Part 26 - Seorang Savagery
Bunyi mesin-mesin pemopang kesadaran Aleena terus berbunyi dan mendengung menemani jiwa yang terbaring lemah, di suatu kasur empuk dengan seprai putih halus yang dingin. Kain yang benar-benar berbeda dengan milik Aleena ketika tidur di bunker.
Aleena terbaring lemah dengan air infus yang menetes bergantian menuju selang yang menjalar menuju nadi pergelangan tangan kirinya.
Wajahnya yang mulus tentu tak pernah menghilangkan aura kecantikan yang kental.
Rambut brunnettenya benar-benar indah dan tergerai rapi di atas bantal empuk, baju coklat mudanya yang mengidentitaskan jati dirinya sebagai seorang Bunker's terlipat di bagian lengannya.
Nafas pelan yang tadinya tak terdengar dari hidung mancungnya kini semakin lama semakin keras dan panjang, menandakan kesadarannya yang memasuki alam lain yang bukan dari alam bawah sadarnya.
Erangan kecil terdengar dari dalam tenggorokannya seraya ia mencoba dengan sekuat tenaga membuka matanya yang terasa telah terekat oleh lem besi.
Seorang pria yang tadinya tertidur karena terlalu sabar menunggu Aleena di samping ia terbaring membuka matanya pelan, tubuhnya menegak ketika mendengar erangan kecil Aleena di telinganya.
Mata Aleena membuka pelan, pemandangan yang berubah membuat alisnya sejajar dan membentuk suatu kerutan bingung di keningnya.
Satu tarikan nafas panjang mengawali Aleena yang telah membuka matanya lebar, melihat lampu-lampu neon putih yang berjajar di plafon bersih menerangi mereka berdua selama berjam-jam.
Aleena menoleh cepat, melirik pria yang tengah duduk dan meratapi dirinya tengah terbaring lemah setelah efek obat milik Cadance habis.
Wolf meregangkan bahunya, memutar-mutarnya hingga bunyi seperti retakan terdengar yang berasal dari saraf-saraf otot kakunya setelah berperang seharian.
"Hey," sapa Wolf datar dan seperti berbisik, suara bariton besar khasnya keluar.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Aleena parau di suaranya.
Wolf menegakkan kembali tubuhnya dan mencondongkan badan besarnya pada Aleena. "Menunggumu bangun," balas Wolf dengan seringai kecil.
"Apa yang terjadi dengan ku?" tanya Aleena kembali kini berbisik.
"Mereka bilang kau pingsan seutuhnya ketika efek obat Cadance habis, dan dia menyuruh kami untuk menjagamu secara bergantian selang tiga jam," jelas Wolf.
Bibir Aleena membentuk bulat kecil, ia mencoba untuk menegakkan tubuhnya di atas kasur, dan dengan sigap Wolf membantunya untuk duduk dengan memegang bahu dan pinggangnya dengan santai.
"Terima kasih," singkat Aleena dan Wolf kembali duduk.
"Berapa lama aku pingsan?" sambung Aleena kembali seraya menatap lengan kirinya yang memiliki balutan perban putih dengan selang yang tersambung di suatu infus yang tergantung.
"Mungkin sekitar 10 jam," tukas Wolf mengangkat kedua bahunya berbarengan.
Aleena melebarkan matanya cukup terkejut. "Di mana mereka?" tanya Aleena terus-menerus.
"Mereka maksudmu Cadance dan Will? Mereka tidur," Wolf menengok ke luar di mana kaca besar menembus penglihatan menuju kantor Will yang luas.
Aleena menengok kecil dan melihat Cadance tengah melipat kedua tangannya di atas meja dan menempelkan kepalanya untuk tidur pulas setelah seharian ia bekerja.
Wajah Cadance benar-benar lusuh dan dipenuhi peluh kusam, membuat suatu kerutan yang samar di sekitar bawah kelopak matanya.
"Apa yang terjadi dengan mu?" ujar Wolf penasaran dan mendapat tengokan Aleena cepat.
"Maksudku ketika kau tertidur dan membuatmu pingsan, you know ... apa ada suatu petunjuk untuk membantu dia," koreksi Wolf kembali, kepalanya menggeleng ke kiri mengarah pada Cadance yang tertidur pulas selama berjam-jam menunggu Aleena.
"Aku menemukan seperti ruang rahasia di dalam gudang tambang yang sering ku lihat, dan aku menemukan banyak benda yang aneh seperti mereka dahulu pernah melakukan percobaan, aku menemukan WHO, World Health Organization dan sesuatu dengan kalimat HOSPIRA," Aleena terdiam.
"Aleena, apapun itu lebih baik jelaskan pada mereka, aku tidak mengerti oke?" kata Wolf. "Lebih baik kau lanjutkan tidurmu, semuanya sedang kacau di luar sana," tambah Wolf.
"Ka-kacau?" Aleena cukup terkejut, dan menatap Wolf nanar.
"Serangan itu terjadi dari siang hari hingga petang, lima jam seterusnya mereka gunakan untuk mentralisir sekeliling benteng, banyak zat asam kimia yang berterbangan di luar sana dan membuat beberapa Tent keracunan," jelas Wolf.
Aleena menatap nanar Wolf, fikirannya mengingat akan Azzura dan Ris di bunker yang sendiri, mungkin ketakutan dengan hal-hal yang mengejutkan setiap insan di dalam The Fort.
"Apa ada korban?" ujar Aleena penasaran dan mulai dirundung gelisah.
"Korban mati? Entahlah aku berada di Nest dan Gustavo memimpin di bagian Base, setahuku di bagian Nest tak ada korban, hanya keracunan seperti yang lain," Wolf mengangkat bahu lagi dan menghembuskan nafas berat.
"Aku tak bisa menahannya," gumam Aleena menatap kosong teman akrabnya yang siap membantunya.
"Aku tak bisa menahan rasukannya, aku tak bisa memikirkan hal selain pulang, benteng yang kuhuni adalah satu-satunya gambaran yang aku miliki, aku tak punya gambaran yang lain lagi," sambung Aleena penuh dengan rasa bersalah.
"Ini percobaan pertama mu, tak ada yang berhasil dalam kali pertama memulai. Kamu akan terbiasa dan belajar," ujar Wolf menyemangati Aleena, bibir kanannya melengkung membuat benih senyuman manis pada sosok Aleena.
"Oke cukup percakapan kali ini, kau seharusnya istirahat nona muda," sahut Wolf lagi lembut dan bersandar di sandaran kursi belakangnya, melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap Aleena penuh makna.
"Kau tak mau kembali ke kamp mu?" tanya Aleena terakhir kali.
"Ugh, percayalah di sini begitu hangat dari pada di sana, walau aku harus tertidur di bangku ini," ujar Wolf memutar bola matanya dan membuat Aleena tersenyum geli melihat Wolf yang dapat memberikan sedikit jenaka ringan untuk batinnya yang masih kaku.
***
"Aleena!"
"ALEENA!!"
Tubuh Aleena bergetar kaget karena hempasan berulang kali yang membangunkannya di atas kasur empuk. Ia mencoba mengatasi sinar yang masuk ke matanya yang dipaksa membuka begitu saja.
Aleena mengedip cepat dan rasa kantuknya benar-benar tak ingin beranjak pergi, ia begitu mengantuk. Aleena membuka mata dan menatap sosok Cadance yang kacau terlihat panik, Aleena menegang kebingungan.
"Apa?" tanya Aleena memekik geram.
"Kita harus ke bunker," balas Cadance menunggunya bangkit dari kasur.
"Apa?" tanyanya kembali namun kini dengan nada bingung.
"Ayo! Sebelum mereka memeriksa ke dalam," Cadance menarik tangan Aleena cepat, melepaskan infusnya dan membangkitkan tubuhnya segera. Aleena menggantungkan kakinya di ranjang sebelum turun.
"Mereka siapa?"
"Para Upper, mereka memeriksa para Bunker's ayo cepat!" Aleena terseret dan mereka berlari menuju bunker.
Langkah Cadance terburu-buru menarik lengan Aleena menuju pintu keluar, lorong-lorong putih kini masihlah sepi tanpa satu pun pria yang terlihat. Langkah kaki yang kencang bagaikan dentingan jarum jam yang memacu laju mereka lebih gesit.
Cadance membuka pintu utama kamp Orvos dan udara begitu dingin acap membekukan mereka, meresap melalui pori-pori kulit mulus mereka.
"Shit astaga, dingin sekali di luar," umpat Cadance dan nadanya bergetar menggigil.
"Jam berapa ini?" tanya Aleena yang bibirnya bergetar hebat.
"Empat subuh" balas Cadance dan mereka menuju gerbang Sega, untunglah gerbang Sega tak menutup dan menghalangi jalan pulang mereka. Jika tidak, mereka akan di hukum layaknya bocah berumur tiga tahun yang melakukan pelanggaran.
Mereka berlari dengan pelan, tanpa suara sekecil apapun di atas tanah dan membentur dinginnya angin malam. Sempat tercium suatu harum yang aneh di udara, namun dihiraukan mereka.
Tanpa rintangan apapun mereka melewati menara Gloetik di mana banyak Upper yang bekerja di sana, mereka dengan cepat menuju pintu afdeling dan membukanya dengan cepat.
Begitu mudah bagaikan membalik lembaran buku, mereka sampai pada aula tengah dan mereka masing-masing masuk menuju bunker masing-masing. Cadance lebih panik dan dengan cepat ia menggeser bunker tiga dan menutupnya kembali.
Aleena masihlah termenung dan menatap Cadance heran. Hingga tiba-tiba ia mendengar suara seretan pintu dari depan. Dengan acap dan sigap Aleena terkacir-kacir menuju pintu bunker satu dan menyeretnya hingga terbuka lalu ia menutupnya lagi.
Para Upper yang masuk mendengar suara menggema dari dalam termasuk Dan, kakinya melangkah mendahului lima rekan lainnya dan cenderung cepat.
Hingga ia mendengar suatu dentuman kecil berasal dari aulanya, ia sampai dan tak melihat apapun. Hanya mendengar suara langkah kaki seperti berjalan di bunker satu.
Ia menuju bunker satu dengan gejolak emosi, ia tahu jika seseorang telah memainkannya, tangan kekarnya menggeser pintu dan menyorot tajam pemandangan di depannya berupa 10 wanita yang tertidur di balik selimutnya.
Sorotan tajamnya menuju pada kasur pertama di kirinya yang khusus dengan awalan nama A paling dahulu dan ditempati Aleena Sharlon. Ia melihat tubuhnya terbungkus rapi selimut dan memeluk guling membelakangi tubuh Dan.
Dan menyorot tajam dan curiga, tubuhnya mendekati Aleena dan ingin membuka selimutnya dengan tega.
Langkahnya terhenti ketika ia terpanggil oleh seseorang di ambang pintu. "Dan, kau tak mau memulai dari ruang makan dahulu?" bisik seorang pria memakai baju berwarna merah maroon.
Dan tak bergeming dan masih menyorot keji tubuh Aleena, hingga tubuhnya perlahan mundur dengan teratur ke ambang pintu dan meninggalkan mereka dikerubungi kedinginan besi.
Aleena yang menahan nafas sedari tadi kini membuangnya lega, mata hijau beningnya masih membuka ketika ia merasakan langkah kaki menuju arahnya. Ia menengok kecil ke belakang begitu penasaran dengan langkah Upper yang menuju ke bunker.
Ia terlentang, teringat hal jika Upper mengetahui kekuatannya dia akan terbunuh, belum lagi Upper yang ia kenal dengan nama Dan benar-benar licik dan meragukan.
Ruangan yang begitu sunyi memudahkan Aleena mendengarkan percakapan para Upper di ruangan makan ditambah bantuan pintu bunker yang terbuka.
Dan dan rekan-rekannya tengah berdiri di dalam ruang makan, bercakap banyak hal tentang sistem-sistem yang akan mereka perbaharui termasuk tentang bunker enam yang siap mereka hancurkan.
"Kita bisa mencari seorang Orvos dan bekerjasama dengan mereka untuk membuat serum yang menghilangkan asap beracun di dalam bunker itu," ucap seorang pria menatap bunker enam.
"Ya, kita bisa memasukkan banyak Bunker's lain ke dalam sana, di sana cukup luas bukan?" dukung seorang pria mengenakan sarung tangan.
"Lagipula kau tidak tahu pasti apa yang ada di dalam sana, itu percampuran serum-serum mematikan, dan eksplikasi apa yang kau harapkan untuk memusnahkan gumpalan asap yang tak pernah hilang itu?" ejek seorang pria bersuara lebih nyaring dari orang lainnya.
Aleena mengerut, menimbangi percakapan apa yang tengah mereka perdebatkan di sana dan bagaimana hasil final mereka tentang percakapan yang tengah berlangsung singkat itu.
"Kau bisa mencari bahan di luar sana Erik," desis seorang pria begitu seru.
"Kau gila, sinting? Banyaknya Ghroan berdatangan ke sini membuat mereka yang di ruang Tiera (Puncak Gloetik) tak akan membiarkan para Savagery keluar, belum lagi kau ingat tentang rapat kemarin mengenai perdebatan jika Savagery diberhentikan untuk keluar benteng? Mereka akan tetap berada di dalam dan tak akan pernah keluar lagi, berapa lama lagi kita akan bertahan ha?" jelas seorang pria yang bersandar di belakang meja.
"Ugh Dan, mengapa 'dia' begitu Otoriter dan egois?" desah seorang pria merajuk.
Dan menggidikkan bahunya tak mengerti pula. "Sudahlah, ikuti saja perintah 'dia', 'dia' yang mengerti semua yang ada di dalam sini, apa yang kau harapkan dari pimpinan seperti 'dia' yang begitu keras kepala?" ujar Dan memutar bola mata.
Aleena terheran-heran, tatapannya melebar seraya mendengar keganjalan dalam percakapan para pria-pria di ruang makan itu.
Dari halnya Savagery yang tak boleh keluar lagi, bunker enam yang ingin di musnahkan, dan seseorang yang bagi Aleena benar-benar mencurigakan.
Pimpinan? Bukankah pimpinan Upper adalah Dan? Batin Aleena dengan campur aduk pemaparannya.
"Hey, sudahilah obrolan kalian dan mulai menghitung," tegur Dan dan dibalas senda gurau rekan-rekannya.
"Di mana kertasku?" tanya pria lainnya bergurau.
"Nah," pria memakai kacamata baca memberikan suatu kertas.
"Mulai dari bunker, kita akan lanjutkan ke afdeling dua sampai empat" suruh Dan.
"Wow, kau terlihat bersemangat menuju afdeling lain Dan, apa kau ingin menemui wanita itu?" kekeh seorang pria menggoda Dan, sontak semua rekan di sekitaran mereka ikut terkekeh geli.
"Shut the damn up," desis Dan, langkahnya pergi ke suatu ruangan penyimpanan makanan untuk memeriksa sistem mereka yang ia terima tengah mengalami kerusakan dan tak menutup ketika alarm berbunyi.
****
Aleena, Cadance, Will, dan Yura dengan nyamannya duduk bersamaan. Membentuk lingkaran tak sempurna di ruangan Will yang cukup besar itu.
Aleena duduk di sebelah Yura yang sedang mengisi waktu istirahatnya untuk mendengarkan apa yang ia yakini dengan penyebab Ghroan masuk ke habitat mereka yang aman ini.
Will dan Cadance duduk berseberangan dengan remaja muda-mudi itu dan hendak mendengarkan penjelasan Aleena.
"Ceritakan mulanya, intinya, pokoknya, poinnya, singkat dan padatnya," tutur Cadance mengambil mode bersiap.
Aleena menarik nafas. "Awalnya aku bangun di dalam air jernih berwarna biru, asin dan aku mencoba untuk berenang ke atas. Aku melihat pantainya dan aku berenang ke sana, hingga aku terkapar dan memuntahkan banyak air asin, aku hanya terpejam sejenak, hingga aku berada di suatu rumah."
"Lebih tepatnya gudang di dalam rumah, seperti gudang pertambangan dengan alat-alat dan banyak box kayu beserta karung berisi gumpalan tanah."
"Tubuh ku tidak basah lagi, kering seutuhnya dan selalu terjadi begitu sama dengan mimpi sebelum-sebelumnya."
"Sejenak aku hanya ingin melakukan hal yang berbeda dari sebelumnya di mana aku akan keluar dan mencari gedung tinggi lalu mendapatkan gambaran jembatan merah Napoleon jauh. Aku hanya penasaran apa yang ditutupi terpal lebar di atas langit-langitnya, jadi aku memanjat."
"Aku memanjat dindingnya dan aku membuka terpalnya, itu sebuah atap yang luas. Mungkin sebelumnya pernah ada empat lantai di atasnya tapi entahlah," Aleena mengingat lagi.
"Kemudian aku melihat celah di sisi dinding dan aku melompatinya hingga aku menemukan suatu ruangan rahasia. Ruangan itu penuh dengan berbagai alat-alat seperti punya Will, dan aku rasa mereka meneliti sebuah Ghroan juga."
Jelas Aleena begitu panjang lebar di mana ketiga insan yang tengah menontoni wajah cantiknya yang terus merubah ekspresinya dari kalimat ke kalimat. Membagi pengalamannya, hanya mendengarkannya saja dapat memberi aura kemisteriusan yang kental bagi Cadance dan kawan-kawan.
"Meneliti sebuah Ghroan?" sambar Cadance seperti biasa membuyarkan ketegangan.
"Aku melihat Ghroan di tempatkan di semacam tabung berwarna hijau seperti air rawa-rawa. Aku juga melihat berbagai macam benda yang masih hidup," jelas Aleena kembali.
"Benda? Seperti apa detailnya?" ujar Will mengerut samar kini ikut meramaikan.
"Aku tak tahu itu apa, seperti tabung tapi tidak terlalu mirip, itu sulit di jelaskan," Aleena menghela nafas kecewa.
"Bisakah kau menggambarnya?" suruh Will memberi ide, terlihat raut serius di wajahnya juga aliran keringat yang menandakan bila ia tengah di landa gelisah yang tak berkesudahan.
Aleena mengangguk pelan. "Sepertinya bisa."
Will mendorong kursinya pelan hingga tubuhnya di atas kursi dengan roda kecil di bawahnya membawa jati dirinya pada meja di belakang. Ia membuka laci meja dan mengambil secarcik kertas dan sebuah pensil. Ia menghentakkan kakinya di lantai hingga membuatnya terdorong kembali pada posisi awal.
Ringkasnya gaya Will memberikan kesan santai dengan bermain dengan kursinya hingga berputar-putar, tapi setelah ia memberi kertasnya pada Aleena keadaan menjadi semakin menggentingkan.
Aleena menaruh kertas di atas pahanya, dengan tangan kiri yang menggambarkan benda yang ia pernah lihat.
Aleena mengoreksi dahulu gambarannya, tidak terlalu mirip, hanya saja detail-detail terpentingnya yang Aleena tahu seperti batang-batang yang panjang dan dengan suatu tempat tabung di dalamnya dengan cairan.
Aleena memberikan kertas pada Will, singkat cerita Will begitu tercengang luar biasa. Wajahnya menggambarkan mimik yang begitu kebingungan, Aleena melirik Yura sekilas yang tengah dibiarkan mendebu duduk di sampingnya dan dibalas tatapan datar Yura.
"Ada apa Will?" gubris Cadance menatap Will heran.
"Apa kau melihat benda lain dari ini seperti sebuah balok kecil berwarna hitam?" Will menengok Aleena dengan penuh harap mendapatkan jawaban yang dapat membantunya mengorek apa yang ia mengerti.
"Oh ya aku dapat, ada sesuatu tentang HOSPIRA dan World Health Organization," tutur Aleena semangat.
"WHO," gerutu Will pelan.
"Bagaimana kau tahu?" tukas Aleena.
"Apa yang kau tahu tentang itu?" ucap Cadance bersamaan dengan Aleena.
Will terdiam, memberikan kesan menggantung pada percakapan mendebarkan mereka. Kertas dengan gambar itu masih ia pegang dan ia tatap dengan dingin, lalu ia menjalarkan pandangan pada rekan di hadapannya.
"Sepertinya mereka tengah melancarkan serangan pada Ghroan dan menuju pada sang Alpha juga. Mereka memiliki misi yang sama dengan kita wajarnya. Aleena, jenis Ghroan apa yang kau liat di sana?" jelas Will menatap seringai maut pada Aleena.
Aleena semakin berdebar, begitupula Cadance dan Yura halnya. "Aku- aku tidak tahu, Ghroan itu terlihat sudah mati," balas Aleena sedikit tergagap.
"Bagaimana kau tau Will? WHO, lalu misi mereka?" pekik Cadance gemas.
"WHO dan alat itu ada di buku Chronicle Of The Lost Treasure di cover terakhir dan tertulis tangan, tentang alat-alat itu dijelaskan di dua halaman terakhir, hanya saja penjelasannya menggantung dan di teruskan di buku satu," pekik Will geram.
"Aku tidak melihat ada tulisan tangan, dan bukankah lima lembaran terakhir hanya kertas kosong?" koreksi Cadance cepat yang pernah membacanya.
"Sebenarnya tulisan itu terlihat jika di baca dalam nyala api atau cahaya lampu yang cukup terang. Mengingat kau tinggal di sana dengan pasokan cahaya minim kurasa kau tak bisa membacanya. Sepertinya lima lembar terakhir ditulis secara rahasia oleh pemilik atau penerbitnya dan hanya orang tertentu yang tahu tentang maksud halaman tersembunyi itu."
"Aku rasa mereka berusaha untuk memusnahkan Ghroan juga dahulu, tapi sesuatu menghentikan mereka," gumam Will dirundung pertanyaan besar.
"Sesuatu apa?" tanya Aleena penasaran.
"Aku tidak tahu, mungkin jawabannya ada di buku satu atau entahlah," balas Will parau menghela nafas pendek.
Aleena menumpu kepalanya pada kedua tangannya dan mendekamkan wajahnya di telapak tangan penuh dan menutupinya penuh kecemasan. Cadance yang terus-menerus menghela nafas berat tak tahu ingin melempar kalimat apa lagi karena topik yang di luar jangkauan pengetahuannya.
Sedangkan Yura masihlah melipat kedua tangannya di depan dada, asik mendengarkan layaknya lantunan dongeng yang bercerita tentang sebuah Fairy Tale.
Ruang menjadi hampa dan sunyi, tak banyak kata-kata yang mereka fikirkan karena hanya Willlah yang mengerti kali ini.
"WHO pastilah memiliki seperti kamp atau gedung semacam itulah, apa kau tak tahu di mana letaknya di kota? Aku mungkin bisa ke sana dan melacak apa yang pekerja WHO lakukan untuk memusnahkan makhluk itu, mungkin akan membantu kita sedikit," ujar Aleena mendapatkan ide.
"Aleena, hanya Savagery," gumam Cadance mengingatkan dia, lalu ia menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi dan memutar mata jengah.
"Gustavo? tak ada harapan," gerutu Aleena menatap Yura kali ini dengan tatapan mengingatkan jika atasannya benar-benar memuakkan dan menjengkelkan.
"Apa kau tak kenal Savagery lainnya Yura?" tanya Aleena pada Yura menatapnya penuh harap dan tatapan manja.
Ia mendeham. "Kau lupa aku anak baru?" akhirnya Yura angkat bicara setelah begitu lama dianggurkan bagai puluhan kertas bersama map coklat yang membalutnya rapi.
"Dia benar Aleena, lagipula tanpa Savagery kita tak akan dapat berbagai bahan dari luar untuk membuat alat kita," balas Cadance mengikut campur.
"Ngomong-ngomong soal Savagery, Cadance ketika kita masuk ke bunker apa kau tak mendengar percakapan para Upper di luar?" Aleena menegakkan tubuhnya.
"Aku tak mendengar apa-apa dan aku langsung tidur," ucap Cadance santai seperti tanpa dosa sedikit pun, Aleena memutar mata kembali tentu saja ia tak dapat dengar jika pintu tertutup rapat.
"Mereka berbicara tentang Savagery yang tak diizinkan keluar lagi, dan-"
"Apa!" pekik Cadance membulatkan matanya, mata hijau cantiknya mengembang sempurna.
"Dan mereka akan menghancurkan bunker enam, tapi mereka tak bisa karena seseorang tak mengizinkannya, aku tidak tahu siapa tapi sepertinya dia atasan dari atasan Dan si Upper itu," sambung Aleena tak menghiraukan jeritan Cadance.
"Mereka tak boleh melakukan itu! Mereka bisa meluluh lantakkan kita sama rata jika menghirup asap serum itu saja," desis Cadance memuncak emosi.
"Kurasa mereka tak akan melakukannya, aku tegaskan itu," yakin Aleena pada Cadance.
Selang beberapa jam mereka habiskan untuk bersama-sama menjelaskan semua perihal tentang apa yang menghambat kemajuan mereka, kini pertemuan mereka selesai. Yura kembali lebih awal karena jadwalnya menjaga akan segera datang tak lama.
Aleena melangkah pada ambang pintu. "Cadance kita harus kembali, sudah hampir malam dan para Upper mungkin akan curiga atau Orvos lain saat melihat kita sering datang ke sini," tegur Aleena mengingatkan.
"Kau duluan saja Lena, ada beberapa hal yang harus tanyakan pada Will," ujar Cadance menengok di mana ia tengah berhadapan dengan Will.
"Pulanglah dulu Aleena, bersihkan diri mu," Will tersenyum tulus, mengembangkan sejuta perasaan cinta pada Aleena begitu ikhlas.
Aleena tersenyum manis. "Baiklah," ia melangkah pergi dan menyusuri lorong-lorong lagi seperti biasa.
Ia membuka pintu utama dan sinar matahari sore yang hampir padam benar-benar menakjubkan mata hijau sebening daun itu.
Pemandangan yang merupakan mengunggah sejuta lontaran kagum ditambah lukisan-lukisan awan yang membentuk bagaikan ombak yang berjajar penuh di langit.
Awan yang terpias warna senja berubah menjadi orange, dengan langit yang bukan berwarna biru melainkan orange. Ini benar-benar pemandangan begitu langka, mata Aleena terus mengeluarkan manik binar kagum.
Senyum manis di bibir tipis merahnya tak pernah musnah, ia menyeringai kecil seraya mendangak pada lapisan atmosfer di atasnya.
Langkahnya bergerak, bahkan dengan tenang dan polosnya ia berjalan tanpa melihat ke bawah melainkan menatap langit.
Pria-pria yang tengah melewatinya menatap Aleena bingung, terkekeh geli melihat gadis berparas cantik itu tengah takjub akan apa yang di atasnya.
Dengan rasa penasaran pria memakai pakaian hijau dengan tangan yang kosong tanpa senjata ikut mendangak, mereka cukup takjub melihat fenomena alam yang sering mereka abaikan dan tak perdulikan. Namun sejak kini pria itu memendam rasa kagum yang benar-benar dalam pada langit indah di atasnya.
"Ouch," ringis Aleena ketika ia merasakan sentuhan kasar di kakinya yang membuat tubuhnya terjatuh kembali.
"Dammit," umpat Aleena dengan kedua tangan yang menahan bobotnya dari tanah tandus.
Ia betekuk lutut, menyeimbangkan tubuhnya yang duduk sendiri di tengah jalanan berpasir itu dan membersihkan telapak tangannya yang tertempel beberapa butir pasir kasar.
Hingga Aleena melirik suatu pemandang dari kilat mata kirinya menuju pintu utama menara Gloetik.
Ia heran, ketika melihat dua orang pria tengah masuk melewati pintu yang terbuka otomatis itu mengenakan seragam warna hitam.
Seragam yang tak pernah ia temui sebelumnya dan tak pernah juga ia lihat sebelumnya berkeliling The Fort, hanya lewat kabar burunglah Aleena tahu jika pria-pria berseragam serba hitam itu adalah seorang Savagery.
"Savagery? Apa yang mereka lakukan?" kerutan heran terukir di keningnya menatap bingung sosok yang ditelan menara Gloetik.
"Aku tak pernah melihat mereka selama ini, dan mengapa mereka ke sana?" gerutu Aleena sendiri.
Ia mengangkat bahu dan bersikap layaknya acuh. Hingga ia melanjutkan langkahnya kembali dan menuju afdeling satu untuk menikmati sengatan segar air di sekujur tubuhnya yang tengah gerah itu.
****
"Baiklah baiklah semuanya perhatikan!" teriak seorang pria menggelegarkan seluruh pelosok ruang makan yang tengah di isi wanita-wanita.
"Kita akan melakukan uji coba terhadap metode baru menyelamatkan diri ketika alarm berbunyi, mengingat ada perubahan secara signifikan maka kami akan memberikan beberapa langkah-langkah utama yang harus kalian ikuti nantinya," jelas seorang pria di depan kerumunan wanita.
Aleena yang mendengarkan hanya berdecak, menggaruk tengkuknya dan memutar matanya malas.
"Mereka fikir apa yang akan kita hadapi? Sebuah gempa bumi?" umpat Aleena membisiki Azzura di kanannya.
Azzura terkekeh. "Dengarkan saja mereka, tak ada hiburan lain selain ini," balas Azzura bergurau dan mendapatkan rangkulan tangan kanan Aleena hangat.
"Jadi, alarm memiliki satu bunyi yang baru yaitu bunyi yang lebih cepat dari sebelumnya. Ketika alarm itu berbunyi kalian akan acap bergegas melakukan tahap-tahap sebagai berikut."
"Pertama, bebaris membentuk satu baris panjang yang dimulai dari bunker satu sesuai absensi nama kalian dan berurut sampai pada bunker lima," jelas seorang Upper.
"Great, aku di posisi paling depan. Aku harap namaku dahulunya Suki atau Tania," desis Aleena malas mengingat selalu ia yang pertama.
"Apa yang salah? Jadi yang paling utama di abjad bukanlah sesuatu yang memalukan Lena," balas Azzura terkekeh geli.
"Percayalah, absen pertama dari banyaknya orang sangat tidak enak," ujar Aleena memutar bola mata malas.
Azzura terkekeh kembali, dan menghentikan senda gurau singkat mereka dan kembali mendengar ocehan-ocehan para Upper.
"Kedua, berjalan secara teratur tanpa panik menuju ruangan di atas dan ikuti seorang Tent menuju tempat pengambilan masker dan serum," jelas Upper itu kembali.
"Ketiga, kembalilah dengan cepat tanpa berhamburan sebelum pintu bunker tertutup secara otomatis."
"Seperti itulah singkat cerita, kuharap kalian mengerti sampai titik ini dan semoga hari kalian menyenangkan, uji coba akan berlangsung dalam beberapa menit lagi dan kembalilah ke bunker kalian masing-masing. Ingatlah tahap-tahap tadi!" ujar Upper itu kembali dan mendapat desas-desus para wanita yang memalas.
Kerumunan wanita berjalan keluar menuju bunker masing-masing, tak ada cara lain lagi selain menuruti kemauan para Upper yang terdengar berlebihan.
Aleena duduk di samping Azzura, bersenda gurau seorang remaja layaknya yang membicarakan banyak hal-hal yang membuat senang jiwa, ia mengenyampingkan metode Upper yang menyebutkan jika mereka harus berada di atas ranjang masing-masing.
Hingga tak lama alarm yang berbunyi dengan tempo yang lebih cepat mengagetkan banyak orang, beberapa dari mereka lupa untuk tak panik. Namun insan yang lainnya ingat jika ini tak lain daripada sebuah uji coba. Aleena menghela nafas berat, tentu ialah yang harus memulai berdiri dan membentuk barisan agar nantinya banyak yang mengikutinya.
Aleena berdiri dan semua wanita serempak ikut berdiri mengikuti gerakan Aleena, satu per satu masing-masing secara berurutan membentuk barisan satu dengan abjad yang berurutan dengan Azzura yang paling belakang.
Aleena membuka pintu bunker dan berjalan luntang-lantung malas menuju ke atas, diikuti banyak wanita di belakangnya seperti ular panjang.
Aleena menaiki tangga, hentakan-hentakan langkah kaki bergemuruh layaknya rintikan hujan yang banyak meributkan seisi ruangan dengan sepatu mereka itu.
Aleena sampai di atas, dan menemukan suatu celah kecil seperti gorong-gorong dengan seorang Tent yang berjaga dengan dingin di depannya.
Aleena menengok keji. "Kau mau aku merangkak bagaikan bayi?" alisnya terangkat, menghentikan barisan panjang di belakangnya yang tengah dilanda kesal dengan berhentinya Aleena.
"Lakukan saja," singkat pria itu dingin, Aleena memutar mata malas dan ia menunduk dan merangkak bagaikan seorang bayi tua melewati terowongan kecil ini.
Apa hubungannya ini dengan fase menyelamatkan diri? Batin Aleena mencemooh.
Mereka fikir ini lucu? ayolah mengapa di atas sini juga sempit? oceh Aleena dalam hati tak henti-hentinya mengumpat kesal.
Aleena mengangkat kepalanya ketika sampai dan mendapatkan sedikit jedukan di pangkal kepalanya sebelum ia bebas dari terowongan mungil itu.
"Ousshit," gumamnya meringis sambil mengusap-usap cepat kepalanya di balik rambut yang terikat kuda dan jatuh begitu rapi.
Ia teralihkan oleh pemandangan ganjal, suatu tempat tak begitu luas tanpa dinding besi atau pun kaca, seperti panggung kecil saja, dengan lantai yang bercahaya kebiruan karena neon terang tengah menyinarinya.
Dua orang pria yang menunggu di atas sana lalu menengok pada Aleena dengan kehadiran dia sebagai 'pelanggan' utama mereka. Aleena menatap nanar dan tak pernah merapatkan bibirnya yang terus terbuka.
Decak kagum terus ia sorak-sorakkan di kalbunya, langkahnya maju begitu cepat tak seperti biasa, meninggalkan teman di belakangnya masih merangkak di semacam gorong-gorong itu.
Aleena maju dan menatap kagum dengan tegukan saliva yang ia telan terus-menerus, melihat dua pria berseragam serba hitam.
Pria yang tadinya tengah duduk sambil berbincang pada rekan seumurannya kini berdiri melihat Aleena yang tak sadarkan diri sudah sampai di panggung itu.
Aleena masihlah terpagut diam terpesona pada pandangan pertama melihat pria yang berdiri tegak dan tersenyum lebar padanya.
Rasanya jutaan kupu-kupu tengah menari-nari di perutnya, membangkitkan sang hati yang dahulu tidur dan menggenderangkan detakan jantungnya cepat.
"Hello there, welcome!" sapa pria itu begitu ramah dan penuh suka cita.
Aleena tersenyum malu, rona merah pipinya terlihat dan terasa panas di pipinya. "H-Hai," sapa Aleena bergetar hebat.
"Tak usah malu-malu sepertinya kita seumuran bukan?" ajak gurau pria mengenakan baju hitam itu.
"Kau se-seorang Savagery?" tanya Aleena terlepas tak tertahankan, nadanya begitu parau dan bergetar gerogi.
Pria itu terkekeh dahulu. "Tentu cantik," ujar pria itu menggoda.
Merah pipi Aleena lebih menjadi-jadi lagi ketika pria dengan rambut gelap pendek itu tengah menggodanya. Seperti meledakkan hatinya berkeping-keping dan merubahnya menjadi serbuk cinta pandangan pertama.
Pria itu menarik nafas dan menghelanya. "Baiklah nona, beginilah aturan pertama di saat kau sedang terdesak, hal yang akan kau ambil untuk pertama kali ialah masker. Ini merupakan salah satu hal yang terpenting walau hanya barang yang kecil, kemudian setelah kau memegangnya kau ambil cairan ini dan mencari tempat bersembunyi, dan jika kau masih di luar hal yang kau lakukan adalah untuk bernafas dan tidak panik," jelas pria itu terus tersenyum lebar.
Aleena melihat beberapa senjata yang terpampang di suatu papan yang di terangi lampu neon berwarna biru kehijauan, terdapat busur berwarna hitam yang terbuat dari besi dengan panah yang tersedia banyak.
Di bawah busur ada beberapa tombak yang berjejer, lalu di sampingnya berdiri katana berbagai macam bentuk dan warna. Di sisi bagian kanan terdapat satu buah senjata api dengan warna emas di sekitar pegangannya.
Aleena mengerut heran, ia kini diserang kegundahan lagi ketika ia sadar jika pertemuan mereka ini rasanya bukan kali pertama.
"Kau tidak perlu menggunakan senjata," ujar pria itu melihat tingkah Aleena yang melihat tumpukan senjata, senyuman manisnya tak pernah pudar.
Ketika Aleena mengingat-ingat kembali seraya pria itu masih menjelaskan ia terngiang akan sesuatu yang melekat di fikirannya, dan ia mencoba memastikan jika itu benar.
"Kau aman bersama kami," gumam Aleena yang benar-benar bersamaan dengan ucapan pria itu.
Aleena menatap lantainya dingin namun fikirannya melayang dan menyimpulkan jika ia terkena gejala Deja Vu kembali. Dulu ia sepertinya pernah mendapatkan kutipan mimpi ini dan nyatanya ialah benar-benar terjadi.
Pria itu terkekeh geli merasa senang, bersama kawannya Seth yang ikut tertawa geli ketika ia bisa mengetahui kalimat apa yang hendak pria Savagery itu katakan.
"Wow, haha bagaimana kau bisa tahu?" pria itu menyipit menyelidik tanpa rasa curiga sedikit pun.
"Deja Vu," singkat Aleena polos bergerutu masih terbelenggu dalam dunia lamunannya.
Pria itu terkekeh dan menatap Aleena penuh makna, binar matanya tak hilang melemparkan kekaguman naluriah para lelaki yang melihat gadis berparas cantik dan lucu seperti Aleena.
Ia tak pernah henti-hentinya tersenyum menatap Aleena yang kini sudah dibuat salah tingkah. Hingga ia menjalarkan tangannya ke depan.
"Skylar," tuturnya memperkenalkan diri.
"Sepertinya ini di luar naskah Upper," gumam pria di sampingnya mengingatkan dan terkekeh geli lagi.
"A-"
Belum selesai Aleena mengucapkan namanya sudah terburu terputus dengan bunyi alarm.
Tiba-tiba saja alarm berbunyi dalam tempo pelan kembali dan mencengangkan semua wanita di belakang yang bingung. Apa ini prosedur uji coba ataukah benar adanya serangan?
Aleena terkejut, kedua pria Savagery itu berdiri tegak dan ikut gelisah. Teriakan para wanita kembali terdengar dan dengan cepat dan tak teratur berhamburan bagaikan semut, mereka berlari menuju bunker masing-masing.
Aleena tinggallah sendiri dan Savagery itu hendak berlari membantu untuk menjaga benteng mereka. Aleena dengan cepat malah mengambil sebuah busur hitam dan keranjang anak panahnya yang terpamerkan.
Skylar yang sempat menengok Aleena di belakang terkejut, dan mendatanginya cepat.
"Hey A-, apa yang kau lakukan? Taruh dan kembalilah ke bunker mu aku akan mengantarmu," dengan teratur dan lembut ia mengambil panah dan busur dari Aleena.
Aleena cukup dibuat terpana dengan sikap posesif Skylar yang cenderung begitu baik dalam keadaan genting ini.
Aleena pasrah, dan dengan tenang ia berjalan cepat mendahului Skylar yang menjaganya dari belakang, menuntun tubuhnya menuju bunker satu seraya alarm masih berbunyi dengan tempo lamban.
Mengapa serangan lebih sering terjadi?
******
-Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk membaca The Fortless!! Semoga cerita ini di ketahui khalayak luas aaaamiin.
-Oh iya, jangan lupa Vote dan Komen :p
-Cast Skylar On Multimedia, chaw! My bae wkwk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro