Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 40 - Rahasia Di Bawah Tanah

"Kau bilang kau ingin kebebasan? Aku berikan kau kebebasan di dalam sini. Kau bisa melakukan apa pun di dalam, tak ada batasan untukmu. Tapi tidak keluar, kau tidak mengerti tentang dunia luar itu. Itu memang terlihat begitu tenang, namun itu ilusi, itu menghanyutkanmu," desis Matilda lagi.

Aleena menatap kebencian, nafasnya sudah tak teratur hingga ia tak ingin melihat wajah Matilda lagi. Dengan cepatnya ia berbalik menubruk Skylar di belakang yang mengerut bingung atas kepergian Aleena.

Skylar menoleh keji ke Matilda, matanya berpapasan dengan milik Matilda. Bahkan Matilda dapat membaca sebuah rangkaian kata-kata dari tatapan Skylar padanya. Hingga Skylar menjemput Aleena dengan mengejarnya.

"Al!" ujarnya berlari terburu-buru mengimbangi laju jalannya Aleena.

"Aleena, mengapa pergi?" sahut Skylar lagi mengambil pergelangan Aleena.

Aleena berbalik dengan cepat, matanya sudah memerah dengan genangan air yang ikut menghiasi mata hijaunya. Skylar terdiam, wajahnya menjadi datar melihat Aleena yang menahan air matanya.

"Aku tak bisa menahan amarahku, bila aku tidak pergi aku bisa saja mengambil anak panahku dan mengarahkannya tepat di mulutnya," Aleena menggeram dan bernafas berat.

"Lakukan, dia pantas menerimanya," ejek Skylar.

Aleena terdiam dan menatap dingin Skylar dan berlenggok menuju lift dan Skylar mengejar kembali.

"Bila memang dia tak memiliki kemanusiawian di dalam dirinya, mengapa aku ingin membunuhnya? Aku akan menjadi sepertinya," ujar Aleena sambil berjalan.

"Aku tidak ingin menjadi dirinya, better be my self," balas Aleena parau penuh sindiran.

Baru saja Aleena dan Skylar sampai di tanah basahnya dengan hujan mengguyur, mereka disambut oleh rombongan Cadance dan semua pria lainnya baik yang dikenal Aleena mau pun tidak.

"Mengapa semua listrik mati!?" tanya Cadance, suaranya pecah dan panik.

Semua orang menatap Aleena dengan penuh kecemasan pula, mereka merasakan hal yang sama dengan tak adanya listrik yang dapat mengurung mereka di dalam ruangan dari serangan mendatang.

"Dia mengalirkan semua listrik ke gerbang Vega, membuat semua listrik tak berfungsi dan terserap ke gerbang Veganya. Alatnya rusak, dia merusaknya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain mencari jalan alternatif lain, siapa yang pernah menemukan jalan keluar lain selain gerbang Vega?" jelas Aleena cepat.

"WAIT, WHAT !" pekik Cadance dengan suara histerisnya.

"Para Savagery, apa kalian tak pernah melalui jalan lain menuju keluar?" tanya Aleena bergesa pada lima pria yang memakai seragam serba hitam termasuk Skylar.

"Kita selalu menggunakan gerbang Vega," sahut seorang pria tinggi dan putih di belakang Cadance bernama Seth. Wajahnya tegas, muda, tampan seperti Skylar.

"Mengapa terburu-buru A? ada apa?" Skylar berbisik di telinga kanan Aleena dari belakang.

Aleena kembali terdiam. "Kita tak bisa lebih lama lagi di dalam sini," ujar Aleena singkat dan ia langsung pergi menuju suatu tempat.

Di balik sikap acuhnya, Aleena menyembunyikan sesuatu yang membuatnya harus begitu terburu-buru mengambil tindakan, ia mendapatkan sebuah 'penglihatan' lagi. Dommed sudah mulai pulih, ia ingin mengambil lagi apa yang ada pada Aleena.

Selagi Aleena masih bersusah payah untuk menutupi penglihatannya dari pencurian Dommed, ia terus mencari cara bagaimana cara mengeluarkan semua orang dari dalam. Dommed akan datang ke benteng mereka lagi dan akan menghancurkan lebih banyak dari sebelumnya.

Aleena mulai berjalan sendirian tanpa orang yang mengganggunya, dia terus menunduk lesu, kemudian ia mendangak perlahan dan menatap awan kelabu yang terus mengeluarkan tetesan air dinginnya. Bila ia terus berdiam diri di dalam, rasa bersalah yang besar akan menggentayangi seumur hidupnya.

Hingga langkah Aleena terhenti di tengah-tengah jalan setapak, tak ada orang di sekelilingnya. Ia hanya merasakan beban yang begitu berat terus membuntutinya ke mana ia pergi, sembari ia terus berfikir bagaimana cara mengeluarkan orang dari dalam dan membuat orang percaya.

Aleena tak mengerti bagaimana bisa menjadi sesulit ini, apa yang harus dia lakukan adalah hal yang selanjutnya ia fikir matang-matang. Namun entah mengapa dia begitu gundah dan dilema perasaan cemas yang membeludak, masa-masa penentuannya adalah hari ini. Keluar atau tidak sama sekali.

"Bagaimana aku bisa mengeluarkan mereka," gumam Aleena sendiri.

Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, hanya ada beberapa blok ruangan kosong dengan tembok tinggi di belakang mereka masing-masing. Tak dapat dengan mudah memanjat tembok setinggi dan selicin itu dalam satu kali percobaan. Hati Aleena terus berdebar merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang ia rasa akan datang lagi.

Bila ia terlambat sedetik saja maka habislah semua orang di belakang Aleena, tak ada tersisa dan tanggung jawabnya akan terbengkalai.

Hingga sesuatu terbesit di benaknya bagai selaju cahaya yang lewat begitu saja, Aleena menghela nafas dan menarik nafas lagi. Hingga ia berlari lurus ke depannya dan menuju afdeling.

Ia menuju afdeling satu yang kosong, membuka hingga bunyinya menggema besar dan sambung-menyambung di lorongnya. Gelap dan tak ada pasokan cahaya seperti dahulu, lalu Aleena berlari lagi menuju bunker satu, ruangan miliknya dahulu.

Ia dengan gusar menyorong pintu bunker satu hingga terbuka dan kembali tergesa-gesa menuju tempat tidurnya. Semua ranjang kosong, hanya meninggalkan sebuah kasur tak berseprai, berbantal atau berguling. Hanya milik Aleena seorang yang masih utuh dengan barang-barang miliknya yang tak terangkut.

Ia membuka laci miliknya gusar, mencari benda yang ia cari dengan cepat. Mengobrak-abrik dalamnya hingga ia mengeluarkan semua benda yang ada di dalam sana dengan santai. Tak ada.

Semakin gelisah Aleena mencari dan berpaling pada kasur miliknya. Ia mengangkat bantal dan guling lalu melemparnya ke sembarang arah, lalu menarik kasurnya dengan kuat hingga menampilkan bawah kasurnya, Tak ada.

"Aku rasa aku menaruhnya di bawah sini," gumam Aleena dengan nada yang panik.

"Shit," gusar Aleena tak menemukan kertas yang ia cari.

"Tak mungkin Matilda mengambilnya, ia hanya memiliki buku satu dan buku dua, bukan petanya," gumam Aleena lagi.

Ia menyisir rambutnya sembari terus berfikir, ke mana kertas yang ia simpan di bawah ranjangnya? Tak ada yang tahu tentang kertas yang ia sembunyikan itu, yang selalu ia pandangi setiap malam hari di waktu untuk tidur.

"Azzura?" gumam Aleena tak yakin, Azzura tak mengetahui peta The Fort itu.

Aleena kembali pergi keluar, ia harus bergegas cepat sebelum pagi dengan cepat pergi dan digantikan oleh malam yang mencekam. Itu adalah menit-menit di mana Aleena tak banyak berbicara, ia hanya terus berlogika di mana kertas itu berada. Kertas di mana ia pernah melihat sesuatu yang masih belum ia tahu apa itu.

Hingga keningnya mengerut kecil, nama yang terbesit di kepalanya keluar. Namun ia tentu saja tak yakin dengan apa yang ia fikirkan, namun lebih baik memeriksa dari pada tidak ada hasil sama sekali.

Aleena kembali berlari dan kini menuju afdeling dua, ia tak pernah mengunjungi afdeling lain atau pun masuk. Para Bunker's sendiri pun seperti diasingkan satu sama lain, tak bisa bertemu. Afdeling dua berada tiga blok dari afdeling satu dan seterusnya dengan afdeling-afdeling lainnya.

Ia sampai di afdeling dua, berbeda dengan afdeling 1 yang di depannya hanya terpampang gambaran jalan setapak dengan ruangan-ruangan lainnya yang kosong. Afdeling 2 di kelilingi oleh pohon-pohon rindang, bahkan atapnya ditutupi dengan rimbunan daun hijau yang rindang.

Medan energi yang tak aktif membuat Aleena dengan mudah masuk ke dalam, lorong menuju ruang tengah Afdeling 2 tak jauh berbeda dengan Afdeling 1, sama dinginnya dan gemaannya.

Hingga ia sampai di tengah-tengah puluhan orang yang duduk dan melakukan aktifitas lainnya, beberapa orangnya belum sadar bila Aleena muncul dengan seragam serba hitamnya yang berbeda dari semua Bunker's pada umumnya. Hingga dengan teratur Aleena melangkah maju beberapa pasang mata sudah melihati Aleena dengan tatapan yang datar.

Beberapa orangnya juga mulai berdiri dan perlahan afdeling 2 menjadi sunyi dan tak memiliki suara-suara wanita lainnya. Inilah Afdeling 2, wanita yang memiliki nama-nama yang di mulai dari huruf G sampai L sesuai dengan peraturan sebelumnya.

Wanita di afdeling 2 mayoritasnya adalah wanita muda-muda, tak ada wanita lanjut usia seperti di afdeling 1 yang berkeliaran. Rasa canggung menyelimuti Aleena ketika setiap wanita menatapnya dengan tatapan yang aneh dan tak dimengerti, mereka juga terlihat menatap seragam Aleena yang berbeda sendiri.

"Aleena?" hingga suara wanita merdu menyebutkan namanya muncul dan disusul dengan seorang wanita pirang yang mencoba menggeser beberapa tubuh yang menghalanginya.

"Apa yang kau lakukan? Apa yang terjadi di luar sana?" tanya Anastasia pelan.

"Mengapa listriknya mati?" tanya Anastasia lagi.

"A- aku ke sini-" Aleena tergagap, ia begitu merasa canggung dengan semua pandangan setiap orang yang melihatnya seperti merasa 'aneh' itu.

"Kau mencari ini?" Anastasia mengeluarkan sebuah kertas di tangannya, dan dengan rasa terkejut Aleena mendatangi posisi Anastasia.

"Bagaimana kau tahu tentang ini?" tanya Aleena menyelidiki.

"Aku melihatmu setiap malam, dan jangan bilang hanya kau yang tak bisa tidur cepat," balas Anastasia menggidikkan kedua bahunya.

"Aku membutuhkannya." Aleena ingin mengambil kertas di tangan Anastasia namun Anastasia menggerakkannya hingga Aleena tak dapat menangkapnya.

"Apa yang terjadi di luar dan mengapa listriknya mati? Semua orang cemas karena pintu tak terkunci dan tak ada cahaya yang menerangi," sahut Anastasia begitu serius, perwakilan atas semua Bunker's.

"Anastasia. Siapkanlah kebutuhan yang banyak," ujar Aleena rendah.

Anastasia menggeleng tak mengerti, "Apa maksudmu?"

Aleena dengan sigap mengambil kertas di tangan Anastasia dengan cepat, ia tidak memiliki kata-kata yang meyakinkan untuk dijelaskan. Di benak dirinya sendiri pun, ia merasa gelisah, meyakinkan Anastasia saja terasa begitu sulit dikeluarkan lidah yang kelu, bagaimana dengan semua Bunker's dan yang lainnya?

Aleena dengan cepat berpaling dan meninggalkan semua orang, namun ia terhenti sebelum ia menghilang. Ia berbalik dan menatap semua orang dengan teduh dan serius, membuang nafas berat.

"Medan energi sudah habis, benteng ini sudah mati. Kita akan keluar," ujar Aleena dingin lalu ia berpaling pergi.

"Apa!?"

"Apa yang dibicarakan?"

"Betulkah?"

"Astaga tidak mungkin, bagaimana bisa?"

Bisikan dan desisan semua wanita menjadi heboh, semua perasaan takut, tak percaya, cemas, dan gelisah langsung dirasakan setiap orang dan membuat panik dengan suara-suara yang dilontarkan semua orang.

Ketika Aleena menginjakkan kaki keluar dari sana, ia menuju sebuah ruangan. Aleena duduk di sebuah kursi dalam kesendiriannya, ia membuka lembaran kusutnya dan menjelejahi setiap detail peta The Fort di kertasnya, mencari sebuah celah yang bisa digunakan untuk keluar. Ia membalik bentuk kertasnya sesuai dengan mata angin di hadapannya.

Ia mengatur posisinya sebagai menara Gloetik menjadi pusat, ia mencocokkan satu per satu bangunan di gambar dengan di alamnya. Semuanya sama percis dan hanya beberapa yang berubah dari bangunannya.

Ada begitu luas dan banyaknya bangunan yang harus di teliti Aleena sendirian, memakan waktu banyak bahkan lebih dari satu hari. Namun waktu yang ia butuhkan sangat cepat karena ia begitu bergegas.

Ia terus meneliti setiap detail dengan cepat dan akurat, setiap detiknya kini lebih berharga bagi Aleena yang mengejar waktu. Bila terlalu lama di dalam maka kesempatan untuk mencapai dunia luar sebelum malam akan hilang dan tak ada kesempatan lagi.

Aleena berhenti di sebuah kotak kecil di bagian Nest, tepat di samping kanan menara Gloetik. Warnanya lebih berbeda dari semua gambar yang berwarna hitam, bila ia teliti lebih detail ada sebuah coretan halus dari pensil di dekat gambarnya. Namun Aleena tak dapat mencari tahu apa tulisan yang ia lihat kertasnya.

Lalu dengan cepat Aleena berdiri dan menuju suatu tempat lain.

Ia sampai di rumah seorang Ridcloss yang tak ada pemiliknya, ia menyalakan sebuah lilin dan apinya memberikan sebuah penerangan kecil. Aleena dengan berhati-hati menaruh kertasnya di atas api redamnya, membuat bayangan dari sinar apinya. Benar saja, percobaan Aleena kali ini berhasil dan sesuai dugaannya.

Tulisan tangan yang samar itu terlihat, namun masih membuat kerutan samar Aleena tak hilang. Sebuah kata yang tak dimengerti Aleena.

Exodos.

Nest

"Aleena dari mana kau?" panggil seorang pria berat melihat Aleena berjalan kembali ke dekat gerbang Sega.

"Hey mau ke mana kau?" panggil Gustavo lagi ketika Aleena lewat begitu saja dengan sebuah kertas di tangannya.

Aleena menuju tempat di belakang gedung Gloetik, lalu harapannya lenyap ketika ia hanyalah melihat sebuah lapangan kosong. Ia fikir ia akan menemukan sebuah ruangan di belakang menara Gloetik sesuai di peta The Fort yang ia teliti, namun itu semua membuat Aleena lebih bingung.

Ia berdiri di lapangan kosongnya sendirian dalam keheningan berfikir dan semakin bingung karena tak ada apa-apa sesuai ekspetasinya. Matanya terus menelaah setajam belati ke setiap sudut tanah yang ditumbuhi rumput sepanjang 3cm. Kakinya berpijak di setiap sudut mengelilinginya.

Langkah kaki datang dengan pelan, matanya menatap Aleena dengan kerutan bingung. Aleena yang ia lihat terus berputar-putar di atas tanah kosong itu hanya membuat Gustavo semakin heran.

"Apa yang kau lakukan? Apa yang sebenarnya kau cari di sana?" tanya Gustavo berderet.

"Sesuatu yang disembunyikan, atau yang dirahasiakan," sahut Aleena datar.

"Aku melihat di petanya, di gambar ini jelas-jelas tergambar sebuah ruangan di daerah sini. Tapi sekarang?" ujar Aleena datar, menatap Gustavo penuh harapan besar.

"Itu kertas ratusan abad lamanya, semuanya tak permanen. Bangunan yang dimaksud bisa dihancurkan atau sudah tidak ada lagi sejak puluhan tahun yang lalu," sahut Gustavo memberi opini.

Aleena menunduk sesal, ia tak memikirkan hal itu sebelumnya. Tentu saja bangunan yang dimaksud bisa saja dihancurkan seperti bangunan-bangunan lainnya. Ini jalan kebuntuan lagi bagi Aleena yang masih berusaha dan mengejar waktu.

"Ini akan segera senja, you better help everyone," sahut Gustavo dingin, kemudian ia dengan teratur berbalik menuju tempat semula.

Aleena menghela nafas pasrah, tindakan begitu bodoh yang memberikan rasa kekecewaan yang begitu membeludak di hatinya. Ia berlajan perlahan melewati tanahnya, sepatunya menghentak keras di tanah karena kesal.

Hingga perasaan asing timbul di benaknya, ia langsung menghentikan kakinya tepat ia berada. Sesuatu yang berbeda ia rasakan ketika ia perpijak di dua langkah terakhir, rasanya tanah tidak seperti yang lainnya. Lebih lembek dan dingin ia rasakan auranya, dengan gerakan teratur Aleena mundur perlahan dua langkah.

Lalu ia menengok ke bawah dan berjongkok di atas rerumputannya, kerutan meneliti terus terpampang di wajah mulusnya. Bibirnya ia gigit ketika berfikir, sembari tangannya menjambak rumput hingga habis tak bersisa. Ia membuka telapak tangannya dan menempelkan di atas tanah basahnya seperti ingin merasakan hawa di tanah.

Dingin, ia merasakan tanah yang dingin. Dinginnya seperti hawa besi yang selama bertahun-tahun ia rasakan berada di dalam bunker besi. Aleena dengan cepat berdiri, kakinya ia hentak-hentakan kuat di atas tanah. Lalu ia berlari mencari Gustavo.

"Gustavo! kemari!" pekiknya pada Gustavo yang tak terlalu jauh darinya. Gustavo menurut dan mendatangi Aleena dengan pelan.

"Ruangannya ada di bawah tanah," sahut Aleena tersulut-sulut.

"Bagaimana kau bisa tahu?" ejek Gustavo kembali.

"Ini ada di bawah tanah, aku bisa merasakannya. Kau harus mulai menggali, ini sangat dalam," sahut Aleena dingin. "Percaya padaku," sambung Aleena pelan di nadanya.

Gustavo menatap Aleena dingin, tak berkata apa-apa selama beberapa detik. Percaya pada wanita itu adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan di sela-sela kebuntuan idenya. Tak ada pilihan lainnya dengan memanggil anak buah yang lain dan mulai menggali dengan cepat sebelum malam menghapus cahaya matahari di balik awan kelabu yang tebal.

Aleena menoleh cepat pada segerombolan pria yang dibawa Gustavo, begitu banyak dengan sekop yang mereka peroleh dari para Ridcloss yang biasa bekerja di lahan pertanian mereka. Aleena mundur perlahan dan membiarkan 30 pria yang membentuk sebuah lingkaran sempurna dan menggali menggunakan sekop mereka.

Diameter yang besar memakan waktu mereka menggali begitu lama dan belum sampai pada kedalaman satu meter. Mereka membutuhkan orang tambahan, Aleena hanya diam menggigit jari melihat semua orang mengerjakan prasangka yang ia miliki, sesuatu terkubur di dalam tanah itu.

Berpuluh-puluh menit berubah menjadi jam dan waktu mereka untuk menggali lubang besarnya sudah mencapai kedalam hingga delapan meter, namun belum ada tanda-tanda apa pun. Beberapa orang sudah mulai kelelahan dan ragu, jika mereka lebih menggali ke dalam tanpa tanda apa pun mungkin sebuah lahar inti bumi akan mereka dapat.

"Ini sia-sia," sahut seorang Tent pasrah.

"Tidak ada apa-apa di dalam sini," sahut pria itu kembali dan menancapkan sekop ke tanah. Semua pria yang ada di dalam lubang mendadak berhenti dan menatap dukung pada si pria itu.

Aleena berhenti menggigit jari, menengok sang pria yang kesal tersebut. Ia mulai berjongkok di pinggir lubangnya dan kembali menatap ke dalam lubang hampa.

"Mungkin lebih dalam lagi," ujar Aleena sedikit terbata-bata di nadanya.

"Ini sudah begitu dalam," ujar seorang pria lagi lesu.

"Aku yakin ada beberapa meter di dalam sana," sahut Aleena lagi tak mau menyerah.

"Hey, kita sudah menggali, meneteskan keringat dan kehujanan di dalam lubang ini selama berjam-jam dan tidak ada hasil apa-apa, kau hanya mengada-ada," sulut seorang pria lagi mengancungkan telunjuknya ke Aleena di atas.

Semua pria mulai berdumel tentang kondisi mereka saat ini hingga suara Gustavo menghentikan mereka.

"Hey! Gali lagi dua meter, bila tidak ada tanda apa pun kita berhenti," ujar Gustavo dingin, otomatis semua pria menjadi kaku dan patuh tak berani mendumel bila atasannya sudah begitu tegas dan dingin.

Berlanjutlah 30 orang pria di dalam lubang yang dalam itu menggali untuk dua meter ke bawah selanjutnya, tancapan sekop yang menggali pasirnya bertambah banyak, semua orang bergotong-royong pula mengeluarkan pasir itu ke luar dari lubang. Semakin dalam lubang yang mereka gali semakin sulit mereka membuang pasir ke luar lubang yang sudah hampir mencapai 9 meter.

Perasaan cemas tentu saja tidak akan pernah hilang di kalbu Aleena. Ia terus saja berguman, 'bagaimana bila ternyata ada, namun itu 5 meter lebih dalam lagi. Tapi Gustavo menghentikan pencarian di 2 meter galian selanjutnya?'

Tentu saja Aleena merasakan perasaan yang bercampur aduk seketika, caci makian untuk dirinya terus terngiang di kepalanya. Ingin rasanya ia sendiri yang menggali ke dalan sana hingga menemukan apa yang ia rasa nyata.

Hingga ketika seorang pria di pinggir kanan menggali lebih dalam dan kuat mendadak ia merasakan sekopnya terhantam sesuatu.

Sesuatu yang terbuat dari bahan yang sama dari sekop itu sendiri, besi.

Ia masih tak yakin dengan firasatnya, hingga ia memastikan dengan menggali lebih dalam tanpa memberitahukan kondisinya pada semua orang yang masih sibuk menggali dan membuang pasir ke atas. Tak perlu lebih dalam ia menggali ia merasakan lebih detail besi yang kini seperti sebuah lantai yang datar.

"Aku menemukannya!" pekiknya histeris dan membuat semua orang terhenti dan ikut histeris melirik.

Aleena yang berada di atas begitu terkejut dan riang gembira dan membuatnya tengkurap di atas sana dan mengintip dari pinggiran lubang bak seorang anak kecil yang bermain di kolam renang.

Gustavo melempar sekop yang ia pegang dan mulai meneliti temuan anak buahnya, ia berjongkok dan mulai mengibas-ngibaskan pasir di sekitar besi yang dihantam sekop pria pirang di dekatnya. Sebuah besi seperti atap ia temukan, datar dingin dan membuatnya lebih penasaran.

"Semuanya! Gali lebih dalam hingga terlihat semua," perintah Gustavo langsung. Semua orang yang mendengar begitu laju dan kini dengan perasaan yang bersemangat, karena apa yang mereka temukan juga membuat hasrat penasaran yang besar.

Sedikit demi sedikit semua permukaan lebih terlihat dan memberikan gambaran di dalam tanahnya. Beberapa sisinya masih tertimbung pasir, namun semakin lama ini terlihat jelas dari mata Aleena dan semua orang yang ada di atas.

"Ini jalan rahasia," sahut seorang pria begitu riang.

"Ini sebuah jalan rahasia untuk keluar!" tambahnya lagi tak kalah gembira.

Gustavo kembali berjongkok pada sebuah pegangan besinya yang memanjang, ia sadar bila kekuatan manusia sebesar apa pun di dalam lubang itu tak mampu menarik pegangan besinya.

"Semuanya keluar dari lubang," suruh Gustavo kembali, dengan teratur semua orang yang di dalam mulai memanjat ke atas dengan dibantu oleh orang-orang yang ada di atas.

"Sisanya, cari sebuah tali yang kuat," sahut Gustavo lagi dari bawah.

"Hey, gudang di dekat ruangan X-ray 2 ada sebuah tali yang cukup kuat dan panjang," sahut Will pada semua orang sedikit memberi bantuan.

Selang beberapa lama, mereka kembali datang membawa sebuah tali berwarna biru gelap, hampir seperti hitam pada beberapa orang di pinggiran lubang di atas. Selagi Gustavo masih di bawah sendirian mereka mulai melempar tali itu, dengan cekatan Gustavo mulai mengikat simpul tali di beberapa sisi gagang besinya dengan sama rata.

Setelah semuanya terikat seperti yang ia inginkan, ia mulai naik ke atas dan dibantu oleh asistennya yang setia.

"Dalam hitungan ke tiga, tarik bersamaan," titah Gustavo pada semua orang yang memegang tali panjangnya seperti ingin melakukan tarik tambang.

"1 ... 2 ... 3!"

Semua pria mulai menarik talinya dengan kuat bersama pijakan kedua kaki mereka bersamaan, menarik tali untuk membuka sebuah ruangan di dalam sana.

"Tahan!!" ujar Gustavo di tengah-tengah sana. "Tarik !!" teriaknya mendorong semangat.

"Terbuka!!" pekik Aleena memberi kode kembali.

Erangan besar dari suara-suara pria yang terdengar semakin membuat besi yang ada di bawah terbuka, membiarkan sisa-sisa tanah di atasnya berhamburan ke sisi pojoknya ketika terbuka lebar. Aleena berdecak kagum, apa yang ia lihat di petanya tidak salah.

Tulisan yunani yang ada di kertasnya artinya adalah 'keluar'. Orang-orang dahulu membuat jalan ini sebagai jalan cadangan untuk keluar bila terjadi kedesakan keadaan di benteng mereka, yang nyatanya berguna di abad-abad selanjutnya.

Aleena mendekati penghujung lubang itu, ia memiringkan kepalanya ke kanan melihat dengan teliti apa yang ada di dalam, namun gelap yang ia lihat. Cadance datang di samping Aleena begitu pula dengan Skylar dan Gustavo berbaris.

"Selamat, kau menyelamatkan kita lagi," tepukan pundak dari Cadance nyaris membuat air mata kebahagiaan Aleena menetes, sebuah hasil yang ia peroleh dari harapan yang ia pendam, usahanya setidaknya membuahkan hasil.

"Kita harus mulai mengevakuasi semua orang untuk keluar dari sini melalui jalan ini, ini sudah menjelang senja dan aku takut bila hari akan cepat berganti," tambah Cadance.

"Gus, kau mengurusi semua anak buahmu dan lainnya. Aku akan menggunakan kepercayaanku untuk meyakinkan semua Bunker's," ujar Cadance kini memimpin. Gustavo hanya diam bersikap dingin dan masih menatap lubang di dalamnya yang ada sebuah tangga besinya untuk turun di dasar ruangannya.

"Rubah pasirnya menjadi sebuah semacam tangga agar memudahkan semua orang turun," ujar Gustavo pada setengah anak buahnya yang masih tersisa, dan langsung dikerjakan.

Cadance berjalan dengan percaya diri menuju afdeling untuk melakukan tugasnya. "Cadance! Aku ikut." Aleena melengking pada Cadance.

"Tidak, kau cukup banyak melakukan hal yang membantu semua orang hari ini. Aku akan datang dengan semua Bunker's untuk keluar," ujar Cadance halus dan terdiam sejenak. "Terima kasih, atas usahamu." Cadance tersenyum singkat dua detik dan kembali pergi.

Aleena menghembuskan nafas berat, hingga sebuah rangkulan dari belakang ia rasakan dan berasal dari Skylar. Ia berbalik badan dan mulai memeluk tubuh Skylar dan menjadi hangat. Kepalanya ia taruh lebih dalam ke relung Skylar dan merasakan lebih banyak kenyamanan dan istirahat sejenak.

"Well done A," gumam Skylar sembari lengannya membelai punggungnya yang basah.

"Istirahatkan sejenak kakimu, karena kita akan melakukan perjalan lebih panjang dan melelahkan di luar," ujar Skylar penuh kemistisan.

Aleena meneguk salivanya, firasatnya mengatakan bila di luar lebih buruk dari pada di dalam. Banyak hal yang tak terduga bisa menyeret mereka pada yang lebih buruk, kehilangan atau lebih parahnya kematian.

Namun firasat terkadang bukan teman terbaik, ia membuat harapan lenyap dan berubah menjadi kesedihan dari impian semata.

Selama ia menunggu Cadance, Gustavo dan semua orang yang menyiapkan keberangkatan keluar benteng, Aleena mencoba mencari beberapa anak panah di beberapa tempat. Setelah Aleena mendapatkannya ia kembali berjalan setelah beberapa rombongan orang mulai keluar dengan raut wajah yang dingin dan ketakutan, ia tahu ini waktunya keluar.

Tanpa sengaja ia menoleh ke atas menuju penghujung menara Gloetik, tentu saja ia menoleh karena ia merasakan seseorang melihatinya sedari tadi dan benar saja. Matilda menatap Aleena bak seorang hantu yang diam tak bergerak di atas sana dengan rambut pirang yang lusuh terlihat jelas di balik kaca retaknya.

Kaca gelapnya mulai memudar karena tidak ada energi yang memopang listrik di atas sana, membuat kaca itu seperti sebuah kaca ruangan biasa. Aleena masih mendangak memperhatikan wanita itu, di saat semua orang keluar untuk menyelamatkan diri, wanita itu masih saja di dalam sana dan tak ingin keluar.

Rasa itu muncul, rasa simpati dan kasihan. Aleena menatap Matilda kini lebih redup dan ingin mengajaknya keluar.

Terlalu lemah ia berada di sisi arogan, bukan hal sombong yang patut Aleena banggakan kali ini.

Rasa manusiawinya masih ada, membiarkan orang itu sendirian di dalam sana tanpa bantuan akan membuatnya gila, membiarkannya mati sendirian sepertinya membuat iba Aleena sendiri.

Baru saja kakinya ingin beranjak mendatangi Matilda untuk mengajaknya keluar, Matilda sendiri di atas sana mundur dan menghilang dengan dingin.

Seperti sebuah jawaban 'tidak' yang tersirat.

"Satu langkah permulaan milikmu," ujar Cadance pada Aleena di tangga tanahnya, sebelum menyentuh tangga besi di ruangan rahasia di bawah tanah.

Aleena menarik nafas, lalu ia turun dan dengan cepat suara sepatunya menghasilkan gemaan memanjang ke terowongannya. Sembari tangan kanannya memegang sebuah lampu untuk menerangi perjalanan di dalam sana ia juga mulai mengambil langkah-langkah baru ke ruangan yang tak pernah ia masuki itu.

Ruangannya gelap dan memanjang membuat Aleena cukup was-was berada paling depan, busurnya tetap setia berselang di depan dadanya dan anak panahnya cukup banyak persediaan. Harapan saat itu hanya semoga tidak ada sebuah Molk atau Ghroan di balik gelapnya dan meloncat bak kijang ke arah Aleena.

Aleena menoleh ke belakangnya dan masih banyak orang yang turun di ujung sana, semua terowongan besarnya terisi penuh oleh kawanan orang yang mulai keluar. Gustavo masih berada di luar ruangannya untuk memastikan semua orang sudah masuk dan mulai menyusuri terowongan gelapnya.

Ris, Azzura, Bianca tepat berada di belakang Skylar berjalan dengan ketakutan akan gelap dan terowongan tanpa pehujung itu. Cadance masih berada di samping Aleena dengan katana indahnya melekat di kaki kanannya. Disusul dengan semua orang yang tersisa di belakangnya berjalan seperti sebuah semut mencari sarangnya.

"Berapa lama kita sudah di sini?" tanya Aleena mulai gelisah.

"Mungkin sekitar 30 menit," sahut Cadance mengira-ngira.

"Aku harap di luar belum gelap," ujar Aleena mengisi kekosongannya.

"Hey, kau berada di bawah bermeter-meter tanah dengan pohon yang ada di atas kita yang sedang terguyur hujan. Apa yang kau takutkan? Kita masih ada waktu," sahut Cadance menggidikkan bahu santai.

"Hebat, melihat mereka membangun tempat ini," cerita Cadance semakin berlanjut. "Beruntung, kau melihat di dalam peta itu," sambungnya kembali menyanjung Aleena.

"Ke mana menurutmu terowongan ini berakhir?" sahut Cadance lagi pada Aleena.

Aleena terdiam sejenak. "Aku punya firasat," ujarnya.

Keheningan lagi dan bersama langkah ribuan kaki yang terdengar, kadang membuat beberapa orang bosan dengan perasaan itu.

"Beruntung terowongan ini tidak ada cabangnya, bila ada entah kita harus memilih yang mana," sahut Wolf dari belakang santai.

"Ketika kau berbicara seperti itu bisa saja terwujud dalam keadaan seperti ini. Astaga, itu seperti semacam doa!" desis Yura emosi.

"Maaf," balasnya. "Aku hanya errr berjaga-jaga," ujar Wolf lagi menggidikkan bahu.

"Bila perkataanmu benar-benar terwujud, kau yang harus memeriksa satu per satu lorong dengan berlari sampai mendapatkan jawabannya!" desis Yura menggeram emosi lagi.

"Oh no man," gumam Wolf menyesal.

Semua orang yang mendengar di depannya hanya memutar bola mata jengah dan berharap tidak ada cabang seperti yang Wolf bilang. Karena akan begitu membuat pusing kepala Aleena nantinya.

Aleena memelankan langkah, sebuah belokan terlihat begitu melengkung ke kanan dan membuat Aleena was-was. Bila ia berbelok dan melihat percabangan di terowongannya maka habislah dia, hanya keberuntungan yang bisa membawanya keluar dari masing-masing penghujung cabang itu.

Ia memberanikan diri lagi berjalan dan mengikuti belokan terowongan berdiameter besar itu, penampakan berbeda terlihat dari terowongan baru itu. Sebuah lentera yang menyala di langit-langitnya seperti membawa sebuah jalan ketenangan, lentera cahaya yang terus bersinar sedari dulu berkat kecekatan orang-orang dahulu menemukan benda seperti itu.

"Itu sudah berada sejak ratusan abad? Wow," bisik Cadance terpesona.

"Itu seperti tanda," ujar Aleena kecil.

"Tanda?" sela Cadance mengerut "Tanda apa?"

Aleena menegok pada Cadance dengan wajah cantik berserinya. "Tanda penghujung terowongannya, dan aku berharap firasatku benar," ujar Aleena dan melanjutkan jalannya.

Kini ia mulai berlari meninggalkan rombongan di belakangnya, ketika ia mulai lebih jauh lagi perlahan sebuah cahaya pudar berada di penghujung terowongannya. Senyum lebar tertera di wajah Aleena dan diikuti dengan Cadance, Skylar dan semuanya yang ikut berlari.

"No way," ujar Cadance tak percaya.

"Kita akan keluar," ujar orang-orang lainnya juga senang.

"Kita sudah sampai!" pekik Aleena pada semua orang di belakangnya. Hingga ratusan orang itu berdumel susah payah membicarakan apa yang Aleena teriakkan tadi.

Gustavo dengan perlahan muncul dari balik kerumunan orang mendatangi Aleena yang diam memandangi cahaya pudar di ujung terowongannya dengan sebuah tangga yang terlihat.

"Bila firasatku benar, maka kita akan berada di suatu tempat," ujar Aleena tenang.

"Di mana?" gubris Gustavo.

"Di kota," ujar Aleena dengan senyum kemenangannya, ia berhasil membawa semua orang keluar langsung menuju kota, tanpa melewati hutan yang dibilang berbahaya.

"Okay," terdengar suara Skylar dan tarikan nafasnya.

"Langkah pertama keluarnya untukmu lagi A," ujar Skylar tersenyum lembut.

Aleena tersenyum teduh pada Skylar dan melirik lagi Cadance, yang kemudian dibalas anggukan setuju darinya. Aleena menarik nafas, ini dia saatnya untuk menghirup udara kota yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Yang hanya sering ia dengar dari mulut ke mulut, yang hanya sering ia dengarkan dari banyak penjelasan.

Juga tempat di mana ia berasal sebelumnya, menemukan sesuatu yang lagi disembunyikan. Namun tak perlu waktu lama bagi Aleena menemukan letak 'hal' itu, lautan adalah tujuan dia selanjutnya untuk memusnahkan The Dropprunus.

Aleena berada di ujung terowongannya di mana semua mata memandanginya dengan tenang tanpa suara. Sebuah kerutan tanda kegelisahannya mulai muncul di wajahnya, kini ia hanya bisa berimajinasi terlebih dahulu tentang pemandangan apa yang akan ia lihat di kota nanti.

Apakah masih terlihat indah?

Apakah seperti imajinasinya?

Apakah masih seperti yang kisahkan Skylar padanya?

Apakah ia akan langsung menemui ribuan Ghroan yang ada di tengah-tengah kota bagaikan rakyat penguasa kota?

Atau ia langsung menemukan Dommed sedang menunggunya?

Ia langsung menggeleng menghilangkan prasangka buruk tentang kota yang ia ingin jumpai, satu langkah ia ambil pada anak tangga yang terbuat dari batu dan di selimuti lumut hijau. Satu langkah lagi ia ambil dan perlahan ia dapat melihat sebuah cahaya redup dari kotanya.

Sembari ia mengambil busurnya dan ia genggam ia mulai mengambil langkah selanjutnya tanpa ragu-ragu. Warnanya berubah, perasaannya mulai berubah, hatinya berubah menjadi berkeping-keping, rasa takjubnya hilang di bawa angin terbang, ini bukan seperti apa yang ia harapkan melihat kota yang masih memiliki keindahan yang masih bersisa.

Ini adalah kota yang benar-benar musnah dan hancur .

City Of Ronely

******

-Sebelumnya Taqaballahu minawaminkum semua, mohon maaf lahir dan batin :)

-Thank you for reading dan menjadi penunggu yang setia, gimana THR nya *loh?

-Oke, jadi untuk cerita next tentang perjalanan mereka di kota Ronely, dan gak sampai puluhan part lagi kok The Fortless akan 'The End'

-Semoga berkesan dan jangan lupa tinggalin vote dan komentar biar bisa di lihat semua pengguna Wattpad lagi :p

-Thank you so much for your support, aku selalu membaca bolak-balik komentar kalian loh di sela sela aku buat cerita dan merasa bahagia banget atas partisipasinya :') <3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro