Part 16 - Terbongkarnya
"Jadi kapan akan memulai tes itu lagi?" Aleena mengorek informasi dalam mengenai The Fort yang ia kira cukup ia ketahui, ada banyak ruang di sana dan sepertinya setiap ruanh memiliki rahasia berkaitan masing-masing.
"Tes Grance dilakukan setiap satu kali dalam setahun dan diselenggarakan setiap akhir Mei, itu artinya satu bulan lagi. Tes Grance ini sebenarnya hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah tinggal sangat lama di sini, minimal kau sudah berada tiga tahun di The Fort dan kau bisa berpindah grup," jelas Wolf. Ia meneguk minuman hangat, wajahnya telah memiliki kantung mata yang lumayan besar karena bergadang semalaman hanya untuk menjaga benteng, tak ada yang dapat ia lakukan lagi selain meminum kopi kemudian beristirahat setelah itu, siklus pekerjaan Tent.
"Kau dari dalam atau dari luar?" Aleena semakin rileks bercakap dengan Wolf. Dari tampangnya Wolf memang terlihat sebagai pria kejam, dingin dan tipe pria yang tak perduli bila disinggung. Namun ketika mulai mengetahui siapa dia dan bagaimana berinterikasi dia hanya sebatas pria pengantuk yang lelah berjaga. Awal pertemuan yang kaku berubah menjadi enteng bila bersama Wolf.
"Luar, aku sudah tiga tahun di dalam sini. Bagaimana denganmu?" Matanya mulai berkedip lamban.
"Well, jika kau tiga tahun aku baru dua bulan." Ia tahu Wolf mulai mengantuk, tapi suka membuatnya terjaga.
"Kau masih sangat 'segar'," Wolf tersenyum lebar tak memalingkan pandangannya dari Aleena, walau matanya kini serasa tertindih anak gajah.
"Maaf aku telah mengganggumu, kau seharusnya beristirahat bukan?" Ia terkekeh.
"Tidak apa, aku biasa tidur dari jam 7 pagi tadi. Aku bisa meluangkan waktu bersamamu," ucap Wolf dengan nada jenaka.
Aleena hanya tersenyum. "Aku harus pergi dulu." Aleena berdiri, namun terhenti sebelum ia sempat berjalan pergi.
"Bolehkah aku bertanya sesuatu?" Putus Wolf segera, memincingkan mata.
Aleena meneguk saliva. "Tentu," balasnya.
"Apa yang sebenarnya membuatmu keluar dari bunker?" Alisnya menyatu, begitu berkesan sangat penasaran.
Aleena terdiam sejenak. "Aku bosan."
"Mungkin kita bisa bertukar posisi, aku jadi Bunker's dan kau jadi Tent." Guyonnya.
Aleena tertawa. "Tidur saja Wolf, jadilah Bunkers untuk 3 jam ke depan."
Wolf menyandarkan kepala dengan senyum kecilnya, ia menutup wajah dengan sebuah topi koboi kemudian berangsur tidur. Aleena meninggalkan Wolf yang kini mulai tertidur.
"Aleena," panggil suara perempuan dari sisi kirinya, Aleena menoleh cepat.
"Ris? Ada apa?"
Ris masih berjalan dengan tenang. "Dia ingin menemuimu." Katanya.
Aleena bergegas, menyusuri jalan untuk kembali ke afdeling 1. Sembari ia menyusuri lorong afdeling ia kembali memastikan, rasanya tidak benar.
"Kau yakin dia ingin menemuiku?" Pasti Aleena kembali.
"Dia yang menyerahkan diri," singkat Ris pelan menuntun Aleena ke suatu tempat di dalam bunker, bukan lain bunker 3.
Setelah sampai di ambang pintu bunker 3, Aleena mencoba tak menatap langsung wajah Cadance. Cadance sudah terduduk di atas ranjang dan memegang sebuah buku yang selalu ia pegang dan ia sembunyikan di bawah bantalnya. Tak ada satu pun wanita di dalam ketika Aleena memandang, semuanya telah pergi meninggalkan Cadance setelah ia meminta privasi. Ris melihat Cadance datar, lalu ia berbalik dan menatap Aleena sekilas dan mengangguk memberi kode.
Kini hanya ada Aleena dan Cadance di ruangan itu, Aleena tak berbicara sepatah katapun menunggu Cadance, yang begitu pula wanita itu menunggu Aleena mengucapkan satu patah kata. Kepala Cadance tatkala tertunduk mengheningkan sesuatu, memandang sang buku tebal yang ia pangku di atas pahanya.
"Tutup pintunya," gerutu Cadance samar, Aleena hanya menatap sosok perempuan di depannya dengan dingin namun menuruti.
Tangannya dengan kuat menggeser pintu bunker dengan keras hingga terdengar bunyi dentuman di akhir menandakan bunker yang telah tertutup rapat. Ruangan menjadi lebih hampa dan sunyi tanpa suara-suara yang berhasil masuk ke dalam, menjadi lebih gelap namun masih mendapat pasokan cahaya dari lampu neon dan cahaya yang tembus melewati kaca di pintu bunker.
"Jika kau ingin mengetahui semua tentang bunker 6, berjanjilah kau tak akan menceritakan pada siapapun di luar sana," pinta Cadance.
"Mengapa kau mau menceritakannya padaku?" Gubris Aleena belum menjawab permintaan Cadance.
"Aku sudah ingin memberitahumu dan kau kini masih bertanya mengapa?" Cadance sarkatik. "Kau tak perlu menanyakan hal itu," sambungnya dan memalingkan pandangan ke arah buku.
"Apa isi bukumu?-"
"Kau belum berjanji," putus Cadance. "Kau harus berjanji, ini bukan sembarangan percakapan," ada ketegangan dan keseriusan yang kental di waktu tersebut.
"Apa dampak baik dan buruknya bila ini terbongkar? Kau mantan pemimpin, semua akan mengetahuinya juga," balas Aleena tak mau kalah.
"Bila kau ingin dihargai maka berilah kesempatan orang untuk berubah dahulu, waktu adalah harta bagiku, dan waktu di masa lalu adalah peti harta karun yang harus aku simpan baik-baik. Aku memberimu petanya, lalu kau memberitahu ke yang lain? Apakah kau kehilangan moral dan nurani terhadap harta seseorang?" Desis Cadance mengintimidasi.
Aleena merasa resah untuk tidak memberitahukan tentang bunker 6 pada siapa pun, namun ia teringat dengan perkataan Will saat itu untuk mendengarkan dan menuruti semua yang Cadance pinta, ia tahu sesuatu yang akan menuntunnya pada jawaban final.
"Okay," sahut Aleena pasrah.
"Chronicle Of The Lost Treasure."
Aleena terhenti dalam permainan fikirannya saat Cadance memberitahukan sebuah nama. Dari nama itu saja ada kesan tersendiri yang melekat, ada unsur-unsur lawas yang kental dari namanya.
Aleena memincing tajam. "Apa yang ada di dalam situ?"
"Sejarah," imbuh Cadance pelan dan melihat bukunya kembali, sampulnya kini telah terganti dengan cover baru.
Aleena sadar jika buku itu adalah buku yang dibicarakan oleh Robinson, buku di mana Phoenix menemukan benteng terkuat dan sangat efektif melindungi mereka dari ganasnya kehancuran dunia.
"Apakah itu buku yang dibawa Phoenix? Yang menuntunnya pada benteng ini?" Aleena sangat bersemangat.
Cadance mengerut samar. "Bagaimana kau tahu tentang Phoenix?"
Aleena terdiam tak ingin menjawab, membuat Cadance kini diterpa keheranan secara serentak, masih menatap Aleena tajam yang mengintimidasi.
Aleena berjalan satu langkah ke depan, namun berhenti lagi agar penjelasan dari Cadance dapat ia tangkap dengan jelas dan ia olah kembali menjadi suatu hal yang ia rencanakan.
Cadance berpaling dan menggerutu. "Kau tahu jika dia adalah orang yang sangat berjasa di dunia ini, tanpanya kita tak akan bisa menemui tempat ini atau bahkan menghirup oksigen sekalipun," jelas Cadance merenung.
"Ini bukan buku yang dibawa Phoenix, ini kembarannya. Ia membawa tiga buku yang sangat penting dalam perjalanan ke sini. Aku melihatnya ia berlari bersama buku itu yang ia simpan di dalam tasnya," jelas Cadance mengingat perjalanannya dahulu.
"Kau juga ikut menemukan benteng ini?"
"Aku telah bersama mereka ketika umurku 20 tahun, saat itu ayahku membawaku pada mereka. Aku dan ayahku telah berjuang mati-matian bertahan hidup di dalam rumah yang telah kami beri pagar sendiri tanpa ibu dan keluarga yang lainnya. Hingga mereka menjemput kami siang itu," jelas Cadance, ada bayang-bayang gambarannya mengenai kejadian saat itu.
"Pagi dan siang adalah satu-satunya akses menuju kebebasan, tapi malam adalah kematian yang menunggu. Jadi kami dibawa oleh mereka ke suatu tempat yang aman, di mana pagar melindungi kami dari zombie, kami cukup lama tinggal di sana sekitar tujuh bulan, hingga zombie yang berbeda datang. Mereka lebih kuat, cepat, mematikan, dan mereka pintar. Kami begitu kewalahan menghadapi mereka yang terus berdatangan, hingga keputusan bulat-bulat diambil untuk pergi dari tempat itu dan mencari yang baru."
"Paginya kami mulai berlari menuju perbatasan bersama sekumpulan orang yang tinggal di dalam, perempuan, laki-laki, anak muda, gadis kecil, tua, manula, tak ada yang boleh tinggal, kita semua harus pergi. Hingga kami memutuskan untuk beristirahat pada suatu perpustakaan ketika senja menjelang."
"Di dalam aku begitu ketakutan bersama ayahku, ia terus menenangkanku yang mulai terserang panik. Sampai suatu ketika yang aku tak tahu bagaimana Phoenix bisa mendapatkan buku itu, dia menunjukkan kami sebuah tempat yang berpeluang besar menyelamatkan kita, suatu tempat yang besar, cukup untuk menampung kita dan generasi-generasi selanjutnya. Hingga ia menyuruh kami untuk berjalan lagi paginya, ia berada paling depan, yang memimpin dengan beberapa pria lainnya."
"Kami selalu diserang berbagai jenis zombie, kami kelelehan dan kehausan di tengah hujan. Kita tak memiliki senjata apapun, sangat minim, sangat mendesak, dan sangat putus asa. Kita masuk lebih dalam ke hutan, dan akhirnya kita sampai pada tempat yang begitu luas," akhir Cadance datar, matanya hampa dan kosong mengingat kembali masa lalu yang tak bisa ia hapus dalam memori.
"Bagaimana dengan ayahmu?" Aleena melangkah maju lagi.
"Mati." Cadance meneguk saliva. "Dalam perjalanan ke sini," sambungnya lirih menahan tekanan batin yang ia simpan dalam-dalam.
Aleena kembali menyesal mendengarnya, ia sadar jika wanita di depannya telah banyak kehilangan orang yang ia sayangi, ibunya, ayahnya, suaminya, keluarganya yang ia tinggalkan, tentu saja Will tak mengatakannya. Luka wanita itu tak pernah pulih, bahkan susah untuk mengembalikannya utuh biarpun selang berpuluh-puluh tahun. Apa yang kau harapkan ketika semua orang yang kau cintai telah tiada?
Aleena mendeham pelan, menghilangkan kekakuan. "Jadi buku apa yang ia bawa selain itu?"
"Ini buku 2 dari tiga diantaranya, secara teknis sebenarnya hanya dua buku, yang ketiga adalah sebuah peta yang menjelaskan latak isi benteng ini. Tapi yang utama adalah buku 1, ada sesuatu, sesuatu yang penting." Gumam Cadance menerawang perlahan.
"Buku apa itu? Dan di mana sekarang?" Tanya Aleena gentar, ia semakin memuncak pada level 100 dalam ketegangan dan kepenasaranan, ini hal yang baru yang menuntunnya pada sebuah teka-teki.
"Chronicle Of The Lost Fort, Phoenix menghilangkannya."
"Menghilangkannya? Dengan sengaja?!" Pekik Aleena. "Bagaimana bisa?" Tambanya.
"The First Contiguity membunuhnya dan sang istri sebelum ia memberi tahu di mana buku itu berada pada orang lain, sebelum ia memberikan buku itu pada penerus pimpinan."
Cadance menghela nafas. "Aku berusaha mati-matian mencari buku itu, menurunkan banyak orang dalam misi mencari bukunya, namun mereka tak pernah mendapatkannya di manapun mereka membongkar, menggali dan menanyakan," desis Cadance dingin, tangannya mengepal di atas buku dan bergetar hebat karena genggamannya.
Aleena menghela nafas penat sama. "Jadi tanpa buku 1 itu kita tak bisa bertahan lama?" Aleena bergetar.
"Tidak, kita bisa bertahan jika kita bisa dan lebih pintar mengambil kesimpulan. Hanya saja jika buku 1 itu ditemukan aku mungkin bisa belajar banyak," jelas Cadance.
"Apa buku itu juga ada hubungannya dengan bunker 6?" Aleena memancing pembicaraan pada topik yang ia tuju.
Cadance menoleh cepat dan menatap Aleena kejam. "Kenapa kau ingin tahu tentang bunker itu?" Pekik Cadance kesal. Bunker 6 memang membuatnya selalu resah, karena hubungannya menyangkut-paut terhadapnya.
"Aku hanya ingin tahu saja, aku tak akan membuka pintu itu, aku hanya ingin mengetahui ada apa di dalamnya dan mengapa mereka menguncinya, itu saja," jawab Aleena tenang, memelankan temponya.
Cadance terdiam begitu lama, kepalanya mulai berdenyut hebat jika mengingat hal itu, mengingat bagaimana kedua orang itu masuk ke dalam sana. Semua teriakan itu, semua lolongan kesakitan itu, suara deru senjata, tangisan keras, dan guyuran hujan.
Namun ia kembali menguatkan batinnya untuk tidak terjebak pada masa lalu, ia berusaha untuk melepaskan kepenatan dengan cara memberi tahu Aleena tentang ini, ia melihat sosok penasaran dan berjiwa tegas pada sosok perempuan di depannya, ia menaruh percaya pada Aleena. Ia harus melepaskan semua di dalam kepalanya sebelum meledak di sana.
Cadance terdiam lalu dengan gerakan pelan ia menaruh sang buku di sampingnya, badannya berputar ke belakang dengan tangannya merogoh bawah ranjang dan mencari sesuatu di bawah sana, hingga ia mengeluarkan secarcik kertas kusam. Tangannya memanjang menyuguhkan pada Aleena tanpa satu kalimat pun.
"Lidahku menjadi batu untuk menceritakan semuanya, jadi aku menulis apa yang aku fikirkan. Semuanya ada di sana, aku harap kamu pahami." Cadance menatap Aleena hampa, sehampa hidupnya kali ini. "Seperti yang kau fikirkan nantinya bila membaca itu, aku hanya manusia, aku membuat kesalahan, dan aku menyesalinya. Aku tak bisa mengulang waktu, jadi aku menjadikannya pelajaran," ungkap Cadance.
Aleena terdiam lagi, mengimbangi permintaan Cadance dengan faktor-faktor lainnya yang dapat memicu prasangka buruk terhadapnya. Namun ada hal yang lain, mengingat Cadance adalah salah satu orang terlama yang menetap di The Fort, ia menjadi hilang kesabaran untuk menanyakan masalah yang Aleena pendam. Harapan satu-satunya adalah, Aleena tahu ada apa dengan dirinya sebenarnya, karena yang ia tahu semua tubuhnya tak berfungsi dengan baik. Otak, jantung, otot-ototnya, lalu ada Deja Vu.
"Apa kau tahu tentang kesalahan yang terjadi padaku, Will bilang ada sesuatu terhadapku."
Cadance yang tersentak begitu berdebar, jantungnya sakit, kepalanya berputar, ia sangat shock.
"Tunggu." Wajahnya berekspresi baru pertama kali melihat makhluk asing. "Kau gadis itu?!"
Aleena mengakui respon Cadance sangat berlebihan, namun difikir-fikir lagi, ini masalah baru yang datang pada Aleena.
"Aku fikir eksperimen itu gagal," gumam Cadance, ia meringkuk di atas kasurnya, memegang kepalanya dan tertunduk aneh.
"Shit," desis Aleena. "Ada apa denganku?!!" Aleena berkeringatan. "Cadance!!" Jeritnya.
"Oh my god! Apa yang kalian lakukan padaku dahulu? Kalian menyembunyikan sesuatu! Will menyembunyikannya juga selama ini! Aku hidup kembali?! Apa? Dari kematian? Dari tidur?!" Aleena bertanya berulang kali.
"Apa aku ini?!" Kini nadanya mulai menukin tinggi.
"Besok aku akan menceritakannya dan kita akan bertemu Will, secara rahasia. Sekarang keluarlah, aku yakin kau lelah," singkat Cadance pelan, menstabilkan emosinya yang naik-turun.
"Tapi-"
"Keluar!" Cadance menjerit. Ia lebih ketimbang bingung dari pada marah.
Aleena mematung di tempatnya kini, sorotannya menuju satu-satunya hal yang membuat Aleena bingung yaitu Cadance, yang kini meringkuk dalam jutaan keterkejutan di fikirannya.
Aleena kini pasrah dan menggeser pintu bunker keras tanpa menutupnya. Ia kini berjalan sangat cepat hingga bisa dibilang dengan berlari, bukan menuju bunkernya melainkan keluar afdeling lagi. Matanya mulai berkaca-kaca sembari berlari, Ris yang saat itu duduk hanya bingung mangapa Aleena tertunduk dan berlari seperti itu setelah keluar dari bunker.
Aleena begitu terpukul menerima kenyataan jika ia memang benar-benar tak normal. Kakinya berlari cepat membuka pintu afdeling satu dan mencari lokasi untuk tempat ia menangis sendiri, tubuhnya membelok ke kanan cepat sambil berlari hingga ia bertabrakan dengan tubuh seorang pria.
Yura tersentak dan memegang pinggang Aleena keras membuatnya tak akan jatuh kali ini. Kening Yura mengkerut bingung melihat Aleena kini telah bercucuran air mata.
"Apa lagi yang terjadi Aleena?" Yura begitu khawatir, akhir-akhir itu ia sering mendapati Aleena sedih. Hanya mendengar pertanyaan Yura Aleena kini lebih bergelinang air mata dan seketika lolos dari mata hijaunya.
Yura menatap Aleena begitu intens dan khawatir, hingga Aleena memeluknya erat menempelkan pipi meronanya di depan dada Yura dan terisak berat. Isakan tangis Aleena membuat Yura ikut dalam momen kesedihan, tangannya dengan ragu membelai rambut brunnette Aleena begitu tenang. Yura berusaha untuk menenangkan Aleena, walau tanpa ia tahu apa yang membuat Aleena begitu terisak hebat kali ini.
******
-Terima kasih untuk membacanya, mari kita gantung kembali wkwk. Kalau ada yang mau ditanyakan silahkan komentar atau komen apapun yang membangunkan semangat ku menulis lagi.
-Vote! Kan udah selesai ceritanya :p and add to your reading list would be so nice!! All the love - M.D
AN :
Buku 1 : Chronicle Of The Lost Fort
Buku 2 : Chronicle Of The Lost Treasure
Buku 3 : (go to next-next-next part and read!!)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro