Part 28 - Kepercayaan
Aleena menatap nanar serum itu, serum yang mungkin saja adalah kunci untuk merubah dunia, untuk mewujudkan harapan yang paling ia damba-dambakan selama sisa hidupnya.
Tapi dalam lubuk hati terdalamnya ada sebuah keraguan, tentang bagaimana serum itu akan menghilangkan semua ketidakseimbangan dunia yang sedang berkelangsungan. Sebuah serum untuk seluruh kota? belum lagi di penghujung dunia lainnya.
Tak mungkin makhluk buas ini merenggut kekuasaan hanya di kota Aleena, tentu organisme mematikan itu telah menjalar ke seluruh dunia dan mengklaimnya.
Tatapan Aleena berubah menjadi kesenduan yang pahit, mengapa di saat ia telah merasa bahagia selalu ada hal kecil yang merubah hal itu menjadi sesuatu yang membuat patah hatinya?
Aleena membuang nafas lesu di hidungnya, melangkah lebih dekat dengan ruangan yang begitu dipenuhi jalaran kabel dengan banyaknya layar-layar LCD yang mati di kanan dan kirinya.
"Bukan ini," gumam Aleena seraya mendatangi tabung besar di tengah ruangan.
"Pasti ada sesuatu yang di sembunyikan," gumamannya kembali terdengar selagi kepalanya menoleh ke segala arah untuk mencari setiap bahan yang mencolok.
Semua keraguan berputar di kepalanya bercampur dengan kekecewaan dan kesedihan yang begitu mendalam di paras cantik itu. Tangannya menyentuh tabung besar lagi, terasa dingin yang nyaman di permukaannya.
"Asshh," ringisan kecil keluar dari bibir tipis merahnya. Tangannya menyentuh letak jantungnya yang tiba-tiba berdenyut kencang namun segera hilang kembali.
Sadar akan efek serum Cadance akan habis Aleena bergegas kemana pun ia bisa mencari daftar membuat serum itu, ia menuju ke suatu lemari besi berwarna hijau lumut yang hanya satu-satunya di ruangan itu.
Ia membuka satu persatu laci, ia buka lembaran demi lembaran yang tak ia mengerti apa isinya. Hal yang ia cari hanyalah bagaimana resep membuat serum itu dan kegunannya sebelum sakitnya bertambah parah dan membuatnya terjatuh seperti tempo dahulu.
Semakin gusar dan panik Aleena ketika ia tak menemukan apapun yang mencurigakan mendekati tentang persoalan serum itu. Ia menuju laci selanjutnya dan membuka semua lembaran-lembaran yang ada, lalu ia hamburkan selagi detakan jantung Aleena semakin cepat dan sakit ia rasakan.
Aleena menghela nafas pelan berharap dengan cara itu sakit yang tiba-tiba, akan padam sebentar saja dan memudahkannya untuk mencari berkas di antara kelima laci itu.
Aleena membuka laci ketiga dan hanya mendapati satu kertas berwarna kuning dengan nama World Health Organization sebagai cover terdepan.
Deruan nafas yang sebelumnya pelan menjadi keras, sakit yang berasal dari jantung bagaikan virus yang menular ke bagian kepala, seperti biasanya otak dan jantung Aleena akan mengalami gangguan yang luar biasa.
Aleena menarik nafas dalam dan membuangnya seraya matanya tertutup. "Harus cepat," gerutunya sendiri, tetesan keringat bercucuran entah darimana berasal.
Semakin lama semakin panik ia membuka lembaran dan ia menemukan satu gambaran yang sama dengan serum yang bersamanya di ruangan itu.
Kakinya menjadi lemah seperti tulang-tulangnya berubah menjadi karet yang tak bisa memopang kembali tubuhnya untuk berdiri, gigi putihnya bergetar ketika ia susah payah menahan rasa sakit yang semakin lama pedih ia rasakan.
Aleena membaca dengan cepat semua yang ada, matanya terus bergerak dari kanan dan kiri, hingga satu paragraf memiliki berbagai rincian untuk membuat serumnya.
"God Damn, mengapa sangat banyak bagaimana aku bisa menghafalnya, aku kacau dalam masalah menghafal," umpat Aleena.
"Nerebilium, phenylpropanoline, Amantadine, Halgrendium, Melanir, Hospira, Neuratomisty, What the F- mengapa susah sekali, Double Scropimeryln, Ektohormon, Desikan, Gemirix Blood, Gemirix Venom."
"Baiklah sekali lagi, Nerebium, phenylpropanoline, Amantadine, Halgrendium, Melanir, Hospira, Neuratomisty- aaghh."
Aleena tersungkur ke bawah, tangannya mencoba menggenggam tarikan laci dan membuat tubuhnya tertahan oleh cengkramannya ketika rasa sakit itu membuat tubuhnya lemah.
"Jangan- sekarang," ujarnya dalam ketercekikan nafasnya.
Hingga genggamannya lepas dan ia tertidur di lantai, bergabung dengan serakan kertas-kertas yang ia hambur tadinya.
"Aggghhhh," lagi-lagi Aleena meringis kesakitan.
Matanya melotot seraya rasa sakitnya menjadi-jadi, nafasnya tak bisa keluar seperti kain tengah menahan tenggorokannya dan susah bernafas.
Mengapa Cadance membuat serum seperti ini? batinnya geram.
Air matanya lolos lagi, menatap layang-layang langit begitu sendu memikirkan bagaimana ia akan mati nantinya, yang Aleena rasakan benar-benarlah layaknya seperti ingin menemui kematian.
Jemarinya yang terjatuh di samping kanan dan kirinya hanya meremas genggaman kertas yang berserakan di sekitarnya.
Ia kembali teringat oleh perkataan Will, ia tak bisa mati di alam bawah sadarnya dan Aleenalah pengendali fikirannya sendiri.
Ia menatap sendu langit-langit hingga matanya terpejam, beberapa lama kemudian cahaya biru seperti kilatan petir menjalar ke mana-mana, membuat suatu rangkaian garis abstrak dan terus memantul di dinding-dindingnya.
Cahaya itu terus berjalan cepat hingga ledakan di akhir dan debu-debunya berterbangan, bintik-bintiknya membuat suatu sketsa yang biasa Aleena lihat.
Aleena terheran, ketika sketsa yang terpampang di fikirannya bukanlah sesuatu yang pernah ia lihat. Melainkan gambaran itu sedang berada di suatu gedung yang hancur dan berjalan lebih dekat.
Alhasil sebelum-sebelumnya seperti Aleenalah yang berjalan, namun ia yakin jika itu bukanlah dia, namun sesuatu yang tak dapat Aleena tebak saat ini, ia hanya fokus pada ilusi yang terbuat.
Semakin lama berjalan semakin jelas gambarannya terpampang, keramik abu-abu berdebu dengan jendela kaca kehijauan di sekeliling yang sebagiannya pecah dan retak, gambaran yang menunjukkan jelas gedung WHO, sama seperti Aleena berada.
Masalahnya hanya satu, bukan Aleena yang berjalan, melainkan suatu makhluk yang mencari sesuatu di dalam sana seperti Aleena halnya.
Di balik itu Aleena merasa was-was ketika gambarannya sudah menunjukkan tempat di mana ia membunuh Gemirix, Aleena seperti melihat sendiri tubuh Gemirix itu mati di depannya begitu lama hingga arah pandangannya menuju pintu masuk di mana Aleena berada di dalam ruangannya.
Gambaran itu kembali berjalan menuju pintu yang tertutup, hingga dalam beberapa detik saja datarnya pintu besi berubah menjadi seisi ruangan satu-satunya di lantai teratas itu, sebuah sulap di mana gambaran itu menembus pintu besinya.
Aleena serasa panik, cengkraman tangannya mengeras lagi, ketika gambaran di kepalanya menunjukkan seisi ruangan dengan bersamaan tubuhnya yang tergeletak pingsan. Bagaikan pintu dimensi Aleena dapat melihat dirinya sendiri dari mata orang atau makhluk lain. Gambaran itu diam dahulu, melihat Aleena terpejam di sana dengan keringat yang menyucur dan jemari yang bergerak pelan.
Hingga semakin dekat ia menuju raga Aleena, semakin panik Aleena mendapatkan penglihatan itu.
Rasa takut dan gelisah yang menyerang Aleena adalah salah satu kesempatan baik untuk masuk menuju fikirannya.
Hingga satu-satunya cara untuk menenangkan fikirannya adalah Skylar, tiba-tiba saja gambaran wajah tertawa dan senyuman mengembangnya teringat di otak Aleena.
Gambaran yang Aleena lihat itu berada di samping tubuhnya, hingga sesuatu yang dingin benar-benar ia rasakan di kepalanya walau ia tak dapat membuka mata.
Dingin yang menjalar tiba-tiba berubah menjadi seperti sengatan menyakitkan yang samar, otaknya hanya memutarkan nama Skylar dan gambaran di mana ia menatap Skylar ketika ia berlatih memahan.
Tak ada fikiran lain yang Aleena dapat selain Skylar dan Skylar, tindakan ceroboh yang membuat mala petaka.
Di gambaran Aleena ia melihat sendiri bagaimana Aleena bergerak ke kanan dan ke kiri begitu gusar bagaikan mengigau, jemarinya bergerak dan keringatnya menyucur hingga sengatan lebih tinggi ia rasakan dan membuat tubuhnya bergetar keras, lalu gelaplah yang Aleena dapatkan.
***
Mereka berlima berkumpul dalam satu grup yang tercipta dengan sembunyi-sembunyi, Cadance dan Will seperti biasa berhadapan pada Aleena yang di kelilingi Yura dan Wolf di kanan dan kirinya.
Aura kelam begitu terasa di ruangan Will kala ini, Aleena yang kini semakin terbiasa dengan serumnya dapat bangun hanya dalam kurung waktu 3-4 jam saja.
"Aku melihat diri ku sendiri," ujar Aleena pada rombongan kelompoknya.
"Kami tidak mengerti," tutur Will mengerut pada Aleena.
"Kalian bayangkanlah sendiri, saat aku memejamkan mata ketika sakit itu terasa, aku mendapatkan gambaran layaknya aku sendiri yang sedang berjalan. Aku seperti menyusuri lantai demi lantai hingga aku berada di lantai atas, tapi itu bukan aku, aku setengah pingsan," jelas Aleena menatap semua orang meyakinkan jalan ceritanya.
"Lalu?" tanya Wolf mengangkat satu kakinya di atas kursi dan mendapat lirikan datar Yura.
"Sebelumnya aku membunuh Gemirix di depan bukan? aku rasa dia marah ketika melihat bangkai itu," jelas Aleena sendu.
"Marah?" tanya Cadance lagi angkat bicara.
Aleena mengangguk cepat. "Lalu dia menuju ke ruangan ku, tapi dia sudah belajar dariku dengan membayangkan saja untuk dapat masuk. Lalu aku menemukan tubuh ku sendiri tergeletak, dan .. dan aku merasakan sengatan kecil di kepala ku sebelumnya," balas Aleena pelan penuh penghayatan dan mengingat lebih jelas.
"Will apa kau memikirkan hal yang sama dengan ku?" ujar Cadance melirik Will di sampingnya.
Will hanya tak bergeming, namun jauh di dalam lubuk hatinya ada keyakinan akan hal yang dijelaskan Aleena, dan kemungkinan sama dengan Cadance.
Aleena menatap Will. "Kau tahu?" Aleena mengerut.
"Aku fikir kau telah bertemu sang Alpha," gumam Will dan memandang nanar Aleena di hadapannya.
"Secara teknik kau masuk di otaknya dan kau seperti melihat apa yang juga ia lihat," sambungnya lagi.
Cadance, Yura dan Wolf menatap serius dan mendebarkan jantung mereka dengan hasil percobaan Aleena kali ini, walau adalah sebuah kesalahan fatal.
"A-a- aku .. Jadi maksudmu Alpha berada bersamaku saat itu?"
"Ya, lebih tepatnya ia berada di fikiran mu, mengawasimu, dan mengendalikanmu," singkat Will dan jujur saja ia dibuat merinding dan kikuk dengan fenomena tersebut.
"Bagaimana bisa ia berada di balik alam sadar ku sendiri sedangkan dia terasa benar-benar menyengat kepalaku?" Aleena menutur begitu gelisah.
"Aku rasa itu adalah sebuah jebakan, kau ingat bukan apa yang Cadance jelaskan? Gemirix memberikan kekuatannya pada sang Alpha dan dia bebas mengontrolmu ketika kau takut atau pun gelisah," jelas Will dingin.
"Ini- ini tidak jelas, itu mustahil," elak Aleena tegas setengah tergagap.
"Dia tahu keberadaan mu ketika kau gelisah, kau tak sadar jika dia masuk ke otak mu. Maka saat itu juga dia datang dan menemuimu lewat alam bawah sadar, mengambil sesuatu yang ada di dalam kepala mu tentang apa yang kau inginkan," ujar Cadance membantu.
"Tak ada serangan juga seperti sebelumnya," lanjut Wolf pelan.
"Ya, ngomong-ngomong apa yang sebenarnya makhluk ini inginkan?" Wolf ranjak berbicara lagi.
"Banyak kemungkinan, antara serum itu juga ataukah Aleena sendiri," sahut Will melirik datar Cadance.
"Mengapa dia menginginkan serum yang bisa membunuhnya?" tanya Wolf kembali.
"Itulah jawabannya, dia tak ingin dimusnahkan dan dihancurkan, untuk itu dia akan menghancurkannya, namun ia tak bisa menjangkaunya karena itu adalah hanya ilusi Aleena di dalam alam bawah sadarnya, tetapo yang sudah 'dia' masuki, hanya Aleena yang bisa melakukan apapun yang ia mau, kecuali ketika ia sampai pada alam yang nyata maka ... ia bisa melakukan itu semua," jelas Will rendah.
"Lalu mengapa mengejar Aleena?" sambung Wolf lagi menyelidik heran ia masih bertahan dengan pernyataan sebelumnya.
"Karena satu-satunya penghalangnya adalah Aleena, ia bekerja keras untuk menjebaknya namun Aleena tetaplah manusia, derajatnya lebih tinggi, lebih pandai" balas Cadance dingin.
"Jadi kurasa sang Alpha sudah mengetahui rencana kita, jadi kita harus bersiap kapan pun," ujar Cadance terasa sedih di getaran suaranya.
"Bagaimana dengan resepnya?" sambung Cadance lagi.
"Aku tak bisa mengingatnya, terlalu sulit."
"Alpha itu dengan sengaja menghapus memori Aleena mengenai resep serum itu, itulah mengapa Aleena merasakan sengatan di kepalanya, ketika saraf-saraf Aleena terhubung pada sang Alpha ia memberikan semacam koneksi pada Aleena untuk menghilangkan resep serum itu, ia tak akan membiarkan kita membuat serumnya. Dia tahu serum itu membahayakan kaumnya dan dirinya sendiri, dia belajar."
"Lalu jika ia bisa menghapus dari otak Aleena mengapa tidak ia ambil sendiri? Membuatnya sendiri?" tanya Wolf kembali acap angkat bicara.
"Apa kau sinting? Kau fikir dia memiliki tangan dan jemari-jemari lihai? otak mereka bahkan sekecil kacang rebus," umpat Cadance geram memutar bola matanya.
"Kita harus membunuhnya," gumam Aleena acap bersuara dan menghentikan pertikaian Cadance dan Wolf.
Tatapan nanar dari keempat rekannya terlihat jelas, merasakan gejolak amarah dari Aleena yang begitu dirundung kepenatan dan emosi yang mendidih.
"Sebelum dia membunuhku," sambung Aleena menatap kejam lantai di depannya.
"Dia ada benarnya juga," ujar Cadance santai.
"Aku harus memberi tahu seseorang," gumam Aleena dan menatap Cadance penuh saran.
"Ha? Siapa?" tanya Cadance bingung.
"Skylar."
"Savagery itu?" Ada apa? Kau ingat kan untuk tak membocorkan pada siapa pun?" ujar Cadance kembali.
"Aku percaya dia," singkat Aleena dan mendapatkan tatapan dari tiga pria lainnya.
"Cadance, aku sempat memikirkannya ketika aku masih masuk di fikiran sang Alpha, aku takut ketika ia menganggap Skylar adalah kelemahanku dan menjadikannya sasaran empuk dan melukainya untuk mendapatkanku, aku tak ingin dia mati," desis Aleena, nadanya berubah menjadi datar dan lembut mengingat pria tampan penuh sejuta senyuman menghangatkan itu.
"Cinta adalah kekuatan yang terkuat Lena, dia tak bisa menghancurkannya bagaimana pun caranya," tukas Cadance lembut penuh ketenangan untuk memberikan efek santai pada Aleena yang dilanda gundah.
Tiba-tiba Wolf bangkit, dan pamit untuk keliar karena tugas yang cukup penting, juga Yura sama halnya.
"Kita harus pergi," mereka berdua berpaling dan mengeluarkan diri mereka dari ruangan Will.
Will pula mengikuti ke mana mereka pergi, hanya saja tujuannya pergi meninggalkan Cadance dan Aleena sendiri ke belakang ruangannya. Mungkin topik perbincangan mereka adalah sesuatu yang sakral dan begitu pribadi hingga tak enak didengar bagi pria.
Aleena menunduk layu di mana Cadance mengamatinya terus penuh rasa cemas.
"Aku ingat ketika Frank mengatakan cinta pada ku, dia tak ingin aku kehilangannya dan dia akan berjanji sampai dia mati kelak. Tapi setelah ia meninggalkanku pun aku masih mendengar lantunan kalimatnya, bagaimana pun kita akan mati dengan cinta yang bersarang di dalam hati," ucap Cadance begitu pelan, senyuman kecil terlukis di bibirnya mengingat masa lalu.
Mata hijau besarnya melayang-layang mengingat sosok almarhum suaminya yang meninggal lama itu, karena serangan yang mendadak membuatnya kehilangan satu-satunya orang yang ia cintai.
"Aku sudah hidup melewati banyak kematian akan orang-orang tercinta, aku hidup dalam kabut kesedihan dan aku mengurung diri ku, aku diam karena aku ingin menemani diri ku sendiri, menghiburku, tapi aku tahu cintanya tak akan pernah hilang begitu saja dari diri ku, aku begitu mencintainya."
"Jika cinta adalah satu-satunya penyelamat dunia maka dunia tak akan pernah mati, kita masih hidup dan cinta akan selalu ada, percayalah," jelas Cadance setenang deruan angin.
"Semua orang yang mati itu karena ku, aku sadar. Dan ketika Skylar mati karena aku pula, aku tak tahu apa yang harus kulakukan lagi," gumam Aleena menatap kosong lantai keramik yang bersih di depannya.
"Buatlah berarti hari-hari terakhir kalian," balas Cadance tersenyum begitu tulus.
"Aku tak ingin menggunakannya untuk membantu kita, setidaknya biarkan dia di sana tanpa membantu kita, aku tak ingin kehilangannya," balas Aleena pada Cadance pelan namun penuh ketegasan di sorot matanya yang serius.
"Kau benar-benar terpincut pada lelaki itu eh?" Cadance bangkit, memberikan senyuman genit yang menggoda Aleena, lalu ia berlalu melewati Aleena tanpa membalas apa yang Aleena tuturkan padanya.
Cadance sampai pada daun pintu, sebelum menutupnya ia menengok kecil pada Aleena yang memandangnya datar dan kembali tersenyum ala Cadance yang begitu penuh makna.
"Lihat saja siapa yang nantinya akan mengajukan diri untuk melindungi salah satu masing-masing dari kalian," ucap Cadance diiringi kedipan kecil di mata kanannya dan ia hilang dari ambang pintu.
Memang aneh rasanya, pria itu baru saja Aleena kenal tetapi rasanya sudah lama ia mengenalnya. Itu mungkin sebuah bukti, cinta tidak memandang waktu, itu bisa terjadi dalam detik pertama, dan setiap detik selanjutnya akan semakin besar dan semakin penuh rasa sayang.
***
Aleena berjalan pelan dengan tatapan yang kosong, tubuhnya masihlah kacau dan lemas mengingat sang Alpha kemungkinan tahu jika mereka memiliki rencana untuk menghancurkannya.
Di mana semua yang di benteng terasa terancam keselamatan nyawa mereka hanya karena Aleena, air matanya kembali lolos ketika batinnya menyesal untuk terus hidup dan menjadi kesalahan eksperimen, lebih baik bukan dia yang menempati posisi itu.
Kilat matanya menatap ke bawah, menatap tandusnya tanah kering tanpa hujan dengan kerikil-kerikil kecil yang terus ia tendang.
Genangan air matanya masihlah terus keluar tanpa henti, tanpa bisa melupakan bagaimana jalan kehidupannya dan bagaimana bisa menghentikannya.
Mimpi yang selama ini ia idam-idamkan rasanya terasa kelu dan tak nyata, merubah hidup menjadi normal bukanlah sesuatu yang mudah dengan cara yang tak tepat.
Tindakan yang baik dan kematangan fikiran adalah satu-satunya jalan menuju hidup yang indah dan tak ada kerusakan.
Sepoi angin dan sinar matahari jam tiga adalah hal terbaik yang pernah Aleena rasakan, keningnya tak lagi berkeringat dan lidahnya tak kembali kelu karena terlalu banyak meminum berbagai jenis serum yang dijanjikan Cadance. Kembali ia menatap ke atas dan mendapatkan hambaran biru luas tanpa awan sedikit pun yang menutupi hamparan langit yang terlihat bagaikan laut lepas yang tenang.
Dehaman besar seseorang menghentikan aktivitas Aleena, hingga ia menoleh pada arah suara bariton serak itu dan mendapati seorang pria menatapnya sambil tersenyum lebar lagi.
Pria yang tak pernah ada lelahnya untuk tersenyum, senyumnya bagaikan magnet yang mendekatkan seluruh hati para wanita untuk berada di sisinya termasuk Aleena, membuat wajahnya memerah dan matanya mengkilat -masih ada genangan air mata-.
"Kau sering menatap langit?" tanya Skylar mendatangi Aleena yang masih jauh.
Aleena tersenyum kecil. "Aku menyukainya, luar biasa bukan menatap langit-langit dengan pola yang terus berubah setiap hari?" tanya Aleena pelan, dan Skylar sampai di hadapan Aleena tak begitu jauh dan begitu dekat .
Skylar tersenyum kembali. "Pernahkah kau melihat pelangi? Hujan? Bulan? Bintang?" tanya Skylar antusias.
"Aku hanya pernah melihat bintang, sisanya aku tak pernah melihatnya karena terlalu sering di dalam bunker," balas Aleena tersenyum dan membeku di tempat, ada tatapan sendu yang tersirat ketika ia melihat wajah tampan Skylar, mengingat apa yang terjadi di ruangan Will.
"Aku melihat pelangi hari ini," jelas Skylar dan menatap intens Aleena yang kembali tersenyum dan dibalas kekehan kecilnya.
"Benarkah? Di bagian mana?" balas Aleena begitu bersemangat, karena ia tak pernah melihat warna-warni indah di langit selain awan, langit, dan matahari.
"Umm .. tepat di hadapan ku saat ini, secara teknis di dua mata indahnya," goda Skylar dan memberikan senyuman bersamaan dengan deretan gigi putihnya.
"Kau benar-benar menjengkelkan Skylar," desah Aleena tertunduk benar-benar malu.
Skylar tertawa bangga berhasil. "Kau tahu aku tidak berbohong kan?" sambung Skylar.
Aleena hanya tersenyum geli. "Apa kau sudah selesai dengan pekerjaanmu?" nada Aleena berubah menjadi pelan dan rendah.
"Sudah," singkat Skylar.
"Oh." Aleena berjalan melewatinya dan diikuti Skylar lagi. "Jadi kau tak akan ke sini lagi?" sambung Aleena.
"Aku akan ke sini jika ada waktu dan tak ada tugas, atau kau yang datang ke sana?" ujar Skylar menengok kecil.
"Maksudmu?" Aleena mengerut heran, namun hatinya terasa sedikit gembira karena sesuatu hal yang belum jelas itu.
"Datanglah berkunjung, bilang saja kau Aleena dan Skylar Savagery yang menyuruh, mereka pasti tahu," ujar Skylar tersenyum besar kembali.
"Aku tak tahu tempat mu dan para Bunker's seperti aku tak boleh memasuki bagian Nest," jelas Aleena mengeluarkan nafas penat.
"Siapa yang bilang? Bagaimana jika besok aku datangi kamu lagi dan aku akan membawamu berkeliling Nest, bagaimana?" ajak Skylar menaikkan satu alisnya menunggu balasan Aleena yang tak perlu ditanyakan kembali.
"Tentu!" balas Aleena begitu bersemangat.
Mereka kembali terdiam, tak ada lagi yang ingin dibicarakan. Hanya sepoi angin yang menerbangkan rambut Aleena yang kini tergerai indah, nafasnya terus menghirup udara segar bersamaan dengan Skylar di sampingnya.
"Sky," panggil Aleena serak.
"Ha?" Skylar mengangkat alisnya bersamaan, dan menatap Aleena antusias menunggu apa yang ingin ditanyakan perawakan setinggi bahunya itu.
Bukannya Aleena melanjutkan apa yang ia ingin katakan ia malah terdiam, terpana akan wajah tampan Skylar yang terus tersenyum kecil di balutan mata coklatnya. Kembali menjadi tatapan sedih ketika ia mengingat Déjà vu yang benar-benar mirip dengannya.
Sakit hatinya terasa ketika menimbangi apa yang harus ia lakukan selanjutnya, benar-benar pilihan yang menyulitkan batin dan hatinya, sekaligus melukainya dalam.
"Aku ingin bilang sesuatu," ucap Aleena parau dan rendah.
"Mari cari tempat yang teduh dan tenang oke?" balas Skylar yang kini jugalah pelan dan acap menggandeng lengan Aleena menuju Grassandor yang dipenuhi banyak angin sepoi dan pohon teduh.
———
"Apa yang ingin kau tanyakan?" tanya Skylar membaringkan tubuhnya di atas hamparan rumput hijau dan di bawah teduhnya pohon, tanpa bisa memberi celah sinar matahari masuk pada mereka yang hanya menghabiskan waktu berdua di sana.
Aleena yang bersandar di badan pohon hanya menatapi Skylar yang melipat kedua tangannya di belakang kepala dan memejakan matanya ketika tidur, menikmati arus deras angin yang menerpa mereka.
"Apa kau tertekan hidup seperti ini?" basa-basi Aleena dahulu menatap tingginya tembok besi di hadapan mereka.
Skylar terdiam sejenak, lalu ia mengambil udara banyak membuat perut datarnya bergerak kecil, mendapatkan perhatian sejenak dari Aleena yang menatap sendu pria yang memiliki alis tebal dan panjang itu.
"Kau mengingatkanku pada ayah dan ibu ku, pertanyaanmu percis apa yang mereka ucapkan dahulu," gumam Skylar rendah.
"Dulu mereka menanyakan hal yang sama ketika aku berumur sangat muda, mereka bertanya padaku 'apa kau tertekan dengan hidup yang seperti ini?' aku menjawab mereka dengan menggeleng, tentu aku tidak mengerti apa-apa dahulu."
"Sejak mereka meninggalkanku bersama Bianca, aku tahu aku tak pernah hidup dengan tenang dan akan selalu tertekan kapan pun aku mengingat mereka," jelas Skylar penuh kehikmatan yang mendalam dengan tenang.
"Maaf?" Aleena mengerut bingung.
"Ayah dan Ibu ku sudah meninggal, ketika ... ketika aku masih kecil," balas Skylar penuh keraguan, Aleena menatap sendu Skylar di hadapannya yang tengah terbaring nyaman.
"Maafkan aku bukan maksudku untuk mengi-"
"Tak apa," sela Skylar santai.
Aleena menunduk menyesal, memainkan kuku-kukunya dan kembali menatap tembok di depannya.
"Aku ingin berbicara jujur pada mu," balas Aleena pelan, mengawali perbincangan topik serius.
"Apa kau percaya padaku?" tanya Skylar masih memejamkan kedua matanya.
Aleena terdiam dalam beberapa detik lamanya. "Aku fikir tak ada salahnya untuk mempercayaimu, aku harap kau bisa mengerti ketika aku selesai mengutarakan ini pada mu," jelas Aleena begitu lembut dan damai, tersirat kesedihan di nadanya yang begitu Skylar hafal. Skylar membuka matanya dan menatap dedaunan hijau di atasnya.
Skylar menegakkan tubuhnya di atas hamparan rumput hijau yang tebal dan lebat itu seraya kepalanya menengok pada Aleena serius, tanpa senyuman kali ini.
"Mengapa kau mempercayaiku?" alisnya sejajar menandakan bila ia cukup serius dengan percakapan mereka kali ini.
Aleena menatap tajam begitu dalam pada bola mata coklat milik Skylar. "Aku tak tahu."
Skylar mundur perlahan, mensejajarkan tubuhnya di samping Aleena dan mendekatkan tubuhnya untuk mendengarkan apa pengakuan Aleena sebenarnya. Skylar cukup terkejut dengan keseriusan Aleena dan membuatnya tertarik untuk mendengarkan lebih jauh.
"Aku mendengarkan," ucap Skylar sudah bersiap seraya terus menatap Aleena penuh makna.
Aleena menarik nafas panjang. "Aku penyebab kekacauan ini, aku adalah dalang semua ini, aku tidak sehat, aku abnormal, aku- aku pembawa bencana kapan saja," jelas Aleena begitu kesulitan mencari kata-kata yang pantas untuk dijelaskan.
Skylar menatap Aleena lirih. "Apa ada hal yang aneh di dalam tubuh mu? Apakah yang ganjal?" tiba-tiba Skylar berkata yang mendekati perihal Aleena seperti ia sangat tahu itu.
Aleena malah menjadi bingung dan kusut, menatap Skylar heran mengapa ia langsung dapat topiknya. Skylar memperhatikan Aleena seksama, membaca mimiknya, mengolah fikirannya, menyatukan semuanya.
"Aleena, kau berasal dari dalam atau luar?"
Aleena semakin resah. "Luar," saatnya ia jujur.
"Kau benar-benar merasa aneh?" lagi Skylar belum puas. "Apa ini berhubungan dengan sang Alpha?" ujar Skylar.
Aleena menengok cepat menatapnya penuh keterkejutan yang bukan kepala. "Bagaimana kau tahu?!" pekik Aleena menyelidik heran.
"Skylar kau sudah tahu!?" tanya Aleena yang nadanya berubah drastis menjadi tinggi.
Skylar terdiam. "Jika kau percaya pada ku maka aku percaya pada mu juga, jangan beritahu siapa pun bahkan Bianca jika aku memberi tahu hal ini," ujar Skylar menatap tajam iris hijau mata Aleena.
Aleena semakin dibuat penasaran dengan Skylar yang akan membongkar sesuatu yang pastinya begitu disimpan erat-erat oleh seorang Savagery sepertinya, jantungnya tak berdegup dengan normal, nafasnya menarik banyak pasokan udara untuk mengisi kepenatan di hatinya.
"Aku punya sebuah buku yang menjelaskan tentang semacam makhluk dari luar, ada Molk, Ghroan dan jenisnya, lalu sang Alpha. Ayah ku memberikannya ketika serangan The First Contiguity, ia menyuruhku untuk menyimpannya dan tak memberi tahu dahulu siapa pun tentang buku itu, ayah ku adalah sang penemu benteng ini."
"Buku 1, Phoenix, kau anak dari Phoenix!?" pekik Aleena penuh keterkejutan yang benar-benar mencengangkan.
"Aku Skylar Phoenix, adikku Bianca Phoenix, ayahku Adam Phoenix dan ibu ku Elizabeth Phoenix, hanya beberapa orang di sini yang tahu aku dan Bianca adalah anak dari penemu benteng ini," jelas Skylar pelan.
"Aku mendengar kisah ayah mu, benar-benar luar biasa," puji Aleena sekilas lalu ia mendapati mimik sedih di wajah Skylar.
"Ayahku memberitahuku jika aku harus menjaga benteng ini bagaimanapun caranya, tapi para Upper merebutnya dan aku ditunjuk menjadi Savagery, mengancam nyawa ku sendiri," curhat Skylar pelan.
Sepoi angin di Grassandor kembali menghembus kencang, menggugurkan dedaunan kering di segala arah dan membuat rambut Aleena terbang dengan selaras.
"Aku harap aku bisa mengingat orang tua ku sendiri," nada Aleena berubah menjadi parau, ia ingin menangis namun tak bisa dihadapan pria di depannya.
Skylar akhirnya memunculkan senyumannya kali ini "Aku ingin lebih tahu jauh tentang mu," Skylar menggeser posisi duduknya lebih rapat pada Aleena.
Aleena terkekeh kecil, lalu ia menjelaskan perihal kekuatannya pada Skylar, bagaimana asal-usul dan apa yang akan Aleena lakukan selanjutnya.
"Upper adalah salah satu penghalang itu, aku harus memancing langsung sang Alpha kali ini langsung ke sini lalu aku akan membunuhnya," jelas Aleena mendesis keji, iris matanya menjadi tajam setajam katana dan memuncakkan emosi setinggi Everest.
"Seperti yang kau jelaskan, aku akan membawakan alatnya dari luar untuk membantumu," ucap Skylar tersenyum pahit.
"Tidak!" elak Aleena cepat, menatap Skylar penuh ketakutan akan kehilangannya.
"Aku telah banyak membahayakan orang secara tak langsung, aku- aku tak ingin kehilanganmu juga," Aleena menatap intens sorot mata Skylar yang juga menyongsong tatapan Aleena dengan serius dan membalasnya dengan senyuman begitu tulus.
"Aku sudah sering pergi ke luar Aleena Sharlon, bagaimana bisa aku takut kali ini?" elak santai Skylar dan tersenyum begitu tersanjung akan sikap Aleena yang menurutnya begitulah perhatian.
Bagi pasangan muda yang sudah hampir menginjak masa-masa dewasa itu tersirat berbagai perasaan yang bercampur aduk terhadap sesama, bagaimana mereka menjalani hidup mereka masing-masing dengan berbagai alur dan kisah yang tak sama sedikit pun.
"Aku pernah melihatmu .. mati, kau ingat ketika aku bilang padamu Déjà vu? Itu adalah satu-satunya mengapa aku sering cemas. Beberapa Déjà vu ku hampir semuanya terwujud," jelas Aleena kini selalu sedih, raut wajahnya tak memberikan cahaya kesenangan.
"Beberapa, tapi apakah ada yang belum terjadi?" tanya Skylar menenangkan pujangganya.
"Ya," singkat Aleena.
"See? Itu hanya natural, aku pernah mengalaminya juga ketika aku bertabrakan dengan seorang Upper, seketika aku mengingat jika itu adalah Déjà vu," balas polos Skylar dan mendapat kekehan kecil Aleena.
"Jika kau mau aku akan mengajakmu ke Nest besok, memberikanmu buku 1 dan mungkin bisa sedikit meringankan beban mu," tawar Skylar dan tersenyum lagi.
Aleena mengangguk dan tersenyum palsu. "Sky, mengapa aku begitu takut akan kehilangan seseorang?" tanya Aleena kembali dengan raut begitu diselimuti kegundahan.
"Karena kau belum siap, dan ketika kau siap kau akan menerima dengan lapang dada," ujar Skylar menatap sendu Aleena.
"Aku akan mati cepat atau lambat," Aleena menengok pada Skylar, meminta penjelasan dan masukan lagi akan ketakutan terbesarnya.
"Kematian di antara oleh tangan Upper, Alpha, atau alam," gumam Aleena, Skylar menatap Aleena tajam, tanpa bisa berkata-kata.
Kedua pasang mata dua sejoli itu hanya saling pandang-memandang tak bergeming beberapa lama dan hanya mendengarkan deruan angin kencang. Mendengar kicauan para pria-pria yang bekerja di belakang sana.
Tubuh Skylar maju dan dengan cepat lengannya terangkat memegang pipi dan rahang Aleena dalam satu cengkraman, hingga bibir mereka bertemu dalam satu paduan yang menghangatkan raga dan kalbu di masing-masing insan.
Aleena yang tak tahu apa yang telah terjadi hanya diam dan membeku ketika bibir atasnya tersapu oleh bibir Skylar.
Mata Skylar menutup ketimbang Aleena yang masih saja membuka mata dan masih salah tingkah dibuatnya.
Puluhan mata yang sedang bekerja baik Ridcloss dan Tent hanya cukup mengintip dari kejauhan pada pasangan di bawah pohong rindang. Mengabaikan pekerjaannya sekilas lalu berbincang kembali pada rekan sebelahnya.
Skylar melepas ciuman lembutnya, bibir kanannya terangkat kecil ketika ia sadar berhasil mencium gadis yang tengah ketakutan. Mata coklatnya menatap nakal dan penuh ketertarikan yang mendalam pada Aleena yang terlihat shock.
Aleena terus mengeluarkan nafas sesak yang berat hingga suara itu terdengar di telinga Skylar dan menggelikannya. "Aku telah mati bersamamu," ujar Aleena pelan dan tersenyum kecil.
Skylar hanya terkekeh dan kembali memajukan wajahnya hingga bibirnya mengulum lembut bibir bagian atas Aleena berulang kali, Aleena yang merasa senang hanya merinding dan tersenyum di sela-sela ciuman mereka.
"Sky, bagaimana seorang Savagery dan anak Phoenix tahu cara berciuman?" pause Aleena.
Kening mereka menyatu merasakan hawa hangat di setiap hidung yang bersentuhan, Skylar terkekeh lagi dan membuat nafasnya menimpa sekujur wajah Aleena. "Alami ketika bersamamu," tuturnya polos kemudian dengan ranggas ia mengulum kembali bibir atas Aleena mengecapnya terus-menerus dengan posessive.
Perut Aleena serasa tergelitik oleh sensasi yang memualkan tubuhnya ketika merasakan bibir lembab dan basah milik Skylar yang bermain di bibirnya. Ini kali pertamanya ia merasakan gelenyar nyaman dan unsur sedewasa ini.
Seperti halnya senjata, Skylar tak terkontrol bila berada di dekat Aleena membuat kekuatannya menambah kuat bersamanya.
"Aku suka ketika kau memanggilku Sky," bisik Skylar di sela-sela ciuman hangat mereka.
"Aku suka ketika kau memanggilku A- itu menggelikan," balas Aleena tak kalah dan kembali mendapat sapuan lembut berulang kali di bibir atasnya dari Skylar.
Aleena memejamkan mata sejenak hingga apa yang ia lihat bukanlah gelap semata, melainkan sesuatu yang bergerak seperti apa yang ia lihat di alam bawah sadarnya. Ketika bibirnya masih menikmati alunan merdu bibir Skylar fikirannya kembali mengolah berbagai perkara apa yang terjadi padanya.
Semakin lama semakin jelas gambaran yang ada, gambaran di mana jajaran hutan dan rerumputan tebal, lalu akar belukar yang banyak. Aleena sadar jika itu adalah hutan di sekitar benteng, lalu ia membuka matanya bergegas dan melapas bibir Skylar yang belum berhenti.
Aleena mengeluarkan nafas banyak lelah dan juga penat, ia mengerut bingung dan mendapatkan tatapan cemas Skylar.
"Apa?" tanya Skylar heran.
"Ada apa A-?" tanya Skylar lagi khawatir.
Aleena terdiam dalam kebisuan, bibirnya membentuk lingkaran kecil dalam ketegangan yang membuat detak jantungnya sangat sakit. Nafas terengahnya keluar dari bibirnya dan menatap Skylar lirih.
"Mereka datang, mereka akan menyerang benteng ini."
"Apa?" pekik Skylar bingung.
"Sky kita harus pergi!" Aleena acap bangkit dan tergesa-gesa, diekori oleh Skylar yang menggenggam tangannya erat.
"Ada apa Aleena?" tanya Skylar kembali cemas.
"Aku mendapatkan penglihatannya! Seperti yang kujelaskan tadi, mereka ada di hutan."
Tiba-tiba suara gemuruh pasir samar-samar terdengar bersamaan dengan suara dedaunan yang tergeletak di pinggir tembok besinya. Aleena menengok cepat, mendapatkan gundukan pasir di bawah tembok besinya seperti tergali dari bawah.
Aleena merasakan hal yang membuatnya semakin gelisah, ia ingat jika gambaran itu adalah seperti mimpi lamanya, melihat pasir itu semakin lama semakin memperlihatkan tubuh hitam dengan bulu-bulu tajamnya.
Matanya membelalak besar ketika ia sadar ini adalah Déjà vu lainnya yang terwujud, ia melihat Ghroan muncul dari tanah dan Aleena dengan sigap berlari bersama Skylar yang ia gandeng.
"LARI!!" jerit Aleeba.
"GHROAN!!!" teriak Skylar begitu menggelegar pada puluhan Tent yang berjaga.
"GHROAN!!" jerit Aleena tak kalah panik sambil berlari begitu laju.
Banyaknya orang yang bekerja menoleh pada mereka tanpa satu kecemasan, malah rasa bingung melihat hanya mereka berdua yang panik. Mereka berteriak Ghroan namun alarm tidak berbunyi, itu seperti kebohongan.
Hingga tiba-tiba seorang Tent berteriak nyaring. "GHROAN!!" dan tombak mereka menyasar pada tubuh Ghroan yang semakin lama semakin banyak bermunculan dari bawah tanah yang ia gali.
Teriakan kini terdengar di berbagai penjuru membuat kepanikan merajalela semua pelosok Grassandor, dan para Tent yang tadinya santai berubah menjadi panik dan menegangkan tombak dan busur mereka.
Tak ada senjata, karena alarm yang belum berbunyi entah mengapa.
****
-Terima kasih untuk membaca ya! Semoga berkesan horaay!! Di media backsound part ini yaw ciee
-Oh iya jangan lupa Vote dan Komen! :p
-Karena author dinda akan memasuki babak kuliah semenjak 1 tahun nganggur dari kelulusan, mungkin ceritanya akan rada lama di update tapi janji akan tetap nulis karena this is my passion! I love doin' it! Doain supaya lancar ya, chaw!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro