Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 13 - Sejarah

Kebiasaan sakit yang mulai tumbuh di tubuh Aleena membuat prihatin dirinya sendiri, ketika malam hari Aleena terserang demam dan pagi harinya turun. Ia mulai memimpikan alam lain, di mana awan gelap datang dari arah barat seperti membawa segenggam besar hujan yang besar. Ia memimpikan keadaan di luar The Fort, hutan mengelilinginya sangat luar biasa mencekam hingga siapapun tidak mampu keluar dari The Fort, dan malah membuat kekhawatiran tersendiri.

Ia tinggal di arena terkecil di antara arena-arena lain, itulah taman bermain dirinya dan semua orang yang akan mereka mainkan sampai lelah. Tak memikirkan bagaimana jika bukan mereka yang lelah bermain, namun bagaimana jika taman itu hilang dan mereka ingin bermain lagi?

Orang-orang The Fort mengandalkan kekuatan, 80% dari mereka adalah pengguna otot dan sisanya ialah otak. Tak banyak yang mampu memimpin, tak banyak yang mampu menggiring. Mereka yang mengerti ialah mereka yang terkenal. Sebagian besar menurut atas perintah pimpinan-pimpinan, mereka tidak mengerti harus bagaimana sehingga mendengarkan dan menjalankan bukanlah jalan yang buruk bagi seseorang.

The Fort sudah 11 tahun lebih berdiri, di angka 1 The Fort begitu terpuruk dan menderita luar biasa, kecamuk menggoyangkan pilar kekuatan The Fort dan orang-orang dahulu. Di tahun kedua The Fort lebih buruk dan kacau. Perlahan walau sulit semua bangkit, menata satu demi satu bata setinggi mungkin dan sekokoh mungkin, menempelkan ide-ide untuk menetapkan benteng itu menjadi tempat teraman dari para makhluk-makhluk liar. Hingga kepuasan dapat dirasa diujung lidah, aroma keberhasilan sudah terendus samar, buah keberhasilan manis dirasa.

Di luar, belum cukup dikatakan normal. Setiap sudut akan berakhir dengan tembok besi tinggi, seperti penjara. Jika keluar dari penjara mereka akan dikejar, ditangkap, lalu mati, tentu oleh organisme yang berbeda. Di Base nampak tak banyak aktivitas, tak banyak orang, dan tak banyak gangguan. Base hanya dihuni Afdeling, -tempat tinggal para Bunkers- ruang-ruang kosong yang ditinggal, pepohonan, tanah tandus, lahan, dan sedikitnya rumag gubuk para pekerja, Ridcloss.

Aleena berjalan menghampiri setiap sudut bagian Base tak tahu arah intinya, mengambil kesempatam tiada ada siapapum yang mengganggu ketenangan terutama para Tent yang suka mengeluarkan bunyi gaduh, baik dari senjata mereka atau mulut. Ia terhenti ketika melihat jajaran pohon yang dengan tenang, kemudian ketika ia melihat tembok besi di belakangnya rasanya kekecawaan itu menertawi. Ke manapun ia akan melihat tembok sebagai pembatas, batasan yang diberikan sejak dahulu.

Ia kembali lagi dan berhenti ke suatu ruangan yang sering ia kunjungi, namun kali ini penuh pertimbangan. Ketika ia masuk di sisi kirinya nanti akan ada sebuah tangga gelap, lalu ketika ia berada di atap pemandangan itu akan mengingatkannya kembali dengan mimpi buruk itu.

Rasa perlawanan harus dicobanya, itu seperti membangun kekuatan baru dan membunuh ketakutan. Ia masuk ke ruangan, gelap di dalam tanpa lampu, ia naik ke tangga dengan hati-hati dan bisa mendengar bisik angin kencang masuk ke dalam ruang besi tersebut. Sesampai di atas ia menarik nafas dan tanpa buang waktu menggapai sisi pinggir atap untuk melihat.

Cukup mendebarkan, namun setelah Aleena lihat tak ada bangkai Molk sepanjang mata melirik, hanya abu hitam dari Molk yang dibakar habis oleh para Tent, tak ada bau anyir darah sepanjang tarikan nafas hanya bau angin hutan, tak ada lolongan srigala seperti halnya malam hari, hanya kicauan burung dan serangga yang terdengar.

Aleena membersihkan kuku-kuku sendiri sambil duduk menatap pemandangan di arah utara yaitu menara Gloetik dengan gerbang Sega.

Sejentik jari hati kini terasa sangat tegang yang kentara ketika ia melihat urat nadinya di pergelangan tangan kiri, memutar ulang kembali kegundahannya akan hal itu.

"Kegagalan?" Gerutunya. "Hidup kembali?" Ia ingat dengan kalimat itu.

"Apa Will menyembunyikan semua itu dariku selama ini?" Ia seolah berbincang pada dahan di atasnya. "Mereka melakukan apa padaku? Pada tubuhku?" Ia mengingat kanehan diseluruh tubuhnya, namun tidak ada.

Aleena merasakan pilu akan kenyataan hidup saat teringat tak memiliki kedua orang tua, ia tak ingat sama sekali dan ia tak bisa mengenang apapun itu. Ia selalu bertanya di mana orang tuanya sekarang, apa peluang hidup mereka masih ada?

Ia menduga selama ini kehidupannya penuh dengan kedustaan, ia dibesarkan oleh kedustaan dan diberi makan yang lebih buruk. Gelisah dirasanya bila mengingat tentang masalahnya dan Will, dan saat berfikir terlalu keras kepalanya kembali sakit.

Masalah yang selalu menyeret Aleena tak membuatnya tunduk patuh dan menyerahkan semua yang ada pada nasib. Itu bahkan membuatnya lebih siap dalam menerima segala macam cobaan nantinya, ia belajar dari masa lalu.

Walaupun ia tersesat pada labirin masalah, ia selalu dapat menemukan dirinya sendiri, asalkan membuka mata dan hatinya.

"Aleena." Panggil seseorang pelan, menjaga temponya agar tak mengganggu Aleena yang tengah sendiri.

Aleena menghapus segera genangan air mata dan menoleh. "Ris?" ia menatap pilu Ris, langkah Ris pelan menyusul Aleena dan duduk di sampingnya, memandang Aleena turut bersedih.

Ris merangkul lengan Aleena yang kesepian dan menyandarkan kepalanya di pundak Aleena penuh kasih sayang yang tiada tara, setidaknya Ris merupakan satu-satunya gadis yang berani menginjakkan kaki di tanah, Ris tidak jauh berbeda dengan Aleena.

Mereka berdua kesepian, merindukan seseorang yang tidak mereka tahu, ketakutan, tidak memiliki harapan, dan memiliki mimpi, angan-angan mengenai kehidupan yang cerah.

"Apa yang kau fikirkan ketika memandang langit?" Ris kebetulan memandangi langit ketika memeluk lengan Aleena.

"Harapan." Aleena melihat satu awan mungil di antara lautan langit biru.

"Jika suatu saat kita bisa pergi bersama menjalani sendiri hidup normal di antara kerusakan dunia, apa yang akan kita lakukan?" Ris serius, ia masih memeluk pergelangan tangan Aleena penuh ketulusan.

Aleena kembali menatap hampa langit. "Itu pertanyaan tersulit sejauh ini, bagaimana jika aku yang menanyakan hal yang sama terhadapmu?"

"Jika aku bisa hidup normal aku ingin sekali memiliki sebuah kolam, dan merasakan berenang," balas Ris polos, Aleena tersenyum refleks mendengar jawaban seorang gadis kecil.

"Bagaimana denganmu?" Lempar Ris.

Aleena berfikir sejenak. "Aku akan berusaha mencari beberapa orang yang bertahan hidup dan menghentikan semuanya, itulah hidup normal, bagiku."

"Lalu The Fort akan menjadi ramai." Simpul Ris. "Umm.. siapa sebelumku?" Ia melepaskan pelukan tangannya.

"Seorang pria, dia kini seorang Upper," jawab Aleena tenang.

"Bagaimana kondisinya dan keadaan di luar sana ketika dia ditemukan?" Ris menekuk kakinya dan memeluk kaki erat.

"Tak ada yang tahu bagaimana percis keadaan orang yang ditemukan di luar sana, hanya Savagery yang tahu benar, dan kau tahu sendiri mereka tak pernah terlihat sama sekali, mereka mengurung diri di suatu singgasana rahasia di Nest." Aleena memandang hamparan hutan hijau di depan.

"Savagery?" Kening Ris mengerut bingung.

"Apa aku sudah memberitahumu saat itu tentang grup satu ini?" Aleena sadar akan kebingungan Ris.

"Sepertinya belum, yang kau jelaskan hanya Orvos, Uppper, Bunker's, dan Ridcloss," tutur Ris.

"Baiklah, Savagery adalah suatu kelompok kecil yang memiliki derajat tertinggi di sini, kau bisa mengenali dari pakaian serba hitam. Mereka ada diprioritas paling atas mengalahkan Upper, dan paling dihormati di sini. Savagery memiliki tugas terberat dari yang terberat yaitu keluar dari The Fort, Upper dan Orvos sangat mencintai mereka, karena bila mereka menginginkan suatu barang atau benda, mereka akan menyerahkan pada Savagery untuk mencarikannya di kota luar, sebab itulah Savagery sangat sedikit karena banyak yang terjebak di luar sana." Aleena berhenti sejenak memberi ruang agar Ris dapat bertanya.

"Jadi Savagerylah yang bisa keluar dari sini?"

"Bukan hanya sekedar keluar, mereka pencari, penemu, pelari, pemberani, dan pembunuh. Penuhnya The Fort bukan lain berkat mereka sejak lama, Yura bilang semua Savagery yang ada sudah tinggal di The Fort sejak pertama kali ditemukan! Namun kurasa tak sebanding dengan berapa banyak nyawa para Savagery yang melayang hanya untuk merelakan satu nyawa demi mencari beberapa orang lain di luar sana," mata Aleena kini menatap sinis jajaran pepohonan tinggi di hadapannya.

"Mengapa hanya Savagery yang boleh keluar? Mengapa tidak menaruh banyak Tent dan mencari bersama? bukankah itu akan lebih menguntungkan?"

"Logika yang bagus Ris, sayangnya tidak sembarang orang yang dapat keluar dan tidak sembarang orang yang bisa menjadi salah satu Savagery, tidak harus kuat dan fit, mereka harus lincah dan cerdas, karena mereka berhadapan dengan ratusan makhluk liar dan tanpa strategi mereka akan gagal. Savagery jelas lebih hebat daripada Tent, kau bisa membayangkan kehebatan mereka bukan?"

"Berarti kau, aku, dan beberapa orang lainnya ditemukan oleh Savagery?"

"Yaap."

"Berapa jumlah mereka?" Ris penasaran layaknya Aleena.

"Tidak banyak," balasnya. "Para Upper harus cermat-cermat memilih calon Savagery untuk dapat mulai 'bekerja'. Lagi pula menjadi Savagery sama dengan mengorbankan nyawa semata-mata mengabdi pada dunia, siapa yang siap dengan hal itu? Savagery orang terberani, ternekat dan tersegani di sini, mereka tak kenal takut akan segala hal, karena itulah sulit mencari Savagery baru," ucap Aleena kini lebih tenang.

Ris mengangkat bahunya ringan. "Aku bertanya-tanya siapa yang menemukanku dan bagaimana rupaku saat itu ketika aku ditemukan." Ia mengingat pria itu, namun tidak dengan namanya.

"Aku juga," gumam Aleena, matanya menerawang jejeran pohon dan semak belukar di depan.

"Apa hanya itu saja yang ingin kau lakukan ketika normal nanti?" Tanya Ris kembali memutar jauh topik pembicaraan.

"Sangat banyak Ris, salah satunya memiliki keluarga," ucapnya tersipu malu.

Ris kali ini setuju. "Keluarga, terdengar seru." Ris tersenyum geli dan membayangkan dirinya bersama seorang ayah dan ibu. "Berapa umurmu Aleena?"

"Dua puluh." Aleena tersenyum lebar kali ini hingga memunculkan titik lesung pipit di samping bibir kanannya sangat menawan. "Hey! Ayo ikut aku, aku rasa aku punya ide," ajak Aleena mendapatkan ide sembari berusaha berdiri dan mengulurkan tangannya di depan Ris.

"Apa yang akan kita lakukan?" Ris sudah berdiri dan menyapu bersih celananya namun ia nampak bersemangat luar biasa.

"Kau tak ingin tahu berapa umurmu? Kau pasti tak ingat kan?" Aleena berjalan untuk turun ke bawah diekori Ris yang bersemangat.

Cahaya begitu terang benderang dengan angin deras yang menerbangkan debu tanah. Aleena menggiring Ris menuju Base bagian belakang.

"Tuan Robinson!" Sapa Aleena ramah setelah memasuki pondok yang kali ini berbeda, pondok di mana ia pertama kali membawa Ris untuk mencari nama barunya. Pondoknya sangat berbeda terbuat dari kayu yang tersusun sangat tradisional setiap isinya, pondok itu tak terlalu jauh dari afdeling.

"Oh, Aleena dan Chriselda?" Robinson tersenyum tulus melihat Aleena masuk dengan senyum yang mengembang indah, tangan Robinson mengambil satu keranjang besar dari bawah meja dan menaruhnya di atas meja.

"Tuan Robinson ingin pergi?" Tanya Ris kini.

"Ya aku baru mau pergi, ada apa?" Balasnya ramah dan kini mengambil beberapa alat seperti gunting rumput, cangkul, dan sekop.

"Maaf kami mengganggumu, apa kau bisa melakukan sihirmu pada Ris untuk mengetahui umurnya?" Tanya Aleena dengan sedikit gurauan.

"Tentu, kemarikan tanganmu" ia melipat-lipat jari kode meminta tangan Ris. Ia duduk di belakang meja sambil memegang telapak tangan kiri Ris, jari-jarinya lihai mengelus sepanjang garis telapak tangannya dan menyimpulkan senyum-senyum kecil.

"Bagaimana kau bisa tahu ini?" Tanya Ris pelan, menahan rasa geli yang dirasa pada bagian telapak tangan kiri.

"Ini disebut Palmistri, berasal dari astrologi India dan ramalan Romawi. Tujuannya adalah untuk mengetahui karakter seseorang atau umur seseorang dengan mengamati garis tangannya," jelas Robinson tersenyum ramah namun masih mengamati garis tangan Ris sangat mistis.

"Hmm lihat ini, garis paling atas ini antara jari tengah dan kelingking yang terputus, garis terputus artinya memiliki trauma emosional," jelas Robinson masih membelai sepanjang garis telapak tangannya, Ris hanya bergumam dari dalam hati seperti mrngerti.

"Garis di tengah yang ini terpisah dari garis kehidupan artinya suka bertualang, memiliki semangat besar dalam hidup," mendengar itu Aleena melirik dan tersenyum pada Ris penuh makna dan dibalas senyum tersipu malu Ris yang tahu maksudnya.

"Garis kehidupan ialah yang paling bawah ini, ini melengkung pesat seperti lingkaran artinya kuat dan bersemangat." Ris tersenyum-senyum sendiri menikmati sentuhan tuan Robinson menjelajahi telapak tangan Ris.

"Jika kulihat garis kerutan di antara telunjuk dan jempolmu, kau berumur 13 tahun," ringkasnya.

"Aku kira kau 10 tahun," gubris Aleena tersenyum tulus.

"Terima kasih tuan Robinson, kau sangat hebat dalam masalah ini," puji Ris yang kini tuan Robinson dibuat tersipu malu.

"Sama-sama Ris, kau mau juga?" tawar Robinson pada Aleena.

"Tuan Robinson, kau sudah meramalku waktu itu, aku masih 20 tahun," balas Aleena tersenyum ramah tersirat jenakaan di kalimatnya.

"Ya tapi aku belum memeriksa tentang garis kehidupan kan? Aku baru mempelajarinya!" Ia tertawa, dengan memaksa Robinson kini meminta tangan kiri Aleena, ia pasrah dan memberikan tangannya.

Robinson melakukan hal yang sama dengan Aleena, memperhatikan garis tangannya satu per satu sembari mengelusnya.

"Hmmm menarik, garis paling atas ini diawali di tengah dan tak panjang, artinya mudah jatuh cinta."

Jelas Robinson yang kini membuat Aleena terdiam, wajahnya benar-benar merah tersipu malu, ya Aleena mengakui sendiri akan hal itu karena hatinya yang terlalu sensitiv akan masalah percintaan, tak hanya Robinson yang tersenyum pada Aleena namun Ris sama halnya.

"Yang tengah ini sangat terlihat jelas, garis panjang yang dalam, artinya dapat berpikir jernih dan fokus," jelas Robinson kini memindahkan jari-jarinya di garis paling bawah.

"Terputus, artinya mengalami perubahan mendadak dalam gaya hidup." Robinson menatap datar Aleena dan berpaling cepat.

"Baiklah, terima-"

"Tunggu belum selesai," putus Robinson menarik tangan Aleena lagi.

"Bukankah hanya 3 garis?" kini Ris menyela.

"Belum, masih ada lagi. Jika kau melihat telapak tanganmu dan ada garis lain selain 3 garis utama itu, garis itu dikenal juga sebagai garis takdir dan menandakan seberapa besar kehidupan seseorang terpengaruh oleh kondisi eksternal yang tidak dapat dikontrolnya. Garis ini diawali di bagian bawah tangan, garisnya menyentuh ketiga garis di telapak tangan. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki garis ini keempat ini, sangat langka," jelas Robinson menatap Aleena kini penuh makna.

"Hmmmm," gumamnya panjang, kini ia melepaskan tangan Aleena, Ris dan Aleena menunggu jawaban yang hanya Robinson ketahui.

"Garisnya bergabung dengan garis kehidupan di bagian tengah, menandakan titik di mana keinginan seseorang harus dikorbankan untuk keinginan orang lain," jelas Robinson kini sangat datar, auranya kini sangat mistis membuat Ris melemparkan tatapan dingin pada Aleena yang terpana dan bingung akan artinya itu.

"Baiklah sepertinya kita sudah selesai bukan?" Robinson menyimpuni lagi peralatan bercocok tanamnya. "Aku akan pergi mengambil beberapa tanaman dan bahan pakan," ia berjalan keluar dari balik mejanya.

"Di mana?" Tanya Ris menghentikan Robinson.

"Kalian mau ikut dan membantu?" Tanya Robinson menoleh mengajak pada sosok gadis-gadis muda yang tengah duduk menatap pria paruh baya itu.

"Apa kita boleh ke sana?" tanya Ris kini berdiri.

"Tentu boleh, itu bukan bagian Nest kan?" Robinson memutar bola matanya dan dibalas kekehan Aleena dan Ris yang mengerti akan ejekannya lalu mereka mengekori tuan Robinson sampai pada suatu lapangan luas.

Lapangan itu sangat luas ke mana mata memandang, Aleena jelas tak pernah melihat ke sana karena memang tak ingin. Banyak hamparan pohon buah-buahan yang berdiri kokoh, banyaknya sayuran-sayuran yang ditanam di sepanjang lahan basah itu.

"Ini Grassandor, inti dari bagian Base. Kami para Ridcloss melakukan tugas kami di sini mananam, berternak, memanen, dan yang lainnya," jelasnya sambil berjalan diekori Aleena dan Ris yang masih terpana akan hamparan luas lapangan di mana tembok besi yang menjulang tinggi sangat terlihat mengelilingi lapangan itu.

Banyaknya pria Ridcloss berbagai usia berlalu-lalang membawa keranjang, ada yang membawa cangkul dan alat-alat lainnya yang disandarkan di pundak mereka, dan beberapa dari mereka juga terlihat menanam dan memetik beberapa sayur di lapangan seluas taman itu.

Di bagian paling kanan Grassandor terpampang banyaknya hewan ternak yang berkeliaran dan yang terkurung seperti ayam, domba, sapi dan bahkan kuda yang memakan rerumputan.

"Ada Tent?" Gubris Aleena masih mengekori Robinson.

"Tentu saja, mereka menjaga setiap sisi bukan?" Balas Robinson tersenyum masih menggandeng keranjangnya menuju penghujung sisi The Fort untuk mengambil tanaman.

"Para Orvos juga meminta kami memanan berbagai jenis tanaman obat, di sinilah titik pusat kehidupan mereka," selip Robinson kembali.

"Bukankah para wanita bisa melakukan hal ini juga?" Balas Aleena.

"Jangan memulai Aleena," senggol Ris pelan dan Aleena hanya terkekeh.

Mereka bertiga sampai pada tujuan, berbagai barisan tanaman yang mulai ditumbuhi buah tomat mini ada di sekitar mereka, sangat segar warna merah dari tomat yang tumbuh.

Di samping Aleena jelas sekali kerasnya tembok besi yang menjulang ke atas hingga dapat memutar kepala 90 derajat hanya untuk melihat ujungnya.

"Tak perlu takut, tak ada yang bisa memanjat dinding ini," tegur Robinson memukul-mukul temboknya, mengerti akan tatapan Aleena yang sedari tadi tercengang dengan pemandangan sisi kirinya.

Bukan itu yang dipermasalahkan Aleena. Hanya saja, sesuatu seperti menyengat otaknya, ada gambaran samar membuatnya semakin bertanya-tanya memori apa itu? Seperti ia akan atau pernah melihat sesuatu dari tembok besi tersebut.

"Jadi apa yang bisa kami bantu tuan Robinson?" Ris memulai.

"Umm Ris kau bisa memetik tomat yang matang dan menaruhnya di dalam keranjang ini, dan Aleena bisa kah kau merapikan gundukan tanah di sebelah sana dengan cangkul?" suruh Robinson pelan.

Aleena terbangun dari ambang lamunanya. "Okay," jawabnya bersamaan dengan Ris, mereka mulai pergi ke spot masing-masing, Aleena mengambil cangkul dan menyeretnya lalu pergi ke suatu barisan tanaman yang belum tumbuh.

Tangannya dengan kuat mengayunkan cangkul ke gundukan tanah yang menggumpal, menarik tanahnya secara berulang kali agar air dapat menyerap ke tanah dan membasahi tanaman dan cahaya matahari dapat menyinari setiap bagian.

Sudah beberapa menit mereka melakukan pekerjaan, keringat bercucuran perlahan seraya matahari menyinari tubuh, sepoi-sepoi angin menerbangkan rambut Ris dan Aleena dengan bersamaan, membuat suara desiran rumput dan dedaunan yang mengalun indah ketika di dengar.

Ketika Aleena menunduk ia mengambil rambut yang sebagian terurai di samping pipi dan menyelipkan di belakang telinga lalu dengan kuatnya menarik beberapa gundukan tanah lagi.

Langkah kaki tuan Robinson terdengar mendatangi Aleena yang sudah sangat serius dengan pekerjaannya.

"Bagaimana Aleena menjadi seorang Ridcloss?" Dua jiwa itu kembali mengumbar beberapa kata, meninggalkan Ris yang terlihat sedang berbincang pada seorang pria di sebelahnya.

"Cukup lelah." Aleena terkekeh.

"Di luar sana banyak yang sudah tak bersisa dan bahaya yang telah menunggu, aku memberi tahu ini hanya karena aku tak mau kau melukai dirimu sendiri walau membunuh satu Molk," ujar Robinson menyentuh temboknya.

Aleena tercengang, menatap dengan mata membulat. "Ba- bagaimana kau bisa tahu?" Tanyanya nanar.

"Yura menceritakan padaku, Sweet Lena kau tak tahu bagaimana sulitnya mencari tempat berlindung ini dari para zombie dan makhluk itu, jadi baiknya kau lebih kerasan di dalam sini dan berhati-hati," pinta Robinson pada wanita muda yang terpaku.

"Maafkan aku, aku akan berusaha." Katanya menyesal. "Tuan Robinson, apa kau tahu siapa yang menemukan tempat ini dulunya?"

"Tentu, semua orang tahu dia, pria kekar dan cukup sehat untuk bertahan hidup, dulunya ia membawa banyak sekali orang untuk pergi mencari tempat yang aman, dengan misi memiliki tempat tinggal yang tak dapat dimasuki oleh para zombie yang selalu mereka temui."

"Suatu hari dalam perjalanan panjang, mereka bertemu pada suatu perpustakaan besar di kota dan memutuskan untuk bermalam di dalam, saat masuk mereka bahkan masih bertemu dengan zombie yang sudah berkeliaran, beberapa dari mereka menebaskan pisau dan tombok dengan membabi buta ke jantung dan kepala tak tahu arti kata ampun, dan membersihkan seisi perpustakaan hingga bersih seutuhnya setelah itu."

"Beberapa orang secara bersamaan menaruh bangkai zombie ke dalam suatu ruangan dan mereka menguncinya. Saat malam menyongsong banyak dari mereka yang tidur dengan dihantui rasa takut, tanpa selimut, berbantalkan buku, saling menjaga, dan menghangatkan diri dari perapian yang terus menyala di setiap puluhan buku usang yang dibakar, dari mereka secara bergantian berjaga dan tidur di lantai dasar, namun tidak pada seorang pria."

"Ia menjelajahi ruang demi ruang, rak buku demi rak buku dengan obor di tangannya sebagai pencahayaan di gelapnya ruangan, sampai ia bertemu satu rak bertuliskan History." Robinson mengambil nafas dulu namun selang diputus Aleena.

"History?"

"Rak itu berisi banyak buku mengenai sejarah ratusan abad, puluhan abad, berabad-abad lalu di mana dunia dari traditional menjadi modern lalu menjadi canggih, entah apa yang membuat hatinya dengan tenang membaca buku-buku itu satu per satu dalam keheningan. Ia putus asa, hasratnya hanya ingin menemukan tempat tinggal agar kelak ia tak akan berpindah-pindah tempat lagi. Namun ia tahun artinya tempat itu haruslah kuat."

"Ia duduk di lantai dan membaca satu buku di mana pada satu lembarnya dijelaskan ada sebuah benteng Jerman, benteng yang tak pernah ditemukan, diasingkan dan disembunyikan, benteng itu tersembunyi dibalik luasnya kota, lalu pria itu terus membalik-balik lembaran usang namun tak kunjung menemukan gambaran peta di mana benteng peninggalan penjajahan Jerman itu berada."

"Tak puas dengan pencapaiannya ia mencari kembali hal-hal yang berkaitan dengan benteng itu di setiap rak, mengobrak-abrik, meluluh-lantahkan setiap buku ke lantai, namun ia tak kunjung menjumpainya."

"Hingga pada titik terendahnya ia kembali pada buku tebal itu dan membantingnya ke lantai. Entah bagaimana cara bekerjanya namun ketika ia melihat kembali lebih jelas pada buku yang tertutup rapat itu, pada bagian pinggiran luar buku ia melihat sesuatu yang ganjil, sampulnya tersobek dan memperlihatkan kertas coklat yang terawang dari sinar api obor, keberuntungan benar-benar bersamanya saat itu, ketika dia merobek seluruh sampul buku ia menemukan dua lembaran kertas yang dilipat menjadi kecil."

"Satu kertas yang ia buka menjadi sangat lebar ketika memperlihatkan peta kota yang menunjukkan di mana benteng itu berada, sangat jauh namun cukup ditempuh untuk mereka."

"Bagaimana kertas lainnya?" Putus Aleena.

"Tak ada yang tahu lembaran apa, ada yang bilang itu hanya paduan mencari benteng, ada yang bilang itu hanya tulisan tangan tentang sejarah benteng itu, dan beberapa juga bilang jika itu peta yang lainnya."

"Ada juga yang bilang bila buku yang ia temukan hanya satu cetakan, tidak ada cetakan lainnya. Karena dilihat dari tulisan di dalam buku itu berupa tulisan tangan, yang berarti itu milik seseorang," tambah Robinson kembali, nadanya penuh penghayatan membalik masa lalu.

"Lalu pagi itu juga ketika hujan mengguyur sangat deras, kilatan petir menyambar, deruan angin yang kencang mereka memulai pencarian mereka mati-matian dengan dipimpin oleh pria itu, mereka berlari berpuluh-puluh kilometer melewati hutan, jembatan, lalu kota, dengan banyaknya zombie yang mendatangi mereka kala itu, tak banyak yang selamat dari mereka karena serangan mematikan kala itu benar-benar pembantaian besar-besaran di mana manusia melawan zombie, hingga mereka menyisakan sekitar 50 orangan.

"Sang pemimpin mengikuti peta itu dan sampai pada satu hutan, mereka sempat cemas akan kepastian peta tersebut, namun petir dan derasnya hujan kembali memaksa mereka untuk terus berlari menginjakkan langkah-langkah baru dan masuk lebih dalam di hutan.

"Mereka tak pernah beristirahat, makan atau setidaknya berjalan, mereka terus berlari walau wajah mereka terlukai oleh dahan-dahan tajam, walau kaki mereka terus tersandung akar pepohonan, walau jiwa mereka sekarat, walau mereka terluka parah, walau banyaknya zombie yang masih mengejar mereka tak pernah mati, mereka terus berlari hingga mata setiap kelompok itu tertegun sejenak melihat tinggi dan begitu besarnya benteng itu."

"Tanpa fikir panjang mereka menuju pintu utama dan mencari kunci atau sesuatu untuk membukanya, beberapa dari mereka berusaha membunuh para zombie dan sebagian besar mendorong penuh tenaga pintu berat itu. Ketika terbuka sang pemimpin menyuruh mereka masuk dan menahan pintunya, sebagian mencari jalan untuk membunuh para zombie dari atas hingga satu hari penuh, tak menyisakan satu zombie pun di luar."

Sepoi angin kencang yang menyentuh lembut wajah Aleena dan menerbangkan rambutnya seakan ikut merasa tegang dengan cerita Robinson, Aleena layaknya anak kecil yang sedang mendengarkan dongeng masa lalu yang benar-benar terdengar sangat mustahil, hanya mendengar cerita sejarah bagaimana benteng itu ditemukan saja Aleena merasa takjub dan bercucuran keringat dingin.

Pegangannya pada cangkul mengendur setelah sebelumnya ia mencengkram sangat kuat ikut tegang, imajinasinya menggambarkan bagaimana jalan cerita Robinson, menggambarkan apa yang ia dengar dan merasakan bagaimana tersiksanya pada masa itu .

"Apa laki-laki itu masih hidup?"

"Itu sekitar 12 tahun yang lalu, namun banyak dari korban yang selamat masih ada di sekitar sini salah satunya seperti wanita di afdeling 3," balas Robinson kini melanjutkan merapikan gundukan tanah namun Aleena masih menatapnya.

"Apa yang terjadi dengannya?"

"Tragedy The First Contiguity, dua tahun setelah mereka menemukan The Fort," singkat Robinson sembari membasuh keringat di keningnya.

"Apa kau tahu apa yang terjadi dengan bunker 6, mengapa mereka menguncinya?" Tanya Aleena kembali mendapat celah kesempatan.

"Oh, lebih jelasnya tanya saja pada seseorang di afdelingmu, ia lebih tahu rincian spesifiknya."

"Mengapa dengan wanita itu lagi?" Nadanya dingin dan terdengar menghina.

"Kau tahu orangnya?" Robinson mengerut tanya.

"Iya aku sudah tahu, dia Cadance."

"Dia salah satu penemu benteng ini dan juga korban selamat dari tragedy The First Contiguity, ia satu-satunya orang yang bertanggung jawab dengan bunker itu Aleena."

Aleena berfikir sejenak kembali, apa ia harus merubah bentuk wajahnya dan memiliki kepribadian ganda hanya untuk meminta penjelasan Cadance? Terakhir kali mereka bertemu hanya saling melempar geranat ke masing-masing insan.

Namun fikirannya terus menggiling lebih kecil bagian-bagian pertanyaannya, mungkin ia bisa menunggu informasi tentang bunker 6 itu dan mulai bertanya lebih pada Robinson tentang hal lain. Selagi waktunya masih ada pada Aleena.

*****

-Terima kasih masih membaca!

-Vote dan komentar masih di tunggu kalau memang part ini baguzzz, All the love - M.D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro