Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 36 - Pimpinan Upper

Suara mesin berbunyi dalam tempo bergantian yang selaras, suaranya tak membuat banyak orang khawatir tiap mendengarkannya. Bahkan seperti alunan penyemarak ruangan yang kosong tanpa banyak orang lain.

Suara dari mesin detakan jantung yang terpasang di tubuh Aleena yang tidur masih berbunyi, suaranya lengking dan menggema ke ruangan cukup besarnya. Hanya ada tiga orang di dalam ruangan sana termasuk Aleena.

Perlahan alam sadarnya aktif kembali, ia dapat merasakan hawa dingin besi juga dengan dengungan suara yang sering ia dengarkan setiap hari.

Namun kali ini Aleena mendengar suara lain, suara yang terdengar tak asing baginya. Cukup dekat dengan jangkauan pendengaran Aleena yang masih mencoba berbaur dengan sekitarnya.

Matanya tertutup rapat seperti tak ingin melihat apa yang akan ia saksikan ketika membuka mata, apakah masih ada bekas jejak pertempuran? ataukah tubuhnya terbaring bersama puluhan jenazah yang mati akibat perang?

Ia memberanikan membuka matanya, sayup-sayup matanya terbuka memperlihatkan warna hijau yang indah dengan mata yang masih basah. Satu kedipan saja ia langsung melihat lampu redup di atasnya.

Putih bersih menyongsong tubuhnya yang tergeletak lemah, Aleena kembali mendengar suara tak asing itu. Hingga ia melirik kecil ke kanannya, mata hijau bersihnya mendapati Yura tengah tersenyum dengan seseorang, terlihat di rautnya begitu gembira mengobrolkan sesuatu yang membuatnya tertawa, memperlihatkan deretan gigi putihnya.

Suara balasan tertawa kembali terdengar yang kali ini lebih merdu, Aleena menatap lawan bicara Yura di depannya duduk dengan raut tak kalah riang dengan Yura dan masih tertawa bersamanya, Azzura.

Karena keasyikkan mereka bersenda gurau tentang suatu hal, mereka tak sadar bila Aleena sudah siuman. Sudah terbangun sejak dua hari terakhir pingsan, seorang putri cantik yang tersenyum kecil melihat sahabatnya begitu penuh gelak tawa.

Apa yang ia takutkan dengan melihat kekacauan, musnah ketika mengamati raut bahagia Azzura dan Yura yang tertawa bersamaan, rasanya tak ada hal buruk yang pernah terjadi.

Yura tertawa. "Setelah itu kami menangkap kera itu, cukup sulit menangkap kelincahan kera kecil itu. Ia meloncat ke mana-mana, menjambak semua rambut yang berusaha menangkapnya, hingga ia ingin kabur lagi. Tapi ia tak bisa lepas, karena pohon di mana ia bergelantungan sebelum terjatuh begitu jauh," cerita Yura pada Azzura.

"Jadi dia tak diselematkan?" tanya Azzura senang, masih mengamati Yura yang bercerita.

"Hmm, karena kera itu tidak bisa memanjat temboknya jadi kami merawatnya. Pernah sekali kera itu berkeliaran bagaikan banteng lepas di Versal, dia membuat geger semua orang karena berlari begitu lincah. Untung saja pimpinan kami tidak ada," desah Yura memutar mata jengah.

Azzura masih selalu tertawa mendengarnya. "Aku membayangkan apa yang dilakukan kera coklat itu di sana," alis tebal Azzura terangkat.

"Kau mau melihatnya? Aku bisa menunjukkanmu suatu hari nanti," ujar Yura antusias.

"I'd love too!" pekik Azzura bersemangat, dirinya begitu tak sabar menantikan hari itu.

"Apa itu artinya kencan?" sambar Aleena yang sudah sedari tadi mendengarkan.

Azzura dan Yura menengok cepat, menatap Aleena nanar dan keterkejutan yang membahagiakan mereka. Aleena masih menatap Azzura dengan senyuman nakalnya, membuat wajah Azzura memerah.

Azzura beranjak dari kursinya, mendatangi Aleena dengan cepat dan langsung menangkap tubuhnya dalam pelukan hangatnya.

"Senang kau sudah siuman," umbar Azzura tersenyum lega. Mendengar kalimat dari bibir Aleena seperti mendengarkan kicauan burung merdu di hutan sana, sangat menenangkan jiwa yang gundah.

"Aku akan memanggil Will." Yura menyela dari belakang, bangkit dari kursinya dan mulai hilang dari balik pintu putih bersihnya.

Setelah dentumannya terdengar Aleena menatap kembali sahabatnya penuh dengan makna menggoda, melihat tatapan itu Azzura merasa risih walau ia masih terbaring lemah, masih bisa membuat Azzura ingin mencubit lengannya.

"Apa?" tanya Azzura.

"Jadi kau tertarik dengannya?" tanya Aleena menyipitkan matanya, mencari titik penilaian mata Azzura pada Yura.

"Ha! Lena sayangku, aku ingin sekali menjadukkan jidat mu ke dinding besi. Aku tidak menyukai pria itu," elak Azzura memendam emosi gemas pada sahabatnya.

Aleena terkekeh. "Aku sudah mendengarkan cerita kalian sedari tadi, aku melihat caramu memandangnya dan tertawa bersamanya, Zura aku sahabatmu dan aku tahu semuanya tentangmu," jelas Aleena tak ingin kalah walau ia masih lemah.

"Cepatlah sembuh, kemudian aku akan mencakarmu," dengus Azzura semakin gemas.

Aleena menatap Azzura penuh senyuman, wajahnya tak lusuh seperti apa yang ia bayangkan. Wajah ketakutan yang akan menghantui semua orang setelah datangnya Dommed. Senyuman Aleena seakan terkikis perlahan oleh ombak besar, hilang menjadi sebuah kerutan menilai ada yang kurang. Hingga ia tahu ada sesuatu yang tak komplit di sisinya, Skylar.

"Kau tahu di mana Skylar?" tanya Aleena parau, kali ini penuh kecemasan yang ia tanam.

"Hmm? Oh, aku tidak tahu dia di mana Aleena maafkan aku," balas Azzura rendah.

Penjelasan Azzura memberikan dampak sengatan pahit di lubuk Aleena, namun rindu yang besar terus bersarang ingin dilampiaskan dengan memeluk tubuh kekar dan hangat itu.

Azzura menepuk pundak Aleena. "Tenang saja, dia lebih mengkhawatirkan dirimu dibanding dirinya sendiri. Jika kau berfikir dia baik-baik saja maka itu yang akan kau dapatkan. Cobalah untuk tenang, dan tak berfikir asal-asal," jelas Azzura.

Aleena menghela nafas kesabaran untuk menunggu Skylar muncul, karena terakhir kali ia melihatnya, pria itu penuh kesakitan yang luar biasa, Aleena mencemaskan bila racun itu menyakitinya atau membuat kondisinya lebih buruk.

Aleena masih merenung pelan, kemudian jemarinya merasakan satu benda yang tersemat di jari manisnya sangat serasi, cincin yang diberikan Skylar. Ia tahu bila Skylar selalu ada bersamanya dan akan baik-baik saja ketika Aleena mengharapkan hal itu padanya.

"Terima kasih," ucap tulus Aleena, efek tenang memang terasa ketika seorang sahabat memberikan saran.

Saran seorang sahabat tak akan pernah salah, karena mereka tahu benar apa yang terbaik untuk kita, mereka mengenal kita, ia akan memprioritaskan diri kita sendiri dibanding yang lainnya.

"Anytime," balas Azzura begitu tulus, menggenggam lengan Aleena yang masih dingin.

Suara pintu terbuka dan memunculkan sosok dewasa yang tak sabar melihat kondisi Aleena setelah siuman. Will dan Cadance, berbarengan mendatangi Aleena di sana. Dan Azzura yakin waktunya sudah tiba untuk pamit, meninggalkan sahabatnya itu sendirian dengan sang ahli.

Azzura membelai pipi Aleena penuh rasa cinta, dan tersenyum akan makna pamit untuk sementara. Ada Yura yang mengantarkannya kembali ke bunker, menemani Ris di sana.

Aleena kini terbaring hanya ditemani oleh Will yang duduk di samping ranjang Aleena, juga dengan wanita yang terlihat lelah duduk termenung dengan sebuah perban di keningnya.

Objek perban yang membalut kening Cadance menjadi pusat perhatian Aleena, ia masih memandangi penuh pertanyaan, sehingga Cadance yang melihat Aleena terus memandangnya cukup risih.

Cadance mengangkat kedua alisnya pada Aleena dengan makna 'ada apa?' namun dimengerti Aleena.

"Ada apa dengan keningmu?" tanya Aleena prihatin.

Cadance menghela nafas penat. "Ketika aku jatuh, aku terhantam gagang katana yang berat, well aku masih beruntung tak bertemu dengan sisi yang tajam," jelas Cadance memutar matanya malas.

Will mendeham. "Virus yang melekat di kulit sekitar pergelangan kakimu sangat beracun, dia beradaptasi dengan jenis kulit, dan ketika terserap melalui pori-pori ia akan menyebar perlahan dari balik kulitnya. Menjalar ke setiap sel dan mulai menggerogoti inti dalammu, lalu kau akan menjadi lemah dan bila tak dirujuk dengan cepat akan lumpuh," jelas Will tiba-tiba.

Aleena menarik nafas panik, ia membuka selimut yang menutupi bagian pinggul sampai kakinya. Satu hal yang ia harapkan adalah ia masih melihat dua kakinya, bukan hanya satu saja karena sudah diamputasi.

Ia bersyukur ketika melihat dua kaki jenjangnya masih ada, hanya pergelangan kakinya terlihat terbalut oleh suatu perban putih, di mana tempat lendir Dommed mengenai kaki Aleena lusa kemarin.

"Kakimu tidak apa-apa sama dengan Skylar halnya. Ingat tentakel Dommed yang terpotong oleh Cadance? itu dibawa oleh beberapa Tent untuk diperiksa oleh Orvos. Lendirnya memiliki banyak virus yang membuat rasa lepuh."

"Ada satu benda yang tersembunyi dari tentakelnya belum ia keluarkan saat itu, di balik penghisapnya ada sebuah duri-duri kecil, seperti bulu-bulu tajam bukan seperti duri Ghroan."

"Bila duri itu ia aktifkan dan mengiris kulitmu bersama lendirnya yang akan meresap ke kulitmu, kau bisa menjadi sebuah Molk. Dan ya, lendir itu asal dari virus Mepis, penyebab banyaknya manusia berubah menjadi Molk," tukas Will menerangkan penuh kedataran suara.

"Ketika Dommed itu menghantamku dengan tentakel lainnya ia tidak mengeluarkan lendir beracunnya di tentakel itu. Kesimpulannya, dia mengontrolnya kapan saja ia mau mengeluarkan lendir itu," tambah Cadance dari belakang Will, masih memijat keningnya.

Aleena menangguk paham. "Jadi? Apa para Upper mengetahui perihal tentang makhluk itu?" tanya Aleena tajam.

"Semuanya sudah tahu sejak hari itu datang, Gustavo dibawa ke Gloetik untuk diintrogasi karena ia melakukan hal itu tanpa pengetahuan Upper, dan ia dimintai penjelasan." Ujar Will pelan.

Aleena menggeleng lengah, ia takut bila mulut comber Gustavo itu akan membeberkan perihal apa yang diincar Dommed pada dirinya, mempercayai Gustavo bukan hal yang mudah mengingat betapa kejamnya pria itu.

"Kita harus sudah mulai keluar dari sini," gumam Aleena, namun kilatan matanya menuju Cadance meminta dukungan.

"Dengar Aleena, sudah dua hari hujan tak berhenti, cadangan energi matahari mereka menipis, mereka meminimalkan pemakaian sumber tenaga di dalam benteng untuk menghindari resiko keluarnya banyak energi, mereka sedang gila karena tak ada matahari yang memberikan cadangan energi listrik pada benteng."

"Untuk itulah Orvos sudah berhenti bekerja karena alat mereka minim digunakan, pintu-pintu kini tak di kunci kembali karena menyerap banyak energi. Kita sedang kesulitan tenaga listrik karena tak ada matahari."

"Hujan terus mengguyur tanpa henti, jika ini berlangsung begitu lama maka cadangan energi matahari kita akan habis, dan kita akan lumpuh ketika mereka menyerang ke dalam lagi," jelas Will rendah, nadanya sangat mengiris hati setiap telinga yang mendengar.

Aleena menghela nafas berat, menghantamkan kepalanya ke bantal dan menatap sinar redup lampu mereka. Ini sama saja menuju kepunahan manusia bila ia terus di sini .

"Ini mimpi buruk," gumam Aleena menghela nafas frustasi .

"Ketika mereka menyerang lagi tak ada pertahanan kuat di dalam, mereka dapat menjebol masuk benteng dan masuk melalui pintu tak terkuncinya," umbar Aleena memberi pendapat.

"Semua orang berfikir seperti itu, akhir-akhir ini banyak pembicaraan tentang sesuatu hal. Beberapa Tent sudah berinisiatif untuk meninggalkan benteng ini dan mencari tempat tinggal baru-"

"What?!" pekik Aleena memutus.

Cadance menatap Will, iris mata hijaunya meminta dukungan untuk melanjutkan apa yang mereka sembunyikan dua hari terakhir selama Aleena pingsan dan tak tahu apa yang terjadi.

Will berpaling yang bagi Cadance adalah sebuah kesetujuan yang pahit untuk memberitahukan pada Aleena.

"Mereka tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, mereka ketakutan karena makhluk itu," tambah Cadance lagi, menatap Aleena penuh kemirisan benteng mereka yang mulai rentan.

"Para Upper masih berasumsi bila benteng mereka masih kuat, 'pemerintahan' mereka masih bisa menangani semua permasalahan yang berdatangan. Tapi bagi mantan pemimpin sepertiku yang pernah dilanda hujaman masalah, perkataan itu sebagai embel-embel untuk menutupi kekacauan, untuk meyakinkan orang lain 'kalian aman bersama kami'," hujat Cadance sendiri.

"Bahkan aku sudah tidak percaya dengan motto itu, aku merasa tidak aman, tidak akan pernah lagi," gumam Cadance, ia menjalarkan kaki indahnya ke depan dan menyandarkan punggungnya di kursi sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Kita harus keluar dan menghancurkan sumber kehidupan mereka secepatnya, di saat mereka di masa rentan dan masih masa penyembuhan. Atau ketika mereka kembali, mereka sudah belajar dan memahami titik kelemahan benteng ini, menyerangnya dan-" Aleena bergugus, hingga kalimatnya menjadi menggantung dan membiarkan semua yang mendengar mengisinya dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Terserahmu," lempar Cadance pada Aleena, ia jelas tak tahu apa yang harus ia lakukan lagi. Karena masa-masa penghabisan bentengnya akan datang sebentar lagi, dan ia akan bersiap.

Aleena menangkap beban Cadance, semuanya tergantung pada dirinya kali ini. Namun ia masih mengharapkan partisipasi oleh Will, karena itu Aleena menatap Will penuh muluk-muluk dukungan.

Will masih tak ingin memandang Aleena, ia tak bisa memandang manik mata hijau Aleena. Setiap kali ia menangkap iris hijaunya hanya kepahitan yang ia rasakan, ia takut kehilangan Aleena.

"Will," panggil Aleena, namun pendengaran Will menganggap itu adalah sebuah pertanyaan.

Will terdiam begitu lama, Cadance menatap Will dan tahu bila mantan bawahannya itu sedang cemas dan mempertimbangkan pilihannya, seperti dahulu ia bersikeras untuk mengambil Dserum dari perintah Cadance.

"Will," gubris Cadance mengingatkan, juga lelah menunggu jawaban Will.

"Apa yang ingin kau lakukan?" tanya Will pada Aleena yang masih terbaring. Will juga tahu ia tak selamanya selamat dari bahaya, ia sudah yakin bentengnya tidak aman dan kuat lagi.

"Kita harus keluar dari sini, para Upper harus mengizinkan kita dan membuka gerbang Vega untuk kita. Kita akan bernegosiasi dengan pimpinan Upper," jelas Aleena.

"Dan?" tanya Cadance lagi.

Aleena menggeleng. "Bukan, pimpinan yang satunya."

"Aleena aku tahu apa yang kau fikirkan, menerobos hingga ruangan penghujung Gloetik?  itu hanya sia-sia," sela Cadance mengambil poin yang tersangkut di logikanya.

"Itu yang ingin kau lakukan?" gubris Will menoleh pada Aleena yang masih malas untuk duduk, menghabiskan waktu dengan berbaring saja.

"Yap," Aleena mengangguk.

"Penjagaan ketat di atas sana, banyak Tent special yang menjaga khusus ruangan Tiera di sana. Kau tidak bisa dengan mudah memasuki ruangan itu," ujar Cadance.

"Kau pernah bilang padaku aku adalah asap, aku tidak bisa ditangkap dengan mudah. Untuk itu kita buat mereka kesulitan," gerutu Aleena.


***


Hari yang ditetapkan Aleena sebagai hari pembongkaran siapa pimpinan Upper sebenarnya tiba. Benar-benar teguh pendirian untuk menemui pimpinan Upper yang disembunyikan dari pengetahuan banyak orang.

Apa yang membuat orang itu disembunyikan? Mengapa setiap perintahnya berakibat begitu tak adil dengan semua orang. Hanya memprioritaskan kalangannya saja, para Upper. Semua peraturannya begitu mengganjal, dari mengurung wanita sendiri. Pembuka tutupan gerbang Sega dan semua peraturan yang berlaku di The Fort.

Aleena masih mengikatkan tali sepatunya di dalam bunker, lalu memakaikan sepatu di kaki kirinya terahir. Ia masih dapat melihat perban yang membungkus, berhenti sejenak dari kegiatan menyimpul tali sepatunya.

Apa yang Aleena fikirkan hanyalah Dommed dapat masuk lagi ke sini, dan melukai Aleena lebih parah dari sebelumnya. Atau bahkan melukai banyak orang yang masih tersisa dari daftar buruan Dommed.

Ia kembali menelan bulat tekatnya, untuk memusnahkan sarangnya dalam jangka waktu yang dekat. Sendirian atau bersama orang lain bukan apa yang Aleena fikirkan, melainkan hirupan nafas kebebasan setelah menghancurkan benda itu.

Aleena berjalan pelan, tidak ada rasa lainnya di sekitar pergelangan kakinya walau ia berjalan dengan cepat di tanah becek.

Hujan yang mengguyur membuatnya harus cepat menuju Grassandor, tempat satu-satunya tanpa Upper yang berkeliaran. Setelah sampai di suatu pondok ia menunggu rekan lainnya yang datang.

"Di mana mereka?" tanya Aleena pada Cadance yang duduk di sampingnya.

"Mungkin masih mencoba untuk kabur, Will tidak bisa ikut karena ini bukan keahliannya. Kekerasan bukan kemampuan terbaiknya, dia hanya pria penuh kelembutan dan kecerdasannya," jelas Cadance lagi.

 Dua orang pria datang bersamaan dengan berlari menghindari hujaman air deras yang dingin, Yura dan Wolf beriringan bersamaan hingga sampai pada titik di mana mereka berkumpul.

"Hanya kita berempat?" dengus Aleena memutar mata jengah.

"Tentu saja kita akan kalah dengan hanya empat orang, kita butuh orang banyak lagi," cibir Aleena pada Cadance menatap makna 'serius?'.

"Bagaimana dengan Gustavo dan Skylar?" tanya Wolf sambil memeluk tubuhnya sendiri yang menggigil .

"Tak ada kabar dari mereka akhir-akhir ini, entah di mana mereka atau sedang apa mereka sebenarnya," ujar Cadance lesu.

Aleena mendecak kesal. "Berapa banyak penjaga di sana?" tanya Aleena tak ingin memandangi semua rekannya yang pasti masih menatap Aleena penuh dengan penantian perintah.

"Well, kita tidak tahu. Tidak ada yang pernah ke atas sana bahkan beberapa Upper nya pula," tambah Wolf.

"Apa kita harus memakai kekerasan?" tanya Yura mengamati Aleena teduh.

Aleena menggidikkan bahu. "Hanya itu yang bisa dilakukan untuk menerobos sampai atas sana, juga dengan berlari, ingat Yura?" tatapan Aleena pada Yura, mengingatkan kejadian dahulu ketika mereka kali pertama masuk dengan paksa ke menara Gloetik.

"Baiklah." Wolf mengambil pisau di sakunya, desingan pisau dan tempatnya terdengar membuat semua mata menoleh padanya menatap nanar.

"Ini kekerasan bukan?" tanya Wolf datar, namun mata semua orang masih mengamati dingin.

"Ya, hanya jangan sampai membunuh mereka," ujar Cadance memutar mata jengah. "Gunakan senjata hanya untuk gertakan," ingat Cadance lagi.

"Aku masih menyimpan katana miliknya," sela Cadance tersenyum miring pada Aleena.

"Aku punya tombakku," sela Yura.

"Aku minta busurmu," kini Aleena bersemangat, ia ingin benar-benar memergoki siapa pimpinan Upper sebenarnya, dan mengapa dia begitu misterius.


Hujan tak ingin berhenti, bumi hanya berusaha sekuat tenaga menahan tekanan air yang terus jatuh membasahinya. Bila hujan yang dahulu adalah berkah, kini hujan menjadi tidak terkendali dan menjadi sebuah mala petaka.

Bila musim hujan akan terus begitu lama, sama dengan musim panas, dingin, dan gugurnya. Semuanya tidak ada yang seimbang kali ini, akibat global warming yang semakin memuncak parah setiap detiknya.

Wolf masih memperhatikan dari kejauhan pintu Gloetik, di dalamnya masih banyak para Upper yang berjalan lamban bagaikan siput taman.

Seraya Wolf masih menetralisir keadaan, Yura bersama Aleena dan Cadance manunggu aba-aba di pinggiran gerbang Sega. Lengan Wolf perlahan melambai-lambai menuju mereka, ketika ia melihat satu garis lurus yang kosong di tengah tanpa seorang Upper pun yang melewatinya. Tepat menuju lift, untuk langsung menuju ke lantai paling atas dan akan bernegosiasi atau sedikit memberontak.

"Kau siap?" bisik Wolf meyakinkan.

"Maksudku kau percaya bila memang ada pimpinan lain di atas sana? Bagaimana bila itu hanya drama Dan saja?" gubris Wolf.

"Damn Wolf, jangan membuatku tak percaya dengan semua yang sudah aku ikat rapi. Kau hanya membuat semuanya menjadi buruk," gerutu Aleena memutar mata tajamnya.

"Di aba-abaku," sekarang giliran Yura mengambil alih, ia masih menatap sekeliling Gloetik.

Mereka masih menatap tajam ke depan, penuh ketelitian tentang mengamati sekeliling di sana. Sembari menunggu begitu lama aba-aba dari Yura.

"Go!!!" bisik Yura.

Dengan gerakan serempak mereka berempat mulai berlari, langkah mereka besar dan begitu kencang hingga membuat suara deruan angin dari tubuh mereka yang melawan derasnya air hujan.

Pintu itu didobrak lengan besar Wolf, membuat semua mata berpaling pada arah suara hantamannya, lajunya lari mereka membuat semua para Upper belum menyadari, hingga seorang Upper nya mulai berteriak.

"Hey!! tahan mereka!!" jerit Rowan, musuh bebuyutan Aleena.

Para Upper itu berlarian, namun keempat tubuh mereka sudah tersusun rapi menuju lift sebelum mereka dapat dicekal. Rowan berlari sangat kencang, tubuh besarnya mengalahkan laju kerabat lainnya yang ikut berlari.

Yura menekan angka paling atas berulang kali dengan panik, tetapi pintu lift yang lama menutup membuat mereka tegang karena puluhan Upper sudah berlari menuju lift mereka.

Rowan sudah berada di depan pintu lift sendiri tanpa sadar ia begitu dekat dengan jarak Aleena yang ada di dalam lift, mata mereka bertemu dan menyiratkan ketajaman dan dendam yang masih merekat.

Aleena berada di paling dapan di dalam liftnya, ia panik karena Rowan akan mengambil tubuhnya dan menariknya keluar. Hingga Aleena acap menarik satu anak panahnya dan menarik di talinya.

Ia mengarahkan pada tubuh Rowan bersama tatapan menggeretaknya, Rowan berhenti menatapnya penuh ketakutan dan diam mengeremkan kakinya, ada dentuman besar yang membuatnya takut dengan anak panah yang mengarah padanya.

Hingga pintu lift tertutup rapat.

Rowan gelisah dan ia langsung terkucar-kacir menuju arah telfon komunikasi, menekankan beberapa nomor kontak untuk rekan di lantai atas, ia tahu ke mana tujuan Aleena dan orang lain.

"Jaga ruangan atas ada penyusup!" Rowan membanting telfonnya dan mulai menaiki tangga menuju lantai atas, mengimbangi lajunya lift.

"Oh tidak," gumam Yura.

"Ada yang menekan lift di lantai tiga," sambung Yura panik.

Pintu lift terlanjut terbuka sebelum Aleena mencari cara lain. "Hey!!" panggil seorang Upper yang berkeliaran. Upper itu berlari menuju arah lift lurus, sembari Yura masih melanjutkan menekan tombol lantai teratas berulang kali.

Pria itu sudah berada di depan pintu yang belum tertutup, dengan berbagai gerakan Aleena kembali menarik panahnya dan mengarahkannya pada tubuh pria itu sebagai sebuah gertakkan.

Cadance, Yura, dan Wolf hanya bisa menatap penuh ketegangan di dalam hati dan berdoa, agar Aleena tak nekat membunuh seseorang hanya ingin bersikeras menemui pimpinan Upper.

Upper itu berhenti, matanya penuh kilat ketakutan ketika arah panah terarah menuju jantungnya oleh seorang wanita. Pintu lift akan tertutup perlahan, mendadak pria itu melanjutkan larinya menuju pintu lift.

Aleena panik dan tanpa sadar panahnya terlepas. "Oh my god," pekik Aleena tak sadar. Dengan secepat kilat panah itu tembus melewati sisi kiri pria itu untungnya, dan dikiranya itu sebagai peringatan untuk tidak maju lagi.

Hingga pintu lift tertutup, meninggalkan pria yang jantungnya sudah berbedar begitu heboh ketika panah Aleena lewat di sisi leher kirinya hampir mengenainya, bahkan suara anginnya dapat ia dengar jelas.

"Aleena kau bisa membunuh orang hari ini," dengus Cadance, nafasnya lepas setelah ia menahannya sedari tadi.

"Maaf," gerutu Aleena risih. "Ketika sampai di atas kalian tahu apa yang harus dilakukan," perintah Aleena kembali pada tiga orang di belakangnya.

Helaan nafas sambung-menyambung di belakang Aleena terdengar, juga sebuah retakan tulang kepala di mana Wolf begitu tak sabar untuk menghajar seseorang kali ini.

Angka di lift semakin lama semakin tinggi, suara dengungan liftnya menjadi pusat pendengaran mereka, namun bagi Aleena yang ia dengarkan adalah kicauan jantungnya yang berdebar.

Ada suatu gretakan hati yang ia rasakan, hal tak terkirakan akan datang padanya. Entahlah apa hanya karena ia masih sakit, gila, atau hanya perasaannya saja.

Hingga pintu lift terbuka dan jejeran enam Tent bagaikan sebuah patung penghias lantai kosong itu. Di setiap sudut dengan jarak dua meter setiap orangnya saling berhadapan.

Tent itu menatap nanar, yang datang bukanlah salah satu orang yang memiliki akses menuju ruangan tersebut. Tent itu mulai menyerukkan kalimat teguran dan mulai mendatangi mereka berempat.

Dengan cepat mereka berlari keluar dari lift, Yura dan Wolf dengan cepat menghajar satu Tent setiap jiwanya begitu cepat. Sedangkan Yura masih menghajar perut seorang Tent dan dengan berbagai teknik apapun ia gunakan layaknya seorang petarung ring tinju.

Cadance menarik cepat jaket seorang pria hingga terlepas, bagian baju untuk lengannya ia lilitkan di leher pria itu dari belakang dan ia tarik dengan kuat. Pria itu memekik kesakitan, namun Cadance begitu kuat menarik hingga ia tak berkutik dan tersungkur di lantai.

"Errrrggghhh," ringkihan bariton prianya masih terdengar.

Wolf dan Yura mencari korban lagi, hanya dengan tangan kosong mereka sudah mendapatkan satu korban. Wolf dengan satu Tent lebih tua darinya tengah memutar lengan pria itu di belakang tubuhnya, membuatnya teriak kesakitan.

"Daaammn!" pekiknya.

Tent itu melawan, dan segala cara mereka bertarung dengan memukul lengan dan semua organ kelemahan mereka, membuat suara pukulan besar yang berlalu dengan cepat setiap gerakkannya.

Namun dengan sigap Wolf mengangkat tubuhnya dan terjungkir balik melewati pundaknya dan terbanting ke lantai, suara hantaman besinya membuat suasana menjadi ricuh.

Latihan dari Gustavo memang ada hasilnya, mereka dengan cepat membuat satu per satu Tent lemah kesakitan, suara gaduh yang terdengar dari bantingan tubuh di besi dan teriakan kesakitan mereka semua terus terdengar.

Yura mengambil besi tombaknya, menahan pegangannya di depan leher seorang Tent berambut hitam tebal. Ia menahan di depan leher Tent itu agar ia kekurangan nafas, dan setelah pria itu melemah Yura menghantamkan lengannya ke belakang tengkuk lehernya agar pingsan.

Sedangkan Aleena yang tak pandai dengan kekerasan hanya mengandalkan anak panah tajamnya, ia menariknya di tali dan mengarahkannya tepat di hadapan wajah seorang Tent berkulit hitam.

Tent itu bergeming, meneguk salivanya ketakutan karena wajah lawannya benar-benar serius, tak ada tanda main-main di wajah Aleena yang sangat datar.

"Buka pintunya," desisnya pada pria berkulit gelap itu mengancam.

"Sekarang!" pekik Aleena, ia menarik lebih kuat anak panahnya membuat pria itu mengerjit waspada.

Sembari tiga rekan Aleena masih pandai melumpuhkan penghalang, ia sudah duluan mengancam satu Tent yang berada di dekat pintu ruangan Tiera yang tertutup.

Namun tiba-tiba Aleena dikejutkan dengan tubuh seorang pria yang terbanting ke dinding depan Aleena, lalu kemudian sosok Wolf berjalan di belakangnya sudah selesai dengan bagiannya yang ia lempar ke dekat Aleena, sembari Cadance dan Yura masih sibuk di belakang sana membuat kegaduhan.

Wolf mengambil pisaunya dan menodongkan ke depan pria itu, untuk berjaga-jaga ketika Aleena masuk nanti pria itu tak memberontak.

Tak dapat berkutik, pria itu hanya dapat menuruti perintah pemberontak di depannya. Mulai memasukkan lima digit kode pembuka pintunya, hingga pintu itu tergeser ke kanan dan ke kiri membuat jarak di tengahnya.

Dengan cepat Aleena menarik busurnya lagi dan untuk pertama kali menginjakkan kaki di ruangan yang redup akibat kaca gelapnya yang mengelilingi.

Matanya menatap semua tempat hanya dikelilingi oleh berbagai macam tombol di mejanya dengan enam mekanik di setiap penjuru.

Semua mekanik menoleh ke belakang terkejut, suara gaduh yang mereka dengar ternyata adalah suara dari penyusup di mana mereka kira sebelumnya hanya seorang Tent tengah mengerjakan sesuatu di luar sana.

"Berhenti dengan apa yang kau lakukan," ancam Aleena mengarahkan sebuah panah ke punggung seseorang dan ia baru sadar keganjilan yang nyata.

Panahnya melonggar ketika ia menatap satu orang di dalam sana yang berbeda, berdiri sendiri mengontrol penuh setiap mekaniknya dan yang bersembunyi di ruangan atas selama bertahun-tahun lamanya.

Aleena melipat keningnya dan iris hijaunya menatap nanar tubuh seseorang menggunakan seragam putih tulang dengan lengan yang sudah mendekap di depan dadanya. Ia berbalik kaget dan semakin jelas wajah yang Aleena dapat akan siapa pimpinan Upper.

"Kau perempuan!?" pekik Aleena masih menatap nanar tak henti-hentinya.

"Ap- apa yang kau lakukan di dalam sini?" wanita itu tergagap, lalu kepalanya menoleh arah pintu yang terbuka.

"Kau perempuan!!" ulang Aleena kini sebuah pernyataan.

"Selama ini yang mengatur The Fort adalah perempuan!?" pekik Aleena menjadi-jadi lagi.

Wanita berambut pirang itu mengamati penuh keterkejutan dan ketakutan terhadap Aleena dan panahnya yang menuju tubuhnya. Membuatnya kikuk dan ia mundur teratur dalam satu garis, kecamuk pertanyaan masih ia simpang-siurkan melihat orang asing masuk di kantornya.

Aleena bahkan kehabisan kata-kata untuk memaparkan tentang kondisi yang tak terkira seperti ini, seorang perempuan mengatur semuanya yang bahkan peraturan di dalam mengatakan setiap perempuan diwajibkan untuk menjadi Bunker's bukanlah bekerja, apalagi memerintah di tingkat tertinggi.

"Aleena!" panggil seseorang kelelahan sehabis membuang banyak tenaga dari belakangnya dan berlari.

Cadance menghentikan kakinya, ia hanya berdua bersama Aleena dan kali ini ia ikut menatap nanar wanita di depannya. Wajah yang ia kenal dan penuh dengan memori masa lalu.

"Kau?" gumam Cadance penuh keterkejutan yang meledak bagaikan bom atom di hatinya.

"Kau!" balas wanita itu tegas teringat wajah Cadance.

"Aku kira kau mati!" bisik Cadance masih tak percaya, bibirnya membuat lingkaran kecil tak percaya menatap rekan lamanya yang ternyata adalah pimpinan Upper.

"Mati? Seharusnya kau yang mati," sambar wanita pirang panjang itu pada Cadance, menatapnya penuh dengki dan dendam.

Aleena kini hanya ingin mendengar perseteruan antara Cadance yang ternyata mengenal wanita seumuran Cadance di depannya. Ingin mendengar penjelasan wanita itu terhadap Cadance.

"Kau mengatur semua isi benteng? Kau membuat peraturan itu? Kau asal ketidakadilan itu semua!?" pekik Aleena memotong sudah tak sabar lagi ingin mendobrak kebohongan hidupnya selama ini.

Wanita itu melirik Aleena. "Ya," singkatnya licik. "Dan kau penyebab kehancuran benteng ini?" cibir wanita itu menatap tajam Aleena, ia sama sekali tak takut kali ini sudah terpergok.

"Ba- bagaimana bisa? Bagaimana bisa kau mengatur tempat ini! Bukannya seorang pria! Atau keturunan yang seharusnya!" desis Aleena merasa tak ada keadilan di sekitarnya, mencari jawaban akan keanehan yang datang padanya.

"Skylar?" tanya wanita itu, nadanya terdengar begitu depresi.

Aleena menarik nafas terkejut, bagaimana bisa wanita di depannya tahu tentang Skylar? Kini kepalanya mulai mendidih dengan banyaknya argumen dan opini tentang wanita itu memerintah.

"Dia hanya bocah kecil yang tak tahu apa-apa, aku diperintahkan sendiri oleh ayahnya untuk mengatur ini. Apakah kau masih membengkang atau mencari alasan lain?" pekik wanita itu tegas.

Wanita tinggi dengan rambut bergelombang itu terdengar penuh dengan emosi yang membuat mentalnya tak stabil, membuatnya terlihat setres dan terlihat jelas dari nada suaranya berbicara dan ekspresi wajahnya.

"Itu tidak mungkin, ayah Skylar penuh tanggung jawab dan tahu apa yang terbaik. Bukannya mengangkatmu dan membuat semua benteng penuh ketidakadilan! Kau pembohong!" balas Aleena menjerit.

Semua para mekanik di belakang hanya diam tak bisa melakukan apa-apa, Yura dan Wolf juga masih mematung di antara pintu mengetahui siapa pimpinan Upper yang menyajikan peraturan ketidakadilan bagi mereka.

"Ketidakadilan?" wanita itu mendengus mengejek. "Menurutmu menjaga nyawa setiap orang untuk tidak keluar adalah ketidakadilan? Apakah mengurung wanita di dalam sana ketidakadilan? Semua yang memiliki kekuasaan sudah bekerja keras, bersyukurlah dan nikmati setiap detiknya!" cibir wanita itu melotot pada Aleena dan Cadance.

"Kau bahkan tak tahu arti keadilan!" putus Aleena geram.

"Keadilan adalah memprioritaskan yang utama, nyawa orang adalah yang utama! Kau tidak tahu apa-apa mengenai mengatur semua ini selama bertahun-tahun lamanya!" desis wanita itu tak ingin kalah pada argumen Aleena.

"Lalu membunuh Savegery saja?" dengus Aleena mengejeknya.

"Mereka menandatangani perjanjian pada para Upper untuk menebus nyawa mereka demi orang lain, kita butuh mereka untuk mengambil supply benteng kita. Bagaimana kau tidur bila tanpa ranjang? Bagaimana ada listrik bila tidak ada ribuan alatnya? Bagaimana para Tent bisa berlatih tanpa bahan-bahan dari kota sana?"

Imbuh wanita itu menatap keji Cadance dan Aleena bersamaan, sorotannya mengingatkan pada Aleena dan Cadance jika semua yang dilakukannya benar adanya, tidak ada kekuarangan satu jua apapun.

"Matilda, kau hanya dendam," gumam Cadance menyimpulkan bila dari tingkah laku Matilda adalah sebuah kesalahan mental kejiwaannya.

"Dendam?" Matilda tertawa besar. "Tentang suamiku? Cadance, apa yang kau lakukan padanya hanya satu dari dendam ku padamu," kekeh Matilda santai.

"Kau gila!" jerit Aleena sadar bila Matilda adalah wanita yang stress.

"Kalian dipimpin oleh wanita depresi!" Aleena menatap para bawahan yang bekerja dengan Matilda.

"Aku tidak depresi, menurutmu aku depresi karena peristiwa The First Contiguity yang merenggut nyawa suamiku di bunker enam? Tidak, aku normal! Salah satu penyebab keterpurukan benteng ini sendiri adalah tindakanmu selama ini Aleena Sharlon!" tambah Matilda menatap kejam Aleena.

"Kau fikir sejak kali pertama kau berada di atap sana aku tidak memperhatikanmu? Menurutmu kau berkeliaran di kamp Orvos sana aku tidak melihat mu? Menurutmu bekerja di lahan Grassandor aku tidak mengawasimu? Aku mengawasimu Aleena dari atas sini, aku bisa melihat semua orang dari sini," desis Matilda begitu licik.

"Sejak kali pertama kau berani keluar aku terus memperhatikanmu, mengawasimu, menyelidikimu, kau tidak seperti wanita kebanyakan. Kau berbahaya bagi keselamatan orang lain di dalam benteng, kau perusak peraturan!" tambah Matilda masih berteriak histeris, menatap Aleena dengan tajam dan intimidasinya.

"Aku tidak percaya aku diperintah dengan wanita depresi sepertimu!" jerit Aleena menarik anak panahnya.

Mendadak tubuh Yura dan Wolf dihantam dari belakang dengan sebuah balok, mereka tersungkur pingsan dan seorang pria mendatangi Cadance dengan cepat tanpa Cadance sanggup untuk berontak.

"Arrggghhh," ringis Cadance ketika tangannya di kunci di belakang punggungnya. Acap kepala miliknya didorong ke bawah dengan keras agar ia tak lebih memberontak, Aleena menoleh panik dan dengan cepat busur Aleena ditarik oleh Matilda yang mengamati kelengahan Aleena.

Ketika Aleena menatap kaget berbalik ke Matilda, dari belakang Rowan mengunci tangannya kuat di belakang punggungnya.

"ARGHHH!" lengkingan suara Aleena lepas, tarikan tangan Rowan yang telaten dan ranggas tak mampu Aleena elak.

Semua yang direncanakan Aleena dan lainnya secara matang perlahan terkikis oleh waktu kegagalan, mereka tak dapat berkutik dengan banyaknya orang yang datang ke ruangan Tiera untuk mencegat aksi berontak kawanan itu.

"Bagaimana kalian bisa membuat mereka masuk!" dengus Matilda pada Rowan yang diam-diam salah satu orang yang memiliki akses menuju ruangan Tiera.

"Dia licik," ujar Rowan di samping telinga Aleena penuh kekesalan padanya.

"So, beritahu aku apa yang kau lakukan di kamp Orvos, pemberontakan macam apa yang kau lakukan? Apa yang ingin kau lakukan?" tanya Matilda mendekati tubuh Aleena penuh selidik sembari memikik emosi.

Cadance masih menatap was-was Aleena di belakangnya, namun Aleena masih menatap tajam sang mata Matilda yang merah padam.

"Aku ingin keluar dari benteng," singkat Aleena penuh ketegasan.

Matilda tersedak dan terkekeh mencibir. "Apa alasannya?" tanyanya menyelidik.

"Kau lihat makhluk kemarin? Dia akan datang kembali ke sini, sebelum itu terjadi aku harus membunuh sarangnya di lautan sana. Satu-satunya hal yang dapat memusnahkan organisme di luar, bagaimana pun caramu mempertahankan benteng ini darinya, ia memiliki banyak cara karena dia belajar."

"Jika dia kembali lagi maka korban akan bertumpukan dan jika dia mengambil apa yang ia mau maka kita semua akan mati," jelas Aleena cepat tanpa memilah kalimatnya.

Cadance menghela nafas kecewa, tanpa sadar Aleena membeberkan apa yang dirahasiakan olehnya. Bagi Cadance, Matilda adalah wanita yang cepat menyimpulkan perkara dan cerdas dahulu, karena suaminya adalah seorang psikologis.

"Apa yang ingin ia ambil?" selidik Matilda bergumam, ia mendapatkan satu poin dari kalimat Aleena.

Aleena masih belum sadar dan melanjutkan tanpa berfikir. "Energi, bila tergabung di The Dropprunus maka akan menyebabkan tingginya volume lautan dan membuat semua dunia tenggelam," jelas Aleena cepat lagi.

Matilda mengamati setiap detail kalimat Aleena, lalu ia memancing kembali Aleena dengan satu pertanyaan, karena Matilda tahu bila dalam keadaan rentan wanita di depannya ia akan tanpa sengaja membeberkan banyak hal.

"Di mana energinya?" gerutu Matilda, tubuhnya kini mendekatkan pada raga Aleena.

Aleena terdiam, ia menarik banyak oksigen karena kelelahan terus mengoceh menjelaskan tentang keganjalan di luar. Hingga selama beberapa lama ia menatap mata merah Matilda ia sadar, bila Matilda memancingnya pada kejerumusan jurang.

"Makhluk itu akan terus datang untuk mengambil energinya 'kan? Yang pasti energi itu ada di dalam benteng ini. Di mana itu?" ulang Matilda kembali mengiris bola mata hijau Aleena dengan tatapan tajam mengintimidasinya.

Aleena menghela nafas dan menelan saliva kepahitan, ini sama saja menyerahkan dirinya sendiri pada Matilda yang memiliki kekuasaan The Fort.

"DI MANA!!" teriak Matilda mulai dilanda depresi, ia menatap Aleena keji seperti ingin menampar wajah mulus Aleena saat itu juga.

Rowan tahu bila Aleena adalah kegagalan di masa lalu, namun Rowan tak mengerti tentang energi yang dibicarakannya. Rahasia kelompok lamanya pun tak pernah ia beberkan pada siapa pun, hingga sekarang.

"Dia eksperimen gagal," gumam Rowan pada Matilda.

"ROWAN!!!" teriak Cadance menggelegar mengingatkan pria harapannya dahulu.

Matilda menatap Cadance kemudian menilai kembali dengan semua yang terjadi, ketika Rowan mengatakan itu Cadance berteriak histeris yang artinya Cadance juga salah satu yang mengetahui hal itu.

"Aku sudah curiga tahun lalu ketika seorang Savagery hilang, aku mendengar simpang siur tentang eksperimen ini, namun sekarang aku percaya bila itu nyata," desis Matilda licik.

"Di mana energinya?" Matilda berpindah arah pada Aleena yang masih membungkam, tak ingin membuka mulutnya kali ini.

Ia memegang dagu Aleena ranggas, menekannya hingga Aleena merasakan irisan kuku tajamnya membelah kulit putihnya sendiri.

Matilda mendengus. "Kau tidak mau membocorkannya hah?" tanya Matilda, di matanya penuh emosi yang membuih panas di kepalanya.

Matilda melepas kasar dagu Aleena, nafasnya mulai berat dan memburu banyak oksigen ke paru-parunya. Semuanya harus ia kerjakan dengan perlahan dengan hasil yang pasti.

"Baiklah," singkatnya menghela nafas. "Panggilkan Gustavo itu, bawa mereka di lantai tiga, sisanya lemparkan ke luar," desis Matilda lagi dan disanggupi dengan penjaganya.

"No!!!"

"No!!!"

Aleena terus mencoba kabur dari dekapan Rowan di belakangnya, begitu pula Cadance yang akan ikut diwawancarai tentang perihal ini. Matilda membunyikan kelima jemarinya bersamaan, sudah lama ia tidak keluar dari ruangan Tiera.


Gloetik


"Aku mengenalmu sebagai pemimpin Tent di sini dan kau tidak ingin menjawab pertanyaanku?" teriak Matilda dilanda kegelisahan lagi dan lagi.

"Aku tidak mengenalmu," singkat Gustavo begitu dingin, ia duduk menghadap Matilda dengan tatapan tajamnya walau tak mengenal siapa wanita di depannya.

Aleena masih bergelinang air mata, ia duduk di samping Matilda dengan tangan yang terikat sebagai terdakwa. Cadance juga terikat di suatu kursinya di seberang Aleena, menatap Matilda terus tanpa ingin berpaling.

"Aku sudah muak dengan permainan kalian," gerutu Matilda penuh kedengkian. "Sekarang aku tanya padamu, dimana energinya?!" Matilda membanting tanganya di atas meja di hadapan Aleena.

Aleena semakin ketakutan mendengar suara-suara tinggi yang terus memaksanya mengucapkan kalimat pengakuan. Aleena masih sesegukan dan kali ini menggeleng pelan bersikukuh, mengulum bibirnya agar tak ada kalimat terlepas dari lidahnya.

"Beritahu aku di mana! Karena mereka akan kembali lagi!" jerit Matilda, nadanya frustasi sembari ia memutar tubuhnya selalu dilanda gundah-gulana.

Seseorang membuka pintu ruangan itu gusar, seorang pria dengan seragam merah maroonnya membawa lima lembar kertas putih yang ia ambil di gudang arsip mereka.

"Kami sudah memeriksa, dari darah yang tersampel berbeda dengan miliknya. Darah hasil yang tercetak berjenis A, milik dia adalah B. Catatannya positif salah," jelas seorang pria datang dan memberikan kertas pemeriksaan kesehatan beberapa minggu silam.

Matilda mengambil kertasnya kasar, membaca beberapa titik yang menjadi poin pemeriksa mengenai kesehatan Aleena, wanita yang sering diperbincangkan banyak Upper akhir-akhir ini karena ada ketidaksesuaian atau kesalahan.

Hingga Matilda membanting lembaran kertas itu di atas meja, semua mata hanya menatap dingin dan penuh tanya mengapa wanita di hadapan mereka begitu agresif dan tak terkendali emosinya, apakah dia memang gila?

"Ambilkan alat itu," suruh Matilda pada Rowan, dan dimengerti Rowan apa yang ia mau.

"Matilda, apa yang akan kau lakukan?" Cadance menggubris waspada, ia tahu bila wanita yang pernah menangis di belakangnya itu memiliki rencana licik dan berbahaya.

"Hanya memastikan bila perempuan ini sehat," gumamnya penuh sindiran.

Aleena meneguk salivanya, tak hanya dia saja, namun begitu pula Cadance dan Gustavo yang tegang. Bila ia tahu Aleena memiliki banyak virus Mepis ia akan dibunuh bahkan di tempatnya sekarang juga.

Rowan datang membawa sebuah alat, di ujungnya seperti sebuah suntikan namun ada sebuah layar kecil tepampang di tengahnya.

"Apa itu?" tanya Cadance semakin gelisah. "Matilda!!" pekik Cadance karena tak dihiraukan oleh Matilda yang sudah mengaktifkan alat itu.

"Aku tidak ingin memakai itu!" teriak Aleena panik, ia benar-benar tak ingin terkena oleh alat itu. Jantungnya mulai berdegup kencang saat ini, ia tidak tahu apa fungsi alat itu, apakah itu alat penarik jiwa? Entahlah, apa pun bisa terjadi ketika alat itu ditancapkan pada tubuh Aleena.

"Girl, you should," desis Matilda, hingga ia menancapkan jarum di pucuknya ke dalam leher kanan Aleena.

"Aaarggh!!" ringis Aleena mengernyit kesakitan, jarum tajamnya masuk ke dalam lehernya dan dapat ia rasakan perihnya jarum mengiris lapisan kulit tipisnya tanpa alkohol sebelumnya.

Cadance memberontak pelan, nafasnya mulai memburu panik karena Aleena begitu kesakitan mendapatkan suntikan setajam itu masuk ke dalam lehernya dan belum dilepaskan oleh Matilda.

Gustavo bergeming, menatap Aleena datar namun di lubuk hatinya ada benih kasihan, nafasnya mulai berat menatap Aleena yang terpejam menahan sakitnya, ia menggigit bibirnya untuk melampiaskan rasa sakit di lehernya.

"AAAARRRGGGHHHH!" jerit Aleena mengisi keheningan ruangan, suaranya menggelegar dan membuat semua gendang telinga bergetar bersama jantung mereka menyaksikan hal itu.

"Sakit bukan? Terboruz memberikan rasa pedih yang menghantarkan antibiotik ke dalam, lalu listriknya mengalir dan menyetrum ke setiap nadimu. Rasanya memang seperti tergigit jutaan semut api panas dan akan membengkak, tapi setara dengan hasil yang keluar. Hasilnya langsung kau dapatkan dalam hitungan detik saja," jelas Matilda datar, menatap licik iris mata Cadance.

"Aaaarrrrrgggghhhh...." Aleena tak hentinya menringis penuh kesakitan di sekujur lehernya. Rasa panas perlahan menjalar di sekitar lehernya, ingin rasanya ia menenggelamkan kepalanya penuh ke dalam satu ember penuh es.

Karena semakin lama semakin panas dan menyengat, air mata Aleena jatuh begitu banyak tak sanggup merasakan sakit luar biasanya. Hingga tubuhnya perlahan melemah, dan tak sanggup menegakkan tubuhnya di kursi.

"KAU BISA MEMBUNUHNYA !" jerit Cadance ingin berdiri dengan cepat dan menghantam wajah Matilda, namun kekangan tali di belakang kursinya tak bisa membuatnya ke mana-mana.

Matilda menarik langsung jarumnya, ia menunggu layar di alatnya hidup dan menampilkan hasil dari kondisi di dalam tubuh Aleena. Hingga layarnya menampilkan rangkaian rekayasa sebuah diagram kecil, huruf digital dan persennya tak luput dari pandangan Matilda.

Aleena jatuh lemah, namun ia bertahan karena cukup kuat untuk menahan rasa pingsannya. Ia tergeletak, tak bisa melakukan apa-apa di kursinya. Kepalanya tertunduk di depan lemah, membuat semua rambutnya jatuh menutupi wajahnya yang lusuh.

Rasa panas dan lehernya perlahan menggerogoti kemampuan bertahannya, ia tak bisa bergerak bahkan mendengar jelas apa yang dibicarakan orang lain, ia lumpuh.

Aleena hanya menutup matanya lemah, air matanya berhenti mengalir karena kelopak matanya tertutup rapat.

Sembari Matilda menatap nanar layarnya. "100%?" gumamnya tak percaya.

"Dan kau belum berubah menjadi Molk?" gerutu Matilda masih tak mengerti, namun ia begitu tercengang dengan hasil yang didapatkan.

"Dia tidak bisa! dan tak akan pernah," ujar Cadance menyela, agar Matilda tahu bila Aleena bukanlah ancaman sesunggunya.

"Suatu hari ia akan berubah," putus Matilda menyorot mata Cadance penuh keangkuhan.

Matilda menatap Cadance tajam, melirik Gustavo dingin dan menatap setiap orang lainnya datar. Kepalanya penuh dengan kepastian-kepastian mutlak yang akan terjadi bila mempertahankan wanita di sampingnya, hingga ia diam dan tenang berfikir.

"Kalian ancaman benteng ini," gerutunya pelan pada Aleena.

"Kill her," perintah Matilda kepada semua orang bawahannya yang ada di dalam bersamanya.


****


­-Terima kasih masih membacanya, hey hey! apakah ada yang bisa menebak kisah kelanjutan di part selanjutnya? Apakah ada serangan kah? Atau ada orang lain menggagalkan pembunuhan Aleena kah? Dan sebagainya?

-Vote dan komen yap jangan lupa :p

-Di media cast untuk Matilda.


12/06/2015

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro