Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 25 - Ruang Rahasia

Saat keadaan mulai berubah semenjak akhir-akhir ini banyak selentingan kabar yang meresahkan. Kabar burung tersebut sampai pada semua orang. Merubah keadaan hati yang cukup anteng menjadi resah. Keresahan selalu menjadi konflik pada suatu lingkaran kehidupan, munculnya spekulasi disertai aksi mulai bermunculan.

Seringnya The Fort mengalami penyerangan membuat banyak pihak bertanya-tanya tentang efisiensi ketahanan benteng. Perfeksi yang melekat pada benteng The Fort perlahan sirna, kalah dengan ragam keraguan.

Keluh-kesah itu sampai di telinga para Upper, para organisator terkemuka di kelompok karantina itu. Mereka mendengarkan semua penjelasan yang rasional mau pun janggal. Implusif mulai timbul, para Upper tidak hanya sekedar mendengarkan tanpa membaca pesan-pesan tersembunyi, lalu aksi mulai muncul.

Seluruh Tent yang terbentuk terbagi dalam dua regu, A dan B. Regu A berada di wilayah Nest gerbang utama yang menghadap kota mati, lalu regu B berada di wilayah Base, belahan paling belakang The Fort tepatnya di Grassandor.

Segerombolan Tent pada wilayah Base, cukup tegang dan kondusif, mereka berbaris -tidak begitu rapi- dan menunggu. Tibalah lima orang pria memakai seragam berwarna merah maroon, berjalan pelan dengan tenang menuju kumpulan para Tent.

Pria dengan rambut coklat berjalan di tengah-tengah, menatap dingin gerombolan pasukan penjaga The Fort yang telah disiapkan sedari tadi. Di lain sisi dua orang pria tengah berdiri di depan barisan.

Sepoi angin menderu kencang kembali, mengibarkan banyak baju-baju dan rambut yang tengah di selimuti ketegangan di barisan itu. Dua pria yang memimpin barisan itu berbalik dengan pelan dan menatap kedatangan langsung para Upper.

"Gustavo, bagaimana keadaan mereka?" tanya pria bertubuh lebih tinggi beberapa centi dari Gustavo, tatapannya meneliti lebih seksama pasukan yang berbaris di depannya.

"Well, aku bisa bilang jika mereka terkoordinasi dengan baik di bawah naunganku Dan," balas Gustavo dingin tanpa melihat wajah pria itu.

"Berapa jumlah pasukan mu?" tanya Dan kembali memincingkan matanya begitu serius.

"120-an untuk wilayah Base dan 150-an di wilayah Nest, sisanya aku kirim ke beberapa ruangan penting untuk menjaganya," balas Gustavo.

"Siapa yang memimpin di Nest sana?" tanya Dan kembali.

"Connor," singkat Gustavo.

"Dia pasti lebih telaten," gumam Dan, bola matanya memperhatikan sekitar.

"Tahu apa kau tentang strategi para Tent?" gerutu Gustavo dingin.

Dan mendecak geli. "Aku lebih baik dalam hal mendidik dari segi perasaan," dengus Dan tersenyum licik begitu menyindir Gustavo secara halus dan kembali berjalan mendekati barisan Tent.

Dan berjalan dengan tenang ke samping Tent yang berbaris rapi, membawa senjata-senjata yang mereka perlukan. Mereka menggantung busur di pundak bersama tabung panah yang tersusun begitu banyak. Senjata adalah tantangan terberat. Persediaan sangat minim sekali khususnya senjata api. Sehingga menggunakan panah, tombak, dan sebagainya begitu diprioritaskan.

Dan mengangguk pelan, giginya menyatu dalam keyakinan akan pasukan yang telah siap 95% baginya. Langkahnya pelan kembali mendatangi keempat ajudan yang membantunya.

"Bagaimana dengan Savagery?" tanya Gustavo datar, rahangnya tegas dan kokoh begitu terlihat bengis dari sorotan mata tajamnya.

"Mereka tak bisa keluar, aku tidak ingin melepaskan mereka untuk ini. Mereka harus keluar benteng untuk mencari beberapa kebutuhan lainnya," ujar Dan menggidikkan bahu.

Gustavo merasa heran. "Berapa lama menurutmu barang-barang di kota sana terus utuh? Waktu juga ikut serta merebut benda-benda di sana, lalu bagaimana semuanya tidak ada yang tersisa?" ada suara ketus yang kental.

"Lalu kita bereksperimen," singkat Dan cukup yakin.

"Kau tahu mereka -Savagery- tidak seharusnya pergi ke sana setiap saat, kita cukup memiliki banyak ragam alat dan kebutuhan lainnya. Lalu apa yang kalian cari itu tanpa henti itu?" selidik Gustavo lagi.

"Tidak ada yang abadi." kata Dan. "Apa yang telah rusak harus digantikan lagi, dan lagi, jika ingin bereksperimen maka semakin banyak komponen yang harus diuji coba."

Ratusan pasang mata tak ingin melihat perkelahian dingin Dan dan Gustavo, mereka lebih baik mengobrol satu sama lain atau pun melirik area sekitar daripada menonton adegan membuat tegang batin mereka itu.

"Bukankah nyaman menjadi seorang Savagery Gustavo?" tanya Dan menyeringai licik, alis kanannya terangkat kecil meninggalkan kalimat menggantung yang sengaja ia lontarkan untuk mengajaknya menjadi seorang Savagery kembali.

"Aku lebih baik berjuang bersama seorang Tent daripada bekerja sama dengan Upper," desis Gustavo begitu menyayat, seringai licik kecil terselubung di bibir kanan Dan dan mendengus meremehkan.

"Mari kita lihat," gerutunya pelan penuh rahasia mendalam.

"Brian berapa lama mereka sampai?" tanya Dan pada asisten di belakangnya.

Asisten itu mengangguk dan mendekapkan jemarinya di telinga kanannya yang telah terpasang sebuah alat komunikasi berwarna hitam yang menyambungkannya dengan mekanik di penghujung menara Gloetik.

"Menara status," ujar Brian tegas dan mendekapkan kembali telunjuknya pada alat di telinganya.

"Mereka mendekat ke garis perbatasan sekitar sepuluh menit dari sekarang , jumlah mereka banyak dan kami akan memberi tahu lebih lanjut tentang kondisinya," balas suara pria dari seberang alat komunikasi itu.

"Sepuluh menit sebelum sampai di perbatasan dan 17 menit sampai di tembok luar dan mereka datang berbondong-bondong," ujar Brian pada Dan.

Perkumpulan tersebut ternyata bukan sekedar perkumpulan biasa, itu persiapan penyerangan.

Dan menarik nafas panjang. "Oke ... kita masih memiliki waktu, beritahu pada menara untuk memberi kabar setiap 10 menit," ujar Dan dan melangkah mendekati Gustavo.

"Menara, menara, beri kabar setiap 10 menit," ujar Brian dari alat komunikasinya.

"Siap," balas pria di seberang alat komunikasi.

"Mereka datang dan banyak, persiapkan pasukanmu dan berikan yang terbaik yang kau punya," tutur Dan dan ia melangkah pergi meninggalkan Gustavo bersama wewenangnya untuk memerintah.

"Oke dengarkan!" teriak Gustavo menggelegar dan setiap kepala menoleh cepat dan menjadi hening.

"Mereka datang, kembali ke post masing-masing dari kalian dan jangan melewatkan satu pun sasaran. Senjata kalian telah diperbaharui dengan zat asam pastikan tidak lepas sasaran agar zat di pelurunya tidak mengudara. Inilah saatnya, pertahankan rumah kalian ini, keluarga kalian satu-satunya, semoga berhasil merajai dunia!" teriak Gustavo begitu gentar dan berapi-api dalam datarnya suaranya.

"Moto yang bagus," bisik pria di samping Gustavo yakin.

"Shut up," desis Gustavo malas.

"Alright! Go! Go! Go!" teriak asisten Gustavo lantang dan menggelegar.

Dengan serentak ratusan pria memakai seragam hijau tua menghambur menuju posisi masing-masing yang telah terancang begitu detail oleh Gustavo. Aura kesatria menyeruak di setiap jiwa untuk mempertahankan benteng dan membunuh makhluk berdarah dingin yang menuju mereka.

Beberapa dari mereka berlari dengan semangat menjelajahi lapangan luas untuk menuju pos tinggi di atas dan menunggu hingga kemunculan dari makhluk yang siap menyerang mereka.

Senjata mereka tegap dan busur mereka siap untuk memanah jauh. Beberapa berada di daratan tanah sebagai penjagaan kedua bila mereka menerobos masuk ke darat. Para pria di bawah telah siap dengan senjata katana masing-masing dan senjata api yang sudah mereka pegang.

Hanya menunggu satu hal dan semua akan mengalirkan banyak keringat adrenali tegang menghadapi makhluk itu.

Nest
Di waktu yang sama

"Semuanya senjata kalian di lengkapi oleh suatu zat kimia yang akan membantu kalian untuk membunuh mereka, pastikan zatnya tidak mengudara karena bisa mengeluarkan bau asam. Reaksinya tidak berdampak buruk bagi kita. Tetapi terlalu berlebihan kalian menghirup, semakin dekat kalian dengan sesak pernafasan. Jadi bidiklah dengan tepat dan jangan biarkan lolos!" pekik suara bariton seorang pria bernama Connor.

"That's it, rock and roll!" ujar pria itu tenang dan disanggupi oleh semua Tent yang bersamaan membubarkan diri dan ke pos masing-masing.

Bagian Nest tidak terlalu besar, hanya banyak ruangan-ruangan bertembok besi yang diisi oleh barang-barang kebutuhan. Di satu sisi sebuah pintu suatu ruangan tengah terjaga oleh tiga orang Tent yang bersiap mempertahankan kamp Upper.

Kamp Upper begitu besar dan memiliki dua tingkatan lantau, namun sisinya yang memanjang membuat ruangan di dalam tampak luas dengan banyaknya tempat tidur para Upper. Di bagian Nest lainnya suatu ruangan lima tingkatan lantai tengah sepi karena para penghuni meninggalkan ruangan itu untuk menjaga benteng mereka.

Gerbang Sega dengan suara lengkingan dan dentuman mengilukan gendang telinga terdengar, perlahan pintu itu bergerak dengan tempo sedang. Gerbang setinggi empat meteran itu menggeser laju hingga dentuman mengakhiri sisi-sisi tersisa di sampingnya.

"Jazz, Sega merupakan tempat terpenting. Jagalah di sana dan bila perlu bawa Tent untuk menjaganya," ujar Connor pelan pada pria berjanggut lebat dengan lapisan lemak di lehernya.

Gerbang pertama dan utama yang menjulang hampir kelipatan Sega tiba-tiba mengeluarkan bunyi dentuman keras. Membuat seluruh orang terkejut karena suara penguncian otomatis di gerbang tinggi itu.

Namun di balik suatu ruangan seorang pria dengan mimik penasarannya menintip kecil dari jendela lantai lima, ia menengok ke bawah dengan banyaknya lalu lalang pria-pria membawa senjata tengah sibuk bersiap.

Tatapannya sendu melirik tembok di seberangnya yang tinggi di mana banyak pria berdiri di atasnya sedang berjaga di siang hari yang mendung, pangkatnya membuat pria tersohor di The Fort itu mendekam di sana. Tidak ikut melindungi bentengnya, lalu dengan segenap perasaan cemas, ia pergi dan tak terlihat dari sisi jendela itu.

Keadaan di Base berbanding terbalik dengan ketenangan bagian Nest, banyaknya teriakan membuat seluruh jiwa di sana dipenuhi ketegangan yang kentara.

Banyak Ridcloss dan pria-pria tua lainnya berusaha berlari dengan cepat membawa peralatan mereka menuju rumah dan mengunci diri masing-masing.

"Ayo! Masuk ke ruangan kalian dan pastikan kalian sudah berada di dalam sebelum alarm berbunyi," ujar seorang pria memekik keras.

Peluh keringat menyucur sembari Robinson berlari luntang-lantung, nafasnya terengah-tengah untuk pria berumur sepertinya. Wajahnya cemas sembari terus berlari menuju ruangan dan mengunci dirinya di dalam, ia begitu ketakutan dengan kegiatan yang secara tiba-tiba menggegerkan setiap orang.

Tiba-tiba saja alarm berbunyi dengan nyaringnya, membuat semua orang tercengang dalam sekejap mendengar dengungan keras menggelegar ke seluruh penjuru The Fort.

Nest dan Base begitu ricuh oleh teriakan para Tent yang mengutarakan kata bersiap dan berbagai macam suruhan.

Setiap jiwa tengah bersiap di posisi masing-masing dan mereka memutuskan untuk bungkam ketika bersiap. Keadaan menjadi hening tanpa teriakan atau bisikan setiap orang seraya mereka menunggu dalam kegelisahan. Mereka menunggu makhluk itu datang, dari balik hutan yang mengepung, kebrutalan penyerangan ini akan menjadi sejarah lainnya bagi kaum The Fort.

Hanya dengingan besar alarm yang terus berbunyi. Alarm itu berbunyi beberapa kali hingga dalam dengungan ke-10 alarm itu berhenti dan membuat seluruh manusia di dalam sana bersiap.

Setiap orang memiliki posisi yang sama, mengangkat senjata mereka ke depan wajah dan membidik. Selagi mereka bersiap dengan senjata, mata mereka mengawasi lebatnya hutan di depan mereka di mana banyak tanaman di tanah menutupi beberapa celah jalan.

Keringat dingin terkadang menyucur deras dan mengalir pelan menjelajahi pipi mereka, reaksi alami saat penentuan hidup dan mati, tubuh mereka bersiap sembari menunggu kemunculan makhluk yang sudah melewati perbatasan alarm di luar.

Gustavo yang berada di darat tengah diam dalam keheningan setiap pelosok Base. Tubuhnya tegap dan mendekat ke tembok besi di depannya dengan pelan. Matanya tajam, rahangnya mengeras, ia menjadi sedikit tegang dengan kesunyian ini.

Ia maju beberapa langkah mendekati dewala, hingga berhimpitan dengan dinding besi dan diekori dengan asistennya yang tengah mengangkat busur hitamnya.

Gustavo dengan yakin menempelkan telinganya ke tembok tebal dengan rasa waspada, hingga ia mendengar dengingan yang berasal dari suatu mesin.

Ia mendengarkan secara seksama lagi, telinganya bergerak kecil, rasa dinginnya menyerang telinganya. Semakin ia berkonsentrasi dengan pendengarannya di sana semakin berbeda suara yang ia dapat.

Ia mendengar suara gemericik yang aneh dan rusuh dari luar, seperti sesuatu yang menggelinding dan menghempaskan banyak tanaman.

Jantungnya semakin heboh sembari mendengar suara dari luar tembok, pupilnya membulat besar, dan lidahnya kelu. Ia menarik telinganya lalu menatap asistennya.

"Mereka datang," desisnya pelan.

"KONTAK!!" teriak seseorang entah darimana berasal dan dengan sekejap gemaan senjata menggelegar dan sahut menyahut.

Mereka semua langsung mengangkat senjata dan menembaki makhluk yang sudah terlihat di mata mereka masing-masing dan terus menembaki mereka hingga tak bergerak dan beralih ke makhluk lainnya.

Suara dentuman senjata terus bersambungan sembari beberapa orang berteriak dan kepulan asap berwarna hijau terlihat di beberapa sisi, yang merupakan tanda akan bidikan yang lepas.

Ghroan berukuran sedang dengan cepat menggelinding ke arah mereka, ia terus menggelinding bersamaan dengan duri-duri hitam mereka.

Zat kimia yang berasal dari peluru mereka bereaksi dengan tepat, ketika mengenai tubuh mereka dengan cepat mereka hancur seperti mencair dengan perlahan.

Beberapa Ghroan lainnya yang terkena peluru itu terbakar dan dengan cepat berubah menjadi abu.

Tingginya dan ratanya tembok tak bisa membuat Ghroan dengan mudah memanjat, walau duri mereka setajam tombak.

Gustavo bersiap dan berlarian berpencar dengan asistennya. Ia mengangkat suatu busur kali ini dan terus berlari di lapang Grassandor.

Ia menaiki suatu ruangan dengan tangga di dalamnya hingga sampai di atas tembok dengan bawahannya yang tengah menderu tembakan ke Ghroan yang datang. Gustavo tercengang bila yang ia temui merupakan Ghroan dalam ukuran yang lumayan besar, Gaver.

Gustavo mengambil anak panah dan memanah dengan cepat ke suatu Ghroan dan menembus hingga ke belakang tubuhnya.

Ghroan ini berbeda dengan yang ia lihat dahulu, ini merupakan Grayden dan Gaver, jenis yang paling kecil dan tak memiliki wajah.

Ia berhenti sejenak dan memperhatikan ke hutan luas dan menyelidik tipe Ghroan yang menyerang. Ia tahu bila semuanya hanya Grayden dan Gaver, namun kehati-hatian tetap harus ditanamkan mengingat Gaver memiliki virus Mepis.

Mereka terus menerus menembakkan panah dan peluru mereka, mengganti amunisi dan terus membunuh setiap Ghroan yang berdatangan dengan cepat dan tak ada habisnya.

Jam berlalu hingga berlangsung dengan lama pertempuran mereka, suara gemuruh senjata terus menerus terdengar tak ada habisnya membunuh membabi-buta Ghroan yang datang.

Keringat dingin bercucuran di setiap kulit jiwa yang bertaruh nyawa di atas sana dengan senjata mereka. Berbagai percakapan dalam peperangan terus menerus terdengar di berbagai pelosok Base maupun Nest.

Gustavo mengernyitkan kening bingung dan menangkap sesuatu yang mengganjal. Mereka tak ada habisnya datang dan ia berfikir jika mereka tak pernah berhenti. Ia berfikir lebih jeli kembali dan dengan pelan turun ke bawah. Semuanya tergantung padanya kali ini untuk menghentikannya lagi.

"Gustavo ada apa?" teriak seseorang pria berlari menuju arahnya begitu kusut dan kelelahan.

"Mereka tak akan berhenti sampai kapan pun," desisnya pelan dan masih mengolah beberapa rangkaian definisi tentang makhluk yang menyerang mereka.

"Jadi bagaimana selanjutnya?" tanya asisten Gustavo terengah-engah.

"Apa status terakhir dari para Upper?" Gustavo menatap pria menggunakan busur itu dingin.

"Sama seperti sebelumnya, mereka tak ada henti-hentinya berdatangan, ini sangat aneh," ujar pria itu memikirkan hal yang sama dengan Gustavo sembari mencari udara di senggangnya waktu .

"Apa yang membuat mereka terus berdatangan? Ini tak seperti yang kita kira," gerutu asisten Gustavo dengan panggilan Zedd.

Gustavo mendapatkan satu kalimat di kepalanya, ia menuju satu hal yang menurutnya mengganjil. Tatapannya mengosong sembari fikirannya bekerja keras mencari suatu ide-ide dan strategi untuk membasmi para Ghroan yang tak hentinya berdatangan sebelum merenggut jiwa orang.

****

Ruang Isolasi
Di waktu yang sama

"Tetap jalankan!" pekik seorang Cadance panik dengan perkakas-perkakas rumitnya.

"Mengapa dia belum bangun?" pekik Will begitu dilanda kepanikan seperti biasa dengan mesin-mesin dan layarnya mengetik sesuatu di layar berwarna kekuningan itu.

"Dia harus bangun!" teriak Will melolong keras.

"Aku tidak bisa menggunakan Rezziorum padanya, dia harus mengendalikannya," ujar Cadance.

"Panggil dia kembali, mungkin dia akan merespon, mungkin dia bisa mendengar," pekik Will tak sabaran .

Cadance dengan gusar menabrak setiap mesin menuju tubuh yang berbaring di suatu kursi panjang yang merebahkan tubuh Aleena. Ia tertidur pulas setelah meminum serum racikan setelah beberapa hari lamanya ia racik untuk Aleena.

Serum untuk menguji coba kekuatan yang di fikirannya dengan tujuan untuk memberi bukti. Aleena bersungguh-sungguh melakukan ini dan berusaha keras di balik alam sadarnya.

"Aleena! Bisakah kau dengar aku?" panggil Cadance di samping Aleena.

"Aleena!! Jika kau mendengarnya beri aku respon," pekik Cadance kembali.

"Lagi!" pekik Will menyambung.

"Aleena!" teriak Cadance dengan akhiran panjang. Berusaha ikut andil ke lintasan alam bawa sadar Aleena, wanita yang menyebabkan penyerangan terjadi lagi, dan kini menyangkut Ghroan.

***

Ruangan yang begitu ia ingat kini kembali muncul di ingatannya, semua barang, semua bentuk dan semua hal benar-benar persis sama dengan memorinya.

Dari sinar matahahari yang masuk melalui celah kayu-kayu dan menerangi di sisi yang sama, benar-benar membuat Aleena terperangah heran.

"Ini sama seperti sebelumnya," gumamnya datar, pandangannya melacak ke setiap arah dan berhenti ke pintu.

Puing-puing ingatannya kembali teringat olehnya, di mana ketika ia membuka pintu itu lagi, tak ada apa-apa dan hal yang ia lakukan hanyalah sama dengan apa yang ia lakukan dahulu.

Mencari suatu gedung dan memanjatnya untuk melihat jembatan Napoleon dan berakhir dengan kejaran Molk.

Aleena menantang keras fikirannya, ia ingin mencari jalan lain yang berbeda dari sebelumnya, yang memungkinkan merupakan hal yang dapat merubah jalan fikirannya. Ia menengok ke atas ke suatu terpal yang menutupi atap begitu lebar.

Ia menelan saliva yakin untuk melakukan apa yang ia fikirkan, dengan perasaan lebih berani kali ini ia memeriksa ke dinding yang penuh tali tambang menjuntai dari balik terpal dan menarik-nariknya untuk memastikan bila ia bisa memanjatnya.

Tangannya menggenggam jauh tali tambang dan menarik tubuhnya kuat, kaki di balik sepatu bootsnya menginjak celah dinding kayu yang tersusun vertikal dan menarik dirinya kembali menuju terpal untuk menariknya dan melihat apa yang tersembunyi.

Ia menemukan satu tali yang menggantung dari terpalnya, tubuhnya sudah berada jauh tinggi di atas dan ia menengok ke bawah dan bersiap. Dengan sekejap tubuhnya melompat dengan memegang tali yang menggantung sudah ia tangkap.

Tali itu mengikuti Aleena yang menjatuhkan tubuhnya ke dasar, dan dengan cepat terpal lebar itu terbuka dan terjatuh ke Aleena, menutupi tubuhnya di bawah. Dengan cepat Aleena mencari celah untuk keluar dan menengok ke atas.

Bibirnya terbuka kecil membentuk lingkaran kecil ketika mendangak, atap yang menjulang jauh terlihat. Terbukanya terpal yang menutupi membuat ruangan itu menjadi terlihat lebar menjulang ke atas. Ini seperti rumah bertingkat empat tanpa lantai di atasnya, hanya atap yang mengakhiri di ujung atas sana.

Ia melihat heran pada sedikit celah di dinding kirinya, tak pernah ia lihat sebelumnya. Karena menentang pergi ke luar akhirnya dengan yakin ia mengambil tali dan menarik tubuhnya kembali menyusuri dinding untuk melihat lebih jelas apa di balik dinding itu. Sesampai di atas dinding ia menoleh ke sisi lainnya dan cukup terkejut dengan banyaknya barang yang aneh.

Dinding itu menyembunyikan sebuah ruangan rahasia, ruangan bekas kepemilikan siapa pun orang yang pernah tinggal di sini, meninggalkan alat-alat itu di sana.

Ia Aleena perlahan turun dengan tali tambangnya dan melompat kecil dan sampai di suatu lantai keramik.

Ruangannya gelap tanpa lampu, hanya sinar matahari yang senantiasa menerangi jalannya. Aleena mengerutkan dahinya sembari menelaah sebuah alat-alat yang tersusun berantakan di meja memanjang, peralatan yang tak kalah jauh berbeda dengan para Orvos.

Ia mengambil suatu alat yang telah usang, suatu kubus polos berwarna hitam dengan bobot seberat batu bata. Ia membalik balok polos itu dan menemukan satu kalimat.

World Health Organization - WHO
HOSPIRA
UNII = C12 (Na/c1-4-7-2-3-6H2)
264.32 g/mol
KEGG = D000714

"WHO .. HOSPIRA?" gerutu Aleena mengerut sembari menelaah bongkahan kubus itu dan menuju kabel yang menempel di sisi kiri, tangannya mengikuti arah kabel itu menjalar hingga terhubung pada satu alat lagi.

Komputer usang yang mati dan berdebu, Aleena mengusap-usap layarnya hingga sebuah lambang WHO berupa sticker tertempel di layarnya.

Semua peralatan benar-benar berhamburan dan seperti tertinggal oleh pemiliknya, yang membuat Aleena semakin penasaran. Orang itu mungkin salah satu pegawai WHO.

Ia mengambil kembali satu tabung besi dengan berbagai ukiran dan rangkaian peralatan yang membentuk suatu alat yang memiliki fungsi. Aleena menelaah kembali sisi tabung itu dan menemukan kembali tulisan yang sama.

"WHO lagi," gerutunya dan mengerut bingung, ia menemukan satu tombol di tabungnya dan tiba-tiba ia tak sengaja mengaktifkan alat itu, membuatnya terkejut bukan main dengan bergeraknya beberapa rangkaian.

Aleena menormalkan kembali pernafasannya karena terkejut tadi dan ia memeriksa teliti alat yang aktif itu. Alat itu mengeluarkan suatu warna cerah di beberapa sisinya membentuk suatu garis panjang dan terlihat seperti sebuah cairan.

Aleena mengguncang alatnya pelan dan terdengar suara genangan air yang terkocok di dalamnya, ia yakin bila sesuatu yang penting tengah diselidiki oleh orang dahulu di sini, namun ia tak tahu apa.

"Menarik," gumamnya takjub, ia mengantungi alat itu di saku celananya dan kembali mencari apapun di meja berhamburan itu.

Ia menengok ke laci meja dan membukanya, hanya ada beberapa berkas yang tersusun dengan sebuah tulisan yang sama seperti yang ia lihat sebelumnya.

World Health Organization
Top Secret - File 3450
Subject - NonActiveEktorem/NAE-076

Kening Aleena semakin mengerut penasaran dengan berkas kuning yang ia dapat, ia membukanya dengan gusar dan membacanya perlahan.

Dari apa yang ia baca ia begitu membuatnya terkejut ketika mengerti bila dahulu orang yang meninggali tempat ini tengah melakukan penelitan.

"Mereka telah menelitinya," gumam Aleena terkejut. "Mereka meneliti Ghroan," sambungnya agak skeptis.

Ia menaruh berkasnya dan kembali berjalan dengan tergesa-gesa hingga ia bertemu suatu tabung besar dengan air berwarna hijau jamrud.

"Ahh!" teriak Aleena terkaget bukan main melontarkan tubuhnya kebelakang melihat isi tabung dengan cairan itu.

Ia mengerut ngeri ketika melihat suatu Ghroan yang terkurung di dalam tabung dengan warna air hijau itu. Ia memajukan lebih dekat tubuhnya pada tabung itu dan menelaah lebih detail Ghroan berukuran besar.

Siapa pun orang di balik ini, ia menyembunyikan Ghroan di dalam rumahnya, menelitinya tentang suatu hal yang belum Aleena ketahui. Aleena yakin penelitian makhluk itu sudah berlangsung sejak dahulu, dan apakah sudah ada hasil?

Aleena bermaksud memeriksanya lagi namun tiba-tiba kepala dan jantungnya merasa nyeri yang begitu mengilukan tubuh, membuatnya terjatuh dan meringkuk kesakitan.

Giginya menyatu keras dan suara ringisan kecil keluar dari bibirnya, entah apa yang membuat tubuhnya di landa kesakitan seperti itu.

Tubuhnya terasa dibawa melayang begitu pula kepalanya yang terasa begitu sakit hingga membuatnya hilang keseimbangan dan terjatuh di lantai. Ia menekan kepalanya keras sambil meringis dalam kesakitan luar biasa.

Aleena.

Samar-samar Aleena mendengar seseorang, suaranya kecil di kepalanya dan mendengung di telinganya, semakin lama ia semakin kesakitan entah mengapa membuatnya dilanda kepanikan dan ketakutan.

Ia begitu takut dan lupa jika hal itu adalah kesempatan sang Alpha masuk melewati fikirannya dan melihat apa yang ia lakukan. Aleena menahan sekuat tenaga sakitnya hingga cucuran keringat dingin mengalir dan tubuhnya bergetar hebat.

"Aaarrggghh!" ringisnya lebih menjadi-jadi dan tubuhnya semakin melemah.

Aleena, bisakah kau dengar aku?

Aleena kembali mendengar suara samar di kepalanya dan ia merengut bingung, di samping ia menahan rasa sakitnya ia mencari tahu bagaimana suara itu bisa sampai padanya di saat ia di alam bawah sadar.

Aleena ingin menjawab dan benar-benar ingin meminta pertolongan, namun tubuhnya yang lemah dalam kesakitan membuatnya tak mengerti apa yang harus ia lakukan.

Aleena! Jika kau mendengarnya beri aku respon.

Respon? Batin Aleena bingung.

Ia menarik nafas pelan dan teratur, melakukannya berkali-kali dan berkonsentrasi untuk kali pertamanya mencoba sesuatu yang masih tidak ia pahami.

Ia memejamkan mata pelan dan mengirimkan berbagai macam perintah untuk menggerakkan tangannya sendiri.

Awalnya hanya tangannya sendiri yang bergerak, dan jemarinya terus bergerak kecil di saat ia terus berkonsentrasi. Sampai.

"Will dia merespon!" ujar Cadance di alam lain.

"Ingatkan dia untuk masuk ke fikiran sang Alpha, dan suruh mereka untuk mundur," ujar Will berapi-api.

"Aleena! Jika kau mendengarku, ingat baik-baik, kau harus berusaha memasuki fikiran sang Alpha bagaimanapun caranya! Suruh mereka mundur dan kau bisa menghentikan serangan di luar!" teriak Cadance tepat di samping telinga Aleena .

Cadance terus mengulang kalimatnya hingga menunggu respon Aleena lainnya, tubuhnya diliputi kecemasan dan kegundahan membuatnya sulit bernafas. Mengingat sudah berjam-jam lamanya sejak alarm berbunyi.

Cadance dan Will tahu bila di luar merupakan medan tempur terburuk yang pernah ada, Aleena membuat mereka datang dan menyerang benteng itu. Hingga satu-satunya cara menghentikannya merupakan dari Aleena sendiri, untuk menghentikan apa yang ia mulai.

***

"Kita kehabisan amunisi!" teriak seseorang dari atas, kepalanya menunduk memberi informasi kepada rekannya di bawah.

"Kita butuh amunisi lebih!" pekik seorang pria lainnya .

"Gustavo, mereka kehabisan amunisi dan bila terus berlangsung kita akan kalah" ujar Zedd di ujung panik sembari nafasnya terenga-engah dibuat kelelahan dengan dentuman senjata para Tent.

"Ini salah," gumam Gustavo pelan dan menatap dingin lapangan luas sembari langkahnya berjalan pelan.

"Apa yang salah?" ujar Zedd penasaran sembari melirik gerak-gerik Gustavo yang tengah gundah tak seperti biasanya.

"Mereke ke sini karena perintah, tak akan berhenti sebelum perintah itu di hentikan," gumam Gustavo menatap layang begitu kosong, dahinya berlipat heran seraya terus mengolah berbagai asumsi yang terus terbang bagaikan sebuah virus di kepalanya.

"Atas perintah siapa?" ujar Zedd mengeratkan genggaman busurnya.

Dia, batin Gustavo mengerti tentang situasi genting ini.

Aleena terbaring lemah di lantai keramik dingin itu, tangannya berusaha merauk lantai rata dan kakinya terus mendorong tubuhnya menahan rasa sakit yang terus menjalar di setiap organnya.

Ia mendengar apa yang Cadance ucap, dengan tekat yang kuat dan konsentrasi penuh ia memejamkan mata keras dan menarik nafas panjang. Hingga cahaya-cahaya biru berterbangan dan memantul di setiap gambaran yang ia dapat, hal baru untuknya.

Cahaya itu semakin lama semakin cepat dan berakhir dengan membentuk suatu gambaran aneh bagi Aleena, gambaran suatu pantai dengan pasir putih dengan ombak yang terus menyapu daratan.

Sketsa berwarna biru itu seperti bergerak sendiri, seperti Aleenalah yang berada di sana sedang berjalan. Aleena merasa di bawa ke suatu tempat itu ia merasa seperti berjalan dengan pandangan yang sama sesuai gambarannya itu.

Gambaran penuh dengan pepohonan menjulang tinggi di belakang, beberapa pohon lainnya tumbang dan roboh. Rumput hijau terpampang luas dengan berbagai sampah kayu pohon yang terbengkalai. Hingga sampai pada suatu gambaran lain di mana gedung-gedung hancur terlihat, kota yang hancur.

Tubuh Aleena meringkuk kesakitan dan terus menahannya sembari fikirannya memfokuskan lebih detail kembali pada gambaran yang ia dapat itu.

"Berhenti," gumam Aleena susah payah, nadanya rusak seperti orang tercekik dengan keras.

Dalam satu kata itu tiba-tiba sketsa berwarna biru di memorinya kembali menjadi difluensi yang bergerak cepat dan memantul di pinggiran-pinggiran. Terus bergerak hingga membentuk suatu wajah monster abtrak di akhiran, yang tak terjelaskan bagi Aleena, lalu berubah menjadi gelap.

Aleena pingsan, tubuhnya tak meronta-ronta kesakitan kembali. Tangannya terjatuh di lantai dingin dan sendirian di ruangan itu. Air matanya mengalir pelan menuju lantai akibat ringisan yang ia tahan bukan main sakitnya.

*****

-Fast Update nih, terimakasih untuk membaca such the honor

-Semoga buat kalian selalu tegang lagi dan di bantu komen dan vote yaps ;p

-Kalau ada yang belum dapat gambaran Ghroan, itu modelnya kaya bulu babi gitu. Cuman ini kan di science fiction-in jadi ngeri gimana gitu ... Wehehe

21/4/2015

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro