Part 21 - Mimpi atau Kenyataan
"Mengapa mereka ingin membunuhku?" Aleena kikuk penuh pilu.
"Upper sejak dulu bekerja di bawah tekanan, tak banyak dari mereka yang mengidap gangguan-gangguan fikiran yang membuat mereka tak terkontrol dengan baik, mereka lebih cenderung berfikir dengan jalan yang berbeda. Mereka membuat banyak keputusan yang jelas-jelas hanya menguntungkan mereka saja, Upper memiliki kejiwaan yang bebal, mengerti maksudku?"
Aleena mengangguk. "Jadi, itu penyebab mereka begitu keras kepala?"
"Seperti itulah, mereka tidak akan segan-segan menyingkirkan berbagai hama yang dapat menggagalkan hasil mereka, yang dapat mengacaukan semua sistem Gloetik, mereka dapat dengan mudah memusnahkan satu hama demi mempertahankan seluas tanah jagung agar terus tumbuh."
Aleena mengerti dengan kiasan Cadance. "Jadi apa yang harus kulakukan?"
Cadance menghirup udara penat lalu menguap. "Sembunyikan itu semua, kau bagaikan asap yang dapat terlihat, jika ada asap maka ada api. Kau mudah terlihat Aleena, kau harus pandai-pandai menyembunyikannya."
"Aku memang asap, tapi asap tak dapat ditangkap dengan tangan kosong," ucap Aleena begitu tegas dan suara yang begitu kental akan kelicikan.
***
Nest
Suara gemuruh yang bising begitu terdengar jelas ketika memasuki ruangan yang begitu luas di bagian Nest itu, ruangan yang memanjang dengan banyak dinding kaca bersih di setiap jajaran, mereka menamainya gedung Versal.
Suara besar bariton yang menggelegar begitu sering terdengar dengan pemandangan beberapa puluh orang sedang melakukan push up, di bagian kanan dibalik dinding kaca bening seorang pria terlihat sedang memainkan katananya dan menebas suatu boneka yang terbuat dari plastik.
Ia mengayunkan katana ke boneka itu, dengan seorang instruktur yang lebih intelek di belakang pria dengan rambut blonde cepak tersebut, masih memperhatikan setiap gerakan yang ia lakukan.
Di salah satu ruangan dengan kaca sebagai penutupnya terpampang tiga pria dengan ukuran badan yang berbeda sedang membidik sasaran, panah berwarna sehitam arang berada di masing-masing tangan.
Di penghujung sisi ruangan memanjang itu terdapat berbagai garis-garis sensorik berwarna merah yang bergerak tak beraturan begitu cepat, mata ketiga Tent itu masih mengikuti setiap garis-garisnya begitu tajam hingga garis-garis itu berubah bentuk menjadi beberapa wujud manusia yang sedang berlari begitu cepat halnya manusia asli dengan pergerakannya.
Sembilan wujud manusia itu terus berlari, menghindar, dan lincah bagaikan Molk, masing-masing Tent diharuskan memanah wujud manusia itu setidaknya tiga bayangan oleh satu orang, ini seperti permainan.
Pria dengan brewok yang lebih lebat mengambil anak panah bergegas dan melepaskannya ke satu wujud yang sedang berlari lurus di depannya, lalu dengan bergegas lagi ia mengambil anak panah dan melepaskan sang anak panah pada satu wujud yang berada di balik pilar penghalang, memanah kakinya yang terlihat lalu seketika hilanglah garis-garis itu.
Pria dengan rambut yang terurai panjang di tengah mengambil anak panah dan tanpa memfokuskan pandangan ia langsung memanah suatu wujud yang berlari dengan laju dan berkelok-kelok, cukup membuat pria itu kesulitan mendapatkan bidikan, namun ia berhasil melambungkan panah ke kepalanya dan menghilangkan garis-garis yang membentuk wujud itu.
Berbeda dengan pria tinggi di sisi kiri yang lebih banyak melepaskan anak panah ke beberapa wujud yang nampak di mata birunya. Hingga tersisa satu namun tak ada garis sensorik yang terlihat di sekitar mereka, mereka tahu jika satu saja lolos maka mereka akan gugur dalam latihan ini.
Mata mereka masih mencari sesuatu yang bergerak di sekeliling mereka tanpa meninggalkan tempat. Masing-masing anak panah sudah berdekap di busur masing-masing dan menuunggu waktu yang tepat ketika melihat wujud itu.
Dengingan suara tiba-tiba terdengar di samping pria di sisi kiri dan dengan cepat garis-garis sensorik itu muncul. Kedua pria di kanan pria itu dengan cepat langsung melemparkan anak panah ke sisi kiri begitu dekat dengan pria itu bersamaan, mungkin jika sedikit meleset anak panah akan tembus di kepala teman mereka.
Pria bermata biru laut itu sempat tersentak kaget mendapati dua anak panah melenceng di depannya. Nyaris ia terbunuh oleh kedua temannya yang begitu lapar untuk melemparkan anak panah pada proyektor terakhir itu.
Pria itu hendak berucap namun lidahnya masih kelu begitu kaget, ia hanya berpaling pada kedua temannya yang sudah terkekeh dan menatap mereka.
"Seriously?" Ia menaikkan satu alis begitu sarkatik.
Kedua pria itu masih terkekeh bersamaan. "Kami menyelamatkan nyawamu dude."
"Ya kau bisa menghilangkan nyawaku secara bersamaan, Asshole," ketusnya kembali emosi.
Kedua temannya hanya bisa terkekeh bersamaan melihat wajah partner mereka begitu dilumuti ketakutan akibat bidikan mereka yang melesat tepat di depan wajahnya.
Dari arah luar ruangan terdapat beberapa Tent yang duduk bersamaan membentuk suatu kerumunan yang sedang berleyeh-leyeh mengambil waktu sejenak untuk beristirahat. Beberapa dari mereka meneguk rakus minuman pemberi tenaga.
Yura yang juga tergabung dengan mayoritas pria-pria lebih tua darinya itupun ikut beristirahat, keringatnya masih belum berhenti mengalir karena latihan yang begitu keras.
"Damn, latihan hari ini melelahkan sekali," ucap seorang pria mengacak rambut hitam pekatnya dengan wajah kental akan asia.
"Ayolah San, ini semua pasti Gustavo yang merencanakan," balas seorang pria berkulit hitam lainnya memutarkan bola matanya.
"Ya mungkin karena kemarin serangan tiba-tiba dan banyaknya Molk masuk, dia membuat berbagai pertahanan yang lebih ketat lagi dan melatih kita kembali," ucap seorang pria yang memegang minuman di tangan kirinya.
"Uhh mengapa dia harus sedingin itu dan sebengis ini? Apa dia tak memiliki rasa kasihan?" San menyambar kembali pria yang berumuran 22 tahun itu dengan rambut hitam lepehnya.
"Mungkin dia mantan Savagery," ucap pria lainnya mengikuti bincang-bincang pria di sana.
Beberapa pria masih mengkerutkan kening bingung, tak sedikit dari mereka yang tak tahu jika Gustavo adalah mantan Savagery. "Tunggu dulu, dia mantan Savagery?" Tanya San menekan setiap kata-katanya terperangah.
Setiap jiwa di kerumunan itu kini menatap seorang pria yang menuturkan perihal Gustavo tadi dengan penasaran dan menunggu jawabannya. "Oh ya, apa kalian tidak tahu dia seorang Savagery dahulu? Dia juga mendapat kebebasan untuk pergi keluar sekali-kali jika ia ingin dan mencari sesuatu di kota," jelas pria berumur 40 tahunan itu.
"Aku tidak tahu dia seorang Savagery, pantaslah dia kejam sekali," tutur San bergidik ngeri.
"Dan kalian tahu? Jika para Upper selalu memohon berlutut dan memaksanya agar bergabung pada tim Savagery lagi? Tapi dia menolaknya mentah-mentah," sambung pria itu kembali membuat semua orang tercengang.
"Itu posisi tertinggi di sini mengapa dia tak ingin menjadi seorang Savagery? Di samping itu, hidup Savagery begitu nyaman, mereka bagaikan Raja di sana," sambung pria berkulit hitam dengan rambut yang pendek terkekeh garing.
"Entahlah, terakhir kali dia keluar saat ia mendapat tugas untuk mencari beberapa orang yang masih hidup di kota, itupun statusnya Tent. Lagipula apa yang kau harapkan dari mengurusi hidup orang lain? Dia tahu apa yang ia kerjakan dan ia pasti memiliki tujuan tersendiri bukan?"
"Menurutmu apa yang membuatnya begitu dingin, kejam, bengis, dan tak berperasaan seperti itu?" Bisik San pada semua kawannya di sana.
"Dont know, maybe he never had sex before," ucap pria berkulit hitam dan tertawa keras diikuti beberapa temannya yang terkekeh geli mendengar pria dengan selera humor yang terkadang garing itu.
"Kalian tak perlu membicarakannya dari belakang," bela seseorang datar.
Setiap orang melirik pria bernama Andrew dan bergumam pelan. "Wuuuu."
"Sepertinya Andrew membelot," ucap pria berkuli hitam yang disapa Keith itu, semua pria di sana terkekeh ria bersamaan menikmati waktu luang mereka.
Andrew memutar bola matanya malas. "Dia memang sudah begitu sejak dahulu."
Keith menelaah Andrew. "Benarkah? Kau mantan Upper kan? Tentu kau tahu," Keith terkekeh kembali.
Andrew menarik alisnya ke atas bersamaan dan tersenyum, tatapannya mendapati seorang pria yang sedari tadi hanya tersenyum-senyum geli mendengar beberapa kawannya bergurau ria.
"Hey, kulihat kemarin Gustavo mendatangimu, ada apa?" Tanya Andrew menyelidik Yura.
Yura menoleh. "Oh tak apa, dia hanya bertanya dengan gadis-gadis itu."
"Kau mengenal mereka? Para Bunker's?"
"Ya aku kenal mereka bertiga," ucap Yura santai.
Pria lainnya ikut. "Hey wanita yang berambut brunnette di belakang itu, aku sering melihatnya berkeliaran, dia cukup aktif untuk seorang wanita muda," kata pria itu.
"Oh ya, aku pernah melihat gadis itu juga sebelumnya," pria bernama Miels mencoba mengingat, ikut juga ke topik ini. "Dia yang saat itu di Grassandor bersamamu, kau mengajarinya memanah bukan?" Sambar Miels.
Yura menoleh pada Miels dan membalas. "Ya dia cukup sering keluar."
"Wanita yang menarik," ucap Miels menyungut .
Setiap pria di sana hanya mengikuti alur pembicaraan para pria-pria Tent di sana. Lalu San ikut menyampuri, "Siapa namanya?" Tanya pria Asia hanya sekedar ingin tahu.
"Aleena," jawab Yura datar.
"Aleena? Aku pernah mendengar tentang wanita itu! Dia pernah membunuh satu Molk, lalu berurusan dengan Upper, terlibat dalam pertempuran, aku banyak mendengar tentangnya," gubris pria lain sedang mengasah katana di atas pangkuannya.
"Oh benarkah?" Keith terperangah. "Gadis yang luar biasa!" Pujinya.
Yura kini menjadi diam, ia tak dapat berbicara apa-apa lagi bersama orang-orang di sana.
"Apa yang Gustavo tanyakan pada wanita di dekatmu itu?" Tanya seorang pria kembali pada topik berawal.
"Uh- aku- aku tidak terlalu mengerti, aku mencoba menjaga jarak dengan Gustavo," ucap Yura sambil menyengir.
Pria itu hanya mengangguk dan kembali meneguk minumannya, hingga aktifitas mereka terhenti dialihkan dengan seorang pria yang digotong keluar dari suatu ruangan. Dua orang pria sedang memapah pria muda di tengah dengan ringisan kesakitan yang menyebar ke penjuru Versal, base kamp latihan para Tent.
"Kasihan sekali Eduardo," gerutu San mengerut simpati menuju pria lurus jauh di depannya .
Pria yang disangga dan dibawa dengan tergopoh-gopoh itu terlihat mengeluarkan darah di bibir dan hidungnya, jalannya begitu pincang dengan kaki kanan yang terseret di lantai besi. Beberapa memar di wajahnya tak terbendung lagi. Kondisi nya begitu mengenaskan.
"Arrghhh," samar-samar suara pria yang dipanggil Edy itu menggemakan seluruh ruangan.
"Apa yang terjadi dengannya?" Keith heran.
San menghembuskan nafas kasar. "That's my friend, that is Gustavo."
Keith tertawa renyah. "Selamat beristirahat temanku," tawa riang Keith melihat Eduardo.
San menoleh dan menatap Keith aneh. "Benarkah? Setiap orang akan mengalami itu Keith, dan tunggu saat giliranmu tiba dude," ucap San sarkatik.
Keith membisu dan menyesal dengan rasa yang tak percaya kali ini. "Oh .. Shit," gumamnya payah.
***
Aleena melangkahkan kakinya beranjak dari bunker tiga, perasaan yang masih bercampur aduk masih ia rasakan menyelimuti seluruh uluh hatinya. Ia tidak pernah merasakan kecamuk perasaan itu sebelumnya.
Penjelasan Cadance yang begitu singkat dapat langsung Aleena serap menuju poin-poin terpentingnya. Suatu perasaan aneh kini selalu mengikuti Aleena, ia merasa tak nyaman jika selalu terngiang bila dahulu ia pernah hidup, namun ia dikorbankan untuk Ghroan demi eksperimen Cadance.
Di tubuhnya masih bersarang beberapa virus Ghroan terutama di otaknya, semua Déjà vu yang ia alami merupakan suatu keajaiban terburuk yang pernah mendatangi Aleena.
Tetapi ada sesuatu yang mengganggunya, bila memang ada virus di tubuhnya, mengapa ia tidak kunjung berubah lambat laun? Bukankah itu mustahil? Tapi kembali lagi ia terka, Aleena meminum puluhan botol serum dari Orvos, yang kemungkinan melawan metabolisme virus Mepis di tubuhnya.
Ia harus memilah dengan hati-hati antara fikirannya dengan mimpinya, sedikit saja ia lengah dengan fikirannya, Ghroan akan merusak fikiran Aleena dan mengambil memori-memori berharga.
Aleena mengusap kasar wajahnya, ia benar-benar dihantui dengan pernyataan-pernyataan pahit di kepala. Dari eksperimen gagal, ia harus mencari cara untuk menyembunyikan 'penyakit'nya, mengontrol rasa takutnya, peta yang ia temukan, bersembunyi dari Upper, dia baru berumur 20 tahun dan sudah didatangi banyak masalah, apa lagi?
Ia menuju ke bunkernya dan mendapati sosok Azzura yang sedang berebah di balik selimut, lalu Aleena mengunjungi lapak ranjangnya sebentar. Ia masih melirik Azzura yang begitu jarang tidur siang, hal itu membuat Aleena penasaran terhadap sahabat karibnya itu .
Ia beranjak dari kasurnya dan mendatangi sisi ranjang Azzura. "Zura, kau baik-baik saja?"
Azzura bergerak dan membalikkan tubuhnya menghadap Aleena. "Kau terlihat pucat Azzura," sambar Aleena melihat wajah Azzura yang mulai kusut.
"Aku tak apa," singkat Azzura, nadanya begitu lemas dan tak bertenaga hingga kalimatnya tak terdengar jelas dan mendekati pada pergerakan bibirnya saja.
Aleena melebarkan telapak tangannya dan memegangi kening Azzura. "Badanmu panas sekali,"
"Ini hanya sedikit demam, nyatanya tubuhku menggigil," balas Azzura parau. Tentu saja itu salah, dia sakit.
"No, you are not!" Aleena mengerut cemas. "Aku akan mengambilkan Artemorum," ucap Aleena hendak beranjak pergi namun terhenti oleh genggaman tangan Azzura yang lemah.
"Kau tidak perlu cemas, aku begitu sehat bukan? Aku sudah meminum banyak air putih tadi. Jadi kemungkinan panasnya akan menurun." Azzura mencoba tuk menenangkan Aleena, sudut bibir kanannya terangkat menyuguhkan senyuman yang begitu manis di balik rasa tak enak badannya.
"Aku tak tahu tentang ini, tapi semua gejolak di hatiku membuatku merasa takut akan sesuatu. Aku mulai merasa takut kehilangan seseorang Azzura," ucap Aleena mengulum bibirnya begitu sedih.
Senyuman yang sedari tadi terpampang di wajah Azzura kini semakin lama semakin memudar, dan berubah menjadi tatapan bingung. "Mengapa kau berbicara seperti itu?"
Aleena meneguk saliva dan menggeleng pelan. "Entahlah."
Azzura sempat terkekeh lemah. "Tenanglah Lena, ini hanya sakit demam saja," katanya enteng, dan Aleena tidak cepat-cepat yakin.
***
Setibanya Aleena di kamp Orvos ia menemui Donny, menuju ruang penyimpanan serum-serum Orvos. Ia selalu melihat Donny sebagai penyelamat dan pembantu nomor satunya, dia yang paling Aleena hormati. Donny diikuti Aleena di belakang, berdiri di depan lemari dan mengambil satu serum. "Demam itu mungkin saja diakibatkan karena konsumsi makanan yang kurang sehat, atau makanan itu sendiri masih belum bersih, lalat juga menyebabkan demam, jika dia tak mencuci tangan sebelum makan mungkin saja bisa menyebabkan dia demam," ucap Donny menjelaskan.
Tangannya masih merogoh beberapa laci mencari Artemorum yang tersisa, kemudian ia mencari lagi di lemari kaca di balik beberapa botol kaca yang kosong. Lalu ia kembali dengan membawa satu buah Artemorum..
Ia memberikan botol itu pada Aleena, dan ketika Aleena ingin mengambilnya Donny menarik lagi botolnya sebelum Aleena mendapatkan botol itu.
"Kau sebaiknya menjaga kondisimu juga Aleena," ucap Donny perhatian lalu tersenyum kecil padanya.
"Seperti apa?"
"Kau bisa berolahraga di sana, lalu memakan sayur lebih banyak, air putih yang terpenting. Itu dapat melarutkan setiap bakteri di tubuhmu. Hidup sehat itu sebenarnya tak serumit origami," tutur Donny masih menatap Aleena.
Air putih saja tidak cukup untuk menghilangkan virus di kepalaku, batin Aleena ironi.
Donny memberikan botol pada Aleena. "Jika panasnya belum turun sebaiknya kau ke sini lagi dan akan kuberikan obat lainnya."
"Mengapa tidak kau saja ke sana, atau aku membawa Azzura ke sini. Aku seperti pramusaji," tutur Aleena memutar bola mata hijaunya jengah.
Donny terkekeh. "Olahraga," ia mengangkat alisnya dan menyeringai tulus.
"Aku yakin dia tidak apa-apa itu hanya sekedar demam yang biasa dirasakan orang lain di sini," kata Donny.
"Aku hanya takut jika itu bukan sekedar demam biasa." Aleena sedih.
"Kau hanya cemas, itu tak mungkin hal lain seperti virus Mepis Aleena," ucap Donny polos .
Aleena tercengang. "Apa!?" Pekiknya.
"Apa?" Ucap Donny bingung.
"Apa yang kau bilang? Virus Mepis?"
"Ya."
"Bagaimana tanda-tanda seseorang mengalami gejala itu?" Pekik Aleena kini semakin cemas.
"Awalnya terasa tak enak badan, kemudian gejala demam, beberapa hari selanjutnya akan terasa menyakitkan di kepala membuatmu pusing dan menyebabkan muntah-muntah, yang terparah orang itu akan pingsan."
Dentuman jantung Aleena kini jelas terdengar, sesuatu yang salah ia rasakan. Ia pernah mengalami hal itu di dalam fikirannya, jelas-jelas Aleena pernah mendapatkan gambaran tentang kejadian yang akan dihadapi Azzura.
"Tidak mungkin semuanya akan menjadi kenyataan," gumamnya pelan.
"Apa yang kenyataan Aleena?" Donny mengerut heran.
Aleena beranjak dari duduknya dan berlari meninggalkan Donny demi bergegas pada Azzura, semua yang ia takutkan benar-benar terjadi. Ia sadar jika tubuhnya dapat dibuat gila karena fikirannya sendiri.
"Ke mana kau pergi?" Panggil Donny menegurnya namun tak dapat menghentikannya kali ini.
"Mengapa kau selalu menghindar dariku?"
***
"Azzura," panggil Aleena lirih.
"Sebaiknya kau minum ini." Aleena memberikan serum di tangannya dan membawa satu gelas air putih bersamaan.
"Terima kasih Lena."
"Berjanjilah kau akan baik-baik saja," ucap Aleena begitu berharap, tatapannya begitu penuh makna kasih sayang.
Azzura hanya tersenyum kecil tak mengerti. "Aku akan baik-baik saja Lena, ada apa denganmu yang begitu cemas?"
"Aku harus pergi sebentar, minum dan istirahatlah." Aleena berdiri lalu ia pergi meninggalkan Azzura yang menatapnya penuh kebingungan melihat raut wajah kusut Aleena.
Aleena kembali lagi pada bunker tiga, menemui Cadance di sana. Sesampai sana yang ia harapkan dari seorang Cadance buyar ketika melihat Cadance tertidur pulas, kelokan tubuhnya terbentuk nyaris sempurna di mata Aleena, untuk sekejap ia terpana dengan lekuk tubuh Cadance yang begitu indah hingga ia membangunkan Cadance .
"Cadance!" Panggil Aleena tak nyaman.
"Cadance aku ingin bertanya sesuatu," ucap Aleena lagi di samping Cadance.
Cadance meringis muak. "Ughh ada apa? Aku sangat lelah, aku butuh tidur," ucapnya begitu malas.
Aleena memutar matanya. "Bisakah kau membuka matamu sebentar saja?"
"Nah, itu perkara paling tersulit," gumamnya datar.
"Cadance, aku serius! Setiap apa yang pernah kulihat dari Déjà vu ku terjadi semua," kata Aleena sabar.
"Aleena, semua yang terjadi telah diatur, bukankah itu suatu mukjizatmu? Kelebihanmu? Seperti yang aku bilang, kau harus menghadapi rasa takutmu sendiri, kau tak boleh terlalu cemas atau gelisah sedikit pun," jelas Cadance masih memejamkan matanya terlentang damai di atas kasurnya.
"Tapi bagaimana jika semua yang telah kufikirkan terjadi? Aku takut Cadance."
"Kau tak boleh takut."
"Mudah bagimu mengatakan daripada aku yang merasakan!" Jerit Aleena lantang tak sanggup menghadapi rasa ketakutannya ini.
Cadance membuka matanya dan mata hijau daunnya terlihat begitu kosong, kemudian ia terduduk.
"Aku benar-benar ketakutan sekarang, aku tak ingin setiap penggalan gambaran yang pernah kulihat terjadi," ucap Aleena begitu bergetar menahan tangisannya, matanya kembali berair mengingat Azzura akan mengalami hal yang mengerikan.
"Aku bertanya padamu tentang sesuatu, apakah semua yang pernah kau mimpikan terjadi? Pernahkah salah satu mimpimu tak pernah ada di dunia nyata?"
Aleena tak ingin menjawab, tangannya mulai bergetar hebat kala itu. "Kau harus bisa membedakan mana buah tidur, mana yang alam bawah sadarmu. Seseorang menjadi gusar ketika mimpinya buruk, namun tak pernah terjadi selama hidupnya. Dan beberapa orang lagi terlihat begitu bahagia dengan fikiran alam bawah sadarnya, namun yang sebenarnya itu mimpi buruk yang menghantui."
"Hidup harus tetap berjalan, denting akan terus bergerak, roda akan terus berputar, air terus mengalir, angin terus berhembus, api akan terus panas, air akan menenangkan, waktu yang merubahnya. Ikuti setiap perjalanannya dan kau bisa membedakan mana mimpi buruk dan mana kebahagiaan berasal," jelas Cadance.
"Bagaimana jika akan terjadi di masa yang akan datang?" Aleena menyolot emosi.
"Maka kau harus bersiap, mulai sekarang," desis Cadance.
***
Ruangan begitu sunyi, gemingan suara yang mendengung berasal dari neon lampu dan sistem elektrik menjadi lantunan pengantar tidur mereka semua.
Setiap bunker begitu sunyi, kelam, menyeruakkan aura dinginnya malam bercampur karat besi, dan remangnya ruangan. Tak ada suara gemuruh memekik yang mengganggu setiap insan yang tertidur damainya.
Aleena tertidur dengan pulas, tubuhnya lurus di balik selimut tebal miliknya yang melindungi tubuh dari dinginnya bunker. Keringatnya tiba-tiba menyucur, mengalir, dan membeludak di keningnya.
Bibirnya menjadi kepucatan entah mengapa, tubuhnya yang diselimuti kini menjadi sedingin es. Tubuhnya menjadi gusar, tanpa satu gerakan yang membangunkan tubuhnya.
Hingga tiba-tiba matanya terbuka pelan, ia terbangun di pertengahan malam tanpa sebab satu pun. Tanpa mimpi buruk atau pun hal-hal yang mengganggu indera pendengarannya malam itu.
Aleena menghembuskan nafas kasar dan berat, kepalanya menjadi berdenyut entah mengapa dan membuatnya harus memijat kepalanya perlahan. Nafasnya begitu berat dan terdengar.
Lalu ia bangun dan terduduk, pinggangnya merasa pegal namun tak ia gubris ketika tatapannya menangkap pandangan aneh. Begitu mengejutkan Aleena di balik remangnya lampu, ia menangkap sosok perempuan terduduk di atas ranjang.
Duduk dengan tenang dan begitu misterius mengarah pada Aleena, sosok yang duduk tepat di seberang ranjang Aleena. Ia memagut kebingungan dan sedikit dikacaukan dengan fikirannya akibat rasa takut yang sebentar melihat sosok manusia di balik gelapnya ruangan. Semua tubuhnya gelap berwarna hitam tanpa terpapar cahaya, ia diam, mematut pandangan ke arah Aleena, ia tak bergerak.
"Zura?" Tanya Aleena berbisik namun sampai pada indera pendengarannya.
Aleena mengerut. "Mengapa kau belum tidur?"
"Apa kau tak bisa tidur? Apa tubuhmu tambah sakit?" Selidik Aleena setiap Azzura tidak menjawab.
"Beritahu aku rahasiamu," ada sebuah suara bisikan yang mengalir di gendang telinga Aleena, membuat semua bulu kuduknya serentak berdiri dengan aktivitas paranormal di depannya.
"Apa?"
"Beritahu aku rahasiamu" ia mengira itu suara Azzura, tapi bukan. Suaranya besar dan berbisik bagai angin. Tetapi Azzura di depannya masih duduk di balik gelap dan diam.
"Rahasia apa?" Aleena lupa untuk diam, dan malah melanjutkan pertanyaan konyol.
"Semuanya," desis suara itu. "Kau memiliki sesuatu yang spesial, aku akan datang."
Aleena kini menjadi gelisah dengan kalimat terakhir, siapa yang akan datang? Azzura? karena Azzura yang hanya di sana, tapi bukan dia yang berbicara. Tubuh Aleena secara terang-terangan bergetar dan rasa takut menyerang. Hingga tiba-tiba suara alarm yang keras berbunyi keras dan mendengung di telinga maupun di jantung.
Alarm yang menggelegarkan suara yang berulang kali layaknya klakson kapal pesiar itu membangunkan setiap jiwa bagaikan terompet maut. Semua orang terjungkal dari ranjang masing-masing, diiringi teriakan dan pekikan kesal dan takut. Setiap insan deg-degan mendengar alarm yang tiba-tiba terbunyi di tengah malam.
Tak hanya semua orang, Aleena pun merasakan keterkejutan yang bukan main. Jantungnya memompa kembali detakan lebih cepat, membuat tangannya lebih gemetar dan dingin seketika.
Aleena teringat pada semua yang di katakan Cadance pada Aleena benar terjadi, ketika ia merasa gelisah dan takut sedikit saja, lalu ia lemas tak mengontrol fikirannya ia menjadi sasaran empuk bagi mereka.
Mengirimkan sinyal komunikasi pada sesama makhluk dengan satu aliran darah yang sama. Entah apa yang akan terjadi di luar akibat ulah Aleena yang lengah itu. Apakah Molk yang akan datang, atau lebih buruknya Ghroan yang datang?
*****
-Lama tak jumpa! Sempat kena writer block dan gak tau di apakan alurnya part ini . kalau gitu minta dong komentarnya, wkwkwk iya dong iya . kalau gamau, kasih bintang orange ajah ;D
Terima kasih telah membaca dan
BANTU SAYA REACH MY GOAL 15K DI CERITA INI YA READER ;) vote dan komentar aja kok
-Karena ada rasa-rasa garing di part ini komentar dong tentang part ini . Biasa aja apa masih tegang? Hehehe butuh banget kritik dan saran nya, bentar aja kok ngetiknya :p
-Add to your reading list would be so nice, All the love - M.D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro