Part 11 - Cadance
Lampu neon berwarna putih yang menerangi ruangan Will kini meredup berulang kali lalu satu neonnya pecah menghempaskan serpisah kaca ke tubuh Aleena dan Will yang tertunduk otomatis melindungi wajah mereka dengan lengan.
"Aaaah!" Aleena terkejut dengan suara pecah kaca yang berdatangan ke arahnya.
"Aleena!" Will melihat Aleena terluka, Will berlari ke arah Aleena dengan panik karena alarm seperti suara klakson kapal pesiar terlalu keras dan menggetarkan setiap ruangan dan seisinya.
"Kau pergilah!" Suruh Will memegang bahu Aleena yang bergetar meringkuk di lantai.
"Aku tidak bisa! Pintu setiap bunker otomatis tertutup sendirinya karena dikendalikan oleh sistem di Gloetik!" Aleena memegang kaki kursi.
"Uh, pergilah ke ujung ruangan!" Suruh Will, dengan segera dipatuhi Aleena, Will terlihat tergesa-gesa di mana satu demi satu benda berjatuhan hampir mengenai tubuhnya, beberapa cairan di lemarinya bergetar dan beberapa jatuh dan pecah di dalam, mengalirkan cairan serum-serum ke lantai.
Untunglah ruangan Will luas tanpa barang-barang pecah belah dan berat lainnya, sehingga yang hanya membahayakan merupakan lampu neon yang bergantungan saja. Sebuah lampu neon tiba-tiba lepas, dan untaian kabel pun terlepas membuat lampu neon bergantung dan mengayun dengan cepat.
"Will!" Jerit Aleena melihat lampu neon di atas kepala pria tersebut berayun dan lepas. Aleena merangkak dan menghempaskan tubuhnya di depan Will bermaksud mendorongnya agar tidak tertimpa neon.
Neon tersebut jatuh dan hancur tepat pada posisi Will sebelumnya, membuat mereka melotot berdebaran. Jika saja Aleena tidak melihat neon yang lepas dan bergegas mendorong Will dengan cepat, kemungkinan Will mengalami cedera serius di kepala.
Deru nafas Aleena terpingkal-pingkal dan jantungnya berdebar cepat, ia menelan salivanya terus menerus dan tangannya bergetar hebat, Will menyentuh pundak Aleena masih sedikit shock kemudian ia menggiring Aleena ke pojok ruangan agar lebih aman.
Semuanya sangat kewalahan ketika alarm yang keras ini untuk pertama kalinya membuat semua lebih panik, rusak, dan berhamburan untuk kamp Orvos.
Energi yang digunakan alarm itu sangat besar hingga membuat semua lampu kini mati, mungkin seluruh The Fort tak memiliki satu cahaya apapun, alarm itu terus berbunyi sekitar 10 kali hingga berhenti.
Dua jam telah berlalu selang alarm berbunyi dan setelah seorang Tent menyuruh setiap orang untuk tidak keluar setelah bunyi terakhir alarm.
Ruangan Will begitu gelap, hanya diterangi dengan lampu emergency yang ia bawa sembari memeriksa peralatan kesehatannya jika semuanya tidak rusak parah, ia menuju ruangan lain di sisi lain tempat ia bereksperimen dan memeriksa apapun, mengamati seisi ruangan yang ternyata hancur dengan barang-barang yang sudah tidak pada tempat semula.
Rasa kesal dan pilu terasa menyayat hati Will, melihat semua ruangan kerjanya bagai ladang tempur yang berhamburan, ini kali pertama semuanya kacau dan berantakan dan tidak seperti biasanya. Keraguan itu kini dirasakan oleh Will mengenai benteng mereka yang semakin dilanda kondisi yang aneh dan ganjal.
Setelah ia berkeliling memeriksa setiap jengkal kerusakan yang diperbuat oleh alarm ia kembali ke ruang tengah dan melihat sesosok wanita di sudut ruangan tengah menunduk dan memeluk kaki.
Will mendatanginya dan ikut duduk menemani Aleena sambil membersihkan beberapa puing pecahan kaca yang berserakan oleh lampu neon.
Aleena terbangun ketika merasakan aura dan deruan nafas seseorang di samping, mata hijaunya mengembang besar, namun pupil matanya mengecil karena kekurangan cahaya. Ia duduk dengan tenang dan menatap lampu emergency yang Will taruh di depan mereka.
"Maaf aku ketiduran," ucap Aleena sedikit serak.
"Tak apa, semuanya sudah berhenti namun kita masih belum diperbolehkan untuk keluar dahulu," balas Will.
"Apa yang terjadi di luar sana?"
"Mereka pasti masih membunuh satu per satu Molk yang berdatangan, menjadi Tent tidak semudah kau menyebut mereka. Mereka para prajurit, rela mati demi menjaga tempat tinggal mereka sedangkan orang lain berusaha mati-matian menjaga nyawa mereka sendiri, lihat perbedaannya kan?"
Aleena terdiam menyimpulkan kepahaman dari kalimat Will, tentu saja Tent lebih mengutamakan nyawa orang lain dari pada nyawanya sendiri, itulah pahlawan.
"Ini sesuai dengan prediksimu Will," gumam Aleena melamun.
Will termagu sejenak dan membalik lembaran ingatannya mengenai perihal yang pernah ia prediksikan bersama Aleena sebelumnya.
"Akan ada banyak Tent berdatangan nantinya, entah ia terluka atau merasakan gejala virus Mepis, aku akan sibuk jadi mungkin kita akan jarang bertemu lagi," balas Will menatap Aleena sendu.
"Aku memiliki banyak pertanyaan Will, dan sepertinya kau adalah narasumberku, kau mengetahui banyak hal, kau berasal dari dalam, kau mengetahui semua yang aku butuhkan," balas Aleena.
"Inti yang mana yang ingin kau tahu?" Will mengerut bingung dan lirih menatap Aleena.
"Apa kita bisa hidup normal?"
"Normal dalam segi apa?"
"Kedamaian, kebersamaan, kebahagiaan."
Will terdiam, ia pernah mendengar kalimat ini dari seseorang. Hatinya seperti bergetar siap untuk meledak kapan saja, ia benar-benar ingat kalimat itu juga terlontar dari bibir almarhum istrinya yang meninggal di masa-masa kelam The Fort.
"Will?" Panggil Aleena membuyarkan lamunannya.
Will menghela nafas. "Kita bisa suatu hari nanti, di mana kita semakin kuat dan berani melawannya."
"Tapi kapan? Kau sendiri yang bilang jika mereka betambah kuat, besar, cerdas setiap saat. Ini saatnya kita melawan, kita bisa jika kita mau! Kita tak akan tahu apa yang akan kita temui di luar sana, mungkin saja ada orang lain yang bertahan hidup seperti kita, terbukti dengan para Savagery yang menemukan seperi Chriselda, Azzura, aku, bahkan orang lain saat itu bukan?" Umbar Aleena penuh dengan penghayatan.
"Hanya saja ... para Savagery bilang sudah tak ada yang tersisa di luar sana." Aleena menoleh cepat ke Will, ia tak percaya dengan kalimatnya, keyakinan akan adanya seseorang di luar sana kini seperti musnah dihancurkan hingga menyisakan debu pasir yang tak diperlukan kembali.
"Tidak, mereka belum mencari secara maksimal keliar dari kota, pasti mereka menemukan seseorang. Pasti mereka bersembunyi di balik gedung, rumah, benteng yang seperti ini yang tak pernah ditemukan." Ia berkhayal.
"Mungkin ada sesuatu di balik ini dan kita mungkin dapat menghentikannya sebelum bertambah lebih buruk," hasut Aleena sembari menatap harap Will yang mulai terhipnotis dengan sugestinya.
Will dengan berani mengambil sehelai rambut di pipi Aleena, lalu menaruhnya di balik daun telinga Aleena dengan pelan. "Aleena, kita akan tetap di sini. Apapun yang kita lakukan tak akan bisa membunuh semua organisme itu," singkat Will lalu ia berdiri tegak.
"Kau memiliki sesuatu yang kau rahasiakan dariku bukan? Sesuatu yang berhubungan dengan dunia luar, tentang Ghroan, kota, dan Molk. Will, apa yang kau ketahui tentang bunker 6?" Aleena menatap tajam Will yang sangat cemas dengan banyaknya pertanyaan, ia dibuat kaku terdiam.
Will menggeleng tanpa satu kata pun.
"Tolonglah, aku menyayangimu, aku ingin menjagamu." Aleena merajuk.
Tiba-tiba lampu menyala, dan kehancuran di dalam sana terlihat lebih jelas lagi. Aleena kembali memikirkan Azzura dan Ris di dalam bunker, mungkin mereka masih panik karena tak ada cahaya dan suara yang menggemakan seisi afdeling 1 ketika alarm menyala.
Pupil mata Aleena membesar sembari berjalan pelan membantu membereskan kekacauan yang dibuat alarm para Upper. Aleena juga mengambil serum barunya dari lemari kaca Will.
"Aleena, mintalah Donny untuk mengantarmu ke bunker. Aku akan mengurus ini semua."
"Aku akan menemui lagi Will," ucap Aleena pelan.
"Aku harap begitu, terlalu banyak kekacauan yang dibuat oleh alarm ini, aku harus mengusul beberapa barang ke Upper yang dibutuhkan untuk menetralisir kembali kerusakan besar ini."
"Belum lagi beberapa Tent yang banyak berdatangan, lalu aku harus mencari cara menghadapi alarm ini untuk lebih lanjut bersama beberapa bawahanku, ini akan menjadi sangat lama Lena," tambahnya.
Aleena dengan pasrah pergi meninggalkan Will sendirian menghadapi tanggung jawabnya sebagai seorang pimpinan tertinggi Orvos, namun ia dihentikan oleh Will.
"Aleena, dia yang mengetahui semua tentang bunker 6 ada di afdeling 1."
Aleena menoleh sempat memahami, lalu mengangguk dan berpaling berjalan perlahan dengan botol serum di tangan kanan, tanpa Donny yang mengantarnya. Ia sengaja tak memanggil Donny karena ia tak ingin langsung ke bunkernya, ketika melewati menara Gloetik di dekat gerbang Sega ia melihat puluhan Tent berbondong-bondong dengan wajah yang kusut kembali ke bagian Nest karena hari yang mulai malam.
Mereka membawa berbagai senjata termasuk busur di mana anak panahnya telah habis tak tersisa di belakang punggung, beberapa orang ada yang membawa tombak yang hanya tersisa 3 buah dan senjata api berlaras panjang.
Aleena tahu baru saja terjadi peperangan antara Tent dengan Molk, ia dengan sembunyi-sembunyi naik ke atap tempat biasa ia duduk bila sore hari, hanya pemuas rasa penasarannya. Ia bergegas menaiki tangga hingga ia mencapai puncaknya.
Jantungnya tiba-tiba berdetak cepat dengan gelisah tentang apa yang akan ia temui di luar sana, langkahnya pelan hingga sampai di ujung dan melihat sekeliling hutan, tangannya ia gunakan untuk menutup mulut yang sudah terbuka lebar, nafasnya menjadi cepat bagaikan oksigen tak ada lagi di sekitarnya, mata hijaunya menjadi berkaca-kaca ketakutan .
Terpapar jelas di depan matanya tumpukan banyak Molk yang terbunuh dengan sadis, banyak anak panah yang bersarang di jantung mereka, banyak tombak yang menembus kepala mereka, banyak tubuh yang tak memiliki kepala karena hancur remuk karena ditembak.
Jumlahnya tak dapat dihitung, bahkan ada banyak Molk yang tersangkut di dinding benteng, dan itu pasti The Fast Molk.
Hanya di sisi bagian Aleena saja sudah banyak bangkai yang menumpuk bagaikan ikan yang terjerat di jaring, ia belum melihat secara menyeluruh betapa banyak pastinya makhluk-makhluk itu menyerang. Entah mengapa kini para Molk mulai berdatangan ke sini, Aleena selalu melibatkan hal itu dengan apa yang ia lakukan tempo lalu.
Jadi semuanya benar bila ini semua karena Aleena, seharusnya ia lebih bijak mengambil tindakan. Lihat apa yang terjadi karena ulahnya sendiri.
Aleena turun dengan cepat, matanya masih berair ingin menangis karena tekanan yang menyiksanya di dalam benteng akhir-akhir ini. Tiba-tiba tubuhnya tertahan dengan seseorang pria yang mendekapnya dalam pelukan.
"Aleena, kau tak apa?"
"Yura?" Tangan Yura membelai sekitar rahang Aleena di dalam dekapannya, ia semakin cemas ketika air mata Aleena mulai menetes melewati pipi kanannya dan tak mengerti apa yang terjadi dengannya.
"Ini semua salahku," isak Aleena menahan emosi, ia menyadarinya.
"Tidak, kau harus dengar informasi ini," elak Yura.[]
Yura membawa Aleena ke tempat lain yaitu ke ruang ia tinggal, mengingat Tent akan banyak berkeliaran menetralisir kondisi benteng setelah penyerangan, mereka tak bisa lagi kembali ke tempat sebelumnya.
Di bawah gubuk tua beratap kayu dan lampu sebagai penghangat diri mereka berdua saling membagi cerita dan mendengarkan. "Jadi itu penyebab mereka terus berdatangan?" Aleena mengerut.
"Ya, setiap Molk meraung yang terlewati oleh para Tent semakin banyak mereka memanggil para Molk lain. Jadi otomatis mereka kewalahan untuk membunuh para Molk lain."
"Jadi kau akan menjadi Tent?" Aleena memastikan.
"Mereka membutuhkan banyak Tent, aku tak memiliki pilihan lain, ini juga demi melindungi semua orang, mereka bertambah banyak dan bertambah cermat untuk mendapatkan satu gigitan saja," desis Yura tak punya pilihan lain, ia kini akan berlatih sepanjang hari untuk menjaga The Fort.
"Aku ingin membantu," ucap Aleena bertekat.
"Kau masih serius dengan pilihanmu itu? Aku tidak ingin-" kalimat Yura terputus ragu untuk ia ungkapkan.
"Apa kalian selalu meremehkan wanita setiap saat? Hanya karena tubuh mereka tidak kekar, lemah dan tak berotot sama sekali hingga di suruh untuk menetap di dalam Bunker itu? Wanita adalah makhluk terkuat yang pernah ditemukan dari dalam maupun dari luar, mereka juga penuh perasaan dengan tekat yang kuat dan merupakan kombinasi yang menakjubkan untuk ditunjukkan. Apa yang salah dengan kami? Aku harus ikut bertarung," jelas Aleena berapi-api mengepalkan tangan.
"Kau tidak bisa melakukan itu!" Yura menahannya.
"Kenapa? Aku bisa melindungi diri ku sendiri," sahut Aleena tak kalah memberontak Yura yang di sampingnya tak setuju dengan pilihan hatinya.
"Kalian harus berada di dalam bunker sejauh ini, keadaan di luar belum normal," jelas Yura yang kini sudah mulai terdengar bagai seorang Tent yang memprioritaskan keselamatan nyawa orang lain.
"Benarkah? Jika para afdeling 1,2,3 dan 4 ikut mempertahankan, besar kemungkinan kita berhasil menghentikan komunikasi para Molk itu Yura," jelas Aleena sedikit keras kepala.
"Walau semua wanita kau kumpulkan mungkin hanya 5 orang yang berani melawan Molk, dan itu belum melawan Ghroan yang lebih mematikan. Itu pernyataan yang konyol sekali, kau lebih baik di dalam." Nadanya mulai cepat dan meninggi.
"Benarkah! Oh ya! Mengapa kau bilang seperti itu?" emosi Aleena menaik ke puncaknya terpancing.
"Aku takut kehilanganmu!" Jerit Yura menatap miris mata hijau Aleena. Yura menggeleng tak percaya apa yang bibirnya keluarkan, hembusan nafas canggung keluar, tangannya memijat kening yang mulai berdenyut pusing.
Aleena menatap jari-jarinya di atas paha yang bermain dengan sendiri, ia harus pulang untuk menceritakan semuanya pada Azzura, ia mungkin akan mendukung pada posisi Aleena.
"Yura, kau tak bisa menghentikan aku." Aleena berdiri, menatap Yura dingin.
"Kau juga tak bisa menghentikanku." Ia juga menatap Aleena penuh makna. "Kumohon aku ingin melindungi kalian," tambah Yura menatap Aleena sendu.
"Aku harus melindungi mereka juga," ujar Aleena pelan.
Yura sedikit geram dengan Aleena yang tak paham sama sekali. "Apa kau tak mengerti berada di posisi seorang Tent? Ini bukan mengenai melindungi dirimu sendiri, namun melindungi semua orang! Tanya pada dirimu sendiri, 'apakah aku melindungi diriku sendiri atau melindungi orang lain?'." Yura berdiri menghadap wanita itu.
Aleena terdiam sembari mengamati manik mata Yura yang menatapnya kejam, ia begitu serius kali ini tidak ada kegurauan lagi.
"Kita bisa saling melindungi," balas Aleena asal.
"Kau lindungi dirimu sendiri, aku melindungimu," ulangnya.
Aleena memandangnya kelam ia memiliki wajah tirus dan kurus dan tubuhnya sejajar dengannya. Perlahan kepala Yura mulai memiring ke kanan hanya selang beberapa centi di depan Aleena. Ia semakin gemetar. "Ini tidak benar," pikirnya dalam hati. Dengan cepat ia memeluk Yura kemudian berjalan pergi untuk kembali ke bunker dengan perasaan canggung di benak.
Keringat dingin bercucuran di pelipisnya berjalan ke bunker dengan cepat dan pijakan yang keras membuat banyak debu berterbangan di tanah. Sesampai di bunker, Aleena terduduk di ranjangnya menunggu minuman yang diambilkan dengan sukarela oleh Azzura.
Beberapa detik Azzura datang dengan membawa air putih di gelas dengan tenang, di tangan kanan Aleena telah ada botol yang diberi Will untuk membantunya lebih sehat.
Dengan satu tegukan cairan itu semakin lama semakin habis masuk ke lambung, rasanya hambar tak manis atau pun pahit di lidah, lebih kepada seperti meminum sebuah air sungai yang terasa kecut-kecut segar.
"Tidurlah Zura, aku tak apa," suruh Aleena memegang bahu Zura.
"Semoga kau cepat sembuh," balasnya hampa, matanya memandang Aleena sangat kosong karena masih terngiang bagaimana menggemparkan alarm yang membuat semua orang panik dan cemas sore itu.
Aleena menyelimuti dirinya teringat tumpukan Molk di luar, selalu saja ia menyalahkan dirinya sendiri karena membahayakan banyak orang. Bahkan tak jarang otaknya memutarkan kalimat maaf untuk semua orang yang terlibat karena ulahnya.
Ia mengulum bibirnya ketika klip di otaknya memutar bagaimana pertanyaan Yura sebelumnya.
Bila dia diharuskan menjawab, tidak bisa disangkal lagi perkataan hatinya bila ia memilih untuk menyayangi nyawanya daripada nyawa orang lain. Jelas bukan kriteria seorang pahlawan atau Tent sama sekali, begitu sulit memprioritaskan nyawa orang lain dahulu daripada nyawa sendiri. Mungkin memang menjadi seorang Tent atau menekuni pekerjaan semacam mereka tidak cocok bagi Aleena sampai kapan pun.
Di tengah malam Aleena kembali terbangun tak dapat memejamkan kembali matanya, rasa gelenyar gelisah menghantuinya seketika mengingat apa yang terjadi pada hari itu, alarm, Molk, mimpi aneh, dan suatu masalah yang diakibatkannya. Ia berbalik menyamping menatap dinding besi, tanpa satu suara bising pun selain bunyi pergerakan tubuh wanita lain yang tidur di dalam bunker. Kepalanya mendadak terasa lebih menyakitkan dan ia sangat bingung, ia sudah minum serum dan yang membuat ia terkejut sakit kepalanya itu tidak sembuh jua. Lalu ia berbalik lagi, memposisikan tubuhnya ke segala arah yang nyaman namun tidak kunjung ia dapati.
"Lena, kau tak apa?" Tanya Anastasia pelan. Aleena menoleh cepat pada Anastasia yang tak bisa tidur mendengar gelagatnya yang resah.
"Yaa, aku baik-baik saja." Aleena menghembuskan nafas parau.
"Di mana kau saat alarm itu berbunyi? Semua orang mencarimu," bisik Anastasia mencoba tak mengganggu semua orang yang tidur.
"Aku di luar."
"Lain kali tinggallah di dalam bunker, di luar sudah tak aman lagi," balas Anastasia kemudian langsung merebahkan tubuhnya di ranjang dan menutupi tubuhnya dengan selimut, melanjutkan tidurnya.
Bagaimana bisa menjadi sangat rumit? Batinnya.
Ketika angin menghilang, dingin datang, besi berbisik, dan energy alam semesta mulai merambat masuk pada tidur Aleena, saatnya ia menemui dimensi lain dari kehidupannya, mimpi.
Jarum pendek di angka 3 adalah jam yang tepat untuk segala kemistisan terjadi, suara aneh dari dalam afdeling terdengar, suara langkah kaki menggema, bisikan makhluk astral mulai mengganggu, roh-roh leluhur para pendahulu yang mendiami benteng ini mulai muncul mengirim pesan.
Benteng itu berumur berabad-abad begitu sangat tuanya, tidak jarang banyak ketakutan dari segi paranormal yang dirasakan setiap orang. Ketika malam hari tidak ada yang berani bangun, terkadang ada suara-suara pria dan suara palu dan besi dari lantai atas afdeling 1. Suara air terkadang terdengar dari arah kamar mandi, dan yang paling sering ialah belaian tak kasat mata yang dirasakan semua orang ketika tertidur.
Di dalam tidurnya Aleena bermimpi, ia meminum cairan itu dan menatap Azzura sama halnya dengan kenyataan.
Kemudian ia ditunjukkan dengan beberapa klip lainnya, ia seperti mendengar seseorang parau menjelaskan tentang suatu hal yang ganjil.
"Baiklah, beginilah aturan pertama di saat kau sedang terdesak, hal yang akan kau ambil untuk pertama kali ialah masker. Ini merupakan salah satu hal yang terpenting walau hanya barang yang kecil, kemudian setelah kau memasangnya kau ambil beberapa cairan dan mencari tempat bersembunyi, dan jika kau masih di luar, hal yang kau lakukan adalah untuk bernafas dan tidak panik."
Aleena melihat beberapa senjata yang terpampang di suatu papan yang diterangi lampu neon berwarna biru kehijauan, terdapat busur berwarna hitam yang terbuat dari besi dengan panah yang tersedia banyak, di bawah busur ada beberapa tombak yang berjejer, lalu di sampingnya berdiri katana berbagai macam bentuk dan warna. Di sisi bagian kanan terdapat satu buah senjata api dengan warna hitam di sekitar pegangannya.
"Kau tidak perlu menggunakan senjata, kau aman bersama kami."
Klip selanjutnya saat ia melihat sesuatu dari tanah tiba-tiba bergerak sendirinya seperti ada yang merauknya dari dalam namun hilang lagi, dan gambaran mimpinya kembali menunjukkan menjadi sosok Azzura yang terbaring, lalu Zura mendadak berteriak kencang dan menggelegar, sangat membuat Aleena tersontak dan cemas, teriakan kesakitan dari mulutnya keluar seraya ia berguling ke kanan dan ke kiri lalu ia terdiam namun tiba-tiba seseorang datang menatap Azzura, dan tiba-tiba ia mengeluarkan pistol dari sakunya menembakkan ke kepala Azzura tanpa tahu bila ada Aleena yang melihat kejadian tersebut.
"Zura!" Aleena terbangun, keringatnya bercucuran di leher. Ia meneguk susah payah saliva ke tenggorokan kering, bibirnya tak basah sama sekali dan jantungnya berdebar tidak stabil.
"Lena?" Anastasia kini yang khawatir, keningnya mengerut sembari membaca buku di tangannya.
"Hey, kenapa matamu sangat merah?" Anastasia menutup buku dan mendatangi Aleena yang terduduk masih terengah-engah memburu banyak oksigen, ia memegang kepalanya yang penggar kemudian meremas kepala lalu rambut panjangnya.
"Merah?"
"Ya sangat merah, aku bisa melihatnya dari sini. Apa kau iritasi?"
Aleena semakin kebingungan dengan kondisi tubuhnya sendiri yang sangat lemas dan mengeluarkan keringat dingin, ia sangat tidak sehat akhir-akhir ini. Kepalanya juga selalu pusing dan berputar-putar tak wajar, jantungnya sering berdebar namum menyakitkan. Ia hanya takut bila ia terkena gejala virus Mepis dilihat ia sering berkeliaran di luar.
"Di mana Azzura?"
"Dia di ruang makan," tutur Anastasia menjelaskan.
"Ini sudah siang?!" kening Aleena mengkerut bingung, ia merasa baru saja tertidur dan rasanya terbangun ketika malam hari. Tak pernah ia tidur sangat lama hingga bertemu siang, sesuatu ada yang salah dengan tubuhnya.
"Ini sudah siang, kau bisa langsung makan, Aleena wajahmu juga pucat lagi, kau itu tidak apa-apa," gumam Anastasia penuh kekhawatiran yang membeludak.
Aleena bangkit pergi ke kamar mandi tergesa-gesa dan membasuh wajahnya yang mulai berminyak, sensasi sejuk menyegarkan wajahnya dan pulih seperti biasa.
Seperti biasa ia juga membasuh semua sisi leher, sensasi yang sangat Aleena sukai. Ketika ia keluar ia menatap bunker 6 dan teringat dengan perkataan Will tentang seseorang yang tahu tentang bunker itu dan berada di afdeling 1.
Aleena masuk ke dalam ruang makan dan menyantap makan siangnya bersama Zura yang sedari tadi masih diam bersama Ris.
Aleena duduk dengan mimik yang benar-benar kosong, wajahnya begitu pucat seperti kekurangan darah. Azzura dan Ris pun bersamaan menatap Aleena dengan asumsi yang sama.
"Aleena kau sangat pucat!" Azzura seperti biasa yang pertama.
Aleena tak memperdulikan perihal tersebut, bermaksud menyembunyikan keanehan di tubuhnya dan ia mengambil makan siangnya. "Tak apa."
Ia terus menatap Azzura ketika Azzura tak melihatnya, terus terngiang-ngiang mimpi tersebut, mimpi buruk yang bergantian dengan gambaran acak tak terjelaskan. Aleena berfikir bila pergantian gambar itu adalah salah satu usahanya mengenai mimpi yang dapat dirubah sesuai perkataan Will.
Lalu Aleena kembali menatap bunker 6 dengan keseriusan yang kental. "Seseorang yang sudah lama di sini pastilah tahu tentang bunker itu," tiba-tiba suara Azzura menyahut seperti konspirasi yang akhirnya mendukung Aleena.
Aleena mengamati Azzura, mungkin akhirnya dia mendukungnya. "Will bilang dia ada di Afdeling 1," balas Aleena cepat sembari mengusap dagunya perlahan.
"Apa dia memberi nama?"
"Tidak."
"Seharusnya kau menanyai itu atau setidaknya dia memberi sedikit klu," Azzura memutar matanya jengah pelan dan Ris hanya menatap Aleena datar.
"Kau tahukan setiap orang memilih nama baru sesuai dengan peraturan untuk memberi identitas baru. Mungkin saja Will tak tahu nama apa yang orang itu pilih untuk menutupi nama lamanya," jelas Aleena. "Menurutmu siapa?" sambung Aleena kembali menatap kedua temannya.
"Kau punya klu?" balas Zura kembali kepada Aleena.
"Siapapun dia yang berasal dari dalam dan sudah di sini sejak lama."
"Bagaimana dengan Mrs. Szhue?" Aleena menggidikkan bahu tak tahu.
"Esty Szhue? walau umurnya sudah 60 tahun bukan berarti dia penghuni lama, aku kenal wanita itu dia ditemukan di lumbung perternakan dengan kondisi yang sangat buruk dengan tulang yang menonjol tanpa daging pun," jelas Zura bergidik.
"Bagaimana dengan teman satu bunker kita? Mrs. Danert! Ia yang membawa kita berkeliling sebelum posisinya digantikan olehmu," sambung Zura lagi bersemangat.
"Ambert Danert? Tidak," singkat Aleena menghela nafasnya berat.
"Carina Kriss?" sahut Ris mendapat tatapan datar dari Aleena dan Azzura bersamaan.
"Ia yang menceritakan semua tentang seisi The Fort selama ini padaku dan bahkan lebih terperinci bagaimana ia mengulas beberapa waktu silam sebelumnya. Aku terkadang mendapatinya menatap bunker 6, ia wanita yang jarang berbicara. Wanita yang pendiam lebih memiliki banyak hal di dalam fikirannya bukan?" Sambung Ris yang untuk kesekian kali membuat Aleena kagum dan menurut untuk memeriksanya.
Aleena melirik Azzura meminta dukungan, bila memang hanya memastikan tidak ada salahnya, akhirnya mereka mendatangi wanita tersebut.
Mereka bertiga berjalan dengan serempak menuju Carina di dalam bunkernya, ia sedang duduk melipat pakaiannya.
"Carina, ini temanku Aleena dan Azzura," panggil Ris mendapat tengokan singkat dari Carina yang menatap datar mereka berdua.
"Carina, bolehkah aku bertanya sesuatu jika kau tidak keberatan?" Carina menoleh dan mendapat tatapan nanar yang tersirat dari mata Aleena, matanya sangat indah dan warnanya sangat cantik, hijau daun yang menyejukkan hatinya sendiri.
"Tentu," balasnya serak.
"Kau tahu tentang bunker 6?" Tanya Aleena langsung to the point, dengan menahan rasa pahit di dadanya Carina menelan salivanya ketika seseorang tiba-tiba saja datang padanya dan menanyakan tentang masa kelamnya, bayangan matanya seperti melaju melewati terowongan masa lalu yang menggambarkan kejadian menyeramkan yang masih tersimpan rapi di berkas memori.
"Mengapa kau ingin tahu?" Balasnya dingin.
"Carina, ini semua hanya menuju satu hal yaitu ... aku ingin hidup normal kembali tanpa diganggu para makhluk itu, aku benci ketika melihat seseorang ketakutan dan panik karena keadaan di luar yang tak kunjung normal, kau bisa membantuku?" Jelas Aleena rendah mendapat tatapan sedih dari Azzura dan Ris yang mendengar Aleena begitu kuat dengan niatan Aleena yang terdengar sangat matang ingin ia capai.
Aneh rasanya ketika Carina mendengar kalimat itu dari Aleena, ia seperti menujukkan sisi Carina yang dahulu, yaitu ingin hidup dengan damainya tanpa rasa takut yang menyelubungi hidup. Hanya saja ia tak siap dengan apa yang akan ia jelaskan dengan gadis ini nantinya, ia harus dengan rapi menyembunyikan hal-hal yang memang harus ia sembunyikan, meluruskan apa yang boleh diluruskan sesuai dengan kenyataan.
"'Jika kau ingin menjalani hidup normal hal yang kau butuhkan adalah kebesaran hati dan ego yang rendah, itu saja," jelas Carina sarkastik yang dianggap oleh Aleena dengan penolakan, ia tahu Carinalah orangnya dan ia mungkin belum siap dengan semua.
Aleena bangkit dan memegang bahu Azzura mengkodekan untuk meninggalkannya sejenak untuk berfikir 2 kali, ia tahu jika Carina ingin seperti Aleena, terdengar dari nada bicaranya.
Aleena dengan pelan menuntun Azzura dan Ris keluar duluan, tapi ia merasakan penampakan yang tidak asing baginya.
Ia rasa ia pernah mengalami hal ini sebelumnya menuntun Azzura dan Ris dengan lengannya dan setelah ini ia menyebutkan satu nama, satu nama yang ia rasa pernah ia sebutkan di alam bawah sadarnya, seperti Deja Vu.
Ini untuk kesekian kalinya Aleena merasakan Deja Vu, ia berusaha mengobrak-abrik otaknya mencari daftar nama yang tak asing.
Nama itu benar-benar sudah di ujung lidah yang kelu, kemudian tatapannya pelan menuju Carina, mata hijaunya menatap tajam sosok wanita berambut pirang tersebut. Azzura dan Ris terdiam mengamati tingkah Aleena, mereka melihatnya seperti orang linglung yang kebingungan.
"Lena," panggil Azzura kini cemas dengan kondisi Aleena yang mendadak terdiam, takut bila memang Aleena terdiam karena kesakitan atau penderitaan lainnya yang akhir-akhir menjangkit sahabatnya.
"Aleena." Panggil Azzura lagi.
Aleena terdiam menatap lantai kosong, jiwanya bagai terhisap dan menghilang dari tubuh. Ia tidak merasakan dan mendengar apapun di sekitar, hanya sebuah klip-klip yang bergelinang. Aleena menghela nafas pada akhirnya, sebuah cekikan keras di leher akhirnya menghilang dan jantungnya kembali berdebar dengan normal setelah kembali dari alam bawah sadar. Manik matanya perlahan mengintip Carina di sisi ranjang dan terkejut dengan apa yang mimpinya tunjukan tadi, sebuah gambaran pada hari itu juga dan sebuah nama yang disebutkan.
"Cadance?" Aleena memanggil sebuah nama.
*****
-Terima kasih untuk membacanya dan jangan lupa tinggalin jejak bila berkenan yuaaa.
-Add to your library would be nice, All the love - M.D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro