Part 30 - Pertemuan
Aleena terus sesegukan di dalam leher Azzura yang sudah sedia dengan pundaknya untuk renungan bagi Aleena, menghabiskan waktunya menangis. Tak henti-hentinya Aleena menangis dengan pelan sembari air matanya terus mengalir pada kain berwarna coklat milik Azzura.
Tangan Azzura menggenggam lengan Aleena di atas paha kirinya, sekitar delapan wanita lainnya yang bersama mereka berdua di dalam bunker satu hanya dapat menatap haru kedua pasangan muda.
Semenjak alarm mereka tak berbunyi ada rasa takut yang menyerang, apakah memang septum di antara mereka tidak lagi kuat? Semuanya mendadak merengket bila terngiang pertanyaan tersebut.
Setiap mata di dalam ruangan itu hanya menatap hampa setiap hamparan benda yang mereka lihat, sembari jantung mereka terus berdebar tegang dan ketakutan, melanda mereka tak kunjung hilang.
Tentu mereka begitu ketakutan saat ketika serangan terdengar sampai ke dalam bunker mereka, pintu yang menjaga mereka tak kunjung menutup dan membuat fikiran mereka terus mengutarakan bila kematian akan mendatangi kapan pun ketika pintu yang melindungi mereka tak kunjung tertutup.
"Mengapa aku merasa orang yang paling tak memiliki harapan?" ujar Aleena sesegukan.
"Bahkan orang yang tak memiliki harapan tak pernah putus asa," ujar Azzura membalas sepelan dan selembut mungkin.
"Akui saja," gumam Aleena. "Aku-" batinnya tak sanggup mengatakan hal selanjutnya, di mana ia ingin mengatakan 'aku peneyebab semua itu dan kematian banyak orang'.
"Tak apa Aleena," elak Azzura menenangkan Aleena yang kembali terisak berat "Kegelapan akan terus merajalela bila kita tak memiliki cahaya, cahaya kita masih redup di dalam hati, keberanian adalah bahan bakar, kelapang dadaan adalah pelindungnya," gumam Azzura pelan.
Di dalam lubuk hati terdalam Aleena ia ingin sekali seperti ini bersama Azzura, mengingat sahabat karibnya adalah target pengejaran makhluk di luar sana, satu hal yang dapat membuat Aleena menyerahkan diri.
Di balik ini Aleena juga meratapi suatu hal yang masih membingungkannya, apa yang sebenarnya di kejar oleh sang Alpha? Apa yang sang Alpha itu butuhkan lebih tepatnya dari dirinya? apa yang akan dilakukan sang Alpha ketika mendapatkan 'hal' itu? Aleena memejamkan mata sembari meringis dalam kesakitan, tangannya menekan keras bagian jantung dan meringkuk pelan.
"Di mana yang sakit?" tanya Azzura sangat cemas, Aleena tak dapat menjawab, ia hanya menunjukkan jantungnya yang sakit pada Azzura seorang.
"Sepertinya kau butuh Artemorum, atau akan menambah parah," gumam Azzura.
"Tapi sepertinya tidak sekarang, mereka mengunci pintu keluar afdeling otomatis, sampai waktu yang di tentukan. Kau sebaiknya tidur dahulu untuk meringankan gejala jantungnya, beristirahatlah," suruh Azzura halus, membiarkan Aleena sendiri lagi di ranjangnya dan berpaling menuju tempat tidurnya.
Seluruh wanita di dalam kembali terdiam, menatap iba Aleena yang mereka lihat sebelumnya tergotong oleh seorang pria memakai baju hitam dalam keadaan tak sadarkan diri.
Lengan mulusnya terselip di belakang telinga, memiringkan tubuh dan menghadap dinding besi adalah satu cara untuk merenung dalam kabut sunyi dan gentingnya suasana.
Gloetik
Jemarinya terus mengurut dan memijat kedua sisi keningnya, berharap kepalanya membaik.
Deruan nafas kasar terus-menerus keluar, tak kunjung berhenti setiap detik berlalu, menghabiskan banyak waktu sendiri di dalam ruangan.
Serangan Grayden adalah kali pertama membuat seorang Dan dilanda pusing tujuh keliling, mendapatkan tamparan keras yang nyata jika benteng mereka sudah tak aman.
Berbagai jenis cara untuk menjaga benteng The Fort tak berhasil, berbagai jenis reformasi yang di usahakan untuk menyempurnakan keadaan sangatlah sia-sia dalam hari-hari ini.
Dewala mereka tak dapat menahan lebih lama lagi, faktor-faktor tak menentu membuatnya dilanda depresi meningkat.
Setiap usul yang diajukan pada atasannya itu tak kunjung dikabulkan, sikap otoriter pimpinannya adalah sebuah jalan buntu.
"Dan," panggil seorang pria muncul ketika pintu di ruangannya terbuka pelan.
"Dia ada di sini," sambung rekan Dan memberi kode.
Dan hanya mengangguk, tak menatap rekannya di ambang pintu.
Seorang pria yang terundang masuk, pintu di belakangnya perlahan menutup rapat meninggalkan dua orang pria berbeda seragam saling bertemu.
"Duduklah Skylar," ujar Dan mempersilahkan pria yang hanya termenung diam tanpa ekspresi duduk di depan mejanya.
Skylar duduk dengan pelan, tatapannya kosong dan dingin tak bergeming setiap kala mendengar helaan nafas Dan yang terdengar pasrah.
"Mari berbicara sebagai seorang rekan dekat," tutur Dan.
"Berapa skala akan kebinasaan benteng ini suatu hari nanti? 1-10." Tanya Dan rendah, penuh kepahitan di nadanya, Skylar kembali tak bergeming, namun tidak dengan otaknya yang bekerja keras untuk tak terpukul.
"Kau tahu bagaimana perasaan mereka bila di sini mengalami kondisi yang tak diinginkan seperti ini?" ujar Dan lagi sembari mengisi kekosongan waktu yang dibiarkan Skylar untuk berfikir.
"Ayah mu dan paman ku, apa yang akan mereka lakukan selanjutnya ketika benteng yang mereka temukan bersama-sama dalam fase kemunduran seperti ini?" gumam Dan kosong.
"Ayah mu begitu berjasa Skylar, sangat. Aku harap hal itu menurun pada mu dan ... dan kau bisa menolongku menghadapi kasus ini," jelas Dan lagi, menatap ironi Skylar di depannya.
Ayahnya yang dahulu menemukan benteng bersama paman dari Dan, bersama mengajak dan menjaga rombongan orang menuju benteng temegah dan terkuat kala itu.
"Aku tahu bagaimana menjadi seorang Savagery, dulu aku keluar mencari sisa jiwa yang masih bertahan di luar, memikirkan tanggung jawab yang diturunkan oleh pendahulu kita. Aku tak bisa melupakan sedetik pun rasa takut, walau kita akan mati, setidaknya aku mendapati beberapa orang untuk memperjuangkan kembali apa yang hampir tiada," jelas Dan, mengiris beberapa mili lubang hati Skylar yang tersayat mendengarnya.
"Aku bersikap seperti ini bukan kemauanku sendiri, 'dia' tak menuruti apa yang kau inginkan waktu itu. Maafkan aku Skylar, tapi aku butuh bantuanmu," ujar Dan kembali.
Skylar hanya bisa menatap sendu lembaran kertas di atas meja Dan, mendengar setiap kalimat-kalimat teman karib hidupnya begitu mengikis perlahan jiwanya.
Belum lagi ia tak pernah lupa akan kondisi Aleena yang tadinya pingsan, tanpa tahu penyebabnya apa.
Satu hal yang terbesit di hati Skylar tentang Aleena hanyalah menyelamatkan sang dara ke tempat yang aman.
"Disorganisasi ini membuatku depresi, aku harap tes Grance nanti dapat merubahku menjadi tim lain selain Upper. Atau aku hanya harus berdoa agar 'dia' mengizinkanku untuk melakukan tes Grance," ujar Dan sendiri.
Skylar mengerut bingung, bukan lain dari kalimat terakhirnya yang menjeda kata 'dia', membuat Skylar curiga akan sesuatu yang tersembunyi dibalik ini semua.
"Tolonglah aku Skylar, jujurlah pada ku," ujar Dan mengharap jasa.
Skylar bangkit, mendengar apa yang diharapkan karib yang lebih tua empat tahun darinya itu. Keraguan menyelimuti kalbu Skylar, jujur adalah satu tindakan yang terpuji.
Di lain kemungkinan jujur adalah pembawa petaka untuk pujaan hatinya Aleena, Skylar tak mungkin membeberkan rahasia tentang kekuatan Aleena yang perlahan diakui Skylar sebagai penyebab kekacuan ini semua.
"Dan," panggil seseorang dari balik pintu lagi.
Skylar menuju ambang pintu, menatap lelaki berseragam merah maroon di pintu dan meninggalkan kilasan curhat Dan yang sudah selesai.
"Dia memanggilmu," sambung pria itu lagi dan pergi.
Dan bangkit dari kursinya, yakin bila orang itu memiliki perintah penting yang akan di jalankan Dan untuk ke setiap orang.
"Jika boleh jujur," Skylar angkat bicara di ambang pintu, berbalik pada Dan yang menatap penasaran Skylar.
"Aku memilih skala 9," Dan menatap nanar Sky.
"Tak ada yang kekal di dunia ini Dan," sambung Skylar begitu pelan.
Dan mengangguk menerima dengan ikhlas. "Terima kasih," balas Dan tersenyum kecil, dan ia ditinggalkan dengan Skylar yang menuju kamarnya di bagian Nest sana.
***
"Apa yang sebenarnya dia cari?" gumam Aleena, menatap kosong ruang makan yang kosong.
"Ulangi lagi," suruh Cadance di hadapan Aleena yang berusaha memecahkan misteri di balik mimpi Aleena.
Aleena menghela nafas berat. " 'Kau tak dapat bebas. Semakin lama kau di sini semakin banyak yang akan kau lukai. Aku akan bersamamu setiap jam, detik, menit untuk mengelabuimu. Siapa yang selanjutnya akan kau lukai? 'Mereka' akan terus menjadi nyata. Selama kau hidup. Aku membutuhkan'nya' '," ulang Aleena dengan penekanan.
"Kau tak dapat bebas, tentu maksudnya adalah tak bisa kembali utuh atau normal. Semakin banyak bla bla bla tak usah aku jelaskan lagi, kau pasti mengerti," tukas Cadance dan mendapatkan anggukan mengerti Aleena.
"Aku akan bersamamu setiap jam, detik, menit untuk mengelabuimu, pastilah artinya adalah dia tidak akan pernah pergi dari fikiran mu dan akan terus melakukan hal seperti merasukimu," ujar Cadance kembali.
"'Mereka' akan terus menjadi nyata. Selama kau hidup, mungkin itu adalah Déjà vu. Ya! Jadi Déjà vu mu akan terus menjadi nyata selama kau masih hidup," jelas Cadance dan mendapatkan perhatian dari Aleena yang kikuk.
"Aku membutuhkan'nya', aku tidak tahu hal ini. Membutuhkan'nya' ... apa yang kau curi darinya?" geruu Cadance ikut geram karena kalimat itu terus tak ia mengerti.
"Itu membuatku begitu depresi Cadance, aku harus mencari tahu sebelum mereka mulai membunuh kembali," desis Aleena kejam.
"Itu juga bisa hanya sebuah gertakan," elak Cadance.
"Gertakan? Mereka sudah mulai membunuh satu per satu manusia yang tersisa di bumi sekarang ini, di sini!" pekik Aleena kembali geram.
Cadance terdiam, dia tak bisa menjawab apa-apa lagi karena membuatnya begitu merana dalam teka-teki yang dibuat sang Alpha.
"Apa membunuh diri ku adalah jalan pintas?" gerutu Aleena dan mendapatkan tengokan cepat Cadance.
"Bunuh diri adalah tindakan putus asa, lagipula bila kau mati tak ada jaminan mereka tak menyerang kembali. Bukankah mencoba adalah satu-satunya yang kita miliki saat ini?" jelas Cadance sendu, iris hijaunya menatap simpati Aleena.
"Mencoba membunuh sang Alpha, kau harus ingat misi itu. Ketika kita sudah meneliti organ dalam Ghroan, pasti lebih mudah," ujar Cadance kembali.
"Ya, mengapa tak kita coba."
"Untung saja Wolf dan Yura mendapatkan apa yang kita butuhkan, Ghroan," Cadance tersenyum kecil di bibir kanannya yang melengkung, tatapannya bangga dan sudah bersiap.
"Bagaimana bisa?" tanya Aleena begitu terkejut.
"Serangan kemarin merupakan kesempatan yang tak datang dua kali, Ghroan mati itu sudah ada di ruangannya dan Will masih mencoba untuk menetralisir keadaan agar tak terlihat apa yang ia kerjakan di dalam," jelas Cadance tanpa ditanya Aleena.
"Mungkin hasilnya akan keluar beberapa hari lagi, sembari menunggu tetaplah berlatih di alam bawah sadar mu tanpa serum. Telaah kembali di mana dia berada, apa yang dia inginkan," sela Cadance kembali.
**
Hari-hari terlewat kembali, dan itu membutuhkan waktu seminggu sampai semuanya kembali normal. Para Upper yang tidak berkeliaran, Will yang tidak begitu sibuk, dan Ghroan yang selesai ia bedah. Di senja malam Cadance dan Aleena menuju kamp Orvos, menemui Will.
Apa yang mereka lakukan adalah tindakan yang salah, mengingat peraturan yang sudah diperketat untuk tidak keluar dari tempat tinggal masing-masing selama masa pembersihan Ghroan dan virus-virus yang menyebar. Baik bagi Orvos, Tent, Upper, Ridcloss dan semua orang, senja sejak itu menjadi keheningan kekal, tak ada suara apapun di luar, tak ada Tent yang terlihat berjaga di sekitaran dewala.
Hanya gelap gulita yang ada di luar, lampu yang biasa mereka nyalakan kini mati, membuat suasana menjadi begitu lebih seram dan mencekam.
Terkadang bau anyir darah yang berbeda dari biasanya membelai hidung Aleena dan Cadance yang mengendap-endap ke bagian Nest.
Aleena begitu pusing, bukan apa melainkan semua kejadian ini bukan lain adalah salahnya, salahnya yang tidak bisa menahan rasukan sang Alpha.
Untunglah gerbang Sega tak tertutup, meninggalkan jarak lebar di pinggirannya dan dengan waspada mereka menerobos melewati Sega dan masuk melalui pintu depan Orvos.
Sesampai di depan ruang Will Cadance membuka pintunya, mendapati Will tengah berada di suatu ruangan lagi di dalam kantornya yang tertutup gorden putih. Cadance menutupnya membuat dentuman sedikit keras, dan tiba-tiba Will begitu cepat dan gelisah menengok dari pintu ruangannya.
"God Damn, kukira siapa," pekiknya panik, nafasnya terengah-engah cemas.
"Ada apa?" tanya Cadance sadar keganjilan Will yang terlihat gugup.
"Para Upper tadi melakukan sidak lanjut ke kamp Orvos, mereka tak bilang," umpat Will menggeram penat.
"Ini tidak mudah untuk menyembunyikan bangkai Ghroan dari mereka, pintu tak bisa dikunci sendiri dan kau tak tahu siapa saja yang akan masuk ke sini," jelas Will di balik masker putihnya.
"Para Tent diberhentikan bekerja sementara, kini para Upper sudah benar-benar gila, mereka melakukan banyak tindakan semena-mena tanpa pemberitahuan dahulu dengan yang lain," tambah Will berdecak geram.
Sarung tangan putihnya terlihat ada bercak darah kental berwarna hitam, dan ia terlihat menguras keringatnya di dalam.
"Masuklah," ajak Will.
Aleena mengekori Cadance yang masuk terlebih dahulu, dan Cadance menatap jijik juga tercengang melihat monster di depannya. Berbanding dengan Aleena yang melihat datar makhluk itu tanpa rasa terkejut sedikit pun melihat Ghroan dari dekat.
"Grayden," gumam Aleena di belakang.
"Ya Grayden, jenis yang terkecil ini pun mematikan apalagi Glox, Gaver dan Gemirix," gumam Will penuh penghayatan yang menyakitkan.
"Ini jelas adalah sebuah bulu babi, aku membaca persoalan di buku praktikum zoology laut. Di sana dijelaskan pengidentifikasian spesies-spesies dari filum prifera, Cnidaria, dan Echinodermata. Total ada 11 spesies sebelumnya yang aku amati perbedaannya, persamaannya, morfologinya, dan juga fisiologinya."
"Apakah bulu babi dan landak laut adalah jenis yang sama?" tanya Aleena penasaran.
"Bulu babi dan landak laut saja sebenarnya sudah memiliki nama ilmiah yang berbeda satu sama lainnya. Bulu babi memiliki nama latin Temnopleurus alexandrii, sedangkan landak laut adalah Diandema antillarum."
"Jika memang dya ekor hewan ini juga sama, seharusnya nama latin mereka juga sama, setidaknya mirip satu sama lain," ujar Will menggugus penjelasan.
"Biota laut ini termasuk ke dalam filum Echinodermata, kelas Echinoidea. Hewan yang tergabung dalam kelas ini memiliki ciri-ciri utama berupa tubuhnya yang lonjong dan mempunyai duri-duri tipis pada sekujur lapisan permukaan luar tubuh mereka. Senyawa CaC03 atau kalsium karbonat membuat mereka memiliki tekstur yang keras."
"Mereka tak memiliki mata atau indra penciuman," tutur Aleena memberi sedikit faktor pendukung.
"Oh ya tentu saja, alat geraknya menggunakan alat yang dinamakan tube feet yang terikat dengan otot sehingga dapat bergerak. Ini jenis hewan yang sudah terevolusi dengan salah, mungkin sebuah limbah kimia yang dibuang ke laut membuat mereka berevolusi menjadi seperti ini."
"Semakin lama berevolusi semakin mengerikan wujud mereka dan menumbuhkan banyak organ yang tak terjelaskan. Mungkin jenis Ghroan lainnya memiliki organ yang berbeda, namun sistem jalan fikiran mereka kufikir pastilah sama."
"Pertumbuhan yang tak seimbang, mereka tak memiliki indera apapun selain mengandalkan sensor getaran bumi sebagai penujuk arah," jelas Will lagi sembari lengannya masuk membelah tubuh Ghroan.
"Aku masih merevisi bagian ini, pusat kehidupan mereka," balas Will mengangkat satu genggam organ berwarna hitam seperti jantung, lendir kenyal yang terus menetes mengeluarkan warna lain, warna biru yang remang.
"Apa itu?" Cadance mengernyit jijik, bersamaan dengan Aleena.
"Morfologi bulu babi tersusun dari Anus, Periprokta, Madreporit, Lempeng Ambulakal, Tuberkula pertama, Lempeng Genital, Lempeng Ocular, lempeng iter-ambulakral, dan pori-pori kaki tabung," jelas Will sembari tangannya menunjukkan bagian-bagian yang tercecer.
"Yang aku pegang ini adalah Periprokta berfungsi seperti semacam otaknya" Aleena meneguk saliva, kunci kesuksesan mencari tahu apa yang Alpha inginkan, mungkin saja ada di organ yang di angkat Will itu.
"Aku akan menelaah ini lebih lanjut, setelah aku dapatkan hasilnya aku akan memanggil kalian lagi. Untuk saat ini, para Upper sudah mulai kehabisan akal untuk melindungi The Fort. Mereka bisa melakukan apa saja yang membuat kita akan sulit bertemu lagi," gumam Will begitu gusar.
"Apa mereka memiliki pimpinan rahasia?" ucap Aleena angkat bicara, Will dan Cadance mengerut bingung.
"Sepertinya seorang dalang dibalik ini akan membuat kita tersendat di tengah jalan, Dan bukanlah pimpinan Upper, dia melayani seseorang lagi," Aleena menatap dingin Cadance, menancapkan iris mata tajamnya pada Cadance yang menekuk bibirnya cemas.
"Cepat atau lambat kita akan terpergok, sebelum hal itu terjadi aku ingin masalah ini cepat terselesaikan sampai kita mendapatkan jawaban apa yang sang Alpha itu cari dan untuk apa," ujar Aleena mendesis tajam, Will terperangah akan tamparan intimidasi Aleena yang kejam.
"Aku harap ada jalan pintas," gerutu Will membuang wajahnya.
Aleena teringat sesuatu. "Aku memilikinya," gumam Aleena dan mendapatkan tengokan tanya Will dan Cadance.
Ke esokan paginya Aleena berjalan pergi dari afdeling satu, menuju bagian Nest untuk menemui Skylar yang memiliki buku satu. Aleena yang akhir-akhir ini cenderung pendiam dan dingin membuat banyak decak tanya di rekan sebunkernya.
Kesulitan yang menimpanya membuat Aleena begitu berubah drastis dari yang periang dan damai menjadi dingin dan pendiam.
Setiap Aleena berjalan, ia tak menggubris pandangan sinis dari pria-pria Tent atau pun pria dengan title lainnya yang tengah bergerombol duduk di daerah lebih dalam Nest.
Ia tak perduli apa yang pria itu fikirkan dan gosipkan tentang satu-satunya wanita yang masuk ke wilayah Nest.
Sesekali ia mencari tempat di mana tempat tinggal Skylar berada, banyaknya bangunan yang luas menyulitkan Aleena, yang mendadak terhenti di tengah jalan.
"Hey!" panggil suara bariton dari belakang Aleena dan menyentuh bahunya menahan dengan kasar.
Aleena dengan sigap mengelak cepat, memutar bahunya agar genggaman pria itu lepas. Lalu ia berbalik dan mendapati wajah pria yang pernah menyakitinya.
Pria yang pernah mengalami perkehalian di menara Gloetik, Aleena menatap nanar dan dendam seperti tak ada rasa perkenalan baik sedikit pun.
"Apa yang kau lakukan di sini?" pekik pria bernama Rowan itu.
"Ini bukan bisnismu," desis Aleena menatap keji Rowan, tiap pasang mata memperhatikan dengan jelas pertengkaran di tengah mereka.
"Aleena," panggil pria lain yang datang dari sisi belakang Aleena, Yura mensejajarkan tubuhnya di samping Aleena dan mengerut heran.
"Tentu saja, apa kalian berdua berusaha mencari sesuatu lagi?" tanya sinis Rowan, Aleena tak hentinya menatap emosi dan geram pria di depannya.
"Shut up," tukas Aleena menggeram.
"Remaja yang penasaran adalah suatu kodrat yang tak dibutuhkan alam, sebaiknya kembali ke tempat mu," desis Rowan dengan nada ketegasan yang kental.
Serta-merta tubuh Yura maju ingin menghantam wajah Rowan, jiwa yang menatap mereka semakin tegang ketika Yura memajukan badannya dan ditahan oleh lengan Aleena yang menahan.
"Yura," gerutu Aleena menatap Yura tegang, memberi semacam kode untuk tenang.
"Biarkan anjing menggonggong sepuasnya, tak ada untungnya menakuti anjing dengan rantai yang mengekang." Aleena melirik Rowan, seketika tubuh Yura meredam hangat mendapat teguran Aleena.
Jika saja Aleena tak menahannya mungkin mereka sudah ada di tahap perkelahian hebat, mengingat Rowan begitu kurang ajar.
"Aleena?" panggil seseorang kembali dan mendapat tengokan cepat dari Aleena yang mengenal betul suara indah itu.
Skylar menatap dingin Aleena yang terlalu dekat dengan Yura, kobaran api cemburu sempat terpecik di dalam hati melihat tubuh Yura yang dekat didekapan Aleena.
"Kau tidak ingin mencampuri urusan lagi bukan begitu Rowan?" desis Skylar kembali dingin, tak henti-hentinya menatap kesal.
Aleena melepas genggamannya di tangan Yura, lalu dengan gusar Skylar menarik tangan Aleena dan meninggalkan Yura dan Rowan.
"Sekali gagal tetap gagal," gerutu Rowan di belakang Aleena, tanpa ia sadari kalimatnya terdengar jelas di telinga Aleena yang berjalan pergi.
Pijakan kakinya berhenti, kepalanya menunduk drastis dengan rambut yang menjuntai lebat.
Keningnya membuat kerutan akan tangkapan sesuatu yang ia dalami sekian lama ketika mendengar kalimat Rowan.
Aleena membalikkan badan, menatap dingin Rowan. "Kau Upper itu?" gerutu Aleena pelan, Rowan yang diam hanya mengamati.
"Kau Upper yang bekerja sama dengan Cadance untuk memeriksaku?" gumam Aleena lagi pelan, agar tak terdengar dari puluhan Tent yang asik menonton.
Rowan terdiam, tak ingin membahas apa-apa lagi. Namun jauh di dalam hatinya ia cukup terkejut jika Aleena mengingat atau mengetahui siapa jati dirinya dahulu kala.
Pria yang dahulu tidak menyetujui prosedur eksperimen Aleena, yang mengelak mantap proses yang ia yakini akan berdampak buruk di masa mendatang, yang membunuh satu keluarganya di dalam benteng.
Apa yang ia fikirkan memang terjadi, membuat banyak kenyataan pahit yang datang pada benteng mereka.
Aleena ditarik kembali oleh Skylar, dan menggiringnya masuk ke dalam bagaikan tuan rumah yang mengizinkan orang masuk tanpa izin lainnya.
Ini kali pertama Aleena masuk ke wilayah Nest yang disebut-sebut tempat tinggal Upper dan beberapa Savagery lainnya.
Ia tak pernah hentinya tercengang dalam rasa ketidakadilan, keadaan tempat tinggal Upper benarlah berbeda dari rumah Bunker's.
Lantai besi yang bersih, dengan lampu neon putih yang bersinar begitu terang memperlihatkan wajah-wajah pria yang lalu-lalang. Peralatan dan perkakas yang komplit tersedia dan tersusun rapi begitu meningkatkan unsur minat.
Lebih bagus daripada kamp Orvos yang bagi Aleena sudah begitu memanjakan mata, walau bau kimia-kimia yang menyengat terkadang membuat Aleena malas ke sana.
Skylar naik melewati tangga, menggenggam lengan Aleena terus menerus hingga bertemu lantai dua yang memiliki jejeran ruangan yang terkunci layaknya sebuah hotel.
Ternyata Skylar tak sampai di sana, ia tetap berjalan menaiki tangga menuju lantai teratas di mana Skylar mengajak Aleena ke kamar pribadinya.
Aleena kelelahan mendaki puluhan tangga menuju lantai 5 di mana hanya ada 10 kamar yang berjajar, gagang pintu bulat berwarna gelap di putar oleh Skylar hingga ruangan yang tak terlalu besar terlihat.
"Masuklah," suruh Skylar masih.
Aleena masuk, matanya tak mengedip sama sekali melihat sekeliling kamar Skylar yang tak rapi juga tak berantakan.
Sebuah lemari kayu terpampang di penghujung dinding yang sama-sama masih terbuat dari besi, menunjukkan koleksi-koleksi gambaran yang tak pernah Aleena lihat sebelumnya, objek satu-satunya yang menarik bagi Aleena.
Skylar tak dapat mengunci pintunya, lalu ia melihat Aleena yang terperangah menatap lama lemari dengan koleksi kegemaran Skylar.
"Ketika aku keluar ke kota, aku mengambil banyak barang di berbagai tempat yang aku telusuri, aku melewati banyak jenis rumah dan hotel yang memiliki sisa-sisa barang yang belum rapuh, yang masih bisa aku selamatkan, setiap jarahan yang kudapatkan aku koleksi agar memenuhi ruangan aku," jelas Skylar mengisi keingintahuan Aleena.
"Sebab itulah aku terkadang memberikan Bianca sesuatu ketika dia berkunjung ke sini, dia terkadang menginginkan sesuatu untuk menemaninya di sana, dia sangat kesepian," gerutu Skylar mencemaskan adik kesayangannya itu.
Aleena melangkah jauh mendekati lemari itu, mengamati setiap barang-barang yang unik termasuk sebuah patung kayu yang terukir begitu mengagumkan, lalu sebuah kubik dengan warna-warna yang belum tersusun sama.
Aleena menyentuh sebuah batu permata berwarna biru sapphire, seperti intan yang menggugah naluri wanita Aleena untuk mengagumi objek itu.
Skylar tersenyum geli, mendatangi sosok Aleena yang terpagut pada lemari koleksinya selama beberapa tahun silam ia miliki.
Ia berdiri di sisi kanan Aleena, dan mengambil sebuah kotak berwarna merah dengan permukaan yang lembut ketika di pegang.
Ketika ia membuka kotaknya terpampang jelas sebuah cincin dengan berlian berwarna hijau di tengahnya, kilatan perak di cincinnya bagaikan matahari yang menerangi mata Aleena yang berbinar-binar.
"Aku mendapatkan ini beberapa tahun yang lalu, aku rasa ini barang mahal. Sebelumnya aku fikir aku tidak membutuhkan barang ini untuk dibawa pulang, tapi aku ingat seorang laki-laki bukanlah apa-apa tanpa seorang wanita di baliknya."
Skylar tersenyum hangat pada Aleena, membawakan cincin yang ia dapat pada Aleena dan memberikannya pada Aleena dengan sukarela.
"Untuk mu," Skylar tersenyum kembali, untuk beberapa detik saja persoalan yang menimpa mereka berdua terlupakan karena satu sama lain mengisi kekosongan.
Aleena merasa begitu tersentuh. "Oh Skylar. Terima kasih banyak," puji Aleena dan mengambil cincin itu.
"Let me," usul Skylar meminta, tangan kirinya mengambil jemari tangan kanan Aleena.
Dengan sentuhan lembut Skylar perlahan memasukkan cincin itu di jemari manis Aleena, sangat pas dan tak kedodoran.
Wajah Aleena memerah, panas dan tak bisa dihindarkan betapa dia senang mendapatkan cincin dari Skylar.
"Mendapatkan cincin ini ternyata lebih sulit daripada menemukan manusia yang masih hidup di luar sana," tutur Skylar menangkap pupil mata Aleena yang membelelak besar.
"Betapa mengerikan diingat-ingat jika manusia pada akhirnya tidak ada nilainya sama sekali," Aleena terkekeh bersamaan dengan Skylar.
"Setidaknya kau bernilai bagiku A- kau tak bisa tergantikan," Skylar menatap intens Aleena, matanya sebening sungai pegunungan dan indah seperti hamparan luas padang rumput.
Bibirnya tak kunjung melepaskan lengkungan besar untuk tersenyum pada Aleena yang begitu cantik ia lihat hari ini.
Jantung Aleena terpacu kencang, detakannya cepat bukan suatu penyakit yang kambuh. Melainkan Skylar yang di hadapannya begitu tulus dalam mengucapkan kalimat-kalimat indah itu.
"Sekarang aku bersyukur pernah ditemukan di luar," gumam Aleena bersuka cita.
"Aku dari luar Skylar, mereka menyembunyikanku selama dua tahun belakangan ini hanya demi eksperimen mereka. Untuk beberapa saat aku menyesal mereka menemukanku di jalan, tapi sekarang sepertinya aku tidak pernah ingin menyesali apa yang sudah terjadi," jelas Aleena pelan.
Skylar menatap nanar Aleena, ia hanya bisa mendengar curhatan mengenai rahasia Aleena kali ini. Jauh lebih dalam ia takut akan sesuatu hal lebih buruk menimpa Aleena yang berakibat kehilangan Aleena.
Belum lagi Aleenalah penyebab semua ini, Skylar tak bisa menimbangi perasaan apa yang harus ia rasakan pada sosok Aleena.
Benci? Takut? Bahagia? Bersyukur? Semuanya terasa aneh bagi Skylar, pertemuannya dengan Aleena tak pernah terbayang seperti hal ini.
"Aku hanya penasaran apakah pria yang menyelamatkanku dulu masih hidup, agar aku dapat menanyakan banyak hal bagaimana cerita tentang menemukanku," Aleena menatap kosong dada Skylar, melamunkan harapannya yang terkadang percuma saja.
"Mungkin kau mau jalan-jalan sebentar, setelah itu aku akan memberikan benda yang membuatmu datang ke sini," ajak Skylar riang, tersenyum lembut.
Aleena mengangguk. "Tentu," Skylar jalan dahulu, membuka pintunya lagi dengan melihat beberapa pria berseragam hitam keluar dari kamar di seberangnya.
Aleena juga melangkah keluar, menutup pintunya dan berbalik menatap ke depan, seorang pria bertubuh besar dan cukup tampan walau pastinya sudah terlalu dewasa bagi Aleena.
"Hey Julius," sapa Skylar pada pria di depannya dan mendapatkan anggukan salam pria.
Mata Julius berhenti pada Aleena yang seutuhnya menghadapnya, menatapnya datar dan canggung ketika mimik Julius berubah drastis.
"Kau," gumam Julius maju ke depan lebih dekat.
Aleena mengerut tanya, dan Skylar bingung mengapa pria senior di depannya menatap nanar Aleena.
"Tidak mungkin," desisnya tak percaya sama sekali apa yang ia lihat di depannya.
"Ini tidak mungkin terjadi, bagaimana kau- bagaimana bisa kau masih hidup?" tanya Julius melangkah lebih maju, tatapannya nanar pada Aleena dan tak mengedip begitu tercengang luar biasa.
Aleena membuka mulutnya, ingin mencari alasan atau bertanya apa maksud dari Julius yang terus melangkah maju.
"Ada apa Julius?" gubris Skylar, menatap dingin Julius yang tatapannya terkejut bagaikan melihat sosok hantu di hadapannya.
"Kau. Bagaimana bisa dia menyembuhkanmu, eksperimen itu berhasil?" gumam Julius tak henti-hentinya tercengang menatap Aleena.
Aleena tersentak kaget, bagaimana bisa pria ini tahu tentang eksperimen gagal yang pernah menimpanya dahulu? Aleena terus membatin heran.
Hingga ia dapat satu ringkasan jelas yang membuatnya ikut terkejut bukan kepala, seorang Savagery yang tahu tentang asal usul Aleena. Seingat Aleena hanya satu Savagery yang kembali pada Cadance dahulu.
"Kau tidak mungkin-"
"Luka jahitan satu jengkal tangan di pinggang kiri," gerutu Julius terdiam di depan Aleena yang memutus kalimat Aleena yang belum selesai ia ucapkan.
Skylar hanya diam membisu, tak mengerti dengan kalimat Julius barusan, namun bagi Aleena kalimat itu menambah keyakinan apa yang Aleena fikirkan.
Pria itu tahu luka yang tersembunyi di balik baju Aleena, di bagian kiri di sisi perutnya. Sebuah bekas robekan lama yang selama ini Aleena simpan diam-diam.
Aleena tak tahu awalnya mengapa dia terlahir dengan luka itu, pertama kali ia berasumsi jika itu hanya sekedar tanda lahir.
Namun pertemuannya dengan Julius mengungkapkan satu fakta lain yang mengejutkan Aleena.
"Kau Savagery itu?" tanya Aleena parau, nadanya bergetar begitu lemah dan menatap teduh Julius.
Julius mengangguk miris. "Ya," singkat Julius yakin pula.
"Kau yang menemukanku, kau penyelamatku?" pita suara Aleena semakin bergetar, genangan air mata terima kasih tak bisa ia hindari lagi.
Satu tetes air mata tak dapat ia tahan lagi ketika mengalir melewati pipinya, pertemuannya dengan pria yang dahulu menemukannya memunculkan pertanyaan yang ia inginkan sebuah jawaban.
Orang yang selama ini yang menyimpan banyak jawaban dari pertanyaan yang tersimpan lama di kepala Aleena akhirnya dia benar-benar nyata.
Pria yang direkrut oleh Cadance dahulu untuk merelakan nyawanya demi mencari kelinci percobaan, hingga pria itu bertemu dengan Aleena.
Ada satu hal yang ingin Aleena tanyakan, tentang bagaimana bisa dia menemukan Aleena?
***
-Septum : Dinding Pembatas
-Dewala : Tembok yang mengelilingi
-Terimakasih untuk menyempatkan membaca, semoga hari kalian menyenangkan !!
-Oh iya jangan lupa vote dan komen!! Ehehehehe :p
-Josh Duhamel Cast Julius di media, Safe and Sound Taylor Swift for backsound
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro