seperti pembawa semangat padanya dan penghilang rasa ketakutannya selama ini hilang dalam sekejap dalam waktu beberapa menit.

Aleena merebahkan tubuhnya di bantal dan memiringkan tubuh ke arah perapiannya, mungkin dia harus percaya pada sahabatnya lagi karena merebahkan tubuh saja di depan perapian hangat sudah membuat tubuhnya nyaman dan layaknya mengisi bahan bakar.

Sudah begitu lama ia tidak merasakan nyamannya hidup ketika berbaring dan memejamkan mata dengan mengunyah makanan yang diberikan Azzura. Hingga waktu yang menggerogoti kesepian membuatnya tertidur dalam mimpi pertamanya yang indah, tak kala semua bebannya hilang tertelan bulat-bulat.

Suara gemuruh terdengar kian samar-samar di pendengarannya, hingga semakin lama suara itu tetap saja terdengar sama dari sebelumnya. Ini seperti suara ombak laut, ya laut lagi yang Aleena dengar.

Kelopak matanya masih tertutup rapat, tapi dirinya sudah berada di dimensi lain, gambaran itu bergerak begitu cepat, bak sebuah elang yang melewati hutan dengan secepat mungkin. Tak ada apa pun yang menghalanginya, bebas menembus setiap benda.

Gambaran itu menunjukkan kembali sebuah gedung yang pernah Aleena lihat, gedung berwarna putih yang sudah kusam dan kaca-kaca gedung yang sudah pecah. Gedung itu terlihat sama seperti Aleena lihat sebelumnya, WHO.

Gambaran itu bergerak lagi menuju tangga dan terus ke atas, atas, atas hingga sampai di sebuah pintu. Pintu besi yang terkunci seperti sebelumnya, pintu ruangan teratas di mana di dalamnya terdapat sebuah serum yang bagi Aleena sendiri hanya serum biasa dan tak dapat memberikan dampak besar untuk memusnahkan kehidupan makhluk di luar.

Gambaran itu terlihat diam dan menatap pintunya, sekilas terdengar geraman tanda berfikir. Aleena tanpa sengaja mendapatkan gambaran penglihatan Dommed kembali di mana ia menuju gedung WHO. Sebelumnya ia juga pernah dijebak oleh Dommed untuk datang ke sana dan masuk ke dalam lubang buatannya.

Membuat Aleena memberikan beberapa klip yang dibutuhkan Dommed untuk mendatanginya. Kini Dommed itu berada di sana, namun tanpa Aleena kali ini. Di gambaran itu jelas-jelas sang Dommed merasa bingung bagaimana cara menembus pintu itu.

Dommed di gambarannya bergerak kebingungan, mencari jalan menuju ke bawah dan mulai menggeram lagi, namun kini geramannya berbeda. Geraman lebih lama dan dalam, geraman yang terdengar seperti desingan. Namun itu bukan sebuah geraman biasa, ia mulai mencari Aleena lewat gelombang komunikasi, ia masuk ke dalam dimensi di mana ia menyatu dalam energi itu.

Energi sumber kehidupannya dan pusat mereka hidup, ia mulai mencari dan mencari. Di lain sisi Aleena yang tertidur tanpa sadar tak tahu bila Dommed mencoba tuk memecahkan penggalan memorinya di otak dan mencari keberadaannya, agar ia bisa memasukkan Aleena lagi ke dalam dimensi di gedung WHO dan masuk ke ruangan itu.

Aleena terlihat lusuh dan bergerak gelisah di ambang tidurnya mengigau, ia tidur begitu nyenyak tanpa bisa dibangunkan. Geraman Dommed semakin keras dan semakin kuat kekuatannya untuk 'menculik' Aleena. Kemudian, Aleena tetap saja bergerak merasakan geli di kepalanya. Hingga gambaran itu hilang di memori Aleena dan ia membuka matanya.

Nafasnya pelan dan tak terburu-buru, namun ia melihat 'penglihatan' itu di saat ia tertidur. Ia tahu di mana Dommed, namun satu pertanyaan Aleena.

Apa yang di lakukan Dommed di gedung itu lagi?

Cuaca kali ini sedikit mendukung, tak ada rintikan hujan seperti sebelumnya. Sinar mataharinya berwarna merah, dan mencoba menghilangkan beberapa awan kelabunya. Tapi tetap saja awan tebalnya lebih kuat dan menang ketimbang matahari yang tertutup itu.

Aleena berjalan pelan ke arah balcony di lantai paling atas di mana ia di tempatkan dengan beberapa rekan lainnya. Pemandangan yang berbeda, kini rumputnya terlihat jarang nan pendek, tak seperti di The Fort yang hanya tanah tandus. Pagar sekeliling mereka hanya setinggi empat meter saja dan dari besi berlubang-lubang bagai jaring, tak seperti tembok setinggi tujuh meteran mereka sebelumnya yang tertutup mengepung mereka di dalam.

Beberapa pria memegang senjata dan tombak terlihat berjaga sembari berjalan kecil-kecilan saling menghampiri. Tak ada hal-hal tegang di manik mata Aleena ke mana ia melihat.

Aleena menarik satu tarikan nafas panjang, bau hujan dan rumput basahnya semerbak menyapa Aleena di atas. Ia memejamkan mata sebentar dan memeluk tubuhnya sendiri sembari menengadahkan kepalanya. Ia begitu merasa rileks setelah tidur ini.

Rencana itu masih terus ia fikirkan matang-matang, satu hal yang ia cemaskan tentu saja hanya Skylar dan Azzura. Lalu semua orang akan merasa bingung bahkan terkejut nantinya dengan hal yang akan ia lakukan.

Ia melihat seorang pria di bawah lapangannya, pria tua yang berjalan mendekati sebuah pohon kecil, satu-satunya pohon di benteng itu, Robinson.

Aleena sampai di bawah untuk mendatangi pria tua yang lama tak ia lihat, ia berjalan membuntutinya tanpa suara apa pun. Terus terang Aleena hanya dapat merasakan hawa dingin di pagi hari itu yang cukup langka baginya, Robinson terlihat berhenti di depan pohonnya dan masih diekori Aleena dari belakang.

"Bagaimana kabarmu tuan?" sapa Aleena yang mengejutkan pria pucat pasi itu.

Robinson berbalik dan tubuhnya terlihat bergetar. "Oh Aleena aku tidak tahu kau di sana," ucapnya bergetar. "Aku baik-baik saja, bagaimana denganmu?"

Aleena mengerut kecil dan memberikan senyuman kecil yang terlihat begitu pahit. Suara tuan Robinson baginya berubah drastis, kini suaranya bergetar seperti orang tua yang begitu rentan, tak seperti sebelumnya yang masih sehat dan berbicara begitu tegas dan memberikan semangat pada generasi selanjutnya.

"Aku," balasan Aleena menggantung, lalu ia terseyum kecut lagi.

"Yah, ini masa-masa yang sulit bagi kita semua. Tapi janganlah masalahmu membuatmu melupakan tujuan hidup dan menyerah, impian memang tinggi. Namun tahukah kamu Aleena? Semut angkrang ingin mengambil sebuah apel di dahan tertinggi, dia benar-benar tak memikirkan apa pun selain apel itu. Satu per satu ia mulai membuat rancangan ide briliannya, semua kawannya membantunya mencapai apel tingginya."

"Mereka mungkin terlihat kecil, namun mereka cerdik dan bersemangat tinggi," jelas Robinson pelan lalu ia menoleh pada Aleena. "Jangan sampai kau dikalahkan oleh rantai makanan terlemah itu Aleena sayang, ingat apa yang kuramal dari telapak tanganmu? Jadikan itu sebuah pedoman untuk mencapai impianmu, fokus dan semangat," ujar Robinson pelan.

"Walk to the furthest, along with the coveted dream," tambah Robinson lagi.

Senyuman Aleena terlihat begitu lebar dan ikhlas, hatinya begitu tersentuh mendapatkan siraman kalbu dari Robinson yang membuatnya lebih bersemangat untuk menuju penghujung misinya. Ia berpamitan pada Robinson dan kembali ke dalam gedung untuk menemui Cadance yang pastinya masih tertidur seperti biasanya.

"Cadance?" sapa Aleena bingung saat Cadance sudah terbangun dan membaca sebuah buku di ruangan masak yang kecil.

"Oh, ada apa?" tanya Cadance santai.

"Di mana Skylar?" tanya Aleena cemas. "Aku mencarinya dari tadi dan dia tidak ada, dan Gustavo tidak kelihatan," tambah Aleena menyelidik.

Cadance menghela nafas dan menutup bukunya. "Mereka semua keluar subuh tadi-"

Aleena melotot tajam.

"Skylar, apa yang mereka lakukan? Apa yang mereka cari di luar?" Aleena tak dapat berkata apa-apa karena shock.

"Tenang!" tegas Cadance mengingatkan. "Mereka keluar bersama semua Savagery dan beberapa Tent untuk mencari persediaan senjata baik amunisi dan senjata yang masih dapat dipakai, kita butuh pasokan senjata untuk melindungi tempat ini," jelas Cadance mencoba menenangkan Aleena yang ketakutan.

"Ya, tapi mengapa Skylar?" tanya Aleena.

"Dia salah satu dari pengutusnya," sahut Cadance lamban.

"Pengutus apa?" tanya Aleena lagi tak karuan.

"Pengutus untuk menjelajahi kota Ronely ini, mungkin membutuhkan sekitar dua hari atau paling lama tiga hari," tambah Cadance.

"Mengapa tidak memberitahuku!?" jerit Aleena.

"Kau harus beristirahat," ingat Cadance lagi mengingat kondisi fisik Aleena sebelumnya cukup lemah dan letih.

"Aku harus menyusul mereka." Aleena bergegas pergi begitu saja, namun pergelangan tangannya sempat di tarik Cadance yang terkejut.

"Lepaskan aku! Aku ingin membantu mereka dan mencari hal-hal yang lain," pekik Aleena.

"Ini perintah Skylar untuk menghalangimu keluar," sahut Cadance pelan. "Kau tahu priamu itu begitu protektif terhadapmu, terhadap kondisimu bukan? Dia tak ingin kau keluar menyusulnya, karena dia tahu bagaimana kau setelah mengetahui bila dia pergi," ujar Cadance begitu mencoba menjelaskan sangat detail.

"Kau begitu berharga baginya, dan janganlah kau membuang dirimu sendiri," ujar Cadance berbisik.

"Ke mana arah tujuan mereka pergi?" tanya Aleena rendah.

Cadance menatap Aleena teduh, ia rasa Aleena mengerti dan memaklumi. "Jembatan Napoleon."

Genggaman tangannya terlepas pelan, Aleena hanya terdiam memikirkan Skylar dan semua orang yang dapat terluka. Walau jumlah mereka 30, tetapi mereka tak tahu apa yang direncakan Dommed, Aleena merasakan firasat buruk, ia merasa gelisah akan tindakan mereka.

Ronely City

Kumpulan pria-pria itu terus bergerak waspada di setiap langkah yang diambil lebih jauh ke dalam kota. Semua Savagery tentu saja pernah menginjakkan kaki di sekitar sana, kawasan itu berada, di peta batas aman bagi mereka setiap keluar.

Skylar berada paling belakang membawa sebuah senjata yang canggih tak seperti semua orang. Ini senjata yang dibuat khusus untuk Savagery dan juga baginya, warnanya persis seperti warna kesukaan Skylar, biru tua di tambah dengan beberapa ukiran putih tulang yang membuatnya seperti pahatan mahakarya.

Skylar berjalan lebih lamban, perlahan tubuhnya menghadap ke belakang. Satu hal yang ia fikirkan hanya seorang gadis 5 km di belakangnya dan sedang kebingungan mencarinya. Manik mata gelapnya berkaca-kaca, rahang tegasnya semakin kencang ketika ia menggigit gigi-giginya, melepas kepergian dirinya sendiri untuk menuju sebuah tempat.

Lokasi yang memiliki persediaan senjata di dekat jembatan Napoleon, berjalan kaki hanya satu-satunya cara agar keberadaan mereka tidak terdengar makhluk lain. Jejak kaki mereka terjiplak di tanah lembek yang basah, hujan yang mengguyur beberapa hari membuat tanahnya lemah dan berubah menjadi seperti lumpur.

Gustavo dan Julius memimpin di depan, kedua pria seumuran itu membagi kisah dan pengetahuan tentang sekitar mereka. Dan pria satu-satunya yang pernah menjelajahi kota luar, lebih jauh dari siapa pun hanya mereka berdua. Sedangkan yang lainnya hanya mengikuti dan waspada akan gerakan sekecil apa pun.

Seth mendatangi Skylar yang berada paling belakang, ia lebih tinggi dari pada Skylar, hingga sebuah tepukan karib menghampiri Skylar.

"Aku tidak pernah melihatmu secemberut ini kawan," sahut Seth pelan berjalan di samping Skylar.

"Kau biasanya bercerita banyak hal dan membuat lelucon aneh, apa yang merubahmu?" tambah Seth terkekeh.

Skylar terdiam dan menggidikkan kedua bahunya santai. "Entahlah," ia tak dapat berkata apa-apa, hanya sebuah tepukan ringan membalas di punggung Seth kerabatnya.

"Perempuan itu memang, memiliki banyak kejutan. Bagi semua orang mau pun bagimu eh?" sahut Seth terkekeh, lesung pipitnya terlihat jelas seketika dalam senyuman sekecil apa pun di balik kulit putihnya.

Skylar terkekeh. "Aleena? Entahlah." Skylar tak dapat berkata apa pun lagi, entah mengapa setiap kali ia ingin mendeskripsikan tentang wanita itu ia tak memiliki kata-kata sebagus dan seindah ladang bunga.

Ia tak dapat menjelaskan detail tentang seorang wanita yang begitu membuat luluh hatinya, lidahnya seperti tergilas sebuah medan magnet yang menghisap jutaan kata untuk mengapresiasikan seorang Aleena bagi Skylar.

"Dia baik," itu saja yang dapat Skylar gambarkan dari seorang Aleena.

Di balik kata yang 'baik' ia memiliki jutaan kata untuk menggambarkan Aleena. Tak dapat dijabar dengan kata-kata, itulah kesulitannya.

"Yah ..." Seth tertawa dan dibalas dengan tawa Skylar. "Just ... help me with a girl in Afdeling 3 okay?" tawar Seth malu-malu pada Skylar.

Skylar memutar mata jengah. "Hmmm, aku akan berusaha, ok bro," balas Skylar terkekeh.

"Ini memang berat meninggalkannya di sana untuk tiga hari ke depan, tapi kau tahu semuanya akan baik-baik saja bila kau berusaha, benar 'kan?" tanya Seth membimbing Skylar sedikit.

"Aku hanya takut bila aku tidak akan kembali." Skylar terkekeh pahit.

"Jangan bilang seperti itu, kau akan kembali untuknya. Kau kuat, ini hanya dunia yang lemah dari padamu. Kau lebih tinggi di mata dunia, kau lebih beradaptasi dari pada dunia sendiri. Kau mengontrol dunia, dan dunia akan tunduk padamu," ujar Seth pelan.

"Kita akan mulai jauh dari benteng dan meninggalkan mereka semua, setelah kita mendapatkan senjatanya kita akan kembali Sky. Lalu kita akan ke kota seberang dengan jumlah yang banyak menuju pantai, itu yang kau mau bukan?" jelas Seth lagi.

Skylar mengangguk dan menepuk punggung Seth kembali tanda mengerti. Ia tersenyum puas akan penjelasan Seth dan memahami seutuhnya.

"Di depan ada sebuah hutan kecil, kita harus berhati-hati," ingat Skylar, nadanya mulai waspada kali ini.

"Yup, aku ingat terakhir kali kau terperosok ke lubang dengan Molk yang mengelilingimu dari atas, juga lima Ghroan. Aku tak percaya kau lolos dengan usahamu sendiri, di saat aku kesulitan mencari arah suaramu," ujar Seth mengulang memori sebelumnya.

Skylar tersenyum malu. "Hujan mungkin akan membuat banyak lumut dan jalan kita akan licin, berhati-hatilah. Aku akan memberitahu Gustavo dan Julius," ujar Skylar dan menuju arah ke depan.

Tarnom

Dalam gelapnya ruangan ia mengambil semua barang yang bisa ia gunakan nantinya ke dalam sebuah ransel kecil. Yang paling utama hanyalah sebuah busur dan anak panah untuk menyusul Skylar.

Ia menyelempangkan tas hitamnya di samping, menaruh keranjang panah di belakang punggung dan memegang busur yang dinamai The Ogre itu. Ini bukan seperti The Fort yang begitu sulit jika ingin keluar, hanya berjalan di tengah lapangan saja dapat dengan mudah keluar tanpa seizin siapa pun lagi.

Aleena berjalan laju di tengah lapangnya, tak ada orang di pagi itu karena orang-orang sebagian ternyenyak. Beberapa Tent hanya melihat Aleena berjalan menuju sebuah pagar sorongnya yang terikat rantai dan gembok di ujungnya. Lima orang pria berpakaian serba hijau menatap dingin Aleena yang mulai mendatanginya dengan raut tak kalah dingin.

Langkahnya besar dan laju agar tidak ada orang yang melihatnya keluar, siapa pun itu yang mengenalnya dan menghentikannya nanti. Pria itu menghalangi jalan tanpa satu kata apa pun, mungkin dengan itu wanita yang menguncir rambutnya akan mengerti arti gerakannya.

"Gustavo Dessel menyuruhku untuk menyusulnya," ujar Aleena dingin berdusta.

Pria itu menengok pada rekan di sampingnya tak berkata apa-apa, hingga pria itu mengangguk pada pria itu. Gerak demi gerak ia membuka gembok dan rantainya, menyorong kecil, membiarkan Aleena keluar dan menutupnya kembali, mengulangi semuanya agar kembali terkunci.

Aleena di luar kini, ia harus berani sendirian menghadapi apa pun yang menghadapinya. Ia harus menyusul dan mencari jejak-jejak puzzle lainnya. Dommed suatu saat akan menemukan lokasi Aleena, ia selalu bersiap dan berakal cerdas di luar.

Sudah berpuluh-puluh meter ia berjalan di pinggiran kota, gedung yang menghiasi begitu membuat bulu kuduk terangkat. Kehancuran mengerikan di setiap bangunan dan beton-beton yang berhamburan di sekitar jalanan. Aleena berhadapan dengan sebuah jalan yang tertutupi oleh reruntuhan batuan gedung yang membuatnya harus memanjati batu-batunya.

Bagaikan pagar ia harus memanjat, satu per satu kakinya melangkah pasti ke batu beton yang kuat dan tak dapat bergerak. Beton berwarna abu-abu marmernya basah karena hujan namun tak licin. Kini ia harus melewati sebuah beton panjang bagai pagarnya, ia melihat sebuah besi bangunan yang masih menempel di beberapa punggung beton.

Ia melihat sekeliling dahulu agar bila jatuh ia tak terperosok jauh ke bawah dengan hantaman keras betonnya. Ia melompat dan memegang besinya kuat, menarik tubuhnya ke atas dan mengambil besi lainnya yang jauh lebih tinggi. Jarak besinya tak terlalu jauh, namun dalam dua kali menuju puncaknya besi itu cukup jauh.

Aleena menarik kakinya ke atas untuk menahan tubuhnya, lalu dengan sigap ia melompat kecil agar mendapatkan pegangan besinya. Latihan fisik yang cukup melelahkan, di samping besi itu licin dan bau karat, besi terakhir itu ternyata tak terlalu kuat dan perlahan melonggar.

Ia harus cepat-cepat sebelum besi itu melonggar dan mengikis betonnya, membuatnya lepas dan menghempaskan tubuh Aleena jatuh di bawah lagi. Suara retakan betonnya terdengar dan dengan cepat Aleena menangkap besi di atas dan menarik tubuhnya dengan kuat, hingga erangan kecil terdengar susah dari tenggorokannya.

Ia menarik tubuhnya di atas dan tinggi tiga meter beton itu membuat Aleena dapat melihat jauh ke depan, jembatan Napoleon terlihat masih begitu jauh. Skylar mungkin begitu jauh dari Aleena, langkah pria yang lebih laju dan kuat akan sulit disusul Aleena dengan berjalan kaki.

Ia mengatur nafas dahulu, lalu ia mulai turun perlahan dengan teratur ke bawah hingga bertemu dengan jalanan raya lagi. Jalanannya lurus dan jauh, hanya reruntuhan bangunan, tanaman, lumut, dan rumput liar yang menghiasi dengan beberapa mobil di sisi jalan.

Ia mengambil busurnya lagi berjaga-jaga bila ada apa pun menghampirinya, ia berjalan mulus tanpa suara dengan lancar di jalanan lurusnya. Dari kejauhan pun ia terlihat mulus berjalan tanpa rintangan. Namun yang tidak diketahui Aleena adalah, rute perjalanan yang ia ambil begitu berbeda dari Skylar dan kawan-kawan, yang lebih tahu semua kota.

Rute Aleena lebih sulit dan berliku-liku, sedangkan rute yang diambil Skylar hanya lurus dan tak melewati banyak rintangan berbahaya. Masing-masing individu tak tahu bila lawannya berada di kota yang sama dan melakukan hal yang tak terjelaskan.

Beberapa jam sudah mereka berdua lewati di kota tanpa penghuni itu, Aleena lebih jauh kesulitan dengan rute yang diambil dan cukup kesulitan. Belum lagi terkadang ia panik bila jalannya tertutupan dengan bebatuan atau pun hutan yang tumbuh dengan sendirinya.

Berbeda dengan Skylar dan semua orang yang masih dengan santai berjalan melewati hutan gelapnya, hutan itu memiliki banyak Molk yang berkeliaran, dan ketika berada di pertengahan jalan tiba-tiba sebuah patahan dahan yang jatuh membuat suara, mengundang makhluk lain berdatangan, dan akhirnya mengeluarkan banyak Molk berdatangan pada mereka.

Ribuan peluru terus mereka lepaskan pada setiap Molk yang berdatangan, memburaikan darah-darah dan organ-organ khusus yang terkena bilasan senjata panas dari mereka. Keributan yang mereka buat tambah membuat banyak Molk berdatangan dan beberapa Ghroan yang sedang terlelap di sekitar hutan bangun dan ikut menyerang.

Mereka semua berlarian dengan cepat sambil membinasakan dengan cepat semua makhluk yang berdatangan. Hutan dengan pohon kecil yang berjajar tapi membuat mereka menyebar dan berlarian menuruni gunungnya.

"Skylar!! di utara!!" teriak Julius masih menguliti Molk dengan senjatanya.

Skylar menoleh ke utara dan menemukan tiga Ghroan yang menggelundung, dengan senjata yang lebih ampuh ia menembakkan tepat ketiga makhluk itu dan dalam sekejap makhluk itu mati dan melelehkan organ dalam mereka akibat peluru dari senjata Skylar.

Ketika satu Molk ingin menerkam Skylar dari samping tanpa sepengetahuan Skylar, dengan cepat Seth melemparkan tombak yang ia miliki dan membuat Molk itu terlempar dan terjun dalam tanah, tombak itu menembus jantungnya hingga ujung tajam tombak itu menancap di tanah berbatunya.

Skylar menoleh kaget dan menatap Seth dan dibalas anggukan. "Kita harus ke tempat lebih tinggi," ujar Seth pada Skylar.

"Julius!! giring ke tempat tinggi!!" teriak Skylar di belakang pada pria yang sedang menembaki dari jauh Molk yang berdatangan tak ada habisnya.

"Go!! kita keluar dari hutan!" teriak Julius pada semua orang yang masih utuh.

Semua orang mulai berlarian keluar hutan memencar menuruni bukitnya, pasir dan bebatuannya terhempas di saat-saat mereka berlarian menuruni bukit hutannya. Menghempaskan semua benda dari kaki-kaki kuat mereka. Para Molk terus mengejar mereka di belakang dengan lapar dan menggeram memanggil kawanan.

Hingga Gustavo dan Julius menginjak tanah kerasnya lebih dahulu dan tepat di depan mereka sebuah gedung bertingkat. Mereka berlarian terhuyung-huyung bahkan sulit mengambil satu tarikan nafas. Skylar berada di paling belakang untuk menjaga semua orang, ia tentu berada di posisi paling rentan dengan Fast Molk yang ikut berlarian dan menarik kerah baju Skylar.

Tetapi usaha Skylar yang begitu kuat dibantu dengan sebuah tembakan dari Gustavo yang begitu tepat mengarah pada Molk di belakang Skylar hingga membuatnya menggelundung dan mati.

Skylar menghadapi sebuah batu besar dengan ujung tajamnya mengarah pada Skylar di depannya dan dengan cepat sekuat tenaga ia melompat cepat. Ia melewati batu itu dengan mudah dan membuat ujung tajam batu itu menusuk perut dua Molk sekaligus yang tadinya ada di belakang Skylar.

"Naik! naik! naik!!" ujar Julius menyuruh pada orang-orang yang perlahan berdatangan dari berbagai arah karena terpencarnya mereka.

Satu per satu mereka menaiki tangga untuk ke atas gedung yang berada di sisi gedungnya, tangga yang melingkar dan selebar satu meter membuat semua orang bergegas. Sembari Gustavo dan Julius berada di bawah dan bersamaan menembaki Molk dan Fast Molk yang berdatangan dengan cepat semua orang mulai menaiki lantai atas.

Dua orang Savagery membantu Julius dan Gustavo dari bawah menembaki Molk yang terus berdatangan dari hutan dan juga beberapa Ghroan. Pria-pria di bawah begitu terlatih dan sangatlah hebat dalam membidik dengan strategis, dalam satu tembakan saja mereka mengenai dua target sekaligus.

Para Tent yang sudah berada di atas gedung menembaki Molk di arah belakang yang terlihat ingin menggeram dan memanggil kawanan lain. Mereka harus cepat sebelum makhluk yang lebih kuat mendatangi mereka lagi.

Jantung Skylar mulai berdebar-debar dan berlari kencang menuju sisi gedung dengan empat orang pria yang ada di bawah dan ditambah Seth yang baru datang.

"Skylar!! cepat!" jerit Seth.

Skylar mempercepat langkahnya dengan Seth yang membantu dengan membunuh Molk yang mencoba menangkap Skylar dari belakang. Skylar terhempas jatuh tepat di depan Seth hingga Seth menangkap tubuhnya dan mengangkatnya gesit untuk menyuruhnya naik ke atas.

"Come on!!" jerit Gustavo memerintah orang-orang di bawah untuk naik sembari orang-orang di atas yang menambaki bergilir.

Skylar berada di paling depan disusul Seth, Julius, dua Savagery dan Gustavo di belakang yang paling pemberani. Ia menaiki lebih dari empat lantai untuk sampai di atas gedungnya, hingga sepoi angin deras menerpa mereka. Semua orang berada di posisi masing-masing menembaki semua makhluk di bawah yang beberapa mencoba naik.

Kecepatan mereka kalah dengan laju tembakan peluru semua orang di atas dan membuat jarak makhluk di bawah dengan mereka semakin renggang dan semakin dikit. Perlahan tak ada lagi Molk yang memanggil kawanannya dan hanya menyisakan beberapa Fast Molk.

Hingga beberapa saat kemudian ketegangan menjadi renggang saat hutan tak mengeluarkan makhluk-makhluk menyeramkan yang lapar akan darah dan daging segar. Semua orang menghela nafas penat dan menghirup udara segar, mereka berhasil melewati hutan yang dibicarakan Skylar dan berhadapan dengan beberapa gelombang Molk dan Ghroan.

Julius menatap dingin belakangnya dan melihat sebuah jembatan yang semakin lama semakin dekat. "Seberapa jauh lagi kita sampai di tempat itu?" tanya Julius.

"Satu hari penuh bila kita bergegas," ujar seorang Savagery.

"Kita masih memiliki waktu banyak untuk semakin dekat dengan penyimpanan senjata itu. Selagi cuaca saat ini mendukung, tidak ada kesempatan lain. Mungkin besok akan menjadi cuaca terburuk selain ini dan akan mendatangkan bala lebih mengerikan dari ini," jelas Julius dingin.

Semua pria yang mendengarnya menurut jelas dengan tenang mengatur pernafasan dan mengisi lagi amunisi senjata mereka. Skylar yang masih melihat jauh jembatan Napoleon memancing perhatian Julius yang menatapnya datar.

"Sky," panggil Julius.

Lamunan Skylar membuyar dan ia menoleh pada Julius yang perlahan mendatanginya.

"Kau tak apa anak muda?" tanya Julius sambil menepuk pundaknya.

"Butuh waktu yang lama untuk sampai ke pantai," gerutu Skylar pelan.

Julius mengerut dan menghela nafas besar. "Kita akan membicarakan topik itu nanti, itu di luar kemampuanku," balas Julius sedikit berbisik agar kelemahannya cukup tersembunyi dari semua orang.

"Kita harus terus berjalan! sampai senja dan kita mencari tempat peristirahatan, Come!" pekik Gustavo dari belakang pada semua orang, hingga manik mata abu-abunya berhenti pada punggung Skylar yang masih terdiam terpaku pada pandangan menuju arah lebih jauh dari jembatan Napoleon.

Semua pria mulai kembali turun dan bergegas menyusul waktu, sembari Julius ikut turun dan juga Gustavo turun meninggalkan pria itu di atas bersama Seth yang setia menunggunya.

***

Sebuah gedung berjajar tak begitu jauh dengan jalanan yang hanya muat dua buah mobil yang di sejajarkan. Ia benar-benar tersesat dan tak tahu ke mana akan pergi, salah satunya ia harus mengambil arah tujuannya adalah naik ke atas gedung dan melihat lagi jembatan Napoleon sebagai patokan arahnya.

Gedung batu bata itu berada di sisi kiri Aleena, sembari ia mengeksplorasi pandangannya ke segala arah sambil berjalan. Ia melihat ke gedung di depannya, tepat di depan jendala lantai limanya terdapat sebuah keranjang yang berisi roti yang keluar dari kain yang tergantung.

Tentu saja perutnya sangat lapar di siang hari itu tanpa minum dan makan, bahkan ia juga tak ingat tentang dua hal penting tersebut. Tapi kali ini ia harus mengambil makanan itu, dengan segala ide cerdiknya ia berusaha untuk menjatuhkan saja dengan memanah.

Ia mengambil satu anak panahnya dan mengancang-ancang lagi, mencari arah yang tepat agar kemungkinan 90% busurnya mengenai keranjangnya dan menjatuhkannya di bawah.

Ia menarik talinya dan memegang kuat pucuk anak panahnya, membidik cermat lalu melapaskannya. Namun yang ia dapat malah panah itu menusuk keranjang yang ada di atas. Aleena menghela nafas jengah dan mengambil anak panah biasa lagi dan menaruhnya lagi di busur.

Ia mengambil ancang-ancang lalu melesatkan anak panah itu dengan cepat dan terbang menuju sisi atas keranjang dan bergeser sedikit hampir terlepas dari kaitannya. Aleena mengambil anak panah lagi dan menariknya kencang, ia melangkah dua kali maju untuk lebih dekat pada sasarannya.

Mata hijaunya menjadi lebih tajam dan dingin mengincar sisi yang ingin dikenai Aleena, hingga ia melepaskan anak panah dan melesat cepat menuju sisi keranjang jauh di atas.

Tepat mengenai sasaran dan keranjang itu jatuh dalam ketinggian yang drastis. Keranjang yang setengah tertutup itu menghamburkan tiga buah apel yang sudah busuk, namun masih ada roti yang tahan lama sedang terbungkus rapi di dalam kainnya.

Aleena mendatangi keranjang rotan itu dan menggeledah apa yang ada di dalamnya, semuanya cenderung membusuk dan tak layak konsumsi. Hanya sebuah botol minuman mineral dan roti yang masih bagus dimakan.

Ia menggeledah lebih dalam hingga ia menemukan sebuah foto kecil di dalamnya, ia menjadi diam dan luluh ketika apa yang dilihatnya sebuah foto bayi yang digendong oleh seorang ayah yang duduk di sebuah sofa orange.

Wanita berambut tipis brunettenya terlihat tersenyum kecil di belakang memegang kedua pundak sang suami yang begitu terlihat bahagia menggendong bayinya. Entah mengapa ia teringat lagi dengan Skylar hanya karena bentuk wajah pria itu menyerupai Skylar.

Aleena menyimpan foto itu tanpa maksud dan tujuan tertentu di kantungnya dan memegang erat busurnya lagi. Perjalananya akan berlajut lagi demi mendatangi Skylar dan mencari jalan untuk ke pantai. Tetapi dua rute yang mereka ambil membuat mereka terpisah dengan bahaya-bahaya yang menanti semuanya.

Skylar dengan 29 orang lainnya, sedangkan Aleena sendirian di kota Ronely, dan menuju arah jembatan Napoleon.

*****

-Ciutttt tegang gue nulis sendiri, btw terima kasih again. Its been a long day without you my friend ... selamat bertegang ria lagi membaca hohoho.

-gimana? Dapat feelsnya ?dapat gak? Gambaran klip-klipnya dapat gak semoga gak susah ya kalimat ku hehe. Makanya saran :p

-Updatenya walau gak secepat kilat tetep vote dan komen dong ya :p komen nya yang membantu mendapatkan ide-ide menegangkan lainnya tapi ;)

-Seth on media and backsound for this part is Adele - Rolling in the deep

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro