Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 19 - Kedua

Gloetik

"Sir, wilayah Base terserang. Koloni menembus tembok!" Lapor seorang Upper.

Dan melirik sekilas namun bukan bawahannya. Pria yang membawa suatu kertas di ambang pintu hanya cukup terdiam dan menunggu keputusan atasannya yang terkenal sebagai pria tersantai dan cukup tenang walau sekali pun di tangan kanannya sebuah granat yang aktif.

Pria yang masih memaku pandangannya pada Dan kini hanya bisa diam. Lalu seorang pria berlari tergesa-gesa dari balik pintu dan membisiki pria itu dari belakang dan pergi kembali.

"Sir, mereka membutuhkan Tent, amunisi, dan lebih banyak senjata api," lapor pria itu lagi.

Dan kini meletakkan lembarannya di atas meja, tangan kirinya mengusap dagu tirusnya berulang kali, lalu beralih pada memijat kening, beralih dengan menjepit batang hidung mancungnya berkali-kali, matanya masih bermain menjelajahi setiap lantai di hadapan, lalu tangannya bergerak menyisir rambut panjang di mana beberapa helai rambut coklat kehitamannya menutupi jidat Dan.

Sudah menjadi ciri khas seorang Dan ia akan melakukan hal itu berulang kali setiap pria itu berfikir, terlihat mendramatis. Dan mendapat ilham-ilham yang dan selalu berhasil mengatasi setiap masalah yang menimpa.

"Kirim separuh Tent di bagian Nest, ketatkan penjagaan di bagian Nest aku yakin beberapa Molk akan menyerang di bagian sana juga. Jika mendesak utus Savagery untuk mempertahankan wilayah sana. Setelah semua Tent masuk ke Base tutup gerbang. Aku tidak ingin mengambil resiko memperburuk skenario." Dan sudah berucap.

Pria itu mengangguk patuh, ia berbalik dan menutup pintu ruangan Dan dan berjalan dengan tenang untuk mengabulkan setiap permintaan Dan.

Dan menyilangkan kaki di atas paha kirinya begitu santai lalu berlanjut dengan lembaran kertas-kertas miliknya dan membiarkan kericuhan di luar berlangsung hingga selesai.[]

"Habiskan yang di luar dulu!" Jerit satu laki-laki yang pastinya mendapat tengokan oleh semua pria-pria yang bertempur di sana. Namun tidak ada waktu untuk sakit hati oleh perkataan Gustavo.

"Habiskan yang di luar!" Gustavo berteriak menggelegar lagi bagaikan guntur yang bahkan lebih menakutkan setiap jiwa di sana, kemudian dituruti oleh ratusan Tent di sekelilingnya. Tak hanya satu yang bingung dengan keputusan atasan yang mengerikan itu melainkan beberapa orang bingung dengan pilihannya, jika dia mengutus semua orang untuk membunuh setiap Molk yang datang di bagian luar, bagaimana dengan yang di dalam?

"Berikan aku senjata!" Pinta Gustavo pada seorang Tent yang tadinya memanah satu Molk di bagian Grassandor.

Ia mengambil senapan miliknya yang terikat di celana kanan dan melepaskan kaitan di poros senjata berat itu, tanpa segan ia melemparkan pada Gustavo.

"Bantu yang lain di atas, kau!" Pekik Gustavo ke pria yang mematung dan mengangguk. Nafasnya terpingkal, ia terus berlari sembari memeriksa keadaan, tiap tempat yang ia singgahi ia selipkan berbagai perintah.

Gustavo berlari lurus di bagian Grassandor di mana ia melihat banyak Fast Molk turun dari tembok, menggeliat bagai lumut dan menggeram dengan suara dari tenggorokan mereka.

Ia membidik satu Molk yang ada merangkak di tembok dan dalam kedipan mata kepala Molk itu telah memiliki satu lubang kecil dan jatuh ke. Ia melihat sekeliling banyak tempat yang di posisikan oleh bawahannya, namun tidak dengannya yang tak dapat diam menyerahkan semua pada bawahannya semata. Gustavo ikut berperang, ikut mempertaruhkan nyawa, ikut merasakan keringat bercucuran, dan ikut merasakan gelenyar ketakutan.

Gustavo berlari ke arah suatu pohon besar di mana ia melihat spot ternyaman, sesampai di bawah pohon dengan cepat tangannya meraih batang pohon terindang dan mengangkat tubuhnya.

Dia bagaikan mengangkat sebuah kapas, begitu mudah dia sampai di atas. Lalu tak sampai di sana saja, ia mencari batang terdekat dan menarik tubuhnya lagi ke atas, kakinya menahan raganya di tubuh pepohonan seperti memeluknya lalu ia menarik tubuhnya kuat.

Senjatanya masih bersedekap di kaitan celana hijaunya, hingga ia meraih lagi ke batang yang lebih tinggi, namun tiba-tiba retakan terdengar dan membuatnya hampir terjatuh, jika saja ia tak cekatan berayun ke batang selanjutnya ia akan jatuh bagaikan sebuah tomat dan meremukkan tubuhnya sendiri.

Belum puas akan prestasinya sampai di dahan setinggi tiga meter dari tanah, ia naik lagi melihat dahan besar di atasnya hingga dengan waktu yang begitu singkat ia sampai pada puncak pohon.

Hanya Gustavo yang berada di pohon bagaikan kera yang bersembunyi dibandingkan ratusan bawahannya yang berada di atap bangunan-bangunan dan memusnahkan perlahan Molk.

Gustavo dengan cekatan mengambil senjatanya dan mengangkat dengan kedua tangan, posisi senjatanya tepat di hadapan wajah tegas miliknya. Dengan satu tembakan ia menghantarkan Molk itu ke neraka.

Tubuhnya bergerak cepat dengan telunjuk yang menekan pelatuknya berulang kali tanpa meleset.

Setiap Molk yang tertangkap oleh mata abu-abunya tak akan selamat, setiap Molk berjatuhan dan bersimbah darah, banyak dari mereka yang tertembak di bagian kepala karena satu-satunya cara memusnahkan hanya di bagian itu saja. Keringatnya bercucur di leher dengan urat-urat yang bermunculan tiada henti.

Rambut pendeknya menjadi basah karena keringat yang bercucuran menembaki setiap Molk yang masih jauh. Ia mengambil waktu sejenak untuk berfikir, seorang pemimpin akan mencari jalan pintas untuk meraih kesuksesan setiap bawahannya atau bahkan dirinya sendiri.

Gustavo mengeksplorasi semua pelosok dari atas sana, matanya dingin mengintimidasi setiap orang yang berteriak lantang dan besar.

"Makhluk keparat itu tidak akan berhenti," desisnya keji, matanya mendapat satu Molk lepas 10 meter jauhnya di tengah lapangan, senjatanya terangkat, ia membidik, dan kepala Molk pecah terbentur peluru secepat itu.

"Harus membakar hutannya," gerutunya dingin, ia menoleh cepat mencari bahan-bahan yang sudah berkelebatan di kepalanya. Membakar hutan seluas itu tak semudah menuangkan teh ke cangkir, dia perlu cermat dan bijak dengan pilihannya.

Terkadang menjadi seorang pimpinan tak membanggakan naluri manusiawi, melainkan menjadi pimpinan membuat seseorang menjadi kikuk tak berdaya akan tanggung jawab yang berat di pundak mereka.

Ini kali pertama Gustavo merasakan denyut hebat di kepalanya untuk beberapa bulan belakangan, ia menjadi gelisah manakala banyaknya Molk yang tak kunjung istirahat mencari mangsa, semakin brutal.

***

Entah apa yang terjadi dengan tubuhnya hingga ia merasakan panas membara di sekujur badan, dadanya terasa sesak bagai terikat kencang oleh tali tambang, nafasnya menjadi sulit dan terasa berat. Tubuhnya meringkuk merasakan sabetan perih di sekitar jantung, telapak tangan bergetarnya memegang dada dan betul saja, ia dapat merasakan dentuman hebat yang begitu keras ia rasakan.

Aleena meringis dalam kesakitan, matanya meneteskan air mata kembali dan tubuhnya semakin lama semakin meringkuk menahan rasa sakit yang menyerang secara tiba-tiba di jantung.

Belum jantungnya selesai ia harus dihadapkan dengan nafasnya yang sesak seperti asma. Ia menarik nafas begitu panjang dan kasar hingga mengeluarkan suara dari bibirnya.

Aleena terjatuh menghantamkan dengkulnya ke tanah tandus bersamaan, air matanya kembali mengalir menahan sakit yang luar biasa liarnya itu. Kesakitan tubuhnya memaksa Aleena untuk berteriak saat itu juga namun ia masih memburu oksigen.

"Apa- yang- ter- aaaahh jadi," ucap Aleena terbata-bata begitu lirih menahan perih jantungnya, bagaikan luka robekan yang tersiram alkohol begitulah yang Aleena rasakan bahkan lebih perih.

"AAAAAAARRRRRGHHHH!!" Aleena kini berteriak lebih lantang dan lepas, tenggorokan terasa hampir putus ketika ia berteriak kesakitan. Jajaran hutan di depannya menggemakan suaranya dan membuat beberapa burung hitam berterbangan takut.

"Seseorang- tolong- lah aku-," ringisnya dalam ketidakberdayaan ia selalu bertanya-tanya kapan mimpinya akan berakhir.

Aleena memejamkan mata menahan perih, air matanya menetes ke tanah dan nafasnya masih sulit. Air matanya bersimbahan di tanah hingga tubuh tingginya tersujud di tanah dan seketika ia mendengar suara teriakan wanita.

"Hhhggggmmppp," tarikan nafas panjang yang tersedak begitu mengejutkan.

"Will!!" Cadance berteriak layaknya melihat hantu.

Aleena bernafas begitu kesulitan seakan dadanya tertimpa ribuan batu gunung yang membuatnya begitu dilanda kesulitan ketika menarik nafas. Matanya masih menutup tak membuka, darah di hidungnya masih mengalir segar.

Cadance berlari ke tubuh Aleena yang terengah-engah berat mengeluarkan suara yang mengerikan layaknya sakaratul maut.

"Will!! Dia kesulitan bernafas!" Cadance masih berteriak panik namun Will dengan sigap mencari alat bantu pernafasan.

Cadance tak melakukan apa-apa di samping Aleena saat itu, mata hijaunya masih menatap wajah Aleena dengan perasaan tak terjelaskan dan begitu mengejutkan dirinya. Batinnya kini bersorak riang dan lega jika ia tak membunuh wanita di depannya, namun lain otaknya yang begitu bingung dengan perkaranya jika Aleena dapat bangun dari kematian, Aleena hidup kembali untuk kedua kalinya.

Will datang membawa tabung oksigen kecil berwarna biru pucat dan menaruh alat bantuan pernafasan menutupi hidung dan mulut Aleena bagai masker. Nafas Aleena yang begitu menggelegar di ruang isolasi itu kini semakin pelan dan teratur selama ia menghirup oksigen buatan itu.

"Serumnya berhenti bekerja," tutur Cadance memulai, ia menghembuskan nafas lega dan panjang.

"Jangan terlalu senang! Kau tidak tahu persis apa yang akan terjadi dengan fikirannya ke depan. Fikirannya dapat membuatnya gila jika terus menerus seperti itu!" Will mengelak dan menantang perkataan dari mantan atasannya itu.

"Will, aku akan membimbingnya," Cadance mantap datar Will.

"Lihat dia sekarang, ia belum bisa menghadapi alam sadarnya sendiri dan ia bahkan hampir mati di dalam tidurnya! Ia belum bisa mengendalikan gambaran di kepalanya dan ia bisa saja terbentur dengan medan magnet di kepalanya sendiri dan membuatnya hilang ingatan, dan setiap mutiara-mutiara berhargamu itu tidak akan kau dapatkan darinya!" Will masih geram.

"Aku akan mengajarinya mengendalikan emosi dan fikirannya Will, kita akan lihat," balas Cadance begitu percaya diri. "Mengapa ia belum sadar?" Gubris Cadance tak puas.

Will diam acuh, tiba-tiba gerakan jari Aleena terlihat oleh Will dan langsung mendapat arahan mata berharap ia tak akan lupa sedikit pun ingatan. Ada dua hal menakutkan yang tidak ingin Will alami jika Aleena membuka mata nanti.

Ia takut jika Aleena tak akan hidup normal karena ribuan memori otaknya rusak, dan lebih ia takutkan adalah jika Aleena tak mengingat apapun bahkan namanya sendiri.

Tarikan nafas panjang dari Aleena menggerakkan kelopak matanya hingga ia mendapat sorotan sinar redup dari lampu neon di atas kepalanya. Mata hijaunya begitu sayup-sayup dan lemas, berkali-kali ia mengedip menetralkan cahaya yang masuk ke dalam pupil matanya hingga ia benar-benar sadar kembali.

"Medoomerumnya bekerja, kau tak apa?" Panggil Cadance menatap Aleena sendu.

"Aleena?" Panggil Will, nafasnya penat.

Aleena begitu lemas tak dapat menggerakkan tangannya sendiri, mengedipkan mata pun berat ia lakukan.

Bibirnya begitu pucat dan aliran keringat masih bekerja, wajah Aleena begitu kusam dan datar tanpa ekspresi apapun. Rambut coklatnya yang tergerai kini berhamburan di sekitar seprai putih.

Namun ia tersontak dan bangun, alat nafasnya kini terjatuh berada di atas pahanya dan matanya membelalak besar. "Hey! Hey! Tak apa tak apa," ucap Cadance menenangkan, namun yang tidak Cadance tahu bukan takut yang Aleena rasakan melainkan jeritan hatinya yang ingin keluar secara tiba-tiba.

"Apa yang terjadi di luar?" Aleena panik.

Will menatap tak percaya namun membalas pertanyaan Aleena. "Mereka diserang kembali," tuturnya cepat menggebu-menggebu.

"Kau mendengar suara terikan tadi?" Aleena mengerut.

Will menggidikkan bahu. "Hanya Cadance yang berteriak sedari tadi," balas Will begitu sinis dan mengejek.

"Aku harus keluar." Aleena menurunkan kedua kakinya dari ranjang namun tubuh Cadance menghalanginya cepat.

"Kau bercanda? Kau masih lemah, saraf-sarafmu tidak begitu kuat dan efek serum masih berkerja dan butuh waktu sekitar satu jam lagi untuk menetralisir semua serum di dalam tubuhmu." Cadance menggeretaknya.

"Aku tidak peduli dengan kalimat Orvos itu oke? Aku harus keluar!" Aleena membantah untuk keluar, sesuatu yang salah ia rasakan dalam lubuk hatinya.

"Kau tidak bisa Aleena!" Pekik Cadance kini menarik pergelangan tangan kanannya.

Aleena mendorong Cadance begitu keras dan membuatnya terlontar beberapa centi menubruk dada Will. Aleena berjalan dengan cepat dan menjadi suatu larian kecil, aneh rasanya ketika ia hidup kembali namun rasa sakit yang dirasakan ketika di dalam mimpinya masih terasa hingga sekarang. Benar-benar begitu nyata rasanya bagi Aleena.

Ia membuka pintu dan membantingnya rapat hingga membuat dentuman keras dan dari dalam Cadance ikut berlari begitu pula Will mengejar si wanita untuk menjegat aksi yang tidak normal itu.

Aleena menelusuri lorong kecil hingga ia bertemu dengan aula besar dengan jejeran pintu-pintu di sekitarnya. Ia mengambil jalan menuju arah keluar seingatnya.

"Aleena berhenti! Kau belum sembuh!" Panggil Cadance berlari di belakang Aleena.

Aleena mempercepat larinya menghentak-hentakan sepatu di lantai yang menggemakan seisi ruangan yang begitu sepi karena Orvos yang bersembunyi.

Aleena menjadi terengah-engah dan panik, hentakkan hatinya menyebutkan untuk terus berani dan tak menoleh ke belakang jika ingin tepat waktu.

Ia mengambil jalan kiri dan pintu keluar ada di depan matanya begitu pula dengan satu sosok laki-laki yang menunggu pintu dan mengintip dari jendelanya begitu penasaran dengan keadaan di luar.

Pria tinggi itu berbalik mendengar suara kaki-kaki berlari dan mengkerut heran.

"Aleena?" Tangannya masih bersedekap di pintu utama kamp Orvos itu.

"Biarkan aku keluar!" Jerit Aleena dari kejauhan namun belum sampai.

"Jangan biarkan dia pergi!" Sahut seorang wanita dari kejauhan namum tak ada batang hidungnya. Cadance masih menyusuri jalan aula namun masih dapat mendengar teriakan Aleena menggemakan bangunan.

Donny masih kebingungan dan ragu hingga Aleena sampai dan terhenti. "Stop!" Jerit Cadance lelah di belakang Aleena dan berlari mengejarnya.

"Aleena apa yang kau lakukan di sini bagaimana kau bisa di-"

Tanya Donny panjang lebar namun percuma ketika Aleena menghempaskan tubuh tingginya ke sisi kanan dan menabrak dinding, Aleena bergegas keluar dan membanting pintu.

"What the hell, mengapa kau biarkan dia keluar!?" Cadance begitu geram dari kejauhan masih memacu kecepatan yang kalah cepat dengan Aleena.

Dari kejauhan lagi Donny melihat atasannya Will berlari begitu terengah-engah mendatangi raganya atau pintu keluar.

Fikiran Donny menjadi dihantam kebingungan yang membuatnya tak dapat berkata apa-apa. Will sampai begitu terengah-engah layaknya Cadance yang sudah membuka pintu keluarnya.

"Will dia menuju wilayah Base," tutur Cadance begitu tegang, nadanya menaik satu oktaf lebih berat.

Donny membelalak. "Wilayah Base sedang terserang," ucap Donny begitu keras dan menatap atasannya dengan raut yang meminta jawaban ada apa?

"Shit," gumam Will dan ia berlari keluar menuju Cadance.

"Aleena!!" panggil Cadance di luar melihat sosok wanita berlari dengan kencang menuju Sega.

"Will cepat! Gerbangnya tertutup!" Cadance berlari membuat debu-debu di tanah berterbangan begitu pula rambut pirang kekuningan sebahunya.

"Stop talking shit! I know it!" Will memekik namun masih melangkahkan kaki jenjangnya mengikuti Aleena dan Cadance.

Cadance panik ketika matanya mendapati gerbang di depan Aleena hampir tertutup rapat dan yang ia takutkan Aleena akan terhapit ketika melewati celah sempit di mana gerbangnya menutup begitu cepat. "Aleena! Gerbangnya!"

Aleena berlari bersamaan dengan jantungnya yang bergenderang keras dan menahan rasa sakit yang ditimbulkan detakan jantungnya. Kepalanya berdenyut membuat jalannya sempat terhuyung-huyung seperti orang mabuk, namun ia tetap memacu larinya menatap gerbang tinggi di depan yang mulai menutup.

Gerbang besi menjulang empat meter itu tiba-tiba menutup, lempengan besi dari sisi kiri menggeser dengan cepat ke arah kanan dan mengilukan gendang telinga seraya pertempuran di sisi Base masih berlanjut.

Aleena memacu kembali larinya dan tak menggubris berbagai macam jenis suara dan oktaf yang meneriaki dirinya dari arah belakang. Semakin ia mendengar suara teriakan dari arah belakang, semakin membangkitkan gelenyar panik dan keberanian pada Aleena, kombinasi yang begitu unik namun dapat membuat niatan Aleena mejulang tinggi.

Tarikan nafas yang begitu cepat terdengar jelas dari bibir merah Aleena yang kini semakin mendekati gerbang yang ia dekati. Sempat terbesit dalam fikirannya jika ia tidak akan berhasil melewati gerbang yang dengan cepat menutup, menggeserkan lempengan besi tebalnya ke arah kanan dan menyisakan satu meter sebelum tertutup rapat.

Aleena dengan bergegas melancarkan tubuhnya ke sisi kanan di mana gerbangnya menyisakan beberapa centi ruangan yang bahkan lebih kecil dari keseluruhan lebar tubuh Aleena. Hingga ia memacu lebih kencang bagaikan seekor kuda hitam dan memiringkan tubuhnya melewati gerbang yang akan menutup rapat.

Tubuhnya mencondong ke depan dan tersungkur, menggulingkan tubuhnya ke tanah tandus dan menerbangkan debu-debu di tanah. Dentuman keras terdengar di belakang Aleena dan matanya menangkap gerbang Sega yang tertutup dan menghilangkan kedua sosok yang mengejarnya.

Will membuka mulutnya membentuk lingkaran besar sempurna seraya ia mengacak rambut pendeknya tak percaya. Jantungnya berdebar ketika melihat Aleena hampir terhapit oleh gerbang Sega hingga sosoknya menghilang. Cadance di depannya berhenti dan menendang tanah di bawahnya dengan sepatu begitu emosional.

Ringisan samar terdengar dari bibir Aleena, ia menggigit bibir merah bawahnya seraya berdiri dan membersihkan debu-debu tanah yang membekas di celana ketat coklat mudanya.

Suara yang menggelegar begitu menaikkan adrenali Aleena ketika menginjakkan kaki di wilayah yang terserang sana, desingan katana dan tombak terdengar samar ditambah dengan genjatan senjata yang menderu telinga berulang kali. Teriakan-teriakan pria yang begitu keras terdengar dengan berbagai pria-pria yang berlarian ke arah Grassandor.

"Aaaaaarrrggghhhh!" Samar-samar Aleena mendengar suara teriakan kecil dan begitu kental akan suara wanita. Suara yang begitu percis dengan apa yang ia dengar sebelum tersadar dari ambang imajinasi bawah sadarnya.

Ia bergegas mengarah di mana suara itu terdengar, langkahnya menjulang cepat dan melihat satu anak panah yang tergeletak tanpa busur di tanah. Tanpa berhenti berlari ia menunduk dan mengambil anak panah berwarna hitam pekat dan memacu kembali larinya.

Ketika ia berjalan di tengah-tengah jalan yang sepi ia menoleh dan melihat bayang-bayang lamban berjalan, dan dengan sigap ia mengambil arah kanan ke arah belakang beberapa bangunan sunyi. Ia melihat sosok Molk yang lepas dan dengan keras ia menggenggam anak panah dan menusukkan ujung tajamnya ke belakang kepala Molk dan menembus hingga keningnya.

Molk itu tersujud ke tanah dan mata hijau Aleena menatap Azzura yang memejamkan mata, ketakutan bersama gadis kecil di belakang tubuh Azzura yang ia lindungi.

Azzura meringis ngilu melihat kening Molk tertembus anak panah dan mengeluarkan aliran darah hingga tersujud ke bawah. Matanya membuka dan mendapati sosok di balik Molk yang telah menyelamatkan jiwanya.

"Kau tak apa?" Aleena berucap memastikan jika kawannya tak memiliki gejala panik, shock, trauma, atau luka-luka sekali pun. Wajah Aleena begitu datar dan ketakutan ketika ia sadar jika ia membunuh Molk kembali untuk kedua kalinya.

Azzura menarik nafas cepat dan menatap kosong Aleena di hadapannya, salivanya begitu sulit untuk ditelan dan sakit menahan tangisan. "Kami tak a-apa, terima kasih," nada Azzura bergetar.

"Ayo kembali ke bunker," ucap Aleena mendatangi kedua sosok wanita ketakutan itu.

"Tidak bisa, bunkernya terkunci," ucap Ris kini yang nadanya begitu bergetar dan lemah.

"Ayo kita cari tempat." Aleena menarik tangan Ris dan diekori Azzura dari belakang.

"Aggghhh!" Aleena terkejut dan diikuti dengan teriakan-teriakan memekik dari belakangnya bergantian. Aleena mundur ketika melihat Molk di mana lendir-lendir seperti lendir siput berwarna hitam keluar dari mulutnya. Bau anyir begitu menembus hidung mereka bertiga dan meringis jijik melihat Molk di depannya.

Sialnya lagi tak ada panah lain yang Aleena bawa dan tak ada seorang Tent pun berkeliaran di area tempat Aleena karena mereka bertempur di area Grassandor.

"Aleena," panggil Ris begitu bergetar di belakangnya, mencengkram kuat baju di pinggang Aleena dan mengintip dari belakang.

"Lena, kita harus kembali ke belakang," bisik Azzura memberi saran.

Aleena mundur perlahan dan berharap jika Fast Molk itu tidak menggeram dan memancing setiap kelompoknya untuk datang dan menyantap daging segar dan mengisap aliran darah harum bagi mereka.

Mata Aleena menatap sendu kelopak mata sosok Molk laki-laki yang telah hancur wajahnya itu. "Aaarrgghh!" Sontak Aleena terkejut ketika tubuh Molk bergetar berkali-kali dan tersungkur ke tanah ketika empat buah tembakan mematikannya yang berasal dari belakang.

"What the hell are you doing here?!" Pekik suara bariton begitu parau dan tegas. Sosok pria membawa senjata api datang berlari-lari kecil dan menatap sendu Aleena dan beberapa kawan di belakangnya yang begitu lega.

"Wolf." Aleena menghembuskan nafas bersyukur. "Thanks god." Sambung Aleena lagi.

"Ada apa dengan hidungmu mengapa mengeluarkan darah?" Tanya Wolf dan melangkah maju, mendekati tubuh kekarnya lebih dekat beberapa centi dari sosok lebih pendek Aleena dan jemarinya menyapu bibir atas Aleena menghilangkan darah yang masih bercucuran.

Aleena meneguk saliva tegang dan tangannya meyentuh bibir atasnya dan melihat jemarinya yang sudah memiliki bercak berwarna merah. "Lupakan, kau harus mencari persembunyian dan keluar setelah semuanya menjadi normal kembali walau itu malam hari!" Putus Wolf menegaskan beberapa kalimatnya.

Aleena mengangguk namun dari arah belakangnya seseorang menggubris. "Ikut aku, aku tahu di mana," ucap Azzura membawa Ris dari belakang Aleena, seperti halnya gadis perempuan yang memperebutkan satu boneka teddy bear dan ia bergegas ke ruangan yang Yura deskripsikan saat itu.

Wolf mendengar teriakan pria bariton lainnya dari jauh dan menengok, mengeratkan senjata apinya berwarna silver. Adrenalinya mendidih dan bersiap kembali menjaga tempat tinggalnya dari serangan Fast Molk kali ini yang entah berantah mengapa tiba-tiba saja datang di siang bolong.

"Pergi!" Sentak Wolf pada Aleena yang masih mematung.

Aleena berlari ke belakang mengikuti Azzura yang menggandeng Ris erat. Beruntungnya dia hari itu tak disantap oleh Molk, setidaknya ia menyelamatkan Azzura dan Ris dari makhluk itu jika saja ia lambat entah bagimana nasib kedua rekan bunkernya.

Azzura menyusuri rerumputan hingga pada penghujung jalan hanya ada gerbang besar yang membatasi wilayahnya. Ia berbelok dan menuju bangunan dekatnya, sesampai di depan pintu, Azzura mengintip dari celah jendela yang ada di daun pintu mengamati seisi ruangan yang gelap tak ada lampu yang menyala dan dibiarkan usang.

"Masuk," Azzura menggeser pintunya, Ris masuk dengan terburu-buru begitu pula Aleena hingga Azzura menutup pintu menggemakan suara dentuman keras.

Ruangan yang begitu kosong tak ada apapun, hanya ada lemari usang di pojokan, ruangannya menggemakan suara-suara lengkingan pria-pria dari luar dengan suara senjata api yang menggelegar, membuat aura dingin menegangkan masuk ke ruangan gelap itu.

Rembesan cahaya terik matahari masuk tajam dari jendela kaca di ambang pintu, membagi cahayanya untuk menerangi sedikit di ruangan gelap dan menerangi Ris yang tengah terduduk lemah di samping Azzura.

Ris mencoba bernafas dengan normal mengingat betapa tertekan dan begitu trauma dengan hal-hal yang pertama kali ia rasakan, emosinya tak dapat ia bendung karena masih lemah sebagai gadis muda.

Tubuh Aleena masih berjalan menyeimbangkan dentuman jantung yang berdebar-debar dengan perih yang masih menghantui. Sorot matanya memandang lemari buku usang yang terbuat dari kayu mahoni, tak ada buku satu pun yang menghiasi lemari memiliki lima tingkatan rak.

Aleena membelai sisi pinggiran lemari yang telah ditinggalkan, iris mata hijaunya menatap sendu lemari yang memiliki postur lemari yang pernah ia temui sebelumnya. Permukaannya begitu mirip dengan benda yang berdenting saat itu, namun ini bukanlah jam antik melainkan seusang lemari.

"Kau tak apa Ris?"

"Ya aku tidak apa-apa"

"Ada yang terluka?"

"Tidak ada."

"Bernafas. Atur nafasmu."

Begitulah percakapan yang Aleena dengar dari balik tubuhnya, masing-masing nada yang bergetar dan merdu mencoba untuk melepas kepenatan dan menunggu hingga semuanya kembali normal. Azzura melirik Aleena yang masih mematung di dekat lemari lalu berpaling pada Ris yang matanya mulai berair.

Sekelebat puing-puing memori muncul di ambang lamunan Aleena, merubah tatapan sendunya makin kosong dan hampa. Menyeruakkan aura dingin ke sekelilingnya dan kesunyian yang menyisir setiap sudut ruangan.

Ini terjadi lagi, batin Aleena.

Tiba-tiba saja pintu ruangan mereka terbuka dan menampilan Molk yang begitu menyeramkan di ambangnya. "Aaaarggghh!" Azzura menjerit menggelegar dan membuat Aleena terbangun dan meloncat terkejut akan gemaan suara melengking Azzura.

"Lena!" Panggil Azzura berusaha menutup pintu yang tak memiliki kunci sama sekali itu karena dibiarkan kosong oleh para Upper. Aleena berlari dan mendorong pintunya keras bersamaan hingga tertutup rapat dan membuat Molk itu terperangkap di luar.

Ris kini menjerit panik dan menangis begitu hebat, air matanya menetes deras dan memeluk kedua kakinya erat bersamaan melihat Aleena dan Azzura dengan sekuat tenaga wanita menahan pintu di mana Molk masih berusaha mendorong pintu. Suara lengkingan baja yang dihasilkan dari kuku-kuku Molk mengilukan gendang telinga.

"Bagaimana ada Fast Molk yang lepas? Apa tidak ada yang membunuhnya?" Azzura bingung.

"Jangan tanyakan aku! Kau fikir aku apa?" Balas Aleena dengan emosi yang memuncak menatap tajam iris mata coklat Azzura.

"Bagaimana ini? Dia- uuuggh semakin kuat menariknya! Bagimana dia mengerti membuka pintu?" Azzura panik dan menahan kuat kuncian tangannya yang berusaha untuk membuat pintu tetap tertutup tanpa kunci.

Aleena berfikir sejenak "Ini Fast Molk, mereka terus belajar dan akan mendapat jalannya sendiri dari apa yang mereka lakukan kita harus membunuhnya," balas Aleena terburu-buru.

"Tak ada apapun!" Azzura tak kalah panik setelah mencari sesuatu yang dapat berguna bagi mereka, namun hanya ada lemari usang yang berdiri.

Ris masih sesegukan menahan takut di bawah lantai sembari Aleena masih mengandalkan otaknya yang tak ingin bekerja sama kala ia sedang dilanda panik . Kemudian suara lengkingan dari luar berhenti dan tak ada satu pun suara, Aleena dan Azzura masih bersamaan menahan pintu dan berharap jika seseorang telah membunuhnya dari luar.

Aleena menatap Azzura dingin dengan makna 'apa yang terjadi?' begitu pula Azzura yang masih meredakan detakan jantungnya yang mendebar-debar. Aleena menengok ke arah Ris di belakangnya yang masih menahan tangis sambil memeluk kedua kakinya begitu dilanda ketakutan.

Sudah merupakan tugas Aleena menjaga nyawa anak itu sampai kapan pun, rasa sayangnya telah permanen dan menjadi suatu cinta terdalam. Ia tak ingin memikirkan kematian yang menunggunya kali ini, ia hanya memikirkan bagimana bertahan hidup dan belajar tentang semua yang ia alami ini.

Praaaaaank !

Tiba-tiba saja kaca pintu terpecah menghempaskan serpihan kaca-kaca kecil ke wajah Azzura dan memunculkan tangan Molk yang meraih-raih menjambak rambut Azzura. Azzura berteriak histeris dan meringis kesakitan karena tarikan begitu kuat, Ris yang melihat mundur lebih jauh ketakutan dan menangis histeris.

Aleena bergegas memukul kuat-kuat lengan Molk yang menjambak rambut Azzura. Tangan Aleena mengepal begitu keras menampilkan urat-urat di pergelangan tangan dan memunculkan otot-otot di tangan atas sembari menghantam kuat tangan Molk hingga terlepas. Azzura menjauh dari pintu dan membiarkan Aleena menahan sendiri pintunya.

Kedua tangan Molk masih melambai-lambai mengais dari luar, mengikuti aroma segar aliran darah yang mengalir dengan damai di setiap nadi-nadi gadis muda yang terperangkap di ruangan sana dengan Molk kelaparan di luar.

Aleena mencari suatu cara, Molk akan mencari jalan pintas untuk masuk jika ia tak memiliki satu ide cemerlang pun, sayang dia hanya seorang Bunker's bukanlah Upper.

"Ris!" Panggil Aleena terburu-buru.

"Chriselda!!" Panggil Aleena kembali lebih geram, mata hazelnya menatap Aleena takut dan telah membengkak.

"Aku butuh bantuanmu," pinta Aleena betul-betul. Ris masih terdiam ketakutan dan menolak permintaan Aleena kali ini.

"Ris! Lihat aku! Lihat aku!" Jerit Aleena begitu meriah dan sekejap Ris menatapnya begitu ketakutan.

"Ingat apa yang tuan Robinson katakan? Kau memiliki semangat besar dalam hidup, kau kuat dan bersemangat, kini kau harus mengeluarkannya. Bantu aku! Buktikan jika dirimu berguna dan kau adalah wanita yang kuat! Kau adalah wanita pemberani dan tak terkalahkan! Kau bisa melawan rasa takutmu sendiri! Kau bisa! Kau bisa Ris," kata Aleena berapi-api kepada Ris di belakangnya.

"Bantu akan menahan pintu ini," gumam Aleena begitu lirih membujuknya. Ris terdiam dalam kebisuannya, tubuhnya menggigil dingin dan ketakutan, tangannya masih bergetar hebat, tangisan isaknya masih melekat.

Mendengar kalimat Aleena tanpa menyaring ia masukan ke dalam memorinya, membangkitkan semangat Ris dan tangisannya semakin lama menjadi hilang berubah menjadi ketabahan.

Batinnya merasa panas kali ini, kobaran api yang mulai menyala di jantungnya membuat tubuh kikuknya menjadi kian berani kali ini menghadapi semua yang menghampirinya.

Tubuhnya bangkit dan berjalan ke arah Aleena yang bersusah payah menahan pintunya, bibir kanan Aleena terangkat menyuguhkan seringai bangga akan Ris.

"Oke, aku ingin kau tahan ini sekuat tenagamu lalu aku dan Azzura akan menarik lemari itu ke sini dan menutupi pintu dengan lemari ini," jelas Aleena begitu lembut kepada Ris dan begitu pula Azzura. Dengan serontak mereka mengangguk bersamaan, tubuh mereka dalam mode bersedia dan berancang-ancang.

"Dalam hitungan ketiga," gumam Aleena beraba-aba.

"1 ... 2 ... 3!" Dalam sentakan ketiga Ris mengambil alih posisi Aleena dan menahan pintunya sekuat tenaga sedangkan Aleena dan Azzura berlari ke lemari usang. Kedua insan itu berada di masing-masing sisi lemari.

"Zura tarik bagianmu dahulu," sahut Aleena tenang. Azzura dengan tarikan kencang di satu sisinya bergeser dan lemari lepas dari dinding besi.

Dari belakang lemari terdengar suara benda-benda terjatuh, Aleena melirik sekejap namun berpaling lagi dan mendorong lemari.

"Bertahan Chriselda Amaris," ingat Aleena masih mendorong kuat sang lemari.

"Zura bantu aku mendorong dari sini," ujar Aleena mengomandokan dan diturui Azzura. Dengan dorongan kuat mereka menggeser lemari ke arah Ris yang mematung menahan posisinya untuk mengunci pintu sendiri.

Lemari jabuk coklat pudar itu telah sampai di depan Ris namun terhenti dengan Aleena yang berlari ke tempat semula lemari itu dan mengambil kayu yang terjatuh dari balik lemarinya dan bergegas ke arah pintu.

Kayu yang Aleena ambil ia selipkan di antara gagangnya dan membuat sang pintu tersangkut dan sulit untuk terbuka. Ris pergi menjauh ketika semuanya telah diambil alih oleh Aleena dan Azzura.

"Dorong lemarinya menutupi pintu hingga rapat," suruh Aleena tegas dan dibalas anggukan Ris. Dengan bersamaan mereka mendorong lemari, Ris menyandarkan punggungnya ke sisi lemari dan mendorongnya kuat hingga terdempet keras dan menghilangkan cahaya matahari di dalam ruangan.

Ruangan menjadi begitu gelap hingga tak ada satu cahaya pun yang membantu penglihatan mereka, pupil mereka menjadi mengecil sembari kekurangan cahaya.

Kini mereka harus menunggu sambil bersandar menahan lemari itu, menghimpit Molk di luar, sampai semua kembali normal.[]

Gustavo mencari beberapa bahan di gudang milik Ridcloss, tangannya bagaikan kaki ayam yang mengubrak-abrik sesampahan yang tak berguna di matanya. Sesampai ia mendapat suatu drigen kecil berwarna merah di sudut gudang. Tangannya memutar tutup dan mencium aroma yang menyengat lalu ia dan berlari.

"Cari beberapa drigen minyak tanah, bensin, gas atau apapun itu di gudang-gudang sekarang!!" Pekiknya pada beberapa Tent dan dikerjakan dengan tergesa-gesa mengingat ini adalah Gustavo yang menyuruh.

Beberapa menit kemudian beberapa rombongan orang membawa sesuai apa yang ia minta dan Gustavo memberi petunjuk yang telah ia lakukan beberapa menit lalu.

"Kau buka Dwostnya -suatu alat di senjata mereka-, dan keluarkan semua pelurunya. Tekan tombol merahnya hingga lampunya berubah menjadi berwarna kuning, setelah itu kau cabut Merikurnya dan patahkan hingga membuat suatu tabung. Isi tabungnya dengan bensin sebanyak mungkin dan tutup kembali Dwostnya. Jika habis, isi kembali. Tekanan akan membuat senjata bagaikan semprotan," jelas Gustavo sambil memperagakan dengan senjata api berwarna silver itu.

"Setelah itu aku ingim kalian menyebar ke berbagai bagian, bawa satu partner untuk membantumu mengisi ulang bensinnya. Jika kau mendengar siulanku, siram menjadi suatu garis memanjang di sekitar hutan."

"Beri aku kode siulan lagi jika selesai dengan sekeliling Grassandor dan aku akan membakarnya. Api akan mengikuti setiap bensin yang kau siram, dan pastikan menyiramnya dengan benar lima meter jauhnya dari benteng. Api akan bertahan dalam jangka yang lama, sembari api menjadi tembok kedua tembaki beberapa Molk yang di luar dan di dalam, ambilkan serum Amooserum di gudang Ridcloss."

"Kerjakan!"

"Yes, Sir!" Sahut semua rekannya serempak dan mengobrak-abrik senjata mereka, mendublir sesuai dengan deskripsi Gustavo. Gustavo sendiri kini menyendiri dalam perjalanannya ke spot pertama, bertengger di atas pepohonan.

Sesampai di atas sana ia menunggu beberapa menit untuk beberapa bawahannya bersiap pada posisi masing-masing, ia kini bersiul.

Siulan yang begitu kodetik yang mampu terdengar rekan terdekatnya dan mereka membalas siulan Gustavo hingga menjadi suatu sahutan siulan berulang kali.

Siulannya berhenti di penghujung Grassandor. Sesuai dengan apa yang Gustavo beri petunjuk ia menyiram bensin sejauh lima meter, lalu ia melempar korek api hingga membentuk luapan api yang menyulut besar.

Sulutan api itu merambat ke kiri mengikuti bensin-bensin yang tergenang di sepanjang hutan, dalam beberapa menit bagian inti Base di selimuti api di bagian luar yang begitu membara dan panas ditambah angin kencang yang membakar setiap Molk yang berusaha lewat.

Hembusan nafas panjang mengakhiri dan perjuangannya siang itu, sampai sentuhan terakhir ia melempar   Amooserum pada suatu tabung kaca sebesar bola sepak jauh hingga asap-asap berwarna jingga membumbung tinggi, menyeruakkan asap-asap yang bertebaran membaur dengan angin sekeliling, berfungsi untuk menjauhkan beberapa Molk yang berusaha berdatangan.

Keadaan yang sebelumnya begitu genting kini perlahan menjadi lebih tenang tanpa ada suara tembakan. Semuanya telah diselesaikan dengan kerjasama langsung pada inti pokok permasalahan dan menormalkan lagi situasi. Kini adalah masa-masa di mana setiap Tent membasmi Molk dengan melemparkannya ke bara api di luar, menjadi tradisi setiap Tent untuk membakar Molk yang mati.[]

Aleena, Azzura dan Ris masih terkunci di dalam tanpa tahu apa yang terjadi di luar. Tanpa diketahui Molk di luar yang dengan senang hati menunggu kini telah mati karena panah seorang Tent.

Bunyi gedoran tangan menyontakkan tiga insan di dalam sana dan mereka bangkit. "Ris! Kau di dalam?" Panggil seseorang dari luar begitu kental akan aksennya dan langsung Aleena ketahui.

"Yura?" Kening Aleena mengkerut. "Bantu aku dorong lemarinya," suruh Aleena kembali memberi saran.

Dengan bersamaan mereka mendorong ke sisi kiri hingga cahaya pudar berwarna orange menerangi ruangan. Azzura membuka kunci kayu di pegangan pintu dan ia membuka pintu mendapati suasana yang begitu aneh di luar.

Suasana begitu berubah menjadi sore yang menyengat dengan sepoi angin yang menyambut dan sosok Yura yang menunggu di luar membawa busur. Wajah Yura begitu kusam ada beberapa bekas percikan darah Molk yang siap ia hilangkan sepulang ke Nest.

Azzura dan Ris berjalan keluar begitu lega, menghirup udara rakus setelah ruangan sempit dan panas di dalam sana. "Kalian tak apa?" Yura berucap menatap setiap wajah-wajah muda di depannya begitu khawatir.

"Menurutmu?" Desis Azzura menatap mata gelap Yura dengan nada begitu sinis.

"Ayo, kuantar kalian kembali," ucap Yura pelan. "Aleena," panggilnya lagi mengunci tatapannya pada Aleena seorang diri di belakang Azzura dan Ris yang begitu diam tanpa ekspresi terbaca.

Aleena mengangguk pelan dan mengekori mereka berjalan, tanpa mereka bertiga tahu Aleena keluar dengan membawa suatu kertas yang telah ia gulung rapi. Ia sembunyikan dibalik baju dan merahasiakan apa identitas gulungan itu. Gulungan usang yang tadinya penuh debu dan terjatuh di balik lemari yang usang dan rapuh.

Gulungan yang mampu menunjukkan jalan pada sesuatu yang berharga, sesuatu yang dapat menyempurnakan. Ya, Aleena akan menyimpannya dengan baik tanpa harus terlihat orang lain. Ia mendapatkan harta karun.

Lembaran hilang dari buku Chronicle Of The Lost Treasure.

Aleena mendapatkan peta full The Fort .

*****

-Dedikasi di tujukan pada One and Only @ikrimah_29 , terima kasih buat semangat aku membara dan lebih kerasan lagi nulis cerita ini Komentarnya buat hati adem hehe.

-Semoga berkesan dan mau memberi kritik dan saran dan juga Vote dan Komentar yang membangun :p

-Add to your reading list would be so nice, All the love - Dinda

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro