Part 12 - Deja Vu
Azzura berjalan menyerong sambil menatap Aleena dengan kebingungan. "Cadance? Siapa Cadance?" kening Azzura mengerut dalam mengulang kembali kalimat Aleena terakhir sebelum meninggalkan Carina a.k.a Cadance di bunkernya.
"Aku bersumpah pernah mengalami kejadian barusan tapi entah kapan, mungkin lebih tepatnya mendengar, aku pernah pernah mendengar nama itu disebutkan, dan bertepatan dengan sosoknya yang muncul di bayang-bayangku. Entah kenapa aku selalu mengalami itu akhir-akhir ini, apa ini efek dari serumnya?" Gumamnya.
"Mungkin." Azzura mengangkat bahunya bersamaan, ia jelas tak mengerti dengan hal-hal yang berkaitan dengan Orvos.
"Serum? Serum apa?" Tanya Ris penasaran yang sedari tadi diam hanya menyimak wanita-wanita muda yang menghapitnya kini.
"Artemorum Ris, itu semacam cairan herbal yang para Orvos racik dari berbagai macam tumbuhan obat dan sedikit tambahan bahan-bahan penemuan lainnya yang hanya mereka yang tahu," jelas Aleena lancar lalu memutar bola matanya sarkatis di akhir kata.
"Aku pernah melihat satu nama di suatu buku yang Carina simpan, tapi aku tidak yakin jika kalian mengerti tapi itu tertulis Dserum," tutur Ris sedikit berbisik, lalu Aleena terdiam menghentikan kakinya sejenak dan menoleh ke arah bunker 6 yang seperti memanggil namanya dengan suara desiran angin yang samar membuat bulu roma berdiri seketika.
"Apa hanya perasaanku jika bunker itu selalu mengeluarkan suara seperti gas yang bocor?" Bisik Aleena, Azzura dan Ris diam berusaha memaksimalkan indra pendengarannya ke arah bunker 6 dan mendengarkan dengan susah payah karena banyak wanita yang mengerjakan berbagai hal yang aneh dan mengeluarkan suara berbagai macam oktaf.
"Lena, kau benar! Aku mendengarnya," kata Zura tak percaya. "Mungkin hanya kebetulan saja karena lagi pula aku tidak pernah mendekati bunker itu sama sekali, atau bahkan berimprovisasi untuk mendegar suara di dalam segala. Menurutmu ada sesuatu yang salah di dalam bunker itu? Apa ada sesuatu di dalamnya?" Azzura kembali menatap Aleena.
"Untuk itulah aku menuju Carina untuk bersedia menceritakan hal itu jika memang ia berkenan, aku harus menemui Will." Aleena menuju keluar menghiraukan Azzura dan Ris lagi sebelum mengucapkan selamat tinggal.
Tubuhnya terlihat berbeda semenjak meminum serum, suatu kontraksi yang aneh membuat lekukan tubuhnya berubah menjadi lebih besar yang belum Aleena sadari, belum.
"Donny!" Panggil Aleena yang masuk tanpa seizin seorang Orvos ke dalam ruangan yang penuh dengan pria-pria yang merapikan dan menyusun beberapa barang baru.
"Aleena? Kau tidak boleh keluar, alarm bisa berbunyi kapan saja," sambar Donny dingin mengacak pinggang.
"Masa bodoh, di mana Will?" Gerutu Aleena datar.
"Dia sangat sibuk saat ini, banyak hal yang harus ia kerjakan."
"Kapan dia selesai?" Ia tak sabar, ia harus menanyakan banyak hal kepada Will, otaknya bahkan akan meledak kapan saja karena kumpulan pertanyaan yang ia pendam.
"Aku- tak tahu .. ada yang salah dengan dirimu." Donny terlihat bingung di tatapannya pada Aleena.
"Tidak," sahut Aleena.
Donny menggeleng. "Itu bukan pertanyaan."
Aleena mengerut bingung dan menggerutu dalam hati apa yang di lihatnya? Mengapa tatapannya seperti itu?
"Berhentilah menatapku seperti itu," desis Aleena, tubuhnya menjadi kikuk karena mendapat tatapan dari Donny yang sama sekali tak dapat ia artikan.
"Urat nadi muncul," gumam Donny lagi mendapat kerutan kening Aleena lagi yang benar-benar tak ia mengerti, lehernya berputar menatap di balik seragamnya dengan sulit. Entah bagaimana bisa, namun Donny melihat urat berwarna biru ke hitaman memanjang terlihat jelas dari kulit ari Aleena sendiri.
Aleena mengerut gelisah dan ia berjalan dengan cepat dan diikuti Donny yang juga tak mengerti, ia mengikuti ke mana Aleena pergi tanpa tahu tujuannya hingga sampai pada suatu ruangan.
"Mau ke mana?" Tegur Donny memegang lengannya sebelum ia masuk tanpa izin.
"Aku hanya ingin memakai cermin," ia masuk dengan cuek tanpa melihat sekeliling ruangan di mana beberapa pria berdiri dengan kesibukan, menggerutu dengan sesama teman melihat seorang wanita yang berjalan masuk dengan tenang seakan memiliki izin.
Ia berdiri di depan cermin persegi panjang dengan posisi vertikal, ia menatap seluruh lehernya dari cermin di mana hanya sedikit yang terlihat.
"Donny siapa dia?" Usik seorang Orvos dari belakang Aleena yang masih dapat Aleena dengar, Donny hanya mengkodekan dengan tangannya untuk tenang dan berdiri menunggu Aleena yang masih cermat mengeksplorasi matanya keseluruh tubuh di balik seragam, jari-jarinya menyelip di balik baju mengikuti garis nadi sampai di mana berakhir.
Kini bukan rasa khawatir yang benaknya kumandankan namun berubah menjadi ketakutan. Semua semakin parah, sakit kepala, detak jantung menyakitkan, mimpi aneh, Deja Vu, kemudiam setelah meminum serum Will nampak urat nadi yang menonjol.
Aleena cepat membuka kancing baju di depan para Orvos, satu per satu terbuka dan ia melepaskan dari baju. Dengan alami para pria tentu tak berkedip, bernafas, atau bahkan mengamuk.
Aleena membelai bagian leher di mana urat nadinya memanjang berkelok sampai ke depan dadanya dan berhenti pada bagian jantung, tak hanya itu saja keanehan yang terjadi pada tubuh Aleena, tangannya menjadi lebih berisi dengan otot-otot yang muncul dengan sendirinya seperti hantu.
Aleena sadar akan kebodohan yang ia lakukan di depan Orvos yang semuanya memang paten laki-laki termasuk Donny. Ia mengancingkan 2 kacing kembali dan pergi keluar meninggalkan para patung di belakang diikuti Donny yang curiga dengan gerak-gerik keanehan Aleena.
"Aku ingin bertemu dengan Will, ini sangat mendesak. Kau lihat apa yang terjadi dengan tubuhku? Ini mungkin karena efek Artemorum yang mungkin tak sesuai dengan tubuhku." Ia bernafas tak karuan ketakutan.
"Bagaimana mungkin Artemorum berdampak buruk pada seseorang? Itu serum herbal yang menyembuhkan penyakit bukan membuat tubuh sakit, kau sering meminumnya pula sebelumnya," kata Donny.
"Aleena? Donny?" Tiba-tiba suara besar menemani perdebatan mereka muncul dari suatu pintu.
"Will! Tubuhku berubah drastis semenjak meminum Artemorum aku takut jika ini adalah gejala virus Mepis," keluhnya.
Will cukup tenang di balik reaksinya, namun fikirannya kini sudah menjelajahi masa lalu lagi, ia selalu masuk ke dalam terowongan masa lalu di mana banyak hal yang tersimpan dengan rapi dan menunggu untuk dibongkar diulas kembali.
"Aku selalu melihat sesuatu yang aku rasa pernah aku alami sebelumnya," ujar Aleena.
"Déjà vu?" Putus Will datar seakan tahu hanya dengan satu patah kata yang Aleena tuturkan, Aleena menatap dingin Will.
Will sempat berfikir sendiri. "Donny usulkan beberapa permintaan ke Upper untuk benda-benda yang kita butuhkan, dan untuk para Ridcloss tanaman obat yang harus ditanam daftarnya ada di meja itu. Setelah itu datangi Soren dan bantu dia menangani beberapa Tent yang ia urus dan berikan satu suntikan Emorium pada masing-masing individunya. Datangi pusat ruang isolasi dan suruh mereka untuk meracik Wreckium dari tanaman yang datang nanti, mengerti?" Ujar Will tenang, memberikan sederet tugasnya pada bawahannya. Donny mengangguk dan pergi meninggalkan mereka dengan beberapa list yang menunggu untuk dia selesaikan untuk sementara.
"Aku kini harus lepas dari tanggung jawabku karena kau Aleena, sebaiknya ini bukan apa-apa," keluh Will dingin sambil berjalan ke satu ruangan dekatnya, di dalam terdapat berbagai peralatan dan layar monitor yang menunjukkan garis-garis simetris yang berliku.
Aleena mengekori dengan susah payah, menurunkan dentuman jantungnya yang takut dengan apa yang terjadi dengan tubuh anehnya.
"Apa yang terjadi?" Aleena berusaha mencari tahu apa yang terjadi namun kembali didiamkan dengan Will yang masih menekan berbagai macam tombol di alatnya, ia mengambil suntikan di dalam laci tanpa sarung tangan dan masker yang harusnya ia pakai sebelum melakukan prosedur itu.
"Berbaring," suruh Will tenang dan dipatuhi Aleena yang menyerahkan semuanya pada sang ahli. Ia berbaring di satu ranjang dengan kepala yang lebih tinggi, matanya menatap langit-langit ruangan dengan lampu neon putih yang lebih terang dari pada di bunker.
"Tetap lihat langit-langit atap itu," suruh Will.
Tiba-tiba Aleena merasakan sengatan yang luar biasa di lehernya yang saat itu Will sedang memasukkan dengan pelan jarum suntikan di leher kanan Aleena, membuat ringisan samar di bibirnya lalu merasakan darah yang terhisap ke dalam tabung suntikan.
Ia mengelus lehernya yang sakit, tentu ia tak tahu jika Will akan mengambil sampel darahnya pada bagian leher begitu saja tanpa memberi tahu. Aleena mengulum bibir senantiasa menunggu Will dengan berbagai alatnya dan hasil pemeriksaan darah.
Setelah beberapa menit hasil itu muncul. "Kau tak perlu khawatir, ini bukan virus Mepis walau kau berkeliaran di luar layaknya seekor tupai, ini hanya kontraksi antara otakmu dengan beberapa organ dan gen, itu membuat perubahan secara signifikan namun tidak terasa reaksi yang menyakitkan."
"Lalu tubuhku yang berubah?"
"Ini perubahan langka yang terjadi 1 dari 200.000 ribu orang, terjadi ketika gen tubuh mu bertemu dengan Steroid Anabolik yang ada pada Artemorumnya dan secara cepat membuat semua tubuhmu mengalami gejala seperti ini. Apa kau merasa kaku di bagian lengan atas?" Penjelasannya layaknya seorang profesional.
Aleena menggerakkan tangannya perlahan dan membalas pertanyaan Will. "Sedikit."
"Ya sudah kuduga, itu akan hilang hanya dalam beberapa jam ke depan," ia masih memainkan darah Aleena yang ditampung pada suatu wadah kaca dengan alat yang memaparkan hasil di layar.
"Ini reaksi hormon dan genmu terhadap serum, di mana semakin kau beranjak dewasa semakin berubah hormon dan genmu," tambah Will datar.
"Apa ada orang lain yang pernah mengalami ini?" Ia memastikan jika kejadian janggal itu tak hanya dialami dirinya seorang.
"Beberapa tahun yang lalu ada seorang Savagery yang seperti ini, membuatnya dipenuhi banyak otot yang membanggakan dirinya, tak perlu dibawa cemas."
"Bagaimana dengan Déjà vu ku?" Aleena menatap miris Will berharap ia tak apa-apa, Will terdiam dan menunduk sejenak membuat ruangan menjadi sangat sunyi meninggalkan suara gemingan mesin di dalam yang bekerja.
"Hmm, Déjà vu artinya telah melihat dan memiliki beberapa turunan dan variasinya seperti Deja Vecu yang artinya telah mengalami, Deja Centi yaitu telah memikirkan, dan Deja Visite yang artinya telah mengunjungi."
"Dan lawan Déjà vu sendiri ialah Jamais Vu atau tidak pernah melihat, yang aku rasa semua orang mengalami hal itu," jelasnya tenang tanpa menggubris Aleena yang masih mencermati setiap kata-kata yang tak ia pahami.
"Kau sepertinya mengalami Deja Vucu jika aku tak salah, -aku bukan seorang psikolog- di mana kau pernah mengalami kejadian yang sebenarnya, itu hanya alam bawah sadarmu yang mengalami, sebutkan beberapa hal yang pernah kau alami yang seperti yang pernah kau alami sebelumnya," tutur Will menunggu dengan tenang.
Aleena berusaha mengingat hal itu dengan susah payah hingga keningnya mengerut dalam dan geram sendiri ketika ia tak dapat mengingatnya.
"Umm .. oh! Itu, saat kemarin di ruanganmu ketika aku melihat cairan biru jeans itu, Ovcerentrarum." Will menatap Aleena dingin dan tak berucap, seteguk saliva ia telan untuk menutupi kecemasannya yang ia harap benar-benar tak terjadi, semuanya hanya membuat Will menyesali setiap perbuatannya pada sosok Aleena yang ia kasihi layaknya anaknya sendiri, ia terkadang bisa melihat kepribadian istrinya dalam diri Aleena yang tegar dan berani. Ia bisa saja memeluknya setiap hari setiap kali ia merindukan almarhum istrinya yang menjadi korban tragedi The First Contiguity.
"Will?" Aleena mendeham membuyarkan lamunan Will lagi di matanya yang dipenuhi kehampaan.
"Déjà vu mu itu pasti karena Recognition Memory, itu adalah jenis memori yang menyebabkanmu menyadari bahwa apa yang kau alami saat itu sebenarnya sudah pernah kau alami sebelumnya."
"Otak kita berflukasi di antara dua jenis Recognition Memory yaitu Recollection dan Familliarity. Aku mendefinisikan kasusmu dengan Recollection atau pengumpulan kembali, karena kau bisa menyebutkan dengan tepat kapan situasi yang pernah muncul sebelumnya."
"Contoh, ketika kau bertemu dengan Yura di tempat tinggalnya dengan segera kau langsung sadar bahwa kau sudah pernah melihatnya sebelumnya."
Aleena menoleh cepat saat nama Yura ia sebut yang padahal Will tak pernah tahu atau bahkan bertemunya, wajah Aleena terasa memerah dan panas, yang ia rasa hanya tersipu malu yang besar seketika ia mengingat Yura.
"Jadi bagaimana dengan pemuda itu?" Will tersenyum lepas menggantik topik dilanjutkan melihat raut wajah Aleena yang datar dan memerah tertegun membeku.
"Uh kita hanya berteman dengan baik Will," balas Aleena menyembunyikan rasa tegang.
"Tentu kau masih muda, wajar mengalami serangan perasaan menyesakkan itu," tutur Will mendengus geli melihat raut Aleena yang sudah memerah ditambah salah tingkah.
"Apa Déjà vu adalah hal yang normal?" Aleena bertanya mengganti topik pembicaraan secepat mungkin sebelum pertanyaan Will merambat ke segala arah.
"Semua orang pernah mengalaminya. Déjà vu di asosiasikan sebagai penyakit-penyakit seperti Schizophrenia, kegelisahan atau gangguan neurologi lainnya. Tapi itu bisa juga merupakan hasil dari kegagalan sistem kelistrikan otak. Karena itulah Déjà vu dipercaya sebagai suatu sensasi yang salah pada ingatan atau memori."
"Itu sudah pasti akibat kegelisahanmu yang sudah akut eh?" sambung Will. "Deja Vu sebenarnya sangat bagus, artinya otak kita bekerja."
"Aku akui itu, aku memang selalu gelisah akhir-akhir ini," balas Aleena jujur.
"Beberapa obat-obatan juga di percaya sebagai salah satu faktor yang memicu Déjà vu, seperti phenylpropanolamine dan Amanta- ..." kalimat Will terputus rasa tak percaya, ingatannya terbang lagi menjelajah alam masa lalu yang membuatnya terbelenggu diam dengan mulut yang terbuka, dia ingat bagaimana nama obat itu menjadi salah satu efek di tubuh Aleena dan menyebabkan Déjà vu, dan Will memahami gejala Aleena bukan hal sepele lagi.
Lagi, ruangan menjadi sunyi dengan gemingan mesin-mesin yang sudah memanas telah dipakai selama berjam-jam, dingin menjadi teman Aleena yang didiami oleh Will kali ini.
"Will?" Panggil Aleena dengan air muka yang tegang.
Will masih bisa mendengar suara ia menatap luluh ke Aleena yang detik itu juga mengingatkannya pada sosok yang menentang proses itu pada Aleena.
Rasanya ia ingin meledak ketika satu fakta terpecahkan dengan kondisi Aleena yang tak akan ia ucapkan, ia tidak tahu bagaimana akhir hidup wanita itu setelah ini. Aleena sosok yang belum siap mental untuk mengetahui atau menerima hal ini, ia harus rapi-rapi menyimpan, rahasia dari sosok Aleena.
"Kau menyimpan rahasia lagi dariku? Beri tahu aku! Will aku takut, aku yakin tubuhku salah! Aku yakin aku sakit dan lain dari pada yang lain! Aku takut Will," nada Aleena meninggi.
Will berjalan pelan dan lemas menuju Aleena yang sudah bergenang air mata tak menyesuaikan diri pada situasi genting saat ini, Will memegang pundaknya dan mengambil satu tarikan nafas pelan.
"Dengarkan aku, jangan sia-siakan satu tetes darahmu, jaga nyawamu dengan setengah mati prioritaskan nyawamu ketimbang nyawa orang lain, kau eksperimen yang berhasil bertahan dan mematahkan keraguan kami sedari dulu."
"Apa? Will apa maksudmu!? Ada apa dengan ku!?" Pekik Aleena kini merasa bila memang ada yang salah selama ini dengan dirinya, bukan semata firasat lagi.
"Will!!" Pekik Aleena ketakutan ia akan menangis.
"Aku tak percaya ini aku-aku .. membiarkanmu hidup dan kau memberi secercah harapan lagi," sambung Will.
Aleena membuang nafas kasar dari mulutnya tak bisa mengucapkan satu kalimat yang pas.
"Kau memiliki mata orang itu," gerutu Will tengah mengingat seorang wanita.
Aleena menimbangi kalimat Will yang menggantung dan membingungkan. "Cadance? Siapa dia dahulunya?"
"Bagaimana kau tahu-?"
"Deja Vu lainnya," putus Aleena sigkat.
Will membuang nafas panjang. "Sepuluh tahun yang lalu dia merupakan pimpinan Orvos, dia-"
"Pimpinan Orvos!? dia perempuan! Bukankah perempuan tidak boleh menjadi grup lain selain Bunker's? " pekik Aleena memutus kalimat Will kembali.
"Dengar! Dulu belum ada satu peraturan pun tentang posisi wanita Aleena, ingat itu. Aku dulu adalah asistennya, siapa namanya sekarang?" tanya Will.
"Carina Kriss," ucap Aleena datar dan berusaha menyeimbangkan nadanya.
"Wanita itu adalah rekan terbaikku, dia memakai nama marga suaminya sekarang pada akhiran nama, dia jelas tak bisa melupakan prajurit itu, suaminya."
"Dia punya suami di sini?" Suara Aleena rendah..
"Dia pernah punya, orang pertama yang mati saat kejadian The First Contiguity," kata Will. Aleena diam, menyimpan penyesalan terdalam saat mengungkit perihal kematian suami perempuan berambut pirang itu.
"Aku berusaha menanyakan soal bunker 6, tapi dia tak bersedia Will. Mengapa tidak kau saja yang menceritakan padaku saat ini juga? Bukankah lebih cepat lebih baik?" Aleena menatap mohon pada Will, membulatkan mata hijaunya meyakinkan.
"Baiknya kita bertanya pada seseorang yang tahu benar tentang hal itu daripada bertanya pada orang lain yang dapat menyelipkan satu kebohongan kecil pun Aleena. Aku sudah lama tidak menemuinya juga berbicara padanya, akan sangat sulit nanti bagiku dan dia, kita punya pengalaman buruk. Dengan melihat satu sama lain seolah mengingat kejadian-kejadiaan naasku bersamanya," ingatnya.
"Bagaimana jika ia tetap bersikeras?"
"Aku tahu Cadance, hatinya lunak dibalik tegasnya kepribadiannya," tutur Will meluruskan.
"Aku akan berusaha menanyakannya nanti," ujar Aleena masih dengan perasaan ketakutan dengan apa yang sedang terjadi di tubuhnya, dan apa yang ditutup-tutupi Will selama ini dari dirinya.
"Aleena, apapun yang akan kau dengar darinya nanti dan apapun yang ia katakan nanti, turutilah. Dia tahu semua yang terbaik, dia hanya belum bisa melupakan masa-masa mimpi buruknya, hatinya masih penuh luka yang membuat cintanya cacat. Ia sudah lama berkurung diri di sana." tutur Will.
Will benar-benar kasihan jika mengulang kembali tragedy senja itu di mana Cadance dengan susah payah memilah pilihan-pilihan yang terbaik secara bijak tanpa harus dapat menimbulkan satu kesalahan fatal sedikit pun.
Aleena mengangguk. "Jadi apa aku akan bertemu kau lagi Will? Kau memiliki semua yang ingin ku tahu dan aku merasa salah dengan diriku, aku tidak tahu apa, tapi aku tahu kau mengetahuinya."
"Selalu ada jalan di mana takdir menuntunmu pada jawaban yang ingin kau tahu," jelas Will.
Aleena menunduk sempurna di depan Will, rambut coklatnya turun menutupi pipi kanan dingin tersebut, lebih baik karena rambutnya menutupi ekspresi kekecewaan dan ketakutan yang terdalam.
"Will, aku akan baik-baik saja bukan? Semua perubahan ini?" Tanyanya, bibir kanan Will melengkung ke atas menyunggingkan suatu siratan perasaan.
"Kau sehat dan kuat, aku harap begitu. Jangan terlalu memikirkannya, aku akan mempelajarinya lagi," balas Will.
"Aku hanya takut jika suatu saat aku akan mati sebelum melihat kehidupan normal, sebelum aku bisa merasakan kasih sayang, sebelum melihat tangisan menjadi senyuman, sebelum merubah air mata menjadi tawa ria, sebelum aku melihat kebahagian orang lain, sebelum harapan datang. Aku tak mengerti apapun, kau bilang sendiri tadi jika aku eksperimen gagal yang berhasil bertahan, apapun itu namun yang jelas sesuatu tak ada yang kekal Will. Kau ingin mempelajariku yang artinya aku tidak sempurna dan kau harus mempelajariku agar apa? Agar aku bertahan hidup?"
"Apa kau tidak memahami kalimatku Aleena?" Will terdiam lama tanpa memohon jawaban Aleena dari suguhan kalimat retoriknya itu.
"Kau hidup kembali," desis Will kembali.
Aleena termagu penuh keringat dingin, dia kebingungan dan merasa salah selalu salah yang dirasakannya. Eksperimen apa tepatnya? Kembali hidup? Mungkin dia seperti Frakenstein.[]
Aleena kini telah berada di bunkernya setelah terusir dengan terhormat oleh Will dari kamp Orvos, ia berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak terlalu takut dan gelisah dengan berbagai perkara yang menghampirinya dengan tenang namun dapat mengobrak-abrik seisi otaknya.
"Jadi bagaimana?" Tanya Azzura setelah Aleena menginjakkan kakinya di dalam bunker 1.
Aleena menoleh dan menatap Azzura kosong. "Aku baik-baik saja."
"Dibalik kata itu ada sesuatu yang kau simpan bukan?" Alis mata Azzura naik bersamaan dan ia mengekori Aleena.
"Zura, terlalu banyak rahasia yang aku miliki. Aku tak bisa mengutarakannya padamu, lebih tepatnya aku tidak tahu harus menjelaskan dengan cara apa, karena ini sulit dijelaskan dengan kata-kata," elak Aleena berjalan ke ranjangnya.
"Aku juga tak ingin tahu kini, baik-baiknya rahasia tetap menjadi rahasia," ujar Azzura. "Tapi seberapa rapinya kau menutupi bangkai pada akhirnya akan tercium juga," tambahnya memberi ungkapan.
"Kau akan mengetahuinya cepat atau lambat, aku tidak akan menutupi apapun darimu wahai Azzura yang baik hati." Aleena terkekeh kecil dan sama dengan Azzura yang menatap sahabatnya geli.
"Ris berusaha untuk membujuk Carina, entah dia berhasil atau tidak," tambah Azzura lagi.
"Lalu mengapa kau tidak menemaninya?"
"Ide Ris, ia sama sepertimu keras kepala," balas Azzura memutar badannya.
Aleena bangkit dan pergi dengan sendirinya keluar dan mengunjungi bunker Ris dan Cadance, berusaha untuk masuk tanpa berharap penolakan kedua dari wanita itu. Aleena kini sopan dan berwibawa masuk dengan beberapa wanita yang memperhatikan Aleena dari ambang pintu, ia sudah melihat Ris duduk di samping Cadance dengan tenang.
"Cadance aku minta maaf sebelumnya soal-"
"Tak apa," putusnya dingin.
"Aku sudah bertemu dengan Will, kau ingat dia?" Tanya Aleena yang tak mendapatkan tolehan terkejut dari Cadance seperti harapannya.
"Dia tak berguna," umpat Cadance dengan tenang.
Mendengar umpatan Cadance yang dilontarkan kepada sosok yang dipercayai Aleena membuat amarah Aleena mendidih. "Apa kau tak tahu bagaimana dia susah payah menyambung nyawa orang lain di sana daripada kau yang bertahun-tahun di sini mendekam tak bisa melupakan masa lalu mu itu!?" pekik Aleena geram. "Setidaknya dia melakukan sesuatu yang bermanfaat di sana!" tambah Aleena begitu murka.
"Generasi penerus, hanya bisa membela yang menurutnya benar," Cadance bergumam licik.
Mereka saling meluncurkan geranat yang meledakkan emosi masing-masing .
"Coba untuk berkaca!" Aleena melihat Cadance sinis dan mencemooh walau usia Aleena lebih muda darinya, tak ada rasa hormat.
"Aleena!" Tegur Ris pada Aleena tanpa mengeluarkan suara agar Cadance tak tahu.
"Apa itu Dserum?" Mulai Ris datar yang tanpa ia tahu dapat membuat Cadance membolak-balikkan otaknya lagi menerawang masa lalunya kembali.
"Bukan apa-apa," singkatnya bergetar hebat, satu tegukan saliva yang berat pada akhir kata.
"Mrs. Kriss, sebaik-baiknya menyimpan bangkai pasti akan tercium juga," ucap Ris polos dan datar. Azzura mengangkat kedua alisnya terkejut, Ris berbicara tepat seperti apa yang barusan saja ia tuturkan pada Aleena.
Cadance menoleh pada gadis kecil di sampingnya, mata hijau daunnya kembali menyala terang menunjukkan keaslian dan membuat Ris terasa terintimidasi hanya melihatnya sebentar saja. Ris meneguk ludahnya keras dan sangat takut dengan tatapan dingin bagaikan malaikat pencabut nyawa di sampingnya.
"Itu tidak nyata," dingin, hanya itu yang terdengar dari kasatan pendengaran Ris, mampu membuatnya berlari mencincing saat itu juga, ia juga tak berani kali ini menanyakan satu pertanyaan pun.
Matanya menjadi redup ketakutan melihat sosok Cadance yang menjadi tegas kentara, Aleena hanya diam memperhatikan Ris dan Cadance di ambang pintu dengan kedua tangannya yang ia lipat di depan dada.
Sepertinya usaha mereka kini tidak membuahkan hasil atau bahkan tak pernah sukses lagi setelah mereka membuat masalah wanita yang berasal dari dalam tersebut.
Aleena kini harus mencari jalan pintas kembali untuk memulai kehidupan normalnya yang akan dimulai dari satu titik permasalahan, bunker 6.
*****
-Terimakasih untuk membacanya, kritik dan saran di tunggu yappp
-Tinggalin jejak jika memang ceritanya memang "good" hehe, kalau gak berarti aku harus lebih berusaha nih -.-
16/03/2015
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro