Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 18 - Kedatangan

"Ini tidak mungkin terjadi, bangunlah Aleena bangun!" Ringis Cadance berkabung masih menekan dada Aleena dengan kuat dan cepat berulang kali. Nafas Cadance ikut merasa sesak dan memburu karena kelelahan menyadarkan Aleena.

"Will!!" Cadance memanggil Will yang belum datang membawa alat pengejut jantungnya.

"Ayolah, aku tahu ini hanya efek serum di tubuhmu, bernafaslah," gerutu Cadance tenggelam di kegelisahan dan kecemasannya yang kini bepuluh-puluh kali lipat dari sebelumnya.

Darah dari hidung Aleena tak habisnya bercucuran dengan pelan, warnanya begitu segar dan begitu serasi dengan warna kulit wajah Aleena kini yang mulai memucat. Tubuhnya belum kunjung dingin ataupun kaku, berbeda dengan tangannya yang sudah dingin dan warnanya berubah menjadi putih pucat.

Will datang dengan terburu-buru dan menyeret alat pengejut jantung. "Pergi!" Gertak Will menghempaskan tubuh Cadance beberapa centi ke belakang akibat dorongan anarkis dari Will.

"Aleena bangun," gumam Will pelan menatap rindu dan perasaan yang lumpuh ke wajah Aleena.

Kemudian dengan segala macam cara prosedur persiapan alat itu hingga selesai dan ia menempelkan alat defibrillator pada dada Aleena dan tubuhnya tersentak ke udara dan jatuh lagi.

Will melakukan berkali-kali namun nada dengingan mesin di belakangnya tak kunjung berubah.

"Apa yang harus kulakukan? Aku tak ingin kehilangan kau .. lagi," gerutu Will tertunduk.[]

Mata coklat yang mengkilap benar-benar membuatnya terkurung dalam kegelisahan, rambut coklat muda yang bergelombang tumbuh tergerai di depan bahu. Jemarinya bermain di kala kegundahan yang menyebar di dalam setiap keringat yang muncul.

Matanya tak ada hentinya mencari dan mencari sesuatu yang ia cari di ruangan luas dengan banyaknya wanita yang berjalan dan melakukan banyak kegiatan sosial lainnya.

"Ris," panggil Azzura parau.

Ris yang sedang membaca suatu buku di bunkernya menengok arah pintu bunker 3 dan melihat sosok manis Azzura menatapnya cemas. Ia melipat ujung lembaran pada buku dan menutup rapat, mendatangi Azzura di ambang pintu, belum sempat Ris menanyakan maksud dan tujuan Azzura datang ia lebih dahulu bertanya.

"Kau melihat Aleena?"

Ris mengerut. "Dia tidak ada?"

"Ya-"

"Begitupula Cadance," putus Ris seperti gerutuan akan tangkapan satu fakta dan mendapat sorot dingin Azzura di depan, bagaikan pinang dibelah dua, mereka sama bertingkah aneh. Sama-sama berfikir jika Aleena dan Carina a.k.a Cadance sedang bersama-sama yang entah berantah di mana keberadaannya.

"Aku melihat Aleena sepagi buta keluar dari bunker, aku tidak tahu jika dia bersama Carina," ungkap Azzura memperjelas.

Ris terdiam sejenak. "Mereka pergi ke suatu tempat, aku akan mencarinya."

"Aku ikut," ucap Azzura yakin . Ris menoleh melihat sorot mata Azzura yang posisinya lebih tinggi daripada miliknya, ia tidak pernah melihat seseorang selain dirinya dan Aleena keluar dari afdeling 1.[]

"Cadance!" Panggil Will histeris di depan mesin yang kini mengeluarkan nada yang mulai berbeda. Cadance bergerak cepat menuju Will dan menatap mesin dengan berbagai gambaran, grafik, dan huruf-huruf Orvos.

"Grafiknya menaik drastis," renung Will mengerutkan keningnya. Dengan gerakan yang sama Will menoleh pada Cadance begitu pula Cadance menatap Will bingung.

"Tapi detakan jantungnya tidak ada," interupsi Cadance.

"Jantungnya berhenti tapi otaknya bekerja," ada gerutuan Will kembali memperjelas hal yang tak ia mengerti. Cadance menengok jasad Aleena di atas ranjang metal berwarna putih itu. Matanya kosong dan tak ada arti sama sekali menatap Aleena.[]

Samar-samar suara rusuh dari luar ruangan terdengar, matanya membuka perlahan dengan cepat tanpa rasa aneh karena cahaya yang begitu netral di dalam suatu ruangan. Tubuh yang tergeletak lemah di pinggir suatu box kayu mulai bergerak dengan pelan masih menyamai kondisi sekitar. Mata hijaunya kembali terlihat dalam remang-remang ruangan yang tak asing baginya.

Fikirannya terus menerus mengolah, memperbaiki, dan mengingat ingatan yang membuat kebingungan. Ia tidak mengerti dengan jalan otaknya yang menunjukkan gambaran begitu aneh dan ia tidak terbangun dari alam bawah sadarnya.

Aleena bangun dan berdiri tegak, nafasnya menderu panjang dan terkontrol dengan baik sembari ia menatap layang sekelilingnya. Ruangan yang tak begitu asing, baginya ruangan itu benar-benar sama dengan gambaran Déjà vu miliknya dahulu.

Tak ada jendela hanya ada satu pintu, berbagai peralatan tambang tergantung di sekitar dinding, tali yang tergulung rapi menggantung di suatu paku besar di dinding kayu begitupula hawa hangatnya yang menyerap ke tubuh Aleena di dalam ruangan.

Aleena tak tahu lagi ingin pergi ke mana, ia menikmati pandangannya ke arah satu-satunya pintu di ruangan itu. Tubuhnya menciut ketika ia teringat apa yang terjadi dengannya ketika membuka pintu itu dan ia benar-benar tak berani lagi. Namun hati dan kepalanya seolah berperang demi satu keputusan, di antara memilih ketakutan atau keberanian.

Aleena mengikuti kata hati yang menyebutkan satu tafsir yang mengunggah semangat, keberanian. Kakinya berjalan pelan agar tak ada suara sedikit pun terdengar, ia sampai dan mengambil satu alat lalu mengangkatnya dari paku yang menggantung.

Alatnya begitu berat hingga membutuhkan dua tangan untuk mengambil itu. Namun ketika alat dengan ujung yang tajam yang berbentuk seperti alat untuk mencongkel kerasnya tanah dan bebatuan itu ada di tangan Aleena yang sudah terlatih, menjadi lebih nyaman di genggam dengan bobot hingga dua kilo itu.

Aleena mendekati daun pintu yang tertutup dan kepalanya menoleh kanan dan ke kiri mencari sesuatu untuk dilemparkan sebagai pemancing.

Aleena melihat suatu pasir tambang yang mengeras di dekat box kayu dan mengambilnya pelan-pelan. Dengan berani ia membuka pelan pintu, melemparkan gumpalan pasir ke luar dan menutup pintu lagi untuk memastikan jika makhluknya ada di luar dan Aleena dapat mencincangnya habis.

Ia menunggu namun tidak ada tanda-tanda kehidupan di luar, dengan berani dan tanpa rasa ragu sedikit pun ia membuka pintu, membuat suara lengkingan engsel pintu seperti dahulu.

Ia acap menoleh ke kanan tepatnya arah di mana Molk saat itu mencekiknya, namun benar-benar tidak ada satu pun. Ia mengamati tempat gelap di belakangnya di mana ia melihat Ghroan yang menyala merah, namun tidak ada apa-apa pula, hanya ada satu daun pintu di depan Aleena.

Ia berbalik dan kembali mengamati ruangan yang tak kalah luas dengan ruangan sebelumnya, namun desain rumahnya lebih mendekati ke ruang tamu dengan sofa panjang yang berhamburan tertinggal dan telah usang.

Berbagai lemari kayu di belakang Aleena juga berbaring karena roboh dan jabuk, Aleena menggerutu tak mengerti dengan alur alam bawah sadarnya.

Langkahnya bergerak waspada ke arah kusen pintu berwarna putih kusam dan membukanya pelan.

Cahaya tembus melalui sisi-sisi kecilnya dan memperlihatkan kepada Aleena keadaan di luar, begitu sunyi tanpa satu suara pun yang asing di telinga. Ia menuruni tiga buah anak tangga dan sampai pada dasar, menatap jauh dari kanan hingga ujung kiri mengikuti gambaran di mana terpampang jalanan memanjang. Aleena turun menggenggam peralatan di samping tubuh dan berdiri di pinggir jalanan dengan batu krikil kecil. Aleena tak tahu ia akan pergi ke mana, kanan dan kiri bukanlah arah pulang Aleena melainkan imajinasi semata.

Jalannya begitu panjang namun ia masih dapat melihat jalan raya di ujung jalan dengan gedung bertingkat yang hancur, ia masih bingung di mana ia sekarang saat ini dan di kota entah-berantah.

Ia berinisiatif mencari jalan dengan memanjat, bukan pohon ataupun tiang listrik melainkan gedung tinggi di ujung jalan. Sesampai di jalan raya lebar dengan mobil yang terparkir tak beraturan dan tertinggal, ia pergi ke sisi gedung setinggi lima tingkat itu dengan tangga besi di sisi gedungnya. Tangannya masih berusaha memegang alat sembari ia naik satu per satu di anak tangga besinya dengan pelan.

Masih jauh tujuannya, sekitar dua tingkat ia sudah terengah-engah dan menengok ke bawah dan tersontak kaget dengan tingginya.

Aleena menoleh ke atas dengan jantung yang berpacu cepat dan memberanikan diri lagi. Langkah demi langkah ia ambil dan menarik dirinya dengan genggaman tangan di besi, namun untuk pertama kalinya tiba-tiba ia hampir terjatuh karena besi yang ia injak patah dikarenakan rembesan air dari gedung membuat besi menjadi rusak.

Jantungnya berdetak lebih cepat saat ini dan Aleena berusaha menetralkan sambil memanjat lagi, hingga alat yang ia pegang ia lempar ke atas atap dan menarik tubuhnya lagi untuk terakhir kalinya.

Ia langsung berdiri dan mengambil alatnya, merapikan rambut coklat lurusnya yang sudah berhamburan dan menatap luas ke sepenjuru pemandangan.

Desiran angin yang bebas begitu keras menerbangkan baju Aleena di atas atap sana, mengibarkan semua rambut Aleena ke depan wajahnya karena ia membelakangi arah angin.

AIeena berbalik dan membuat kibaran rambutnya berterbangan ke belakang kepalanya kini bersamaan. Aleena begitu tenang di atas sana, masih mengamati beberapa gedung menjulang lebih tinggi jauh, telah rusak, dan tak ada kehidupan.

Terusik batinnya dengan pertanyaan-pertanyaan, 'ke mana semua orang pergi? Apakah tidak ada orang lain yang selamat di luar sini? Dan bagaimana dia bisa membuat semuanya kembali normal dalam waktu dekat?'.

Aleena menatap lebih jauh dan melihat suatu jembatan berwarna merah menyala. Jembatannya tertutup dengan kabut debu yang menyulitkan Aleena melihat lebih detail jembatan tersebut.

"Jembatan," gumamnya menatap lurus jauh. Teringat Aleena dengan cerita Robinson tentang suatu jembatan di mana seseorang melakukan misi dan melewati jembatan itu, teringat pula ia dengan tulisan tangan Cadance di mana dia menyebutkan satu nama jembatan.

"Napoleon," sambungnya kembali seperti suara bisikan yang menyatu dengan desiran angin kencang di atas sana.

"Aku harus pulang," gerutunya kembali tanpa berfikir ulang apa yang ia katakan. Tidak mungkin ia bisa pulang dengan jarak yang begitu jauh, belum lagi ia harus melewati satu kota dan menembus hutan luas di mana letak The Fort sendiri tak terjelaskan dari dunia luar. Dan satu hal lagi yang ia lupakan, ini hanya mimpinya.

Ia turun kembali dari tangga besi, dengan perlahan ia melangkahkan satu demi satu kakinya di pijakan besi yang begitu licin dan tipis. Tangannya menggenggam batang besi di atas kepalanya namun tiba-tiba saja alat tambang yang ia bawa tergelincir dan jatuh dari ketinggian lima lantai ke bawah.

Aleena menghela nafas kasar dan memutar bola matanya jengah, dan kembali turun melewati setiap anak tangganya terburu-baru.

Ia tak melihat ke bawah karena ia sedikit memiliki rasa takut dengan ketinggian yang terlalu berlebihan, jadi ia melihat ke langit-langit yang berkabut berwarna abu-abu samar.

Keringat Aleena mengalir pelan di sekitar telinganya, dan mengengok ke bawah. Tak terlalu tinggi baginya namun ia harus cepat sebelum bertemu dengan gelap dan ia tak tahu akan apa yang terjadi dengannya.

Baru menginjakkan kaki di anak tangga ia begitu terkejut ketika batang besinya patah dan membuat kaki kanannya menyangkut pada anak tangga di bawah.

"Woooh!" Umpatnya memiliki firasat tak enak .

Sepatu Aleena tersangkut dan membuat pegangan kedua tangannya terlepas, gravitasi yang masih aktif menarik kejam tubuhnya ke bawah sejauh dua meter dari tempatnya bertengger tadi.

Tubuhnya meluncur dengan kuat dan menghantam keras dataran di mana tanah keras dengan bebatuan kerikil. Tubuhnya terhantam dengan punggung terdahulu, rasanya jantung dan paru-parunya sudah terlepas dari tempatnya.

"Arrrghhhhh," ringisnya begitu kesakitan.

Sempat ia mendengar suara tangannya yang terkilir, namun fikirannya masih fokus dengan bahu yang terhantam keras, nafasnya begitu sulit ia atur, air matanya lolos mengalir kesakitan yang luar biasa. Dia tak mengerti bagaimana bisa mimpi begitu menyakitkan dirasakan.

"Arrrrrghhhh," ia meringis kembali dan menutup matanya menahan aliran air matanya yang mengalir. Tubuhnya tergeletak tak berdaya sangat kesakitan dan ia membuka mata menatap langit di atasnya begitu sendu.

Giginya bergetar masih menahan tangisan, rahangnya mengeras menahan kesakitan bagian belakangnya dan berusaha untuk bangun. Telapak tangannya berdarah karena goresan kerikil dan menyobekkan sedikit baju coklatnya pada bagian siku.

Belum sempat ia berdiri dengan tenang, suara ramai membuat kewaspadaannya meningkat. Ia membungkuk masih kesakitan dan mengambil alat yang terjatuh, satu-satunya alat perlingungan yang Aleena miliki saat itu.

Ke kanan dan ke kiri ia tidak tahu dari mana asal suara ricuh itu datang, namun dari jauh di penghujung jalan kiri ia melihat segerombolan Molk yang berjalan dan beberapa berlari kelaparan melihat Aleena. Dan Aleena sadar mereka bukan hanya sekedar Molk, melainkan Fast Molk.

"Shit," umpatnya panik.

Kesakitan yang menjadi-jadi ia rasakan ketika bangkit dan ia sadar jika ia tak bisa bergerak sama sekali sehabis terjatuh. Ia hanya bisa menangis di sana, begitu terisak dan memikirkan bagaimana cara mengakhiri mimpinya, ia tidak tahu mengapa mimpinya tak dapat berhenti, mengapa ia tidak bisa bangun, namun yang sebenarnya terjadi adalah Aleena tak dapat membuka mata karena efek serum Cadance yang tak sesuai aturan pemakaian.

"Tidak," ringis Aleena berusaha pergi dari tempatnya. Ia bahkan sudah lupa jika ini hanya mimpinya bukan kenyataan.

"Tidak," katanya lagi dan Aleena terus mengulangnya, ada satu saat di mana ia hanya pasrah dan hanya menatap lemah gerombolan Fast Molk yang berdatangan lebih dekat.

Ia menarik nafas panjang, memejamkan mata pelan saat Fast Molk sudah ada di depannya, dengan keyakinan terdalamnya ia mengucapkan satu kalimat begitu penuh harapan.

Ini hanya mimpi.
Aku ingin pulang ke The Fort.

Begitu lama ia menutup matanya, tak ada rasa apapun yang menyerang diri Aleena dan melukainya. Tak ada hantaman kesakitan di punggungnya, merasakan keganjalan itu Aleena berani membuka matanya pelan.

Ia membalikkan badan dan mulutnya membuka besar, Vega. Gerbang utama The Fort tiba-tiba saja ada di belakang yang menjulang tujuh meter tingginya. Bayangan Vega menutupi sebagian hutan di depan, begitu pula Aleena yang masih tertegun tak mengerti

Ia selalu menggambarkan area The Fort sebelumnya, lalu ketika membuka mata hebatnya ia telah berada di sana sesuai harapannya.[]

"Will," panggil Cadance begitu lirih dengan nada tak terjelaskan.

Tanpa menjawab Will masih mengamati hasil di layar mesinnya, tatapannya begitu nanar dan tak terjelaskan. Lalu ia berpaling pada Cadance dengan raut wajah yang terpukau luar biasa.[]

"Ris, tidakkah kita menanyakan para Upper?" Tanya Azzura merasa gelisah berada di luar sana, rombongan Tent terus menatapnya dingin.

"Aku akan bertanya pada seseorang yang dekat dengannya," sahut Ris menyusuri jalanan.

Ris berjalan dengan polosnya menunggu di gerbang Sega, dan terus menunggu hingga matanya menangkap sosok yang dicari.

"Yura," panggilnya.

Yura menoleh, tubuh tingginya mendatangi Ris dan Azzura yang masih bersedekap di depan gerbang Sega.

"Ada apa?" Dia bergumam.

"Aku bertanya-tanya jika kau melihat Aleena seharian ini?" Tanya Ris ragu-ragu.

"Aleena? Tidak, aku bertemunya kemarin," balas Yura masih terheran-heran, dan melirik Azzura di belakang Ris, lagi.

"Baiklah jika begitu," akhir Ris tanpa basa-basi lagi.

"Aku harus bergegas, aku dibutuhkan," akhir Yura pula dan berjalan menjauh begitu pula Ris dan Azzura.

Azzura menoleh ke belakang. "Siapa dia?" Bisiknya.

"Teman dekat Aleena," singkat Ris masih fokus pada tujuannya. Bibir Azzura mengulum kini ia tahu siapa pria yang dahulu Aleena beritahu, namun tak sempat ia tengok rupanya yang tampan.

"Kau akan mencari ke mana lagi?"

Ris menggaruk tengkuknya. "Aleena hanya mengunjungi beberapa tempat yang sama setiap harinya." Ris berhenti sejenak, lalu mendangak ke atas.

"Biasanya dia di atas sana," gerutu Ris masih menatap atap yang biasa Aleena kunjungi diikuti Azzura, namun bukan sosok Aleena di atas sana melainkan seorang Tent yang mengambil alih.

"Jadi dia setiap hari di sana?" Gumam Azzura.

"Dia tipe wanita yang kesepian dan tidak bisa diam saja," sela Ris masih berjalan.

"Aku ingat pertama kali dia di sini dia dalam keadaan tak sadarkan diri dan diantarkan sendiri oleh beberapa Orvos," ucap Azzura datar. Ris hanya diam namun fikirannya mengolah satu kalimat, mengapa?

"Dia tak bangun selama tiga hari penuh, kufikir dia sakit atau semacamnya. Dan pada hari ke tiga ia tak kunjung bangun seorang pria berambut blonde cepak datang dan menyuntikkan suatu cairan yang entah apa itu lalu ia pergi. Aku dan beberapa wanita lain tak bisa mengerti bahkan canggung jika tidur besama dia . Maksudku, apa dia hidup apa sudah mati?" Ceritanya lagi.

"Dan esoknya kami terbangun dengan teriakannya yang benar-benar menakutkan, ia terus-menerus menangis dan bergetar hebat. Wajahnya pucat dan berkeringat banyak, Anastasia coba membantu dia tenang namun ia terlihat masih terkejut."

"Dia pasti tak mengingat apapun karena itulah dia histeris. Selama satu minggu penuh aku selalu terjaga untuk melihat dirinya tidur. Tapi ia mengigau, ia selalu mengigau setiap malam. Merangkai kata-kata yang tidak aku mengerti."

"Tetapi setelah seminggu lewat ia menjadi normal manusiawi, setiap aku menceritakannya pada dia, ia selalu tak percaya dan selalu mengelak. Baginya itu respon takhayul yang tidak mungkin terjadi padanya karena kondisinya selalu waras," papar Azzura.

"Kufikir ada yang salah dengannya," akhir Azzura menggantung, Ris mengolah lagi pertanyaan yang dulu sempat ia ragukan pertama kali bertemu dengan Aleena .

Ris mendapat pandangan jauh pertama kali menatap mata Aleena, seperti aura kegelapan yang begitu kentara di matanya. Sebab itulah Ris pertama kali mengenal Aleena mendapat getaran rasa takut yang tak terjelaskan.

Ris menarik nafas dan menghembuskannya panjang. "Dia wanita biasa yang tak bisa diam. Aleena perempuan yang sangat baik."

"Aku hanya takut kehilangannya," gumam Azzura parau dan mendapat tolehan miris dari Ris.

"Kau harus siap kehilangan seseorang, itu akan terjadi suatu saat nanti bahkan dari orang terdekatmu, hal itu benar adanya dan tak dapat terpungkiri." Azzura melirik Ris.

Mata Azzura membelalak besar, tertegun akan keindahan yang tak pernah ia pandang sebelumnya, begitu mempesonanya dengan hamparan rerumputan hijau yang begitu luas, Grassandor.

Ris membawa Azzura untuk pertama kalinya ke dalam sana. Bau hujan yang menyejukkan langsung menyengat hidung Azzura dan menenangkan.

Azzura mengeksplorasi seluruh pelosok. "Woow," tuturnya begitu terpana.

"Grassandor," putus Ris lalu berjalan di tengah lapangan.

"Kau harus lebih sering keluar seperti Aleena, asalkan tak berbuat senonoh. Para Upper memberi batasan keluarnya para Bunker's namun tidak berguna bagi Aleena. Entah mengapa kalian tak ingin keluar," ejek Ris.

"Untuk apa keluar bila akhirnya akan masuk lagi? Mengerti maksudku?" Gumam Azzura. Ris mengangkat kedua bahunya arti mengerti dan mencari sosok tuan Robinson, seperti hari kemarin tuan Robinson sedang menanam suatu sayuran jauh di dekat tembok besi.

"Tuan Rob's," panggil Ris tersenyum ramah.

Robinson bangkit dari jongkoknya. "Oh Chriselda? Ada apa?" Ia menatap Azzura sekilas.

"Apa kau melihat Aleena hari ini?" Tanya Ris begitu ramah dengan kelembutan akan rasa hormat.

Robinson mengkerut. "Tidak, aku seharian ada di sini maafkan aku. Memang ada apa dengan Aleena?"

"Dia sudah tidak ada di dalam bunker sejak pagi sampai siang ini, aku bertanya-tanya," ucap Ris lagi.

"Oh, aku benar-benar tidak tahu maafkan aku sayang. Mungkin saja dia sedang membantu seseorang di bagian Nest sana, dia cukup aktif bukan?" Ucap Robinson begitu halus bahkan hampir mencairkan kegundahan dua gadis muda di depannya.

Ris mengangguk. "Baiklah terima kasih, apakah anda-" kalimat Ris terputus ketika ia mendengar suara alarm yang begitu nyaring dari dalam namun samar- samar ketika di luar.

Para Tent berteriak sahut-menyahut dan berlarian ke spot masing-masing dengan senjata begitu tagang mereka genggam.

"Ayo!! Ayo! Cepat!" Teriakan masing-masing Tent mulai bergemuruh.

Setiap pria di luar mulai lari mencincing, semua Ridcloss mulai berbalik arah meninggalkan peralatan di tempat demi sampai di tempat perlindungan mereka.

Para Tent mulai berlarian, memanjat dewala untuk ke tempat yang kosong membawa senjata-senjata mereka.

"Move! Move!!" Pekik setiap Tent mengusir para Ridcloss yang masih berlari luntang-lantung.

"Ris! Kembali ke bunkermu!" Pekik Robinson menaruh cangkulnya dan berlari terhuyung-huyung mendengar alarm yang sudah kodratnya begitu membuat panik setiap orang.

Grassandor begitu ricuh hancur berantakan dengan pria-pria tua yang berlari dihiasi teriakan keras dari para Tent mengumandankan nama 'Fast Molk, Fast Molk dan Fast Molk'.

"Ris!! Cepat! Pintu bunker tertutup otomatis!!" Jerit Azzura begitu histeris menggenggam tangan Ris dan menariknya.

Mereka berlari begitu jauh dari ujung, lapangan yang begitu luas memacu laju lari mereka agar dapat lebih cepat sampai pada pintu afdeling 1. Azzura begitu terengah-engah walau tubuhnya berkondisi baik dan sehat karena latihannya, namun tidak dengan Ris yang tak kuat berlari sejauh itu.

"Ris cepat!!" Pekik Azzura, nafasnya laju dan detakan jantungnya keras dan cepat, posisi Azzura lebih dulu berada di depan Ris.

Sepatu mereka menghantam setiap rerumputan hijau yang tumbuh lebih panjang dan membuat jalan mereka lebih berat dan kesulitan.

"Aaaah!" Ringis Ris dari arah belakang Azzura, ia tersungkur dan berguling tiga kali di atas rerumputan basah.

"Damn Ris," gerutu Azzura mendengus kesal, ia kembali dan membantu Ris bangun dan lari kembali. Semakin dekat mereka dengan bagian Base semakin keras alarm yang mereka dengar dan semakin banyak para Tent berlarian membawa berbagai macam senjata dari senapan, tombak, busur, dan senjata api lainnya.

Mulut Ris dan Azzura membuka agar dapat membantu pernafasan mereka yang kini mulai tidak teratur, jantung mereka berdetak begitu menegangkan dengan getaran hebat dari tangan akibat suasana yang begitu tak mereka mengerti, mereka berdua tak pernah sepanik dalam posisi ini di mana makhluk berbahaya ada di luar sana.

"Fast Molk!! Fast Molk!!" Teriak beberapa Tent di atas begitu keras.

Lalu mulailah genderang senjata memenuhi The Fort. Teriakan lantang bukan lagi latihan semata, kondisi di luar nyata. Untuk kali pertama dalam jangka waktu cukup lama, serangan Fast Molk datang, membuat hiruk-pikuk udara bercampur keringat dingin menjadi meresahkan.

"Aku butuh seorang pemanah di sini!!" Jerit seseorang di atas atap masih menembakkan pelurunya ke arah luar The Fort.

"Max!! tangkap!!" Jerit pria lainnya melempar keranjang anak panah pada teman di bagian kanannya dan dengan cepat si pria menangkap dan mengambil beberapa anak panah, menarik dan melesatkannya .

"Ris!!" Jerit Azzura kembali sesampai di depan pintu afdeling 1.

Azzura menarik gagang pintu besinya namun tak dapat terbuka. "Damn! Terkunci!" ia menarik lebih kuat namun sia-sia. Pintunya tak mau bergeser. Dan terancam sudah nyawa mereka bila di luar.

"Cari tempat lain!!" Gusar Azzura menarik tangan wanita yang lebih muda darinya itu.

"Fast Molk!! Fast Molk!!" Teriak seseorang dari belakang.

"Arrrrgggghhhhh!!!!!" Ringis seorang pria suara bariton menakutkan semua orang , tiba-tiba saja seogoh Molk telah sampai di atas dan disusul dengan Molk lainnya dari berbagai dinding yang memanjang.

"Fast Molk menembus tembok! Kuulangi Fast Molk menembus tembok!" Seseorang berbicara di interkom. "Kita butuh lebih banyak ammo dan Tent di bagian sini! Sekarang!" Pinta pria lainnya begitu heboh masih menembakkan senjata ke luar benteng.

Base begitu bising dengan suara teriakan para Tent yang menggelegar dan menuturkan permintaan bala bantuan, amunisi dan Fast Molk. Suara senjata yang keras juga membuat setiap kulit dialiri lahar keringan dingin dan kepanikan.

Entah apa yang terjadi ketika Fast Molk yang sudah mencapai tanah The Fort begitu banyak dan dibunuh dengan sadis dari menembak kepala mereka hingga pecah dan memanah kepala mereka.

Di bagian atas setiap gedung banyak Tent yang berperang dengan panah, senjata api. Sedangkan di darat beberapa Tent membunuh dengan keji Fast Molk dengan tombak dan pisau.

Seorang pria berambut coklat terang memegang tombaknya tegang dan menancapkan ke kepala Molk keras dan mencabutnya lagi, ia berpaling pada Molk dengan rambut panjang sepinggang dan menancapkan tombaknya kembali di kepala Molk hingga terjatuh berlutut dan kembali mati.

Seorang pria gemuk dengan kulit berwarna gelap membawa katana yang begitu panjang dan tajam, tubuhnya begitu gemulai dan keji sembari menebas setiap isi perut dan membelah dua kepala Molk yang berhamburan di darat tak terkontrol bagi kurangnya Tent di bagian Base.

Pria itu berlari dengan laju dan tangannya berayun ke atas dan menggenggamnya erat lalu menusuk kepala Molk masuk hingga ujung katana tembus sampai tenggorokan.

Ia menoleh dan Molk dengan polosnya mendatangi pria itu dan tanpa rasa dosa sedikit pun ia menusuk perut Molk tanpa berbalik di mana katana yang telah berlumuran banyak darah busuk berbau anyir itu menembus jantung lalu menyobeknya hingga rembesan darah bercucuran.

"Bunuh semua sebelum mereka memanggil koloninya!!" Teriak seseorang dari arah pintu Sega, yang terdengar tidak mungkin, karena beberapa Fast Molk yang lolos adalah kesempatan raungan panggilan mereka.

"Gustavo! Mereka cukup banyak kami butuh bala bantuan senjata dan beberapa Tent di bagian timur," lapor seseorang terengah-engah.

"Jaga di sini aku akan ke sana," balas pria yang memiliki eksistensi paling besar di The Fort.

Gustavo berlari dengan cepat membuat debu-debu tanah berterbangan dan menghempaskan bebatuan kecil, di tangan kanannya telah beristirahat suatu katana yang begitu berbeda dari lainnya.

Ujung katananya melengkung hampir membentuk bulan sabit, warna katanya juga bersinar dan lebih ke arah merah ruby, pegangan katananya dilapisi kulit terbaik yang pernah ada dan hanya untuknya semata, Revclin. Nama yang sama dengan tombaknya.[]

Di wilayah lain tepatnya ruangan yang diisi tiga orang, beberapa menit dari kontak mata Cadance dan Will sebelumnya mereka mendengar alarm yang begitu nyaring dan menggetarkan setiap alat bahkan tubuh Aleena yang berbaring lemah.

Pintu ruangan isolasi itu sengaja tak dibuat menutup secara otomatis namun mereka masih terhuyung akibat gemaan suara keras alarm itu mendengungkan telinga dan jantung.

"Mereka diserang lagi?" Will heran.

"Ini masih siang," koreksi Cadance lagi, lampu di ruangan isolasi mengedip berkali-kali namun tak pecah seperti sebelumnya.

Suara tarikan nafas yang keras memecah lagi kepanikan dari arah ranjang, kepala Will dan Cadance menengok ke arah suara asal dari Aleena, dan menatap terheran-heran wanita itu begitu terpana, mulut Cadance membuka lebar sembari Will memeriksa mesinnya yang sudah mati karena tenaganya terserap alarm.[]

"Ris!! Apa yang kau lakukan di sini?" Jerit seorang pria berlari ke arah Ris dan Azzura yang mencari suatu tempat yang dapat melindunginya dari Fast Molk yang ada di sekeliling mereka.

"Yura, awas!" Azzura menjerit dan menujuk ke belakang kanan Yura dan ia menoleh. Tangannya menggenggam tombak tegang dan menancapkan ujungnya pada perut Molk dan tubuhnya tersangkut, ia melepas tancapannya dan menatap dua gadis yang tersesat .

"Di depan gedung Upper ada ruangan, kunci dari dalam dan tunggu hingga semuanya normal, sekarang!" Titahnya tegas, lalu ia terburu-buru berlari ke manapun ia melihat Fast Molk yang perlahan memakan korban.

Ris dan Azzura mengangguk dan berlari berdampingan dan mengikuti arah menara Gloetik, menyusuri jalan setapak dengan banyaknya Tent berdatangan dari arah Nest dan memasuki gerbang kedua.

Tiba-tiba saja dari jauh terdengar suara lengkingan keras yang mereka duga adalah menutupnya gerbang Sega, hingga dentuman yang diakhiri oleh gerbangnya.

Ris dan Azzura masih terengah-engah berlari melawan arah dengan Tent lainnya. Ia hanya beberapa meter dari menara Upper dan Azzura mengambil arah tembusan di kirinya. "Lewat sini," ia menarik pergelangan tangan Ris keras.

Azzura melewati pepohonan rindang dan rerumputan hijau yang begitu sepi tanpa satu kehidupan di bagian sana.

"Aaaaaarrrgghh!" Teriak Azzura histeris dan panik menggeser Ris ke belakang tubuh Azzura di mana gadis kecil itu begitu ketakutan.

Sosok Molk yang lepas ke daerah sana menghentikan langkahnya, sialnya lagi tak ada Tent yang lewat jalan sana dan seorang pun yang terlihat. Padahal bangunan yang mereka tuju tinggal beberapa meter lagi dan mereka bisa menyelamatkan diri.

Azzura berusaha untuk tak membuat suara sedikit pun dan gerakan yang secara tiba-tiba. Azzura melangkah pelan ke belakang diiringi Ris yang dilindunginya posesif.

Wajah hancur dari Molk itu tak pernah lepas dari wajah Azzura seakan takut kehilangannya santapannya, kepalanya miring menjadi ciri khas, gigi-giginya dipamerkan menjadi suatu seringai aneh di wajahnya.

Jalannya tak seimbang dengan kaki kanan yang terseret. Azzura menelan salivanya tak berani memikirkan bagaimana kisah selanjutnya dari hidupnya, ia tak ingin menyebutkan kata 'mati' sebelum merasakan udara normal dan kehidupannya.

Ris memegeng erat pergelangan tangan Azzura dari belakang. Hingga tiba-tiba dari kepala Molk tertembus satu anak panah dari arah belakang.

Azzura terkejut dan menarik nafas singkat begitu pula Ris di belakangnya melihat bagaimana Molk itu mati.

Molk yang belum sempat menggeram itu berhenti dan mati, lalu tubuhnya bersujud mengarah pada Azzura dan Ris yang merasa terberkati.

Ia menoleh pada samar-samar seseorang dari belakang Molk yang telah menyelamatkan jiwanya.

Sesungguhnya Ris dan Azzura begitu bersyukur dan lega ketika seseorang membantu mereka, raut wajah senang dari mereka tak dapat hilang, namun tidak dengan wajah datar dan ketakutan seseorang yang memanah mati Molk.

*****

-*tancap tombak* gimana gimana? Komentar lah wkwkwk. Ini updatenya gak sampe sehari loh, baru 10 jam yang lalu part sebelumnya di update udah muncul lagi kan haha.

-Semoga silent readernya mau kasih dukungan dengan tekan bintang, dan kasih saran saran :p

-Add to your reading list would be nice, All the love - Dinda

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro